Senin, 24 September 2012

Qom: Madrasah, Makam, dan Semangat Perlawanan

“…bagi Allah ada haram, yaitu Mekkah; bagi rasul ada haram, yaitu Madinah; bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ada haram, yaitu Kufah; dan bagi kami Ahlul Bait ada haram, yaitu negeri Qom….”(dari Al-Bihaar 60/216).

Musim dingin di Iran, awal Januari, terasa sampai ke tulang. Jaket tebal tak mampu mengusir rasa itu. Di halaman “haram” (kota suci) Qom seorang bersorban putih keluar dari sebuah ruangan, menghitung lembaran-lembaran uang. Tak lama lagi perbuatan yang sama dilakukan lelaki bersorban hitam. Yang bikin penasaran, dari mana mereka mendapatkan uang itu?

Masuk ke dalam lorong sejauh 10 meter, menembus sebuah ruangan besar, ruang itu terasa hangat. Tampak ratusan orang antre dalam kelompok-kelompok. Ada yang mengular, ada yang cuma merubung—di setiap meja atau balai-balai berlapis karpet, seorang lelaki bagai juru hitung membagi-bagikan uang. “Itu uang bulanan dari marja’ (ulama) mereka masing-masing,” kata Alireza, pemandu Tempo, bekas santri di tempat itu.

Besar uang yang mereka terima tiap bulan sekitar 200 ribu sampai 500 ribu tuman atau sama dengan 10 kali lipat nilai rupiah. Masing-masing marja’ berbeda tergantung kekayaan dan banyaknya murid marja’ tersebut. Pada 1985, seorang santri Institut Hujjatiyah asal Bangkalan, Madura, Musa Kadzim Siraj, mengaku mendapat 300 tuman atau sama dengan 3.000 riyal, jika dirupiahkan waktu itu sekitar 300 ribu. Besaran shahria, uang bulanan itu—shahr dalam bahasa Ara berarti bulan—juga tergantung kondisi si santri. Yang masih bujangan, mahasiswa baru, tentu berbeda dengan santri yang sudah senior atau yang membawa keluarganya tinggal di Qom.

Qom, kota berjarak 135 kilometer ke arah selatan dari ibu kota Iran, Teheran, menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa yang haus pendidikan agama. Selain banyaknya ulama, madrasah, kemudahan-kemudahan administrasi dan keringanan keuangan, ghirah keagamaan di Qom lebih terasa. Selain itu tak ada tempat hiburan seperti di sekitar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. “Banyak ulama yang mumpuni di Qom. Selain itu, saya tertarik karena Iran punya daya tarik yang sangat luar biasa mulai dari sejarah, kekuatan di Timur pada zaman rasul, keilmuan, dan tentu saja kekuatan revolusi Islam,” ujar Musa yang termasuk angkatan kedua mahasiswa Indonesia di Qom.

Memang beberapa orang Islam yang terkenal pada dekade ini seperti Ayatullah Imam Khomeini atau pemimpin Hizbullah Lebanon, Sayyid Hasan Nasrallah, tercatat pernah belajar dan mengajar di Qom. Tak mengherankan jika Qom diminati banyak pelajar dari mancanegara, termasuk Indonesia. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Teheran mencatat 220 orang warga negara Indonesia tinggal di kota “produsen para mullah” itu. Lebih banyak dibandingkan warga Negara Indonesia di ibu kota Iran yang hanya 70 orang. Padahal, saat Musa mulai belajar di Qom hanya ada 16 orang Indonesia, enam orang angkatan pertama, 10 di angkatannya.

Secara geografis, Qom, ibu kota provinsi dengan nama yang sama, bukanlah kota yang indah. Kota berpenduduk 850 ribu orang ini terletak di kawasan sahara tengah Iran. Posisinya berada di tengah padang yang gersang dan jauh dari laut. Suasana padang pasir sangat terasa saat memandang ke kiri dan kanan dalam perjalanan dua jam dari Teheran ke Qom dengan taksi pribadi Peugeot 405 di atas aspal selebar tiga jalur kendaraan.

Iklim Qom sangat kering dengan curah hujan yang kecil. Sebagian besar tanahnya tidak bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Tanahnya tidak subur karena posisinya berdekatan dengan danau garam. Di musim panas, suhu udara bisa mendekati 40 derajat Celsius. Meski begitu, di musim dingin suhu udara bisa anjlok hingga di bawah nol dan sesekali turun salju meskipun tak lebat seperti di Teheran. Tak mengherankan, dalam perjalanan ke Qom naik taksi dari kawasan Azadi Square gerbang pintu selatan Teheran, mobil tetap tertutup dengan pemanas kabin. Empat penumpang tiap orang dikutip sekitar 50 ribu riyal sekali jalan; berhenti di bundaran gerbang masuk kota.

Berdasarkan sejarahnya, Qom didirikan sebelum era masuknya Islam ke Iran. Saat itu, kota tersebut pusat agama asli orang Persia penyembah api, Zoroaster. Namun, menurut sebagian kalangan, kota itu didirikan setelah Islam masuk. Kum adalah sebuah nama benteng di kota itu. Ia menjadi Qom setelah orang-orang Arab Muslim menyebut-nyebut benteng itu dengan lafal “qum”. Ketika pasukan Islam menyerang Iran, Qom merupakan bagian dari teritori Isfahan. Karena itu, Qom jatuh ke tangan pasukan Arab bersamaan dengan jatuhnya kota Isfahan.

Qom sering menjadi incaran para penguasa. Pada 23-24 Hijriyah, Abu Musa Al-Asy’ari mengirimkan sebagian pasukan yang berada di bawah komandonya ke Qom. Kota ini pun jatuh ke tangan kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Suku Asy’ari kemudian pindah dari Kufah, Irak, ke Qom. Kedatangan mereka membuat Qom lamban-laun menjadi kota. Memang sempat terjadi konflik antara suku Arab Asy’ari pendatang yang muslim dan warga setempat yang beragama Zoroaster, namun pribumi kalah.

Qom hancur diobrak-abrik pasukan Ali bin Hisyam, zaman Khalifah Al-Makmun. Penduduknya dibunuh secara massal karena menolak membayar pajak dan upeti. Khalifah Al-Muktasim yang menggantikan Al-Makmun juga meluluhlantakkan Qom, sebab warganya memberontak setelah Al-Makmun tewas. Qom kembali hancur total ketika pasukan Mongol datang menyerbu.

Pada 1916, ketika pasukan Rusia menyerbu Iran dan memasuki Karaj, banyak warga Teheran yang melarikan diri ke Qom. Saat itu bahkan ada rencana memindahkan ibu kota Iran ke Qom, tetapi digagalkan oleh Kedutaan Besar Rusia dan Inggris dengan menekan Ahmad Shah. Para muhajirin Teheran di Qom kemudian membentuk Komite Pertahanan Nasional untuk membela tanah air. Qom menjadi markas kegiatan politik dan militer anti-Rusia dan Inggris. Namun, setelah sekian kali konfrontasi, pasukan Rusia berhasil menduduki Qom.

Pada zaman Shah Iran menjelang revolusi Februari 1979, tentara Iran menyerbu madrasah-madrasah di sekitar makam Maksumah. Madrasah Faiziyah di Qom adalah salah satu hauzah ilmiyah atau sekolah agama (pesantren) yang paling tersohor di dunia. Madrasah dengan arsitektur Islam yang unik ini didirikan pada abad ke-13 Hijriyah. Menurut cerita santri-santri hauzah, tentara Shah melemparkan santri dari menara setinggi delapan meter. Bahkan kolam air yang berada di tengah-tengah kompleks pendidikan itu pernah dinyatakan dengan fatwa sebagai air najis oleh ulama-ulama penjilat kekuasaan Shah. Gara-garanya air kolam itu pernah dipakai berwudu oleh Imam Khomeini.

Pembantaian santri di Qom menjelang tumbangnya Shah membangkitkan perlawanan. Walaupun dibungkam dan tak diizinkan berkumpul, momen 40 hari kematian santri-santri Qom dipakai sebagai alasan peringatan di berbagai kota. Bagai getuk kepala ular, sejak itu perlawanan terus berlanjut sampai Imam Khomeini tiba dari Paris dan Raja Shah terdepak.

Setelah Khomeini berkuasa, Qom, tak lepas dari cobaan. Saat perang Irak-Iran, puluhan roket Irak menghujani kota Qom karena Presiden Irak Saddam Hussein yakin dari Qom inilah semangat revolusi melawan para tiran dimulai. Para marja dan guru-guru santri memerintahkan pemindahan santri-santri asing dari Qom. “Kami mau bertahan, tapi marja dengan tegas memerintahkan untuk pindah ke Mashad. Memang roket Irak kena ke rumah-rumah penduduk,” kenang Abdurahman Baraqbah, 46 tahun.

Lelaki asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang tinggal sejak 1986 itu, diminta memimpin teman-temannya mengungsi. Walaupun dalam keadaan pengetatan ekonomi, selain karena embargo Amerika Serikat dan negara-negara asing, juga karena perang, pemerintah Iran menyediakan dua bus. “Memang cuma bus dalam kota, tapi ya, keadaan terpaksa, sih,” ujar Aman. Dua puluh jam kemudian, Aman dan santri lainnya sampai di Mashad. Setelah dua bulan di sana, mereka kembali lagi ke Qom.

***
Melawat ke Qom selain ke pesantren, yang menarik dilihat adalah kompleks makam keramat. Qom tersohor sebagai tempat perlindungan keturunan Imam Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW, yang menamakan diri Alawiyyin. Tak mengherankan jika Fatimah, 17 tahun, adik Ali Ar-Ridha , imam kedelapan dalam kepercayaan Islam Syiah, minta dimakamkan di tempat itu saat tak kuat lagi meneruskan perjalanannya untuk menemui abangnya di Khurasan (Mashad). Apalagi, kakak kandungnya pernah berpesan, “Apabila negara diterpa berbagai kekacauan, hendaklah kalian pergi ke Qom, karena di sana tak ada bencana.”

Kakek Fatimah, Imam Ja’far Shadiq, bahkan pernah mengatakan, “Tanah Qom yang suci penduduknya adalah bagian dari kita dan kita bagian dari mereka. Penduduknya tak pernah mengkhianati saudara-saudaranya.” Perawan Fatimah dengan bekal yang dibawa dari Madinah, akhirnya membeli tanah di Qom untuk kuburannya sendiri.

Siang itu saya berkunjung ke makamnya. Bangunan makam keramat itu terletak di tengah kota. Bangunan besar, megah berarsitektur khas Persia itu, memang indah dan mempesona. Dari jeruji besi yang indah, siang itu saya melihat ratusan lelaki perempuan tampak khusyuk berdoa. Ada yang mencium-cium pintu gerbang atau besi-besi mausoleum makam dengan air mata mengalir. Di bagian terpisah perempuan-perempuan ber-chador hitam terdengar meraung-raung. Berdoa di tempat ini, dipercaya akan dikabulkan Allah setiap keinginan seseorang. “Tempat ini juga dianggap sebagai pengganti makam Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah yang tak jelas keberadaannya,” ujar Alireza.

Awalnya makam itu hanya dinaungi semacam ijuk. Berbagai serangan sempat menghancurkan makam itu, namun penduduk Qom lambat-laun menjadikan makam itu berkubah dan bermenara sederhana. Padahal, pada 447 Hijriyah, seorang menteri Taghral, Mir Abul Fazl, membuatkan kubah yang lebih besar di atas kubah pertama setinggi 14 meter.

Di era pemerintahan Safavi, makam memiliki empat ruangan berjajar, satu ruangan di antaranya menyediakan pintu masuk dan satu lagi ruangan menyediakan pintu keluar. Baru di era pemerintahan dinasti Qajar, Raja Fatah Alishah memberikan perhatian ekstra kepada makam sehingga membangunkan mausoleum secara lebih besar dan anggun. Ruang-ruang, dekorasi, dan bilik-bilik yang ada sekarang sebagian besar adalah peninggalan era dinasti Qajar. Pada 1208, Qum dikuasai Agha Mohammad Khan Qajar. Fatah Ali memperbaiki kompleks makam sesuai dengan nazarnya. Kubah dilapis emas, ukiran-ukiran dan keramik Iran, serta kaca-kaca kristal di dalam makam.

Karena selalu ramai pengunjung dari dalam dan luar kota dan bahkan dari mancanegara, tak aneh jika kawasan sekitar kompleks menjadi sangat meriah dan dipadati oleh toko-toko perangkat salat, kitab, batu-batu berharga, pakaian, suvenir, hotel, losmen, restoran, dan rumah-rumah makan. Hal itu mengingatkan saya seperti kawasan sekitar makam Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.

Selain makam, terdapat juga museum Haram Hazrat Maksumah salah satu museum tertua di Iran yang didirikan pada 1926. Museum yang terdiri dari dua aula yang diperindah seni keramik yang bernilai seni tinggi itu terletak di sisi kompleks mausoleum. Obyek dipamerkan berupa barang-barang berharga, seperti Kitab Suci Al-Quran dengan seni kaligrafi abad ketiga Hijriyah dan ornamen era Safavi. Ada pula permadani karya seniman tersohor Iran, Nikmatullah Jushqani.

Selain itu di Qom terdapat masjid yang dipercaya tempat Imam Mahdi akan turun ke bumi kelak. Masjid Imam Zaman, Jamkaran, terletak di sebuah kawasan pinggiran kota Qum. Masjid ini memiliki nilai mistis lebih tinggi dibanding masjid-masjid lainnya di Iran karena dipercaya didirikan berdasarkan petunjuk langsung dari Imam Mahdi, imam ke-12 atau imam terakhir kaum Syiah yang dipercaya kini sedang gaib dan akan muncul di akhir zaman sebagai juru penyelamat umat manusia.

Di masjid ini dianjurkan salat sunah empat rakaat, dua dengan niat tahiyatul masjid, lainnya dengan niat salat Imam Zaman. “Katanya, barangsiapa menunaikan salat di tempat ini pahalanya sama seperti salat di dalam Ka’bah,” kata Alireza, pemandu Tempo. Pada malam Nisfu Sya’ban atau setengah bulan menjelang bulan puasa, masjid dan area ini dipadati ribuan pelawat. Karena pertengahan bulan Sya’ban diyakini kaum Syiah sebagai hari lahir Imam Mahdi.

Di kawasan pinggiran Qom, juga terdapat rumah Mulla Sadra, filsuf besar abad ke-11 Hijriyah yang berhasil merekonstruksi dan mengembangluaskan aliran filsafat transendental. Rumah filsuf yang hidup di era dinasti Safavi direnovasi pada 1998 tanpa mengubah struktur awalnya. Rumah berupa bangunan batu bata warna cokelat dan menyerupai masjid atau musollah karena memiliki kubah. Pada kubahnya terdapat jendela-jendela kecil dengan kaca warna-warni untuk membiaskan cahaya matahari ke dalam ruangan. Dari jalan bebas hambatan masjid itu masih tampak melambaikan salam selamat datang dan selamat jalan, seolah-olah sang filsuf memberi salam dari Qom.

Ahmad Taufik (Qom, Iran): http://www.ahmadtaufik.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar