Selasa, 30 Juni 2015

TOKOH SYIAH IRAN BLUSUKAN KE CIKARANG DAN BANGKA BELITUNG



Setelah kemarin dihebohkan dengan kunjungan dai syiah ke Kupang NTT, dan akhirnya ada reaksi dari MUI dan Tokoh masyarakat setempat ( lihat : http://www.syiahindonesia.com/2015/06/targetkan-kupang-syiah-berencana-adakan-safari-ramadhan.html ), maka di pelosok negeri pun syiah merajalela.
Tim kami memantau, ternyata para dai syiah tidak hanya ke lokasi yang sudah terdeteksi masyarakat. Mereka juga mengadakan kunjungan dan safari dakwah ke propinsi yang lain. Menurut sumber syiah yang kami ikuti, ada satu dedengkot syiah yang blusukan ke daerah BANGKA BELITUNG. 

DAI SYIAH DARI IRAN BLUSUKAN KE BANGKA BELITUNG
Memang di BABEL, kegiatan syiah relative aman, karena kondisi masyarakat yang relative cuek dengan kondisi sekitar. Di situ strategi syiah dimainkan. Berikut bukti nyata bahwa syiah sudah diimpor dari Iran langsung. Tidak hanya ajarannya, tapi sak orang-orangnya sekalian. Mari, bangkit tolak syiah di bumi nusantara yang damai ini ini, atau akan terjadi banyak konflik dikemudian hari.




























DAI SYIAH DARI IRAN BLUSUKAN KE CIKARANG
Dipinggiran ibu kota tidak luput dari sasaran dakwah syiah. tim kami mendeteksi, kyai syiah dari Iran, blusukan juga ke daerah Cikarang. Tokoh kesesatan tersebut menyambangi rumah salah satu pengikut syiah militant di kawasan Cikarang. Mereka dengan bangganya mengadakan ritual Ramadan khas syiah. solat disertai doa-doa. Tidak ada salat tarawih tentunya, karena menurut syiah, tarawih adalah bid’ah.







Tarawih secara sejarah, hanya dilakukan sejak jaman Umar Ra, menurut mereka. Mereka tidak bisa menjawab, ketika Rasul pernah menjalankan tarawih berjamaah dengan para sahabat, lalu menghentikannya karena dikhawatirkan kelak akan diwajibkan, sedang para sahabat Ra melanjutkan sunnah tersebut dan Rasul SAW tidak mengingkarinya. Ini bukti bahwa Rasul saw menyetujui apa yang dilakukan oleh para sahabatnya RA. ( Ahmad Hasyim- Faktasyiah )

Senin, 29 Juni 2015

Syiah mendirikan pesantren baru di Sulawesi tahun ini (2015)



Kaum muslimin dikejutkan dengan pembuatan pesantren syiah di daerah Sulawesi Selatan. Dalam rangka peletakan batu pertamanya, direktur ICC (pusat penyebaran syiah di Indonesia) Sayyid Musawi, turun langsung ke lapangan.
Berkat wakaf dari salah seorang warga Sulawesi Selatan, maka syiah mengambil langkah strategis terkait pengkaderan. Jika di situ ada pesantren, sudah pasti akan ada ustadnya dan yayasan yang kelak akan menjadi corong penyebaran syiah.
Maka kami prihatin jika masyarakat Sulawesi tidak sadar, maka kedepan akan terjadi gesekan, jika mereka sudah kuat dan melakukan ritual-ritual yang melaknat sahabat dan mengajak warga sekitar agar meninggalkan ajaran Islam menuju ajaran syiah. 5 tahun mendatang sudah pasti mereka akan mulai mengajak ke ajaran tersebut. selain direktur ICC, tampak juga tokoh syiah dari Jakarta dan juga pemberi wakaf tanah ikut hadir dalam peletakan batu pertama tersebut. Kejadian ini terjadi masih di tahun 2015.










Selasa, 16 Juni 2015

Fakta Menarik Kaum Syiah di Saudi, "Catatan fakta tak terbantahkan"

Bagaimana kehidupan kaum Syiah dinegeri Saudi Arabia? Berikut pengalaman saya selama tinggal hampir dua tahun di kota Dammam, ibukota propinsi timur Saudi, dimana mayoritas kaum Syiah 10-15 persen dari 28 juta penduduk Saudi tinggal di kota ini dan kota-kota kecil sekitarnya, seperti al Qathif, al Hasa, dan al Khobar.





Cerita ini berdasar pengalaman pribadi berinteraksi dengan orang-orang Syiah yang saya lihat dan saya temui, kebetulan saya bekerja sebagai therapist di klinik seorang dokter yang berpaham Syiah juga, walau cenderung liberal, mungkin karena lama menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Banyak pasiennya yang tentu orang-orang Syiah. Dari merekalah saya bisa sedikit mengorek cerita, dengan sedikit obrolan. Selain itu dapat cerita dari teman-teman TKI yang berprofesi menjadi driver atau penjaga toko dan mempunyai bos orang Syiah juga.

Arti Syiah
 Syiah menurut bahasa Arab bermakna 'pembela atau pengikut seseorang' atau 'setiap orang yang berkumpul diatas suatu perkara' (Azhari Tadzzhibul Lughah, III/61, Azzabidi Tajul Arus, V/405). Adapun menurut terminologi syariah dapat diartikan, 'Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau (Ibnu Hazm, Al-Fishal fil Milal wal Ahwa wan Nihal, II/113). Walau dalam sejarahnya terpecah menjadi beberapa sekte, namun yang sering diangkat dan menjadi perdebatan adalah sekte Imamiyah atau Rafidhah.

Aman
Sebagai kaum 'minoritas' di negeri yang dianggap Wahabi bagi sebagian orang, kaum Syiah relatif aman dalam beraktivitas hariannya. Dalam bekerja atau ibadah. Ada beberapa masjid Syiah berdiri dikota-kota propinsi timur ini, meski ada beberapa yang ditutup oleh pemerintah karena alasan yang saya tidak tahu. Walau ada riak-riak kecil demonstrasi seperti yang terjadi di kota Qathif akhir tahun lalu yang menimbulkan korban jiwa, namun secara umum terlihat adem ayem. Bandingkan dengan kaum Sunni yang menjadi minoritas dinegeri-negeri mayoritas Syiah.

Sholat Jumat tidak Wajib
Pada awal-awal tinggal di Dammam, saya merasa heran ketika adzan sholat Jumat telah dikumandangkan, masih banyak orang Arab yang nyantai di tinggal dirumah (saya tinggal diapartemen yang banyak dihuni orang-orang lokal). Setelah mencari tahu apa alasannya, saya baru ngeh' ternyata berbeda dengan kaum Sunni yang mewajibkan laki-laki untuk Jumatan, dalam Syiah dinamakan ikhtiyaary, boleh memilih sholat Dhuhur atau sholat Jumat.

Nikah Mutah'
Seperti yang pernah saya tulis tahun lalu, sekitar bulan Juni atau Juli adalah saat maraknya kawin kontrak atau mutah'. Mayoritas pasien yang pernah saya tangani pernah berlibur ke Indonesia, dan sangat hapal nama-nama Jakarta, Puncak, Bogor, Sukabumi, Bandung, dimana di beberapa daerah tersebut banyak kawin kontrak, antara turis Arab dan wanita-wanita lokal.

Banyak Nama Ali dan Husain
 Lazimnya penduduk Saudi Arabia, banyak nama anak lelaki yang menggunakan nama Nabi dan sahabatnya, seperti Muhammad atau Ahmad, Abu Bakar, Umar, Usman atau Ali. Namun dikalangan kaum Syiah, nama yang paling populer tentu saja Ali atau anak beliau terutama Hussain. Jangan berharap ada nama Abu Bakar, Umar dan Usman untuk anak laki-laki dikalangan mereka.
Itu saja beberapa yang bisa saya ceritakan, masih banyak cerita lain sebenarnya, seperti sholat wajib mereka yang hanya tiga waktu, tata cara sholatnya, bagaimana bila mereka saling bertemu, beberapa toko di Qathif sudah berani tetap buka ketika adan dikumandangkan. Namun yang pasti betapa susahnya menyatukan antara Sunni dan Syiah, karena jelas ada perbedaan tajam pada hal-hal pokok dalam agama ini. Seperti minyak dan air. Wallahu'alam...
Dammam, 02/05/2013

tambahan dari kolom komentar :

Djie Enk02 Mei 2013 22:29:57

di bahrain banyak banget orang syiahnya..begitupun rekan kerja saya dan mereka2 ini jg keluarga2nya ada jg yg sebagian di saudi daerah timur jg, seperti dammam, qatif khobar dll. -tidak ada nama aisyah untuk wanitanya. -kalau buka puasa akan lebih lama setidaknya 15 menit setelah adzan. berbeda dengan muslim suny yg harus menyegerakan buka puasa setelah mendengar adzan. dan yg paling rame adalah perayaan asyura. banyak cerita yg saya dapat selama tinggal bersama mereka, terlalu sensitif kadang kalau saya tulis semua hehehe...


Nessma Zweina Majid03 Mei 2013 00:50:19

saya suka mantengin tv Al zahra(Tv syiah yg disiarkan dari Karbala-Iraq)..kalo azan ada beda dulu lafasnya.. trus kalo ada cermah dimasjid..mereka seperti bukan sedang ceramah agama tapi lebih seperti sedang konser ..ada tepuk tangan,ada gerakan seperti tari saman..yg menepuk dada secara serempak...jadi suaranya memang keras banget karena dilakukan oleh ribuan orang.. saya rasa hanya dg dakawahlah..agar mereka tidak menyimpang terlalu jauh.. http://www.youtube.com/watch?v=FulPwb_BmzM
Balas

sumber : http://www.kompasiana.com/www.warungaqiqah.com/fakta-menarik-kaum-syiah-di-saudi_551f6dda813311f0379df076

Ciri Orang Syiah: Selalu Mengakhirkan Buka Puasa dan Tidak Mau Shalat Tarwih Berjamaah



Bulan Ramadhan adalah bulan shiyam (berpuasa) dan qiyam (shalat malam) sebagaimana yang tersebut dalam hadis Nabi yang terkenal. Dua ibadah ini adalah ibadah yang menonjol di bulan ramadhan yang dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslimin sedunia. Namun anehnya ada sekelompok manusia yang nyeleneh, berpuasa namun ketika berbuka ditunda-tunda dan tidak melaksanakan shalat tarwih berjamaah bersama kaum Muslimin.

Mereka itulah orang Syiah, mengaku mencintai Rasulullah namun menyelisihi cara beribadah Rasulullah saw.
Dalam buku "40 Masalah Syiah", dikatakan,

“Di sini jelas Al-Qur’an berkata: …..Mulai makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Bukan sampai maghrib. Apalagi maghrib yang dimaksud adalah maghrib yang masih terang.

Bila kita berbuka sebelum waktunya walau semenit saja, puasa kita batal. Maka demi kehati-hatian, kita sebaiknya menyempurnakan puasa kita dengan menambahkan kira-kira 15 menit setelah azan maghrib.

Azan margib adalah panggilan untuk shalat maghrib BUKAN untuk berbuka puasa”

(Emilia Renita Az, Editor: Jalaluddin Rakhmat, hal 187-188)

Kalau kita menelisik jauh dan ingin membandingkan, maka cara orang Syiah mendefinisikan malam  mirip dengan orang Majusi di Persia, agama penyembah matahari yang menganggap malam masuk ketika bintang sudah mulai kelihatan dan bukan ketika matahari terbenam.

Tuntunan Rasulullah dalam berbuka puasa
Di antara adab berpuasa yang disunahkan adalah segera berbuka puasa jika sudah dapat dipastikan terbenanmnya matahari berdasarkan informasi orang yang terpercaya melalui pengumuman azan atau hal lainnya.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ»

Dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah saw bersabda, “Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa”
(Muttafaq alaih)

Di antara tanda kebaikan itu masih bersemayam dalam diri kita, khususnya ketika puasa, menurut hadis dan tuntunan Rasulullah di atas adalah menyegerakan berbuka, dan tidak menunda-nundanya sampai 15 menit, menurut penjelasan orang Syiah di atas, ini jelas menyelisihi tuntunan Rasulullah saw.

Dalam hadis qudsi disebutkan oleh Nabi saw bahwa Allah berfirman:
إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلَيَّ، أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku yang paling Aku sukai adalah yang bersegera berbuka puasa” (HR. Ahmad dan Tirmidzi), sebaliknya, bisa saja kecintaan Allah itu hilang jika menunda-nunda buka puasa.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ»

Dari Anas bin Malik, ia berkata, Nabi saw berbuka puasa dengan menyantap beberapa ruthab SEBELUM melaksanakan shalat (maghrib). Jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan tamr. Jika tidak ada tamr, beliau meminum beberapa teguk air. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tiga hadis di atas sangat jelas dan gamblang menyebutkan tuntunan Rasulullah dalam berbuka puasa yaitu bersegera dan dilaksanakan sebelum shalat maghrib.

Adapun ayat di atas yang menyebutkan batas menahan makan dan minum sampai malam, dan yang dimaksud malam oleh orang Syiah adalah bukan maghrib, padahal kita semua tahu magrib adalah pertanda awal malam, dan terbenamnya matahari adalah tanda dimulainnya waktu malam.

Ini penjelasan ringkas mengenai cara orang Syiah dalam berbuka puasa yang menyelisihi manhaj dan tuntunan Rasulullah saw.

Adapun tentang shalat tarwih berjamaah yang dianggap bid’ah oleh orang Syiah, bisa dilihat bahasannya di sini. Mudah-mudahan bermanfaat.

sumber : (Muh. Istiqamah/lppimakassar.com)

Puasa Menurut Syiah........(BUKAN UNTUK DIIKUTI)




Puasa atau Tidak Saat Perjalanan?

Dalam sebuah diskusi (tidak ilmiah) dengan seorang teman di masjid sebelum memasuki bulan Ramadhan, teman saya mengatakan bahwa ketika melakukan perjalanan (safar) seperti pada zaman sekarang ini, maka seseorang tetap harus berpuasa. Alasan yang dikemukakan adalah pada zaman sekarang ini, sebuah perjalanan—dengan pesawat terbang, misalnya—dapat ditempuh dalam waktu singkat dan “nyaman”. Maka hukum membatalkan puasa saat perjalanan sudah tidak relevan.


Pengikut Syiah di Jepara
 
Selain alasan-alasan tersebut, teman saya juga berdalil dengan ayat Al-Quran. Lebih tepatnya, berdalil dengan terjemahan ayat Al-Quran Departemen Agama RI. Ayat yang dimaksud adalah: Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) di hari yang lain… dan puasa kalian lebih baik bagi jika kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Kalimat terakhir dari ayat tersebut menjadi dalil baginya bahwa jika kita tetap berpuasa saat melakukan perjalanan maka itu lebih baik. Apakah demikian?

Saya tidak tahu persis bagaimana fikih kontemporer Ahlus Sunnah menilai apakah perjalanan pada zaman sekarang yang “cepat dan nyaman” itu menggugurkan hukum keringanan untuk tidak berpuasa? Tapi yang jelas, dalam mazhab Syiah Ahlul Bait (Ja’fariah) sebuah perjalanan yang telah sesuai dengan ketentuan syar’i, terlepas dari “cepat dan nyaman”, maka wajib untuk tidak puasa. Sebagaimana ayat di atas berbunyi: Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) di hari yang lain…

Lalu bagaimana dengan potongan ayat terakhir di atas: …dan puasa kalian lebih baik bagi jika kalian mengetahui? Itu adalah terjemahan Depag dari ayat wa an tashûmû khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. Jadi dari ayat itu mereka tafsirkan bahwa ketika sakit atau perjalanan, boleh tidak puasa. Tapi kalau puasa, maka itu lebih baik.

Namun, mazhab Ahlul Bait tetap tidak menafsirkan seperti demikian. “Keringanan” untuk tidak puasa adalah dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah dan Ahlul Baitnya dengan masyhur meriwayatkan, “Bukanlah suatu ibadah (perbuatan baik) puasa dalam berpergian.” Lalu bagaimana dengan ayat tersebut? Wa an tashûmû ditafsirkan sebagai mashdar dengan jumlah, sehingga memiliki makna shiyâmukum khayrul lakum (puasa itu kebaikan bagi kalian). Kebaikan apa? La’alakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Kebaikan yang dimaksud adalah puasa menjadi salah satu timbulnya ketakwaan. Shiyâm (puasa) itu adalah khayr, khayr yang diartikan sebagai “kebaikan”.

Ayat lain yang senada adalah: Dzâlikum khayrul lakum in kuntum ta’lamûn (QS. Ash-Shaff [61]: 11). Ayat tersebut berbicara tentang jihad. Jika diterjemahkan: Itulah (jihad) yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui, maka boleh jihad boleh juga tidak jihad. Tentu ini bertentangan.

Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Dzâlikum khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9) Departemen Agama tetap menerjemahkannya: Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Jika demikian maka shalat Jumat itu lebih baik. Shalat Jumat boleh, tidak pun juga tidak apa-apa. Meninggalkan shalat Jumat baik, tapi shalat Jumat lebih baik. Tentu tidak demikian. Karena itu seharusnya Depag dapat lebih tepat menerjemahkan menjadi: Yang demikian itu merupakan kebaikan bagimu jika kamu mengetahui. Karena seluruh ibadah yang Allah tetapkan khayrul lakum (kebaikan bagi kalian). Wallâhua’lam.
Sempurnakan Puasa Hingga Malam

Dengan judul seperti di atas, saya tidak hendak mengatakan atau menyatakan batalnya puasa saudara-saudara ahlusunah. Karena masing-masing punya alasan fikihnya sendiri dalam menentukan waktu berbuka puasa. Tapi terkadang kesalahpahaman membuat orang berpikiran salah mengenai mazhab Syiah ahlulbait yang memiliki waktu berbuka puasa lebih lama dari muslim umumnya.

Misalkan saja sebuah forum diskusi ini (Al-Fikrah.net). Karena ketidaktahuan dikatakan bahwa Syiah berbuka puasa pada waktu Isya atau munculnya bintang. Lebih jauh, ketika saya berbuka puasa dengan teman-teman ahlusunah saya dianggap tidak mengikut sunah. Seorang teman mengatakan, “Padahal sunahnya kita disuruh bersegera.” Ya, perkataan itu sekilas memang benar. Tapi maksud hadis itu kita dilarang menunda kalau waktunya sudah masuk. Nah, kalau belum masuk waktu berbuka, apa artinya bersegera?

Tentu hal seperti itu bukan cuma saya saja yang mengalami. Teman-teman bermazhab ahlulbait mungkin juga pernah mengalami dilema yang sama ketika mendapat undangan buka puasa bersama dengan ikhwan ahlusunah. Buka puasa mengikuti yang lain berdasar azan magrib tentu batal karena belum masuk waktunya buka; atau memilih menunda tapi dengan perasaan “tidak enak”.

    Fatwa Ayatullah Ali Khamenei

    SOAL: Bolehkah mengikuti muslim ahlusunah berkenaan dengan waktu ifthâr (buka puasa) dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi, dan lainnya? Apa yang wajib dilakukan mukalaf bila ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyah dan tidak ada alasan syar’i untuk menerapkannya?

    JAWAB: Mukalaf tidak diperbolehkan mengikuti selain dirinya tanpa memastikan masuknya waktu berbuka puasa (ifthâr). Bila berbuka sebelum waktu Magrib yang diyakininya termasuk dalam situasi taqiyah, maka dia diperbolehkan berbuka tapi wajib mengadanya [qadha]. Ia juga tidak diperbolehkan berbuka puasa atas kehendak sendiri (sesuka hati), kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar’i (hujjah syar’iah).

Judul tulisan ini sebenarnya merupakan potongan ayat 187 dari surah Al-Baqarah: ثم أتموا الصيام إلى الليل (Kemudian sempurnakanlah puasa kalian hingga malam). Ayat tersebut dengan jelas menggunakan kata al-lail (malam). Apakah memang mayoritas umat Islam menganggap lail sama dengan ghurub (terbenam) atau ada perbedaan memahami ghurub?
Mega Merah Langit yang Masih Nampak

Rasulullah saw. bersabda, “Bila malam (al-lail) telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah tenggelam (gharabati) matahari, maka sungguh orang puasa telah berbuka.” (HR. Bukhari). Artinya, matahari harus benar-benar tenggelam dengan sempurna hingga disebut sebagai malam. Tapi apa yang terjadi sekarang, banyak yang sudah berbuka ketika langit masih cerah.

Sedangkan pemahaman ahlulbait dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far, Imam Ash-Shadiq as. berkata, “Waktu Magrib adalah bila mega merah telah hilang dari ufuk timur… hal itu karena ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat.” Imam, sambil mengangkat tangan kanannya di atas tangan kirinya, berkata, “Apabila matahari terbenam di sebelah sana maka hilanglah mega merah di sebelah sini.”

Dengan terbenamnya matahari, benar Magrib sudah masuk. Tapi, keterbenaman ini tidak dapat diketahui hanya dengan hilangnya bola matahari dari pandangan mata, melainkan dengan naiknya mega merah di ufuk timur, karena ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat. Mega merah di ufuk timur itu sebenarnya merupakan bias cahaya matahari. Semakin dalam terbenam, semakin hilang bias itu.

Tentang tuduhan bahwa Syiah menunda Magrib sampai bintang-bintang bermunculan adalah fitnah semata, sebagaimana ribuan fitnah lain telah menimpa Syiah. Imam Shadiq as. pernah diberitahu bahwa penduduk Irak menunda Magrib sampai bintang-bintang bertebaran. Imam as berkata, “Ini adalah perbuatan musuh Allah, Abul Khattab.” Wallahualam.


Niat
1. Seseorang tidak harus menuturkan niat puasa dengan lisannya seperti dengan mengatakan, “Besok saya akan berpuasa.” Cukup saja ia bermaksud puasa (dalam hatinya) untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan tidak akan melakukan hal-hal yang akan membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Tetapi untuk meyakinkan bahwa sepanjang hari itu ia berpuasa, hendaklah ia menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak dari sesaat menjelang subuh hingga sesaat menjelang maghrib. (Taudhih al-Masail, masalah 1550).2. Jika seseorang hendak berpuasa selain puasa Ramadhan, hendaklah (dalam niatnya) ia menentukan jenis puasanya, seperti “saya hendak puasa qadha atau nazar.” Tetapi pada bulan Ramadhan seseorang tidak wajib menyebutkan puasa Ramadhan (dalam niatnya). Bahkan bila ia tidak tahu atau lupa bahwa saat itu adalah bulan Ramadhan, kemudian ia berniat puasa yang lain, puasanya tetap dihitung sebagai puasa Ramadhan. (Taudhih al-Masail, masalah 1555).

3. Apabila seseorang berniat puasa untuk hari pertama Ramadhan, lalu ia tahu bahwa hari tersebut adalah hari kedua atau ketiga misalnya, puasanya tetap sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1557).

4. Jika pada bulan Ramadhan seseorang berniat puasa sebelum masuk waktu subuh, lalu ia tidur dan bangun kembali ketika waktu sudah maghrib, maka puasanya sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1560).

5. Seseorang tidak diwajibkan berpuasa pada hari syak (yaitu hari yang meragukan apakah hari terakhir Sya’ban atau awal Ramadhan). (Taudhih al Masail, masalah 1568).

6. Pada puasa wajib (seperti puasa Ramadhan), jika seseorang berpaling dari niatnya semula, maka puasanya batal. Tetapi bila ia berniat melakukan suatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa tersebut, kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka puasanya tidak batal. (Taudih al-Masail, masalah 1570).

Hal-hal yang berkaitan dengan orang sakit

1. Jika seseorang sembuh dari sakitnya sebelum waktu dzuhur dan sejak adzan subuh hingga saat sembuh ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka wajib baginya berniat puasa pada hari itu.

2. Jika ia sembuh setelah dzuhur, maka tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu. (Taudhih al-Masail, masalah 1570).

Waktu Niat

1. Seseorang dapat berniat puasa pada tiap-tiap malamnya, atau dapat pula ia berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk sebulan penuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1551)

2. Seseorang boleh berniat puasa kapan saja sejak awal malam hingga adzan subuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1568)

3. Seseorang yang tidur sebelum adzan subuh (dalam keadaan) belum berniat puasa, maka :

* Jika bangun sebelum dzuhur lalu ia berniat puasa, maka puasanya sah, baik puasa wajib maupun sunah.
* Jika ia bangun setelah dzuhur, maka puasanya dianggap tidak sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1554)

Membatalkan Puasa

Terdapat 9 (sembilan) macam hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu :
1. Makan.
2. Minum.
3. Jima’ (hubungan suami isteri).
4. Sengaja melakukan istimna’ (perbuatan yang menyebabkan mani keluar).
5. Berdusta atas nama Allah SWT, Rasul dan para Imam Ma’shum as.
6. Memasukkan seluruh bagian kepala sekaligus ke dalam air.
7. Tetap berada dalam keadaan junub, haid, dan nifas hingga adzan subuh.
8. Memasukkan sesuatu berupa cairan ke dalam tubuh melalui dubur.
9. Muntah (secara sengaja).

Qadha Puasa dan Kafarat

1. Secara sengaja membatalkan puasa dengan makan dan minum, jima, tetap berada dalam keadaan junub hingga masuk waktu subuh, menelan debu pekat, berdusta atas Nama Allah, Rasul dan para Imam as. Dan melakukan istimna. (Risalah Nuwin jilid 1 hal. 181)

2. Secara sengaja menenggelamkan seluruh bagian kepala secara sekaligus ke dalam air dan memasukkan cairan ke dalam tubuh melalui dubur, baik untuk pengobatan atau sebagai pengganti makanan. ( Risalah Nuwin jilid 1 hal. 181; Taudhih al-Masail, masalah 1658).

3. Terdapat sesuatu yang keluar dari kerongkongan sampai ke mulutnya ketika bersendawa, kemudian dengan sengaja sesuatu itu ditelannya kembali. ( Taudhih al-Masail, masalah 1671).

4. Berbuka puasa berdasarkan kabar yang diterimanya dari orang yang tidak adil bahwa waktu maghrib sudah masuk, tetapi sebetulnya waktu maghrib belum masuk, sementara ia mampu meneliti kebenaran kabar tersebut. ( Taudhih al-Masail, masalah 1673).

Apabila seseorang karena tidak tahu masalah, melakukan hal-hal yang membatalkan puasa:

1. Jika mampu mempelajari masalah tersebut, maka menurut ihtiyat wajib, wajib atasnya membayar kafarat.

2. Jika tidak mampu mempelajari masalah tersebut atau sama sekali tidak terpikir olehnya, atau ia yakin bahwa hal itu tidak membatalkan puasa, maka kafarat tidak wajib atasnya. ( Taudhih al- Masail, masalah 1659).

Kafarat Puasa Wajib:

1. Membebaskan seorang budak.
2. Melakukan puasa dua bulan secara berturut-turut (dengan syarat sebanyak 31 hari puasa dilakukan secara berturut-turut, sisanya bisa dilakukan kapan saja / tidak usah berurutan ).
3. Memberi makan kepada 60 orang fakir dengan cara memberikan 1 (satu) mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada setiap orang. Jika tidak mungkin memberikan sebanyak itu, di bolehkan memberi semampunya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1660)

Jenis Kewajiban Kafarat:

* Kafarat Jama’

1. Seseorang membatalkan puasa dengan hal-hal yang haram, menurut ihtiyat wajib, ia wajib melakukan ke tiga kafarat tersebut (membebaskan seorang budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan kepada sebanyak 60 orang fakir). (Taudhih al-Masail, masalah 1665 ).

2. Seseorang berdusta atas Nama Allah, Rasulullah saww. dan para Imam as. ( Taudhih al-Masail, masalah 1666).

3. Seseorang pada siang hari Ramadhan melakukan jima’ yang haram. (Taudhih al-Masail, masalah 1667).

4. Seseorang melakukan jima’ yang haram yang dilanjutkan dengan jima’ bersama istrinya. (Taudhih al-Masail, masalah 1669)

5. Seseorang bersendawa dan keluar darah atau makanan yang telah keluar dari kategori / bentuk makanan, kemudian sengaja ditelannya kembali secara sengaja. (Taudhih al-Masail, masalah 1671).

* Satu Kafarat:

1. Pada bulan Ramadhan berulang kali melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, termasuk berjima’ dengan istrinya (Taudhih al-Masail, masalah 1668).

2. Membatalkan puasa dengan melakukan sesuatu yang halal (misalnya minum air), dan dilanjutkan dengan sesuatu yang haram (misalkan makan daging babi).(Taudhih al-Masail, masalah 1670).

3. Bernadzar akan berpuasa pada hari tertentu, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut secara sengaja ia membatalkan puasanya.(Taudhih al-Masail, masalah 1672)

Sepuluh hal yang mewajibkan Qadha Puasa.

1. Sengaja muntah.
2. Tidur dalam keadaan junub pada malam Ramadhan, kemudian bangun dan ia mengetahui adanya kemungkinan dapat bangun kembali sebelum subuh apabila ia tidur lagi dan telah berniat mandi wajib setelah ia bangun, lalu ia tidur lagi. Ternyata ia tidak bangun hingga subuh. Begitu pula jika ia bangun dari tidur yang kedua, lalu ia tidur lagi hingga subuh .

3. Tidak berniat puasa, puasa karena riya dan beranggapan bahwa tidak ada kewajiban berpuasa, walaupun sepanjang hari ia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

4. Seseorang yang lupa mandi janabat kemudian sehari atau beberapa hari melakukan puasa dalam keadaan junub

5. Seseorang, yang tidak meneliti terlebih dulu apakah sudah masuk waktu subuh atau belum, melakukan hal yang membatalkan puasa, lalu ia tahu ketika melakukannya ternyata masuk waktu subuh.

6. Ada seseorang mengatakan pada orang lain bahwa waktu subuh belum masuk. Karena perkataan tersebut orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan puasa, kemudian ia tahu bahwa sebenarnya waktu subuh sudah masuk.

7. Ada seseorang mengatakan kepada orang lain bahwa waktu subuh sudah masuk, tetapi orang itu sendiri tidak yakin dengan perkataan orang tersebut atau mengganggapnya bercanda. Kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa, dan akhirnya ia tahu bahwa bahwa waktu subuh telah masuk.

8. Seseorang yang buta atau sejenisnya, karena mendengar perkataan orang lain (yang mengatakan bahwa maghrib telah tiba) ia berbuka, setelah itu ia baru tahu bahwa maghrib belum tiba.

9. Dalam keadaan cerah, karena suasana gelap seseorang merasa yakin bahwa waktu maghrib telah tiba kemudian ia berbuka. Setelah itu diketahuinya bahwa sebenarnya waktu maghrib belum tiba.

10. Seseorang berkumur-kumur dengan maksud berwudhu atau tanpa alasan tertentu lalu tanpa sengaja air tersebut tertelan .

Catatan:
Bila seseorang lupa bahwa dia sedang berpuasa, kemudian meminum air atau dengan maksud berwudhu ia berkumur-kumur dan tanpa sengaja airnya tertelan, maka ia tidak wajib mengqadha puasanya.

Hukum tentang Puasa Qadha.

1. Jika seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan lantaran sakit dan penyakitnya terus berlangsung hingga Ramadhan tahun berikutnya maka ia tidak wajib mengqadha puasa tersebut. Sebagai gantinya, ia harus memberikan satu mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang fakir sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya. Namun jika ia tidak berpuasa disebabkan halangan lain (seperti bepergian) dan halangan tersebut berlangsung hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya, dan ihtiyat mustahab ia (dianjurkan) memberikan satu mud makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang fakir. (Taudhih al-Masail, masalah 1702).

2. Jika seseorang menangguhkan pelaksanaan puasa qadha Ramadhan hingga lewat beberapa tahun, maka selain ia harus mengqadha puasanya juga diharuskan memberikan satu mud makanan kepada fakir miskin sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkannya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1709).

3. Anak laki-laki sulung harus mengqadhakan shalat dan puasa ayahnya yang sudah meninggal (yang ditinggalkan ayahnya ketika masih hidup.( Taudhih al- Masail, masalah 1712).

Hukum berkaitan dengan puasa Musafir (orang yang bepergian).

* Waktu berangkat

1. Jika seseorang berangkat safar (bepergian) sebelum waktu dzuhur, maka ketika sampai di batas kota/daerah, yang mana dinding kota / daerah itu tidak terlihat atau suara adzan di daerah itu tidak terdengar lagi, maka ia harus membatalkan puasanya. Tetapi jika ia sudah berbuka sebelum sampai batas kota/daerah itu, maka menurut ihtiyat wajib wajib ia harus membayar kafarat dan mengqadha puasanya. (Taudhih al-Masail, masalah 1721).

2. Jika seseorang berangkat safar setelah lewat dzuhur, maka ia harus melanjutkan puasanya. (Taudhih al- Masail, masalah 1714).

* Kembali dari safar

1. Jika seseorang musafir sebelum masuk waktu dzuhur sudah tiba kembali di kampung halamannya atau tempat yang ditinggalinya selama sepuluh hari, maka:

* Jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa, ia harus meneruskan puasanya.
* Jika telah melakukan hal yang membatalkan puasa, ia tidak wajib puasa pada hari tersebut. (Taudhih al-Masail, masalah 1722).

2. Jika seseorang musafir tiba kembali di kampung halamannya setelah waktu dzuhur, maka ia tidak boleh meneruskan puasa. (Taudhih al-Masail, masalah 1723).
_____________________________
[Fatwa Ruhullah Khomeini, Al jawad]



sumber : salahsatu blog pengikut syiah di Indonesia