Senin, 16 Juli 2012

Bashar Al Assad Kembali Bantai 200 Warga Sunni Di Suriah

Hidayatullah.com--Pemerintahan Bashar Al Assad diberitakan kembali melakukan pembantaian terhadap warga Sunni di Suriah.  Seperti dilaporkan reuters.com lebih dari 200 orang warga sipil di desa Tremseh, Homs telah mendapat serangan pasukan bersenjata yang terdiri dari loyalis Assad hingga para Shabiha mulai dari senjata hingga roket-roket udara.

"Lebih dari 220 orang terbunuh  di Tremseh, Mereka meninggal akibat pemboman oleh tank-tank dan helikopter, hingga artileri shelling dan eksekusi tembak ditempat,” jelas juru bicara kelompok Oposisi Fadi Sameh.
Fadi juga menyatakan, pasukan Bashar justru melakukan eksekusi ini disaat kelompok oposisi sedang merenggangkan ketegangan pasca usaha lobi perdamaian PBB. Dimana pada waktu tersebut kelompok oposisi sedang menarik mundur pasukan dari setiap area konflik dan area kependudukan yang seharusnya dilindungi dari ancaman pasukan Al Assad.

"Saya dan kawan-kawan (oposisi) sedang tidak berada di Homs, namun mengapa milisi Syiah Alawit justru menyerang ke Tremseh dan membunuh semua warga sipil. Seluruh rumah telah dihancurkan dan dibakar setelah mereka menembaki warga setempat," tambah Fadi.
Kelompok oposisi menyayangkan sikap Bashar tersebut, tidak seharusnya Bashar membunuhi warga sipil tak bersenjata terlebih dikala mereka tidak ada dalam perlindungan kelompok oposisi di tempat.

Pendapat ini juga dibenarkan oleh direktur  organisasi kemanusiaan Observatorium yang berpusat di London, Rami Abdel Rahman. Rami menjelaskan bahwa memang benar Al Assad selain menggunakan artileri berat, juga menggerakan algojo pembantainya untuk membununi seluruh warga di Tremseh.

Mulai dari sumber Guardian.uk hingga koresponden international Rula Amin dari Aljazeerah Arabic Channel menjelaskan, pemerintah Suriah juga telah menutup akses media dan wartawan international dari tempat lokasi pembantaian yang dilakukan pada hari Kamis (13/07/2012), dini hari tadi.

Bocornya jejak milisi Syiah Shabiha yang terlibat bersekutu dengan Bashar Al Assad, dipastikan akan semakin mempersulit lobi utusan PBB Kofi Annan untuk menciptakan perdamaian di Suriah.  Kehadiran milisi ini jelas akan memberikan bukti signifikan penyebab lahirnya sentiment sectarian atas konflik Suriah.

Sumber oposisi sendiri menyatakan ‘terima kasih’-nya kepada bashar, karena kejadian pembantaian Kamis dini hari ini telah mengingatkan kembali luka rakyat Suriah atas pembantaian yang sama 30 tahun lalu yang pernah dilakukan Hafes Al Assad  ayah dari Presiden Bashar al-Assad, ketika melakukan pembunuhan puluhan ribu warga Sunni di Hama, yang sebagian besarnya merupakan bagian dari al Ikhwan al Muslimun.*
Rep: Thufail Al-GhifariRed: Cholis Akbar

Berdiri Sekolah Tinggi Filsafat Islam Pertama, Dinilai "Berbau" Syiah


Hidayatullah.com—Mengaku sempat terseok-seok selama dua tahun akibat kendala perizinan, akhirnya Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STIF) Sadra resmi berdiri tahun ini.
Lembaga yang berdiri di bawah naungan Yayasan Hikmat Al Mustafa Jakarta ini diresmikan oleh Prof. M. Zein, selaku pewakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag. 

Dalam pernyataannya, M. Zein sempat memberikan apresiasi terhadap sekolah filsafat ini. Ia bahka berharap STFI Sadra dapat menjadi kebanggaan umat Islam dalam mempelajari filsafat, al-Qur’an dan Hadits.
“Rasulullah bersabda ambillah hikmah dar imanapun asalnya,” ujarnya saat launching di Gedung Sucofindo, Jakarta Selatan, Kamis, (12/07/2012) kemarin.
Acara dihadiri oleh Wakil Menteri Agama, Prof Dr Nasarudin Umar dan Perwakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Prof M. Zein. Juga dihadiri Dewan Penyantun STFI Sadra, Prof. Umar Shihab, Ketua STFI Sadra Umar Shahab dan Direktur Mizan Dr Haidar Bagir,  dan sejumlah pembicara beserta undangan.
Sementara itu Profesor Ahmad Fazeli, Ketua Yayasan Hikmat Al Mustafa turut berterimakasih kepada Kementerian Agama (Kemenag) yang mengeluarkan izin sekolah filsafat ini. Ia berharap smoga STFI Sadra memberikan sumbangan pemikir bagi perkembangan negeri ini.
Beberapa dosen di Sekolah ini di antaranya Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof Dr. Abdul Hadi MM, Dr. Haidar Bagir (Mizan), Dr Umar Shahab, Dr. Muhsin Labib, Dr. Zainal Abidin Bagir (Center for Religious and Cross-Cultural Studies/CRCS), Dr Donny Gahral Adaian, Prof. Dr Rosikhon Anwar (Guru Besar Ilmu Al-Quran UIN Sunan Gunung Djati Bandung) juga Dr. Khalid Walid, alumnus dari Hawzah Ilmiah Qom, Iran.

Ahmad Jubaili, Ketua Tim Perumus Kurikulum dikutip radio Iran, IRIB, mengatakan, kuliah yang disusun dirancang secara integral, saling terkait. Kampus ini menurutnya merupakan tempat kajian ilmiah yang merujuk pada Filsafat Mulla Sadra yang mampu menggabungkan seluruh pendekatan keilmuan, terutama teologi, filsafat dan Tasawuf.

Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syiraz, seorang filsuf terbesar mazhab Syiah Imamiyah.

Sekolah ini dikembangkan dengan model boarding (berasrama) yang direncanakan menampung setiap tahun 80 mahasiwa laki-laki dan perempuan yang direkruit secara ketat dari sekolah terbaik (SMA, Pesatren) di seluruh Indonesia. Mahasiswa yang lulus seleksi di beri beasiswa secara penuh selama  7 tahun.
Sementara itu, Fahmi Salim, MA, Wakil Sekjen Majelis (Waskjen) Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, serta Komisi Pengkajian di MUI Pusat mengatakan, dari bentuknya, lembaga ini dinilai dekat dengan Syiah.
“Karena selama ini, gerakan Syiah masuk melalui filsafat,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Jumat (13/07/2012) siang.*
Rep: Pizaro

Red: Cholis Akbar
sumber : hidayaullah.com

Diajar Alumni Qum, Haidar Ketua Prodi

Hidayatullah.com—Acara launching Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra hari Kamis, (12/07/2012) kemarin di Gedung Sucofindo, Jakarta Selatan dihadiri para tokoh. Di antaranya Wakil Menteri Agama, Prof Dr Nasarudin Umar, perwakilan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Prof M. Zein, Dewan Penyantun STFI Sadra, Prof. Umar Shihab, Ketua STFI Sadra Umar Shahab serta Direktur Mizan Haidar Bagir dan para undangan.

Dalam pembukaannya, Prof Umar Shihab menyatakan kehadiran Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra sangatlah diperlukan, mengingat sekolah yang mengajarkan filsafat sangatlah sedikit.

“Mungkin STFI Sadra adalah Sekolah Filsafat Islam pertama di Jakarta,” tegas ketua MUI tersebut.
Seperti diketahui, filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Dengan mempelajari filsafat, manusia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya.
“Karena Filsafat tidak saja mempelajari teori, tapi juga sistematika ilmu pengetahuan,” ujarnya di depan ratusan peserta yang menghadiri acara tersebut.
Umar Shihab juga mengutip pendapat Ibnu Miskawih, seorang filsuf Muslim abad 10 Masehi. Ulama klasik Islam ini, katanya, pernah mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah sesuatu yang mutlak. Sebab orang yang tidak mempelajari filsafat dapat terjerumus pada dunia materialistis. Al Qur’an juga tegas meminta umat Islam untuk belajar dan mengajar, katanya.
Prof Umar Shihab juga menampik bahwa filsafat identik dengan hal abstrak dan sarat khayalan. Baginya, itu tidak benar. Karena filsafat mengajarkan manusia untuk menganalisa setiap masalah.
“Yang benar akan diikuti, yang salah ditinggalkan,” ujarnya.

Menandai peluncuran, STFI Sadra membuka dua program studi yakni Filsafat Islam dan Ilmu Qur’an dan Tafsir. Pada angkatan pertama sekolah yang berlokasi di Jalan Pejaten Raya ini menampung 80 mahasiswa baik jalur beasiswa maupun berbayar.

Beberapa pengajar dalam sekolah tinggi filsafat ini adalah lulusan Iran. Di antaranya, Dr. Khalid Walid, alumnus dari Qom dengan desertasinya “Pandangan Eskatologi Mulla Shadra”. Walid juga Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta. Pengajar lain juga ada Abdullah Beik, MA, lulusan Qom tahun 1991.

Sementara masuk dalam kepengurusan STFI Sadra, antara lain; Dr Umar Shahab, MA (Ketua Prodi Filsafat Agama STFI Sadra), Dr. Haidar, MA (Ketua Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir), Dr. Kholid Walid, MA (Wakil Ketua Yayasan Hikmat Al-Mustofa Jakarta), Abdullah Beik, MA (Dosen STFI Sadra Jakarta.

Acara ditutup dengan seminar yang diisi beberapa nama di antaranya Prof.  Karim D. Crow (IAIS Malaysia), Prof. Dr Amin Abdullah (Staf Ahli Menteri Agama dan Mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Prof Dr Azhar Ashad (UIN Alauddin Makasar), dan Haidar Bagir (Doktor Filsafat UI dan Dosen STFI Sadra).
Sebelumnya, Ahmad Jubaili, Ketua Tim Perumus Kurikulum dikutip radio Iran, IRIB, mengatakan, kuliah di kampus ini merupakan tempat kajian ilmiah yang merujuk pada Filsafat Mulla Sadra yang mampu menggabungkan seluruh pendekatan keilmuan, terutama teologi, filsafat dan Tasawuf.

Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syiraz, seorang filsuf terbesar mazhab Syiah Imamiyah.

Sementara itu, Fahmi Salim, MA, Wakil Sekjen Majelis (Waskjen) Intelektual dan Ulama Muda Indonesia, serta Komisi Pengkajian di MUI Pusat mengatakan, dari bentuk, link (jalur), lembaga ini dinilai berbau dengan Syiah. Termasuk jalur ke Jamiah Almustafa, Qom, Iran.
“Karena selama ini, gerakan Syiah masuk melalui filsafat,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Jumat (13/07/2012) siang.*

Rep: Pizaro

Red: Administrator
sumber : hidayatullah.com

Belajar Filsafat untuk Mengokohkan Akidah

Oleh: Kholili Hasib
DALAM mempelajari sebuah ilmu, harus memperhatikan kaidah dan petunjuk agama. Ilmu apapun jika menafikan petunjuk dan prinsip-prinsip dasar thalabul ilmi (mencari ilmu) akan mengakibatkan jatuh pada kesesatan. Belajar al-Qur’an dan Hadist, jika niat salah, maka kekeliruan yang didapat. Bahkan bisa tersesat jika konsep al-Qur’an dan hadisnya salah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan semakin jauh dari Allah.” (HR. Abu Nu’aim).
Ilmu filsafat sering disalah persepsi sebagai ilmu yang menyebabkan orang tersesat. Ada beberapa sebab ilmu ini dianggap miring, sehingga harus dijauhi. Di antaranya; pengaruh framework Orientalis Barat. Menurut orientalis, Islam tidak memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis. Kaum Muslim hanya mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara belajar menurut framework Barat. Implikasi dari pemikiran ini ada dua; pertama, para mahasiswa yang termakan framework tersebut mempelajari filsafat sekuler. Filsafat yang dikonstruk ilmuan Barat tanpa reserve  dan kajian kritis.
Cara belajar yang begini yang menjauhkan dari Allah, karena tidak memakai framework Islam dan worldview Islam. Kedua, sebagian kaum Muslim yang percaya dengan propaganda orientalis itu langsung ‘memukul rata’ bahwa semua jenis filsafat haram dan tidak boleh dipelajari karena berasal dari orang Barat yang sekular.
Sebagian kaum Muslim pun ‘rigid’ dan kaku menyikapi ilmu filsafat. Mereka percaya saja apa yang dipropagandakan orientalis itu tanpa mengkaji mendalam bagaimana respon para ulama terdahulu. Dalam tradisi ulama’ terdahulu, telah lama berkembang persepsi bahwa Islam memiliki tradisi filsafat tersendiri yang berbeda dan berlawanan dengan filsafat Barat atau Yunani. Ilmu syariat mengawal dan terus dijadikan pondasi dalam ilmu filsafat. Bahkan beberapa ulama terdahulu mempelajari ilmu filsafat Yunani dalam rangka mengoreksi dan mengkritik kekeliruannya. Hanya, ada petunjuk dan kaidah untuk mempelajarinya.
Ibn Rusyd dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat. Dalam keterangannya, Ibn Rusyd mengaitkan dengan pemecahan persoalan-persoalan dalam ilmu syariat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa syariat Allah itu wajib diikuti dan membimbing manusia menuju kemulyaan. Filsafat di sini ternyata bukan filsafat anti-ketuhanan, dan sekular, namun cara berpikir mendalam, logis, teratur tanpa menafikan wahyu.
Imam al-Ghazali sesungguhnya juga tidak menolak filsafat. Akan tetapi -- seperti yang ditulis dalam Tahafut al-Falasifah -- beliau hanya mengkritik prinsip pemikiran-pemikiran filsafat yang tidak sesuai dengan wahyu. Prinsip-prinsip filsafat Yunani ia kritik karena bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Al-Ghazali percaya, bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip filsafat tersendiri yang berbeda dengan konsep-konsep asing. Hal ini ia buktikan dalam karya-karya lainnya seperti Ihya Ulumuddin, al-Mustasyfa, Fada’ih al-Bathiniyyah,al-Munqidz min al-Dlalal, Kimiya’ al-Sa’adah, dan lain-lain.
Karya-karya tersebut menyajikan penjelasan prinsip-prinsip memperoleh pengetahuan, klasifikasi ilmu, logika, cara pemecahan persoalan secara mendalam, sampai ke akar-akarnya dan sistematis – yang merupakan ciri berpikir filsafat secara umum.
Bahkan Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika memenuhi syarat. Yaitu asalkan berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam. Filsafat yang berdasarkan al-Sunnah ini beliau sebut dengan al-Falsafah al-Shahihah (filsafat yang benar).
Dengan demikian, sesungguhnya para ulama’ menerima filsafat sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari. Imam al-Ghazali mensyaratkan orang yang sudah memiliki dasar-dasar agama, berilmu dan cerdas yang boleh mendalami ilmu filsafat dan mantiq. Orang awam dilarang karena belum memerlukannya. Tuduhan bahwa al-Ghazali ‘mematikan’ filsafat adalah tidak benar. Penolakan para ulama’ sesungguhnya wajar dan berlaku untuk ilmu-ilmu yang lainnya, tidak hanya filsafat. Ilmu apa saja, jika tidak sesuai dengan syariat tidak boleh diikuti. Tiap ilmu memiliki jenjang masing-masing dalam mempelajarinya. Seperti halnya pelajaran kalkulus tidak diajarkan kepada anak sekolah dasar. Bukan ‘diharamkan’, tapi belum waktunya.
Dalam Islam, cara berpikir yang mendalam dan logis memiliki prinsipnya tersendiri yang berbeda dengan prinsip ilmu-ilmu asing. Maka, dalam tradisi para ulama terhadahulu sudah biasa terjadi adapsi (modifikasi) ilmu yang berasal dari Yunani. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dibuang dan diganti dengan konsep-konsep Islami. Ini merupakan sesuatu yang alami dalam dialektika peradaban.
Michael Marmura -- seperti ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi -- mengatakan cendekiawan Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Aktifitas menyeleksi konsep tentu tidak dapat dilakukan kecuali cendekiawan Muslim memiliki pengetahuan sebelumnya tentang mantiq, filsafat dan tentunya prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Berarti, mereka memiliki tradisi berpikir yang kritis, analitis, tertib dan mendalam.
Jika filsafat dimaknai secara umum sebagai metode berpikir yang mendalam, sistematis, evaluatif, analtitis dan tertib, maka dalam tradisi ilmu-ilmu Islam kita menjumpainya. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadis, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Tasawwuf.
Framework Islam
Wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dan sebagainya sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, epistemologi dan kosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat. Para ulama telah mengkajinya sebelum berkenalan dengan pemikiran filsafat Yunani. Adapun tuduhan bahwa kaum Muslim baru mengenal filsafat setelah membaca karya-karya Yunani adalah tuduhan orientalis.
Orientalis Alfred Gullimaune, O’Leary dan lain-lain mengatakan bahwa Islam tidak memiliki tradisi berpikir yang logis dan argumentatif mendalam. Penilaian ini tidak tepat, tujuannya untuk merendahkan tradisi pemikiran ulama, yang sesungguhnya sangat maju dan canggih.
Dengan demikian prinsip-prinsip dasar dalam filsafat telah ada dan menjadi bagian dalam tradisi keilmuan Islam. Kaidah Ushul Fikih yang disusun oleh Imam al-Syafi’i mengandung logika-logika yang canggih. Al-Jili menulis kitab mantiq. Para mutakallimun Sunni (teolog Muslim) membantah pemikiran Mu’tazilah dengan metode berpikir yang argumentatif, mendalam dan tertata – tanpa mengabaikan dalil-dalil al-Qur’an al-Sunnah. Jadi, tradisi berpikir filosofis dalam tradisi ulama Islam tidaklah asing, ia jauh telah ada sebelum para cendekiawan Arab bersentuhan dengan pemikiran Yunani. Filsafat Islam memiliki framework tersendiri.
Penggunaan prinsip-prinsip dasar logika dan filsafat sesungguhnya telah digunakan oleh para ulama terdahulu dengan dua tujuan.
Pertama, memecahkan problem-problem keilmuan dan konsep-konsep dasar dalam Islam. Penjelasan tentang sumber kebenaran, klasifikasi ilmu dan pemilahan ilmu-ilmu yang baik dan buruk menurut syariat dikaji dalam konteks pemikiran yang sekarang disebut filosofis.
Ketika para ulama membahas konsep ilmu, maka itu sudah dapat dikatakan pembahasannya masuk wilayah filsafat. Jadi, sesungguhnya filsafat dalam koridor Islam itu sudah menjadi bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kajian tentang konsep dan prinsip-prinsip ilmu dalam ilmu filsafat disebut epistemologi.
Kedua, para ulama mendalami prinsip-prinsip filsafat dalam rangka mengkritik dan mengoreksi pemikiran asing, yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Untuk itu, yang dipelajari adalah filsafat ‘asing’ dan filsafat yang Islami. Imam al-Ghazali telah melakukannya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan mendasar, Imam al-Ghazali mendalami terlebih dahulu prinsip-prinsip filsafat Yunani yang bertentangan dengan Islam.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mengindentifikasi bahwa kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang pada dasarnya disebabkan merebaknya penyakit kekeliruan ilmu yang dialami kaum Muslim. Kesalahan ilmu dan kekurangan ilmu itu disebabkan invasi ilmu Barat yang sangat gencar menyerang jiwa dan kalbu kaum Muslimin (Syed MN. al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5). Bahkan menurut al-Attas, bagi cendekiawan Muslim mempelajari peradaban (termasuk filsafat) Barat hukumnya fardlu kifayah. Sebab, tanpa mengetahuinya kita tidak mempu mengkritik dan membenahinya. Tidak semua memang perlu mempelajarinya, menurut Imam al-Ghazali, itu hanya untuk orang yang berilmu, orang awam dilarang mempelajarinya. Artinya, ini bagi yang telah memiliki bekal dasar-dasar akidah, mantiq dan syariah yang kuat.
Untuk itu bagi kita yang mempelajari filsafat, hendaknya ditata niat baik-baik. Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (sa’adah) akhirat.
Artinya, niat untuk berjuang li i’laa’i kalimatillah. Kita juga perlu memakai framework Islam, bukan framework Barat. Hal ini berarti, pertama-tama akidah harus dikuatkan. Karena, seperti petunjuk Imam al-Ghazali dan Syed al-Attas, bahwa kita mempelajari ilmu ini dalam rangka membela konsep-konsep Islam, menguatkan akidah umat. Dengan framework Islam, filsafat menjadi alat mengokohkan akidah, bukan malah mendekonstruksinya atau menjadikan pluralis atau sekularis.*
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya, alumni Pascasarjana ISID Gontor

Red: Cholis Akbar
sumber : hidayatullah.com

Iran Dinilai Belum Pernah Perang Melawan Israel

Hidayatullah.com--Opini yang mengatakan  hanya Iran  Negara yang konsen mendukung Hamas dipertanyakan oleh Tiar Anwar Bachtiar. Pengarang buku “Mengapa Hamas Dibenci Israel” ini menyatakan dalam sejarah,  Iran belum pernah sama sekali terlibat perang melawan Israel.
“Klaim itu perlu dibuktikan,” tegasnya kepada hidayatullah.com, Rabu (11/07/2012) menanggapi pernyataan Anggota Dewan Revolusi Iran, Prof Rahimpour Hassan Azghadi.
Tiar mencontohkan pada kasus Mesir. Peralihan kepemimpinan dari Husni Mubarak ke Muhammad Mursy mampu mengubah peta Mesir dan Palestina. Mursy yang berasal dari kelompok Al Ikhwan seperti Hamas juga diterima baik oleh Arab Saudi.
“Artinya secara prinsip Arab Saudi sangat mendukung Hamas dan Palestina untuk merdeka,” katanya yang juga menjelaskan derasnya dukungan masyarakat sipil Arab kepada Hamas tidak bisa dikesampingkan.
Begitu pun ketika rombongan relawan Kapal Mavi Marmara dari berbagai negara melakukan perjuangan untuk membantu warga Gaza.
“Mereka pasti ingin bertemu Hamas, bukan Fatah,” ujarnya. “Jadi tidak betul hanya Iran yang mendukung Hamas,” sambungnya.
Terkait dengan pernyataan Hassan bahwa politik luar negeri Iran tidak pernah mengandung kepentingan Syiah, Tiar memiliki pandangan tersendiri. Meski, tidak selamanya diplomasi Iran melulu mengandung muatan teologis, tetapi tetap saja dasar ideologis itu pasti menyertai setiap kebijakan Iran.
“Jadi tidak mungkin faktor ideologi dikesampingkan begitu saja. Apalagi Iran memang mendeklarasikan Syiah sebagai ajaran resminya,” tandasnya.
Ketua Umum PP Pemuda Persis ini menyimpulkan dukungan Iran kepada Palestina tidak lebih kepada muatan ekonomi dan politik. Palestina menjadi menarik karena ia bersinggungan dengan geopolitik Timur Tengah.
“Siapa yang menguasai Palestina, maka dia akan menguasai jantung dunia. Makanya Palestina akan menjadi rebutan,” papar kandidat Doktor Sejarah UI ini.*
Rep: Pizaro

Red: Cholis Akbar

Dr Baharun: Iran Tidak Mungkin Bantu Masyarakat Suriah


Hidayatullah.com-- Pernyataan Prof. Dr Hassan Rahimpour Azghadi, Anggota Dewan Kebudayaan Iran yang mengatakan bahwa negerinya mengambil titik sentral dalam perjuangan Palestina melawn Zionis-Israel mendapat bantahan dari peneliti Syiah, Prof. Dr. Mohammad Baharun, SH,MA.
“Mana militer Iran dan Hizbullah ketika terjadi pembantaian di Sabra Satila? Mereka diam saja karena korbannya adalah Sunni. Padahal saat itu Iran sudah dipimpin Khomeini,” katanya kepada hidayatullah.com, Rabu siang (11/07/2012).
Tidak saja bantuan militer, bantuan secara ekonomi pun juga dipertanyakan Prof. Baharun. Menurutnya, selama ini propaganda Iran lebih kepada retorika.
“Mana rumah sakit dan bantuan ekonomi dari Iran? Indonesia itu tidak perlu banyak bicara, tapi membangun Rumah Sakit di Palestina,” tandas Rektor Universitas Nasional Pasim Bandung ini.
Faktor dari semua ini memang tidak lain berangkat dari kepercayaan Syiah itu sendiri. Bagi Syiah, Sunni adalah kelompok yang dianggap berbahaya. Dengan begitu pernyataan bahwa Iran membantu Suriah semata-semata demi kepentingan masyarakat Suriah tidak masuk secara logika.
“Masyarakat Suriah itu Sunni, apa mungkin Syiah mau membantu korban Sunni? Padahal bagi Syiah, Sunni dianggap lebih bahaya dari Yahudi,” tandasnya yang juga membeberkan fakta bahwa selama ini Pemerintahan Suriah (Syiah Alawi) intens menjalin hubungan dengan Iran.
Ia menambahkan, dalam kepentingan politiknya, Iran akan selalu mendahulukan kepentingan Syiah. Menurutnya, adalah tidak mungkin Iran mau mengenyampingkan faktor Sunni dan Syiah dalam tiap kebijakannya.
“Buktinya ‘syianisasi’ di Indonesia terus berjalan. Caci maki terhadap sahabat dan istri nabi terus dilakukan,” tegasnya.
Baharun memang tidak memungkiri bahwa dunia Arab belum juga bersatu dalam perjuangan kemerdekaan Palestina, “Tapi bukan berarti negara Iran lebih baik,” tandasnya.
Oleh karena itu,ia menghimbau agar Umat Islam jangan mau lagi menjadi korban kebohongan opini Iran. “Hanya orang bodoh yang mau dibohongi terus menerus,” ujarnya.*
Rep: Pizaro

Red: Cholis Akbar

“Main Mata” Barat dan Iran Di Balik Krisis Suriah

Oleh: HM. Al Kinani dan AH. Bamousa
APAKAH Barat (Amerika dan sekutunya, termasuk Rusia) bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan konflik Suriah? Pertanyaan yang patut mengemuka, mengingat beberapa “upaya” dan statemen tokoh-tokoh Barat terkait upaya pengentasan krisis kemanusiaan di Suriah.
Pertanyaan mendasar yang dapat mengantar kepada jawaban atas pertanyaan di atas: apakah pihak yang bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban ratusan ribu jiwa rakyat sipil di Iraq, Afghanistan, Yaman, Somalia dan selainnya, serta yang menyokong jatuhnya korban nyawa di Palestina, kali ini mau perduli terhadap korban manusia di Suriah?
Jelas, pihak yang melakukan itu semua tidak mungkin bertindak dengan motif kemanusiaan membantu rakyat Suriah. Motif politik Barat satu-satunya dalam segala tindakannya adalah kepentingan. Tidak ada bedanya antara Barat, Rusia dan China. Walau hal tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya tekanan dalam negeri yang mendorong masing-masing negara untuk mengambil tindakan atas nama kemanusiaan, kendati tanpa sikap yang lugas.
Alasan yang mungkin benar-benar bisa mendorong Barat untuk mengambil tindakan serius terhadap krisis Suriah adalah ancaman terhadap kepentingannya. Dan itu bukan pada keberlangsungan rezim Bashar.
Bashar al Assad, sebagaimana Hafiz al Assad, merupakan diktator yang inheren dengan kepentingan Barat di Timur Tengah. Itu terbukti sejak penyerahan dataran tinggi Golan tahun 1387 H/1967 M, hingga invasi ke Libanon serta dukungan terhadap kekuatan politik kanan, yang notabene sekutu Amerika serta Israel; melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kekuatan politik kiri.
Suriah juga terlibat dalam Perang Teluk I, yang bergandengan tangan dengan Iran melawan Irak. Dalam konflik Irak-Kuwait, Suriah mendukung penuh perang Amerika terhadap Iraq.
Selama satu dekade berikutnya, Bashar memberi kontribusi besar terhadap apa yang disebut sebagai “global war against terrorist”, sehingga dia mendapatkan “surat kelakuan baik” dari intelijen Amerika Serikat di era George W. Bush, serta mendapat support politik dari Nicolas Sarkozy, Presiden Prancis pasca kasus Rafik Hariri.
Kesetiaan rezim al Assad kepada kepentingan Barat, khususnya Zionisme juga dibuktikan selama 40 tahun hubungan “harmonis” dengan Israel. Poin ini sangat sensitif dan krusial dalam konstalasi politik Timur Tengah. Sebab perbatasan Suriah dengan Israel merupakan perbatasan yang paling aman dan terkendali dari perbatasan Israel lainnya. Beda dengan perbatasan Israel-Mesir dan Israel-Urdun yang mengikuti dinamika pasang surut politik yang ada. Hafez al Assad, dan dilanjutkan putranya, Bashar tidak pernah sekalipun membentuk satuan atau organisasi untuk membebaskan dataran tinggi Golan.
Segala upaya usang terkait keinginan Barat untuk membujuk Bashar agar mengubah sikapnya terhadap Iran, Hizbullah dan Hamas, tidak lebih merupakan permainan politik demi perebutan pengaruh antara Amerika dengan Iran di kawasan tersebut. Permainan politik yang sama sekali jauh dari konflik sesungguhnya, dimana masing-masing pihak berupaya untuk menegasikan pihak lainnya.

Amerika dan Iran hanya bermain di tataran politik agitatif, untuk berebut pengaruh. Sebab bila keduanya benar-benar terlibat konflik terbuka, niscaya permainan akan usai. Padahal, eksistensi Iran dengan retorika politiknya yang provokatif di kawasan merupakan satu manifestasi kepentingan Amerika.

Ancaman sesungguhnya bagi Amerika dan sekutunya adalah kekuatan Muslim Sunni. Ancaman ini setali tiga uang terhadap Rusia, yang tentunya masih ingat dengan kekalahannya yang memalukan di Afghanistan (1989). Rusia juga selama ini cukup dibuat repot oleh pejuang Chechnya, di samping potensi kebangkitan rakyat Islam di dalam negeri atau di republik-republik tetangganya.

Salah satu duri yang mencegah arus kebangkitan Islam Sunni tersebut adalah “bulan sabit Syiah”, yang membentang dari Iran, melewati Irak ke Suriah dan sampai ke Libanon. Semua paham bahwa moncong senjata yang benar-benar mengancam wajah Barat di Irak, Afghanistan dan Palestina adalah gerakan Sunni. Bahkan semua pergerakan perlawanan Islam terhadap hegemoni Barat dan Rusia merupakan pergerakan Sunni secara umum. Adapun Hizbullah, waktu telah membuktikan bahwa moncong senjatanya adalah order “tuan besar” yang mengontrol dari Teheran

Upaya keras Iran untuk menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah menjadi ancaman serius bagi Dunia Islam Sunni. Sepanjang tiga dekade pasca revolusi Khomeini di tahun 1979, Iran beralih haluan strategi, dari defensif di era perang Iran-Iraq (1980-1988), ke ofensif-agresif keluar dari batas-batas geografis Iran. Semangat revolusi Iran menjadi komoditi yang diekspor oleh negara.
Iran menjadi pengendali arah politik di Iraq via loyalisnya, pasca invasi Amerika. Iran juga mengeratkan hubungan dengan Bashar al Assad, yang politik luar negerinya bahkan lebih “jinak” kepada kepentingan Iran. Berbeda dengan Hafiz al Assad sebelumnya yang cenderung menjaga posisi yang egaliter terhadap Iran.
Di Libanon, tak usah ditanya. Negeri Mullah  memiliki perpanjangan tangan yang loyal sepenuhnya terhadap kepentingan Teheran. Hizbullah adalah satu-satunya milisi yang secara legal dan di luar otoritas negara mempersenjatai diri, dari senjata ringan hingga berat. Di samping penetrasi loyalis Iran ke dalam lembaga-lembaga keamanan dan militer pemerintahan Najib Miqati.
Di semenanjung Arab, Iran punya agen politik di Bahrain yang sewaktu-waktu dapat digerakkan. Gerakan Houthi yang menguasai wilayah-wilayah di Yaman merepresentasikan perpanjangan tangan Teheran di negara selatan jazirah itu. Itu di luar partai-partai Syiah di Yaman yang disupport penuh dari Teheran.
Semua itu belum memasukkan “sel-sel tidur” Syiah di Saudi Arabia dan Kuwait, serta propaganda misionari agama Syiah yang aktif di Mesir, Sudan dan Maroko.
Bila fakta-fakta di atas ditambah dengan peran Iran di balik jatuhnya Afganistan dan Iraq ke tangan Amerika dan sekutunya, tampak jelas signifikansi eksistensi Iran di wilayah Timur Tengah. Baik itu bagi Amerika dan sekutunya atau Rusia. Karena Iran, dalam konteks tersebut, menjadi pemain kunci lumpuhnya dunia Islam Sunni, potensi ancaman terbesar bagi kepentingan Amerika dan Barat.
Situasi yang memungkinkan Amerika dan sekutunya campur tangan terhadap penyelesaian konflik Suriah adalah ketika posisi rakyat Suriah dan kelompok oposisi menjadi sangat kuat. Jelang Bashar jatuh itulah, Barat akan menegaskan posisinya, untuk mengamankan kepentingannya sehingga jatuhnya Bashar tidak lepas sama sekali dari peran Barat. Setidaknya, demikianlah yang harus tampak bagi publik dunia.
Di sisi yang lain, krisis Suriah yang berkepanjangan secara tidak langsung mewujudkan agenda busuk Washington dan Tel Aviv. Sebab dampak dari perang semesta berkepanjangan itu adalah kehancuran pada seluruh institusi yang ada. Sehingga andaipun rakyat Sunni yang mayoritas dan oposisi yang mendukung revolusi yang keluar sebagai pemenang, hanya akan mewarisi infrastruktur yang lumpuh. Ketergantungan terhadap dunia luar menjadi tidak bisa dihindari.
Di lain pihak, bagi Barat dan Tel Aviv, kemenangan revolusi Suriah sudah pasti merupakan ancaman. Selain politik perbatasan Israel dengan Suriah yang sangat potensial berubah, juga kekhawatiran bahwa Arab Spring bisa bersatu dengan spirit perlawanan yang sama membendung imperialisme dan hegemoni Barat di Timur Tengah.
اللّÙ‡ُ Ø£َسْرَعُ Ù…َÙƒْراً Ø¥ِÙ†َّ رُسُÙ„َÙ†َا ÙŠَÙƒْتُبُونَ Ù…َا تَÙ…ْÙƒُرُونَ
 “…Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS: Yusuf/12: 21).*
Artikel ini hasil kerjasama antara hidayatullah.com, dengan majalah internasional Al Bayan

Senin, 09 Juli 2012

PERAYAAN ACARA SYIAH DI JAKARTA TH 2005


Ribuan warga penganut ajaran Islam Syiah di Jakarta memperingati hari wafatnya Imam Husein di Balai Sudirman, Sabtu (19/2/05). Peristiwa wafatnya Imam Husein lebih dikenal dengan peristiwa Karbala.


"Di atas panggung, seorang Ustad membacakan maqtal, yaitu narasi mengenai tragedi Karbala dengan sangat menyentuh. Tak ayal, suasana pun menjadi haru."
Sudah menjadi ciri khas acara syiah yaitu istilah 'MAQTAL'


"Sambil menepuk-nepukkan telapak tangan kanan ke dada sebelah kiri ribuan warga penganut islam syiah ini menangis, mereka meratapi kematian tokoh yang dia cintai, Sayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW."
Padahal meratapi kematian seseorang adalah hukumnya haram, tidak pernah diajarkan oleh Nabi Saw, tapi menurut dedengkot tokoh mereka, hal itu tidak mengapa jika dilakukan terhadap Imam Husain.....
fatwa yang ndak jelas sumbernya, demi memenuhi hawa nafsunya.



"Ribuan jamaah yang hadir sebagian besar mengenakan pakaian berwarna hitam, sebagai simbol perkabungan"
Para wanita wanita juga menepuk dada mereka, hampir sama dengan apa yang terjadi di Iran, tempat Ajaran syiah di impor


"Tidak sedikit warga yang membawa anak-anaknya. Peringatan selalu dilakukan setiap tanggal 10 Muharam."
Ibu-ibu membawa anak-anaknya, penanaman idiologi yang akan melanjutkan estafet perjuangan mereka....kita bisa melihatnya dalam 20 tahun ke depan, akan seperti apa negara ini jika mereka sudah berkuasa. merekalah yang paling berjasa men-syiah-kan anak-anak mereka, kecuali kita melakukan tindakan penyelamatan sedini mungkin.


"Imam Husein atau Sayidina Husein adalah cucu Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini untuk mengenang wafatnya Sayidina Husein di Padang Karbala pada tahun 61 Hijriah. Saat terjadi pertempuran heroik antara pasukan Sayidina Husein melawan tentara Muawiyyah pimpinan Yazid."
Kultus berlebih yang disematkan kepada cucu Rasul Saw, sampai pada tingkatan penuhanan pada sebagian aliram syiah.
 
SUMBER : foto.detik.com
Fotografer - Indra Shalihin
  
 

SYIAH JEPARA : Mengenal Imam Mahdi as dan Tugas Kita



Mushalla Al-husaini yang terletak di daerah Candi Banjaran, Jepara, kemarin (05/07), terlihat ramai. Pasalnya, di Mushalla itulah acara peringatan Milad Imam Mahdi afs diperingati. Tema yang diusung panitia kali ini adalah, ‘dengan nisfu sya’ban kita tingkatkan kesetiaan kepada Imam Mahdi as.’

Dalam acara yang dimulai sekitar pukul delapan malam itu, para hadirin, ikhwat dan akhwat yang berjumlah sekitar 350 orang, menimba ilmu dari Ustadz muda, Sayyid Muhammad bin Ali Bafaqih. Dalam ceramahnya, Sayyid Muhammad bin Ali Bafaqih mengutip sebuah ayat Al-qur’an yang berbunyi, “wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama orang-orang yang benar (ash-shadiqin).” (At-taubah : 119)
Lebih lanjut, beliau lalu menarik dua kesimpulan yakni, pertama, makna dari ash-shadiqin adalah al-ma’shumin (yang terhindar dari salah dan dosa). Karena kita diperintah pertama kali untuk bertakwa baru kemudian diperintah agar selalu bersama ash-shadiqin secara mutlak, kapanpun dan di manapun. Jika ash-shadiqin tidak ma’shum, maka tentu akan terjadi kontradiksi dengan perintah pertama (bertakwa kepada Allah). Kesimpulan yang kedua, menurut Sayyid Muhammad, adalah seluruh mukmin diwajibkan untuk mengikuti ash-shadiqin. Berarti, di setiap zaman, selalu ada ash-shadiqin.
Pertanyaan yang muncul adalah, ‘siapakah ash-shadiqin di zaman kita ini ?’ tentu jawabannya adalah Imam yang terakhir, Imam Mahdi ‘ajjallahu farajahu asy-syarif. Banyak hadits yang menceritakan tentang Imam Mahdi afs dan keghaibannya.
Pertanyaan selanjutnya adalah, ‘apa fungsi Imam yang ghaib ?’ Sayyid Muhammad setidaknya menjelaskan dua fungsi dari Imam Mahdi afs meski beliau ghaib. Sebelum menjelaskan dua fungsi Imam, Sayyid Muhammad terlebih dahulu membawakan sebuah hadits dari Imam Mahdi sendiri, “cara mendapatkan manfaat dariku ketika ghaibku, sama seperti ketika matahari tertutup oleh awan, sehingga mata-mata tak dapat melihatnya.” Hadits ini bermakna, tanpa kita dapat melihat langsung Imam pun, kita selalu merasakan manfaat beliau, sama seperti kita selalu memanfaatkan cahaya matahari.
Adapun fungsi Imam as adalah : Pertama, Imam adalah saksi bagi seluruh perbuatan kita. Dan kedua adalah kita masih bisa mendapatkan kemuliaan berjumpa dengan malam lailatul qadr karena beliau as masih di bumi ini. Dua manfaat ini tentu sangat berfaedah bagi kita.
Dalam akhir ceramah, Sayyid Muhammad kembali melontarkan satu pertanyaan, ‘apa tugas kita ?’ Allah swt telah mengutus 124.000 Nabi yang kesemuanya menyuruh agar manusia bangkit untuk melaksanakan keadilan. Kita tahu, keadilan yang seutuhnya belum terlaksana hingga kini. ‘Program Allah masih berjalan dan kita berada di dalamnya.’ Tegasnya.
Maka, tugas kita adalah menyiapkan masyarakat yang mampu dan mau menerima hukum-hukum Allah secara sempurna. Mengingat bahwa program ini hanya bisa terlaksana jika 3 syarat utama terpenuhi. 3 syarat tersebut yaitu, 1) Adanya hukum-hukum Allah. 2) Adanya Imam adil. 3) Masyarakat siap menerima hukum Allah. Syarat yang ketiga lah tugas kita.
Sebelum mengakhiri ceramahnya, Sayyid Muhammad menegaskan bahwa tugas ini hanya bisa kita laksanakan dengan baik jika dalam jiwa kita terdapat semangat Husaini. Kata-kata yang tertulis dalam bendera Imam Mahdi afs nanti adalah, ‘ya litsaratil Husain’, ‘demi pembalasan Husain’. (DarutTaqrib/Farazdaq/Adrikna!)
sumber situs syiah : darut-taqrib.org