Senin, 29 Mei 2017

Pengalaman Ulama Suni Jalan-Jalan Di Iran (Syiah dan Ramadan)



Ini adalah catatan jujur seorang muslim sunni yang melakukan perjalanan ke Iran. Seorang dosen yang bernama : Prof Dr Moh. Ali Aziz MA, guru besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, untuk ketiga kalinya, dengan tujuan : menjadi imam Tarawih dan narasumber kajian Islam selama Ramadan. Meski perjalanan di tahun 2010, tapi sekarang ini tidak akan jauh beda, kondisi iran relatif tidak banyak berubah secara adat dan kebiasaan apalagi madzhab mereka tidak ada perubahan yaitu mazdhab syiah.      
Ini tulisan pada saat itu : 



Inilah hari pertama Ramadan (11/8/2010) sekaligus salat Duhur berjamaah pertama pada kunjungan ketiga saya di Teheran.
Masyarakat Iran lebih terbiasa dengan ucapan salom daripada  assalamualaikum  seperti di Indonesia.
Remote solat
Bocah berhidung mancung dengan celana panjang dan kaus bergaris itu terlambat datang. Seharusnya dia bertugas sebagai "remote" salat  Duhur. Karena terlambat, dia baru melaksanakan tugasnya untuk salat Asar yang selalu dikerjakan satu waktu dengan Duhur (Demikian juga, salat Isya di sana dikerjakan secara berjamaah pada waktu magrib).
Solat 3 waktu
Solat zuhur asar, satu waktu. Mahrib isya juga satu waktu, jadi sehari Cuma ada 3 waktu saja.
Bocah itu langsung memegang mikrofon. Dia berdiri tiga meter sebelah kanan imam. "Allahu Akbar," komando sang bocah kepada jamaah di belakangnya, segera setelah imam yang mengenakan pakaian kebesaran jubah cokelat tua dan serban putih memulai salat. Demikian seterusnya untuk komando rukuk, sujud, iktidal, dan sebagainya.
Takbir qunud
Pada rakaat kedua salat jamaah itu, saya keliru memahami komando. Sebelum rukuk, terdengar komando takbir. Saya langsung rukuk sebagaimana biasa saya lakukan. Ternyata itu komando doa kunut. Baru takbir berikutnya, komando rukuk.
Remote solat saolatnya sendirian
Dalam perjalanan pulang dengan udara panas yang sampai membuat hidung keluar darah, saya berkata dalam hati, "Hebat benar, seorang bocah bisa memberi komando sang syekh." Yang menarik, meski memberikan komando, dia tidak ikut salat. Bocah "remote" itu baru salat "sendirian" setelah salat jamaah usai.
  
Tidak selalu "remote" salat jamaah adalah anak-anak.
Di Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam di Aqdasiyeh Street Teheran, komando salat diucapkan orang dewasa yang duduk persis di depan imam salat. Dengan celana dan baju lengan panjang yang disingsingkan sedikit dan tanpa tutup kepala, dia memberikan komando dengan suara mantap.
  
Masyarakat Iran tidak biasa menggunakan tutup kepala saat salat di masjid. Hanya imam yang menggunakan tutup kepala dengan serban hitam atau putih. Serban hitam sebagai tanda bahwa dia sayyid (keturunan nabi) dan warna lainnya bukan sayyid.

Saya memang sering terlihat asing bagi jamaah lainnya. Bukan hanya karena baju dan kulit saya, tapi juga karena cara beribadah saya yang non-Syiah. Sejak wudu saja, saya sudah dipandang aneh.
Wudlu dengan kran
Bagi penganut Syiah, membasuh tangan untuk berwudu
“tidak boleh dengan membasahinya di bawah pancuran keran, tapi dengan cakupan tangan. Sisa air dari tangan itu lalu diusapkan sedikit di kepala dan sedikit di kaki. Jadi, tanpa mengusap telinga dan tanpa membasuh kaki.”
Dalam buku Amozes Namaz (petunjuk salat) yang saya beli di Bazar Bozorge (Pasar Besar), ternyata memang demikian aturan wudu.
Solat dengan turbah dan tidak sedekap
Ketika masuk masjid, saya juga asing. Mereka mengambil turbah  (tanah bulat atau persegi empat dari tanah "suci" Karbala, tempat cucu nabi sekaligus anak Ali bin Abi Thalib meninggal) yang tersedia di rak pintu masjid untuk alas sujud, sedangkan saya ngeloyor begitu saja. Apalagi sewaktu berdiri salat, hanya saya yang bersedekap. Jamaah lain membiarkan tangan lurus ke bawah.

Kekakuan di tengah jamaah itu segera cair setelah Karami, warga Iran yang lebih dari 15 tahun menjadi staf lokal KBRI, yang mendampingi saya, menjelaskan kepada jamaah bahwa saya sedang belajar tentang Syiah dan masyarakat Iran. Paham Syiah memang amat kental bagi masyarakat Iran. Berkali-kali saya bertemu orang dan ditanya dengan pertanyaan yang sama: Dari negara mana, penganut Syiah atau tidak, dan ketika saya menjawab Suni, mereka bertanya pengikut mazhab apa?
Ditanya mazhab  
Pada Ramadan hari ketiga, saya salat Duhur didampingi Choiruddin, pelajar Indonesia yang sudah tiga tahun belajar di Iran, di Haram Muthahar Imam Khumeini (masjid dan makam Imam Khumeini). "Jika ditanya orang, Pak Ustad sebaiknya menjawab saya pengikut Suni bermazhab Imam Syafii,"  pesan Choiruddin.
Benar kata Choiruddin. Beberapa menit kemudian, dua orang berpakaian rapi dan berjas menghampiri saya. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Dengan bahasa Arab yang lumayan fasih, dua orang itu berbicara sangat sopan dan toleran terhadap kami yang Suni. Bahkan, keduanya "orang kampus sekaligus penghafal Alquran" menyebut beberapa kebaikan Imam Syafii.
Diceramahi dan diajak masuk syiah
Sekalipun ulama Suni, Imam Syafii sangat dicintai penganut Syiah. Banyak penduduk Iran yang bernama Syafii. "Jika bukan orang kampus, Pak Ustad pasti diceramahi panjang lebar, yang intinya ajakan untuk meninggalkan paham nenek moyang yang tidak benar dan mengikuti Syiah,"  kata Choiruddin setelah mengucapkan Khoda hafez (Tuhan menjagamu) sebagai ucapan perpisahan kepada keduanya.
Hampir semua masjid di Iran yang saya kunjungi dihias dengan kaligrafi yang sangat indah. Jangankan masjid, tembok-tembok rumah dan kantor pun berhias kaligrafi. Pada mihrab Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam, misalnya, terdapat kaligrafi  surat An-Nur ayat 35,  "Allah adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi...". Mengapa ayat itu yang dipilih? Bagi mereka, ayat itu ada kaitannya dengan kedudukan para imam Syiah. Cahaya Allah hanya bisa terpancar di langit dan bumi melalui para imam.
Cahaya imam syiah
Terdapat juga doa dalam kaca dan berlampu yang menggambarkan penantian akan datangnya Imam Mahdi yang sedang dirindukan sebagai pemberi solusi semua masalah kehidupan. Sebutan untuk imam yang dinantikan itu bermacam-macam.  Ada kalanya dipanggil Wali Ashr, Imam Zaman, Shahibuz Zaman, atau Mahdi al Muntadhar.
Doa khas ala syiah : doa wa"ajjil farajahum
Setiap usai salawat nabi dengan lagu yang khas, baik sewaktu mendengar azan maupun selesai salat, mereka selalu menambah dengan doa wa"ajjil farajahum (wahai Allah percepatkan selesainya semua masalah umat dengan kehadiran Mahdi al-Muntadhar). Ada juga doa yang terpampang di tembok, Ya shahibaz Zaman adrikni  (Wahai Imam yang ditunggu, beri saya jalan keluar).
Doa di tembok : doa yang terpampang di tembok
Ada juga kaligrafi yang dipasang di hampir semua toko yang terkenal dengan sebutan kaligrafi  Waiy Yakad. Sebutan itu terkait dengan bunyi awal ayat yang ada dalam kaligrafi tersebut, yaitu Surat Al-Qalam ayat 51, yang artinya  "Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka tatkala mereka mendengar Alquran".
Kaligrafi "pelaris dagangan".
Pada Ramadan dua tahun yang lalu, saya sudah membeli kaligrafi itu karena indah dan sangat populer. Melihat artinya, saya menduga ayat tersebut untuk penangkal kejahatan. Namun, baru pada kunjungan kali ini saya menemukan jawabannya bahwa itu adalah kaligrafi "pelaris dagangan".
"Masyarakat Iran yang terkenal cerdas ternyata juga menyukai jimat," kata saya kepada Buyuk, warga Iran yang bertugas sebagai sopir di KBRI. Mendengar kelakar saya itu, dia hanya tersenyum.
Dadan Maula, ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran
Dadan Maula, ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran, punya pandangan menarik tentang fenomena tersebut. "Bahkan,  "jimat" yang banyak beredar di masyarakat Indonesia ada kaitannya dengan budaya dan keyakinan orang Iran, Pak," katanya setelah sama-sama mengikuti upacara memperingati kemerdekaan ke-65 RI di Teheran.
Dia menunjukkan beberapa bukti, antara lain, gambar pedang pada jimat di Jawa. Gambar itu diduga kuat adalah gambar pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang juga sangat populer di Iran.  Kaligrafi berbentuk kepala singa yang banyak kita jumpai di Indonesia juga sangat mungkin dari Iran. Sebab, gambar tersebut juga ada di bendera Iran pada zaman pemerintahan Shah Pahlevi. Orang Iran menyebut gambar itu dengan shir va khurshid (harimau dan matahari).
Saat berada di pasar dekat masjid, saya ditawari Buyuk yang sudah lansia itu untuk membeli tasbih zahra untuk oleh-oleh. "Tasbih apa lagi," pikir saya. Saya menduga tasbih (alat penghitung zikir) itu terbuat dari bunga karena zahra dalam bahasa Arab berarti bunga. Setelah masuk toko, ternyata itu tasbih biasa seperti yang banyak dijumpai di Indonesia.
Tasbih syiah
Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang Iran menyebut itu dengan tasbih zahra. Ternyata, karena orang Iran menggunakan tasbih selain untuk berzikir subhanallah, alhamdulillah, dan Allahu Akbar, juga untuk memanggil-manggil imam atau orang suci pujaan mereka. Ya Zahra  (gelar untuk Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali bin Abi Thalib) atau Ya Husein (cucu nabi, putri Fatimah) atau Ya Abal Fadhal (imam atau pejuang yang terpotong-potong tubuhnya karena membela Imam Husein di Karbala).

Sebelum keluar dari toko, pemilik toko mengangkat  tangan saya sambil mengatakan dengan bahasa Persia,  Andunezi khaeli khube. Ba Iran Israel ra ruswa kunim (Indonesia sangat baik, bersama Iran, kita tumpas Israel?. "Bale. Mamnun," jawab saya, yang berarti, ya dan terima kasih.

Saya tidak tahu dia paham atau tidak terhadap jawaban saya. Tapi, yang jelas, dia kemudian mengangkat kedua ibu jari tangannya (Jika hanya mengangkat satu ibu jari, itu berarti penghinaan di Iran). Tapi, karena sudah menjadi kebiasaan, saya sering keliru memuji orang dengan satu ibu jari.
Fungsi alumni iran
Iran mulai diminati pelajar Indonesia yang ingin studi Islam. Alumninya kelak bisa menjadi perekat bagi pemahaman yang lebih baik antara penganut Suni dan Syiah. Berikut lanjutan catatan MOH. ALI AZIZ, guru besar IAIN Sunan Ampel, dari Teheran.
= = = = = = = = = = = = = = = =
175 orang, 150 nya di hauzah qum
SAAT ini jumlah jumlah pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran sekitar 175 orang. Dari jumlah itu, sebagian besar atau 150 orang memilih  belajar ilmu agama di Hauzah Ilmiyah di Kota Qom. Hauzah Ilmiyah adalah perguruan tinggi di bawah payung Jamiatul Musthafa Al Alamiyah. Selain di Qom, lembaga tersebut mempunyai beberapa perguruan tinggi di Kota Mashad, Isfahan, dan Gorgan (khusus untuk penganut Sunni).

Semula lembaga tersebut bernama Markaz Jahani Ulume Islami. Pergantian nama ini seiring dengan perubahan menjadi universitas, seperti perubahan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia.

Yang menarik, para istri (pelajar/mahasiswa) juga wajib ikut kuliah plus menjadi santri di perguruan tinggi yang sistem pengajarannya bernuansa pondok pesantren itu. Karena mahasiswa sekaligus juga santri, belajarnya seharian penuh.
Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur
Salah seorang anggota IPI yang kerap mendampingi saya selama di Iran adalah Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur.  Dia sedang menyelesaikan S2 di Universitas Mazahabe Islami di bawah Kementerian Sains dan Ristek Iran yang berdiri sebelas tahun lalu.
3 mahasiswa utusan NU pindah dari qum karena ada tekanan
Choiruddin adalah salah seorang di antara tiga mahasiswa yang dikirim PB NU untuk kuliah di negeri Mullah itu. Tiga mahasiswa itu sebelumnya kuliah di Qom. Karena tidak kuat dengan tekanan ideologis (karena berlatar belakang Suni), akhirnya mereka pindah ke universitas di Teheran melalui perjuangan yang berliku-liku.  Di ibu kota Iran mereka agak leluasa untuk menampakkan jati diri sebagai mahasiswa non-Syiah.
Nama2 mahasiswa :
1.   Choiruddin, lombok timur
2.   Dadan maulana darmawan
3.   Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar
Ada dua jenis beasiswa di Iran, yaitu dari pemerintah melalui Kementerian Sains-Ristek dan Jamiatul Musthofa Al Alamiyah, lembaga swasta untuk pusat studi Syiah di Kota Qom. Pelajar menerima beasiswa dari pemerintah Iran antara 400 ribu?1 juta riyal Iran per bulan (nilai tukar satu riyal hampir sama dengan rupiah). "Alhamdulillah cukup, Pak," kata Dadan, mahasiswa Universitas Internasional Imam Khumaeni di Qazvin, sekitar 150 kilometer dari Teheran.

Menurut Dadan, beasiswa itu cukup karena biaya asrama ditanggung.  Demikian pula makan di kampus disubsidi sehingga hanya membayar dua ribu riyal. Padahal, di luar harus 50 ribu sekali makan. Tidak hanya itu, naik bus hanya membayar 200 riyal (Rp 200) dengan tiket jauh dekat.

"Untuk kami yang di Qom hanya (dapat bea siswa, Red) 500 ribu riyal,|" kata Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar yang sudah dua tahun di Qom. "Anak saya ini mendapat jatah satu beasiswa," katanya sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.
Sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid
Di antara ratusan pelajar Indonesia, ada seorang yang telah menyelesaikan S3 bidang filsafat dan seorang lagi dalam proses penyelesaian S3. Yang lebih hebat, ada pelajar Indonesia yang sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid sehingga beberapa tahap lagi menjadi ayatullah. Bisa jadi, dialah orang Indonesia pertama yang bergelar ayatullah.
 Seorang ayatullah sudah diberi otoritas menjadi mujtahid (pengambil keputusan hukum Islam). Ia bisa juga memasuki jenjang yang paling atas, ayatullah udhma yang bisa menjadi rujukan taqlid.  Seorang ayatullah dituntut menguasai satu disiplin ilmu, sedangkan ayatullah udhma multidisiplin.

Yang menarik, untuk setiap jenjang itu, seseorang harus menghafal sejumlah kitab standar Syiah dan menyusun karya ilmiah. Di Iran, para akhund (ulama) itulah yang mengendalikan negara, mulai level lokal hingga nasional. Sektor swasta maupun negeri. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga di negeri itu yang lepas dari kontrol agama.
Ironisnya, saat ini gejala degadrasi kepercayaan kepada tokoh agama amat sering saya dengar dari beberapa mahasiswa dan sopir taksi di Teheran. Keluhan itu dipicu oleh, antara lain, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, buku, bahkan bensin setelah pencabutan subsidi. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para akhund apakah para agamawan bisa membawa Iran lebih sejahtera.
Sebagai negara republik Islam yang menempatkan para agamawan di tempat yang strategis, Iran memiliki perhatian besar pada agama. Salah satu even menarik selama Ramadan ini adalah Pameran Alquran Internasional yang dilaksanakan di Musala Imam Khumeini.
Pameran internasional itu dilaksanakan oleh pemerintah setiap Ramadan. Meski diadakan di "musala?", menurut saya, itulah musala yang terbesar di dunia. Saya tidak tahu persis luasnya, tapi saya perkirakan ratusan hektare. Saya mengitari dengan sedan sampai berganti tiga nama jalan di jantung Kota Teheran itu, namun belum juga tuntas.
tahun ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), 20 ahun belum 40 persen utk menandingi makkah dan madinah
Jangan tanya berapa lama membangunnya! Sebab, saat ini merupakan tahun ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), tapi pembangunannya belum mencapai 40 persen.
 Itulah musala yang sering disebut orang dibangun untuk "menandingi"  Masjidilharam di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di dekat musala ada beberapa hutan buatan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Di sepanjang tepi jalan raya ada saluran air dari gunung berdiameter 50 cm untuk penyiraman dua kali sehari di tanah gersang itu.
Negara syiah : tidak ada tarawih dan tadarrus
Pameran buka pukul 17.00?24.00. Ini jam buka pameran yang wajar bagi masyarakat Iran karena tidak ada tarawih dan tidak ada tadarus bagi mereka selama Ramadan. "Subhanallah," ucap saya berkali-kali melihat kemegahan musala dan menyaksikan secara langsung macam-macam kitab Alquran. Desain dan kaligrafi yang ditampilkan belum pernah saya jumpai di museum Belanda maupun di Indonesia.
Tidak hanya itu,  para wanita anggun berpakaian serbahitam menunggu beberapa pengunjung di lobi untuk berdiskusi tentang Alquran. Ada ruang  untuk diskusi, bahkan debat terbuka, tentang tafsir, fikih, atau tauhid yang dipandu oleh akhund. "Banyak di antara mereka yang berpredikat hujjatul Islam yang setara dengan profesor," kata Choiruddin kepada saya sambil menunjuk debat terbuka yang disiarkan langsung melalui televisi.
Ada satu stan yang semua penjaganya wanita muda dengan laptop di tangannya. Mereka bukan menjual produk yang terkait dengan Alquran, tapi memamerkan klasifikasi dan kajian mendalam Alquran terkait dengan disiplin ilmu biologi, fisika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.
Patung Para Nabi Di Iran
Persis di pintu keluar, saya mendapat suguhan pameran yang tidak kalah menarik, yaitu patung para nabi, mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim yang sedang berjihad melawan kaum pembangkang.  Tetapi, tidak ada patung Nabi Muhammad.  Di tempat itu pula Pameran Buku Internasional diadakan setiap tahun dengan suasana yang jauh lebih meriah.  Setelah mengelilingi tempat tersebut,  baru saya paham mengapa namanya musala (bukan masjid). Mungkin agar bisa lebih leluasa untuk mengadakan even-even akbar setiap saat.
 97 Persen Iran Adalah Syiah
Yang membuat saya takjub, semua Alquran yang dipamerkan oleh negeri dengan 97 persen penganut Syiah itu sama persis dengan milik kaum Suni. Setelah keluar dari tempat pameran, saya bermimpi suatu saat tidak boleh lagi ada bentrokan antara Suni dan Syiah. Sebaliknya, masing-masing bisa bersama-sama membangun peradaban dunia dengan nuansa rahmatan lilalamin.

Kamis, 18 Mei 2017

CATATAN TTG MUDZAKARAH ANNAS BAG KEDUA



Soroti Ideologi Imamah dan Pertahankan TAP MPRS 1966, Mudzakarah ANNAS Lahirkan 9 Pernyataan

Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) rampung menggelar Mudzakarah Nasional II di Bandung, Ahad (sore). Selain diisi seminar, acara yang dihadiri ratusan kiai, ulama, da’i dan aktivis lintas ormas Islam dari seluruh Indonesia ini juga menggelar sidang komisi. Dari mulai bidang organisasi, program, politik dan pemerintah hingga komisi media, internasional dan strategi dakwah.
Usai menggelar sidang komisi para peserta memaparkan hasil rumusan sidang kepada para peserta. Acara lalu diakhiri dengan pembacaan 9 butir pernyataan sikap yang dibacakan oleh Sekretaris Umum ANNAS HM Rizal Fadhillah. Berikut 9 butir pernyataan sikap ANNAS:
Pertama, mengajak seluruh elemen masyarakat khususnya pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan ancaman gerakan komunis yang kini bangkit kembali untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi ideologi Komunis serta Syiah yang semakin menguat untuk mencapai target utamanya yaitu menegakkan ideologi imamah yang dimulai dari proses pembinaan, kemudian penggalangan, lalu penyusupan dan akhirnya pengambil alihan kekuasaan. Baik Komunis maupun Syiah melakukan cara gerilya untuk mencapai tujuannya.
Kedua, mendorong masyarakat dan pemerintah agar memiliki pemahaman yang benar, keyakinan yang kokoh serta pegangan yang jelas mengenai kesesatan dan bahaya Syiah bagi akidah, syari’ah dan akhlak, lebih jauhnya merusak kesatuan bangsa dan menggoyahkan sendi ideologi Negara. Pandangan atau fatwa ulama dan organisasi keagamaan tentang kesesatan bahaya Syiah di Indonesia kiranya dapat menjadi pengangan dan landasan pengambilan kebijakan bagi pemerintah untuk melindungi rakyat dari ancaman gerakan Syiah.
Ketiga, mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk berani segera mengeluarkan fatwa kesesatan ajaran Syiah agar menjadi pedoman kuat bagi masyarakat maupun bagi pemerintah dan aparat keamanan, penegak hukum dalam mengambil kebijakan terhadap gerakan sesat Syiah.
Keempat, Mendukung penuh tetap dipertahankannya ketetapan MPRS nomor 25 tahun 1966 mengenai larangan pengembangan komunisme dan menentang segala upaya yang ingin mencabut ketentuan tersebut.
Kelima, mendesak pemerintah untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan dan kerja sama dengan pemerintah Iran, baik dalam bidang pendidikan, keagamaan, ekonomi maupun politik dan militer. Karena di balik kerja sama tersebut tersisipi bahkan dominan kepentingan kegiatan syiahisasi yang cepat atau lambat akan menimbulkan gesekan atau konflik di kalangan masyarakat dan rakyat Indonesia yang senyatanya berpahamkan Ahlu Sunnah wal Jamaah. Pemerintah harus berani menutup atase kebudayaan kedutaan besar Iran karena disinyalir telah meyimpangkan fungsi atase menjadi markas komando pengembangan ajaran sesat Syiah di Indonesia.
Keenam, mendorong pemerintah daerah untuk lebih jeli memantau ajaran Syiah di daerahnya dan dengan dukungan organisasi, tokoh dan lembaga dakwah Islam yang ada, berani mengambil kebijakan dan langkah-langkah nyata dalam mencegah tumbuh dan berkembangnya paham sesat Syiah. Kebijakan tegas pemerintah daerah bahkan provinsi maupun kabupaten/kota akan memberikan pengaruh kuat pada pemerintah pusat untuk dapat tegas pula mengambil kebijakan dan melakukan langkah strategis mencegah, menindak dan membubarkan lembaga-lembaga pengembangan Syiah.
Ketujuh, meminta seluruh elemen politik khususnya partai politik untuk melakukan pengawasan dan penelitian secara seksama akan kemungkinan disusupi oleh kader dan aktivis paham sesat Syiah. Melakukan pembersihan dan penindakan, hal ini penting bagi kebaikan elemen politik khususnya partai politik agar terjaga citranya di masyarakat dan terlebih-lebih dalam rangka menjaga agar institusi tidak digunakan oleh paham sesat Syiah untuk berlindung dan memanfaatkannya demi tujuan merealisasikan misi mengacaukan stabilitas Negara dan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Imamah.
Kedelapan, mengimbau aparat penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan serta TNI untuk mengambil langkah-langkah preventif dan antisipatif terhadap perkembangan paham Syiah di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Jalinan kerja sama ANNAS maupun organisasi-organisasi keagamaan dengan pihak aparat penegak hukum dan keamanan selama ini kiranya dapat ditingkatkan, hal ini demi melindungi bangsa dan Negara kita dari perpecahan yang mungkin terjadi akibat keagresifan pengembangan paham sesat syiah. Keterlambatan atau lemahnya jalinan kerja sama antar pihak dapat membawa kita kepada kekisruhan seperti di negara-negara Timur Tengah: Yaman, Irak, maupun Suriah. ini semua akarnya adalah radikalisme, takfiri dan permusuhan Syiah terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Kesembilan, berkaitan dengan perjuangan pengikut Syiah untuk menegakkan ideologi Imamah yang jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila dan konstitusi Negara, maka kami mendesak pemerintah melalui proses hukum untuk melakukan pembekuan dan pembubaran institusi atau organisasi Syiah di Indonesia, baik itu Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) atau Ahlul Bait Indonesia (ABI) atau yayasan-yayasan dan lembaga lain yang berafiliasi kepada gerakan sesat Syiah. Kebijakan ini penting dan mendesak mengingat keresahan masyarakat sudah cukup tinggi, aktivitas pengikut Syiah di seluruh Indonesia sudah sangat intens dan menghawatirkan.
“Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai wujud tanggung jawab keagamaan dan kenegaraan ANNAS dalam membentengi umat dari penyesatan paham Syiah dan melindungi Negara dari konflik keras akibat gerakan Syiah yang memang memiliki paham ideologi yang sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta dapat merongrong stabilitas NKRI,” tutup Rizal Fadhillah yang juga menjabat Sekretaris Umum Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat ini. (Pizaro/INA)


Habib Zein Al Kaff: Pemkot Bandung Harus Berani Tegas Terhadap Syiah

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jawa Timur, Habib Achmad bin Zein Al-Kaff menegaskan, tidak ada kompromi dengan Syiah. Menurutnya, Syiah adalah aliran yang sesat dan menyesatkan yang berbahaya bagi agama dan negara.
“Syiah ini adalah aliran yang sesat dan menyesatkan. Tidak ada kompromi dengan Syiah. Sebab Syiah ini berbahaya bagi agama, bangsa dan negara,” katanya kepada wartawan usai menghadiri Mudzakarah ANNAS ke-2 di Hotel Grand Asrila Kota Bandung, Ahad (14/5/2017).
Dengan digelarnya Mudzakarah ANNAS ke-2 di Bandung diharapkan pemerintah daerah khususnya pemkot Bandung untuk berani mengambil sikap tegas terhadap keberadaan gerakan Syiah.
“Terutama di Bandung ini, harus berani ambil sikap yang tegas. Mereka (Syiah_red) telah menghina semuanya, menghina Rasulullah, menghina Allah Rabbil’alamin, dan para ulama,” ujarnya.
“Insya Allah dengan adanya (ANNAS_red) ini bisa mengembalikan mereka, menjaga mereka yang belum terkena paham ini,” pungkas dia.
Sebagaimana diketahui, perayaan Asyura (hari besar Syiah) kerap berlangsung di Kota Bandung dengan pengamanan aparat kepolisian. Bahkan, tahun lalu perayaan memperingati kematian Sayyidina Husein ini dilangsungkan di Stadion Sidolik yang diikuti oleh ratusan jemaat dari berbagai kota di Indonesia. (baca: Umat Islam Jawa Barat Siap Hadang Perayaan Asyura Syiah)
Reporter : Agus Cahyanto Redaktur : Ally Muhammad Abduh 

Prof. Dr. Didin Hafidhuddin: Syiah Itu Troublemaker

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin menilai, Syiah adalah ajaran pembuat masalah (troublemaker) karena ajaran ini didasarkan pada kebencian dan kedengkian.
“Ajaran mereka ini didasarkan pada kebencian terhadap para sahabat Nabi, kepada imam-imam hadist. Dan kebencian mereka ini adalah penyakit yang terus ditularkan kepada para pengikutnya. Sehingga Syiah ini dimana-mana selalu menjadi troublemaker, pembuat masalah, bukan kedamaian,” paparnya dalam Mudzakarah Nasional II ANNAS di Bandung, Ahad (14/5/2017).
Ia mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang membuktikan Syiah selalu menjadi pemicu konflik peradaban. Jatuhnya Baghdad kepada Tatar yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 656 H atau 1258 M tidak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah, yaitu Muayududdin Muhammad yang menyebabkan ratusan ribu nyawa kaum muslimin hilang.
Pada tahun 638 H, Kyai Didin melanjutkan, Syiah juga bersekongkol dengan tentara Salib dalam merebut Palestina, ditambah pembantaian umat Islam di Suriah, Irak dan pengkhianatan-pengkhiantan Syiah kepada umat Islam lainnya.
 “Oleh karena itu, tidak ada kata lain selain pemerintah harus mengambil sikap tegas bahwa Syiah ini adalah aliran yang membahayakan,” tegasnya.
Oleh sebab itu, mantan Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) itu meminta pemerintah untuk tidak memberikan ruang gerak kepada Syiah dimana pun dan dalam bentuk apapun.
“Maka di forum ini saya sampaikan kepada pemerintah untuk mengambil sikap tegas terhadap Syiah, karena watak ajaran ini adalah troublemaker,” pungkasnya.
Reporter : Aryo Jipang Redaktur : Ally Muhammad Abduh 


Sumber : jurnalislam.com dan salam-online.com







CATATAN TTG MUDZAKARAH ANNAS BAG PERTAMA



Mudzakarah Nasional II ANNAS Soroti Bahaya Syiah dan Komunis
Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) menggelar Mudzakarah Nasional II di Hotel Grand Asrilia, Bandung. Selain bahaya Syiah, mudzakarah kali ini juga menyoroti ancaman Komunis.
Dalam sambutannya, Ketua Umum ANNAS KH. Athian Ali Dai Lc. MA. mengaku prihatin dengan ancaman yang luar biasa terhadap akidah umat dan negeri ini. “Kehadiran Syiah dan Komunis bisa jadi kesempatan dari Allah kepada kita untuk mempertahankan negeri yang kita cintai. Untuk membela umat dari pemahaman yang sesat dan menyesatkan,” ujarnya Ahad (14/5).
Komunisme, lanjut KH. Athian, sudah terbukti berulang kali melakukan kudeta hingga menimbulkan korban. “Komunis bukan lagi ancaman tapi sudah terbukti membahayakan bangsa Indonesia,” imbuhnya.
KH. Athian menambahkan, Syiah boleh jadi lebih berbahaya dari komunisme. Hingga kini, keberadaan Syiah menimbulkan konflik horizontal di Indonesia.
Menurutnya ajaran Syiah benar-benar bisa memancing darah seorang muslim mendidih. Pasalnya, ajaran Syiah penuh dengan penodaan terhadap ajaran Islam.” Ajaran Islam mereka hina dan nista. Allah dan Rasulullah mereka hina,” paparnya.
Kini, Syiah tengah melakukan kekacauan di dunia Islam. Di Irak, Iran, Arab Saudi, Suriah, Yaman, dan negara-negara lainnya. “Saya pernah ke Iran selama sepekan dan umat Islam semakin sulit bernafas di Teheran,” jelas dia.
Informasi yang diperoleh Islamic News Agency (INA), acara ini dihadiri oleh 300 alim ulama, dai dan aktivis dari seluruh Indonesia. Turut hadir Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Prof. DR KH Didin Hafidhudin, para pejabat di daerah Jawa Barat dan perwakilan ormas Islam.

Wagub Jabar: MUI Harus Lindungi Akidah Umat dari Bahaya Syiah

Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk berperan banyak melindungi akidah umat dari bahaya Syiah. Ajaran Imamah yang dianut paham itupun dinilainya sangat berbahaya.
“MUI punya peran sentral menjaga kemurnian akidah umat. Terkait paham Syiah, dalam rakernas tahun 1984, MUI telah merekomendasikan bahwa paham Syiah memliki perbedaan pokok dengan Ahlussunah yang menjadi keyakinan umat Islam Indonesia,” jelasnya saat memberi sambutan di Mudzakarah Nasional II Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) di Hotel Grand Asrilia, Bandung, Ahad (14/5).
Deddy mengatakan pihaknya tidak ingin konflik Syiah yang terjadi di berbagai daerah kembali terulang di Indonesia. Seperti konflik Sampang yang telah melahirkan banyak korban.
“Kita tidak ingin insiden Sampang terjadi di bumi pertiwi, khususnya di Jabar. Sehingga acara ini harus bisa menjadi masukan bagi pemerintah,” imbuhnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa tahun 2018 adalah tahun politik di mana pilkada serentak akan dilaksanakan. Karena itu, Dedy meminta umat Islam mewaspadai tahun politik ini dimanfaatkan oleh Syiah.
“Keimamahan paham Syiah sudah sangat jelas bahaya dan perlu diwaspadai,” tandasnya.
Reporter: Pizaro/INA
Editor: Imam S.

Mudzakarah Nasional ANNAS: Syiah Mengincar Kekuasaan di Indonesia

Guna mencegah keberadaan bahaya paham sesat Syiah, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS), menggelar Mudzakarah Nasional (Munas) di Hotel Grand Asrilia Bandung, Ahad (14/05). Agenda ini dihadiri oleh 400 orang lebih peserta dari 30 kota/ kabupaten seluruh Indonesia.
Disampaikan oleh Rizal Fadilah, selaku Anggota Dewan Pakar ANNAS, bahwa Syiah dengan konsep Imamah-nya telah bertentangan dengan ideologi Pancasila. Bahkan bukan hanya bertentangan namun juga membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Syiah dengan konsep Imamah-nya bukan hanya bertentangan dengan Pancasila, namun juga mengancam keutuhan NKRI,” kata Rizal dalam pembacaan hasil keputusan Mudzakarah ANNAS.
“Seperti kita ketahui bahwa Syiah adalah aliran sesat yang harus dihilangkan dari bumi Indonesia,” tambahnya.
ANNAS menilai, Syiah saat ini sedang mengincar kekuasaan di Indonesia, bahkan gerakan Syiah telah mengarah pada gerakan politik guna mencapai kekuasaan di negeri ini.
“Syiah sejak kelahirannya hingga kini merupakan gerakan politik, aspek spiritualitas dan kaifiyah ta’abudi-nya (tata cara ibadah) hanya kamuflase dari misi yang diperjuangkannya, yaitu kekuasaan,” jelas Rizal.
Masyarakat kerap terkecoh dengan keberadaan Syiah, seakan Syiah dianggap sebagai mazhab yang eksistensinya harus ditoleransi dan didukung sepenuh hati.
“Masyarakat kerap terkecoh dengan keberadaan Syiah. Syiah dianggap sebagai mazhab yang harus dilindungi bahkan didukung sepenuh hati,” tutur rizal
Beberapa contoh kesesatan Syiah, lanjut dia, adalah menghalalkan penumpahan darah bagi pengikutnya, bahkan dianggap sebagai penghargaan bagi darah Husein di Karbala. Nikah mut’ah juga merupakan tradisi yang kerap dilakukan Syiah, bahkan dalam nikah mut’ah menjadi halal untuk saling bertukar istri.
 “Bagi Syiah penumpahan darah merupakan persembahan bagi Husein di Karbala,” pungkas Rizal.
Guna mengantisipasi hal ini, ANNAS akan melakukan beberapa hal, di antaranya akan mempersiapkan citizen journalisme untuk mengupdate dan memantau keberadaan Syiah. Selain itu ANNAS juga akan mendorong pemerintah agar segera menghentikan paham Syiah di Indonesia, bahkan diminta untuk membubarkan Syiah hingga ke akarnya.
“Kita akan mempersiapkan citizen journalisme bagi mereka yang berada di daerah sehingga bisa mengupdate jumlah dan keberadaan Syiah di tempat masing-masing. Kita juga akan mendorong pemerintah agar segera membasmi paham Syiah di Indonesia,” tuturnya.
Reporter: Saifal
Editor: M. Rudy
Sumber : kiblat.net