Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas
kaum muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang
Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki
oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di
dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum muslimin.
Pun demikian, ulama dan
cendekiawan muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang
dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara
mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai
Khalifah kaum muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga
mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat
lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini?
Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah
kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan
orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’
yang dianjurkan oleh banyak kaum muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya
mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya,
mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet…
dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang
tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami
sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita
harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah
tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah
pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan
sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu
banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk
mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama
sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki
karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan
negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh
sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis
Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai
aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan
berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di
Lebanon adalah: Golongan muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah,
dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte
Druz yang masih dianggap sebagai muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920,
bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja
menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari
kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943,
ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada
Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada
Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa
diterapkan secara praktis hingga tahun 1959, yaitu setelah semua pusat
pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit
tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka
orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat
memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun
demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan
bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan
Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di
daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah
misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan
Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota
pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di
Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang
menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade
terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan
kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah
dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah
palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah
strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus
mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai
saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan
Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk
melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat
terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan
masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha
mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era
lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan
nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda
dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan
berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah
berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa
Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan
mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi
dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiqq. Ia kemudian
pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang
Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul
Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap
di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
Misi pertama ialah misi religius Syi’ah untuk mendirikan Negara
Syi’ah di Lebanon. Ia hendak mendirikan negara tersebut dengan bertolak dari
madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan segala akidah dan kepercayaannya yang
menyimpang, plus seluruh bid’ah-bid’ahnya yang mungkar.
Hal ini dapat Anda pelajari secara lebih rinci dalam
tulisan-tulisan yang membahas tentang pokok-pokok keyakinan kaum Syi’ah.
Perlu diketahui, bahwa Syi’ah di Lebanon kala itu bukanlah
syi’ah yang agamis, artinya mereka hanya membawa nama ‘syi’ah’ tanpa mengetahui
tabiat dan prinsip dari madzhab mereka.
Sedangkan misi keduanya ialah dana yang sangat besar jumlahnya
untuk memudahkannya dalam mewujudkan megaproyeknya tadi. Bukan suatu rahasia
bahwa para rujukan Syi’ah di dunia adalah orang-orang yang sangat kaya, sebab
kaum Syi’ah menyumbangkan seperlima (20 %) dari penghasilan mereka kepada para
rujukan tadi, dengan anggapan bahwa mereka berasal dari Ahlul Bait. Harta
tersebut adalah khusus bagi mereka secara pribadi dan mereka bebas
mempergunakan semau mereka. Dengan harta inilah mereka mampu mengendalikan
berbagai hal karena mereka telah membentuk kekuatan ekonomi raksasa.
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap
sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan,
dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil
menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang
berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang
menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka
timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat.
Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire)
di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan
megaproyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu.
Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima
puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan
ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata.
Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak
keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi
Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah
tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya.
Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk
menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang
bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan
mendatang. Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa
Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan bergerak
perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai puluhan
tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti inilah
yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu, seperti
Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara dusta
sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami tentang
“Hegemoni Syi’ah”.
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan
masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah
angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para
penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit
masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah
terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita
saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan
kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan
langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika
megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya
akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena
itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum muslimin harus faham akan apa yang
terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan
pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul
Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia
senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara
keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini
yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr.
Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al
Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan
kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan
masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu
kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan.
Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia
lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah
berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di
Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat
sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara.
Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak
semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di
Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita
ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang
teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang
berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat
Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab
Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan
atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash
Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya
di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak
semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr
berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia
tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum
muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang
pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan
memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk
mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di
Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor
72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di
Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa,
hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di
Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan
ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon
mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah
menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan
yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika.
Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan
menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di
Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian
terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini
ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat
pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash
Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi
Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari
sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon.
Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan
Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi
adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian
negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham
Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah
dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan
harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini
merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat
mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari
sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme
antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di
Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam
meskipun secara politik dihitung sebagai ‘muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah
‘Alawiyyin tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash
Shadr mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah
Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai muslim! Ini
menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan
yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara
Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung
penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang
melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara
Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di
seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon,
Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari
Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin
yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya,
banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka
menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan mengentaskan
fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka akhirnya keluar
setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir
Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer,
dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr
mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan
‘Gelomban Perlawanan Lebanon (Afwaaj
Al Muqaawamah Al Lubnaaniyyah’),
yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang
Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni
diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan
selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina
tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985
hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara
yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai
faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus
untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan
Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan.
Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi
menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali
mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan
massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi
tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan
menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh
agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia
mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah
memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan
hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan
internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya
kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis
hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan
Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah
Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap
agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon
saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain
Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi
Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara
Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait,
kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978,
yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr
telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia
tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr
bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang
biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang
jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan
banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang
paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran.
Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang
memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan
Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti
memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang
terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri ketika
itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap mendukung
mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal Lebanon yang
mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup banyak, sebab
perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan,
yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari
mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah
meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan
Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di
Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah
revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer
Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi
lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan
tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL?
Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan?
Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan
Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisahnya masih panjang, dan isya Allah akan kita sambung dalam
artikel berikutnya. Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Banyak dari kaum muslimin yang
memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi
berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang
ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan
tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai
kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah
musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan
mungkin tiada berguna lagi.
Benang merah panjang yang
mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Kisah Hizbullah bag.
1′. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami
lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh
duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum muslimin ini,
pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum
muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di
masa-masa yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah
pengikut Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam
mengritik, mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan
menghadapi perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong
media-media massa Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan
dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan
Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario
mereka dengan mantap. Kaum muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah
berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah
tempo dulu, atau lebih besar lagi!!