Rabu, 29 Februari 2012

“10 Logika Dasar Penangkal Syiah”

Oleh: AM. Waskito

BERIKUT ini adalah 10 LOGIKA DASAR akidah Syiah bisa diajukan sebagai bahan diskusi ke kalangan Syiah dari level awam, sampai level ulama. Setidaknya, logika ini bisa dipakai sebagai “anti virus” untuk menangkal propaganda dai-dai Syiah yang ingin menyesatkan Ummat Islam dari jalan yang lurus.

Kalau Anda berbicara dengan orang Syiah, atau ingin mengajak orang Syiah bertaubat dari kesesatan, atau diajak berdebat oleh orang Syiah, atau Anda mulai dipengaruhi dai-dai Syiah; coba kemukakan 10 LOGIKA DASAR di bawah ini. Sehingga kita bisa membuktikan, bahwa ajaran mereka sesat dan tidak boleh diikuti.

LOGIKA 1: “Nabi dan Ahlul Bait”

Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda mencintai dan memuliakan Ahlul Bait Nabi?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan mencintai Ahlul Bait merupakan pokok-pokok akidah kami.” Kemudian tanyakan lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai Ahlul Bait Nabi?” Dia tentu akan menjawab: “Ya, demi Allah!”

Lalu katakan kepada dia: “Ahlul Bait Nabi adalah anggota keluarga Nabi. Kalau orang Syiah mengaku sangat mencintai Ahlul Bait Nabi, seharusnya mereka lebih mencintai sosok Nabi sendiri? Bukankah sosok Nabi Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam lebih utama daripada Ahlul Bait-nya? Mengapa kaum Syiah sering membawa-bawa nama Ahlul Bait, tetapi kemudian melupakan Nabi?”
Faktanya, ajaran Syiah sangat didominasi oleh perkataan-perkataan yang katanya bersumber dari Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak keturunan mereka. Kalau Syiah benar-benar mencintai Ahlul Bait, seharusnya mereka lebih mendahulukan Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait beliau. Syiah memuliakan Ahlul Bait karena mereka memiliki hubungan dekat dengan Nabi. Kenyataan ini kalau digambarkan seperti: “Lebih memilih kulit rambutan daripada daging buahnya.”

LOGIKA 2: “Ahlul Bait dan Isteri Nabi”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Siapa saja yang termasuk golongan Ahlul Bait Nabi?” Nanti dia akan menjawab: “Ahlul Bait Nabi adalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana dengan isteri-isteri Nabi seperti Khadijah, Saudah, Aisyah, Hafshah, Zainab, Ummu Salamah, dan lain-lain? Mereka termasuk Ahlul Bait atau bukan?” Dia akan mengemukakan dalil, bahwa Ahlul Bait Nabi hanyalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.
Kemudian tanyakan kepada orang itu: “Bagaimana bisa Anda memasukkan keponakan Nabi (Ali) sebagai bagian dari Ahlul Bait, sementara isteri-isteri Nabi tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa cucu-cucu Ali yang tidak pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait, sementara isteri-isteri yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa Fathimah lahir ke dunia, jika tidak melalui isteri Nabi, yaitu Khadijah Radhiyallahu ‘Anha? Bagaimana bisa Hasan dan Husein lahir ke dunia, kalau tidak melalui isteri Ali, yaitu Fathimah? Tanpa keberadaan para isteri shalihah ini, tidak akan ada yang disebut Ahlul Bait Nabi.”
Faktanya, dalam Surat Al Ahzab ayat 33 disebutkan: “Innama yuridullahu li yudzhiba ‘ankumul rijsa ahlal baiti wa yuthah-hirakum that-hira.” (bahwasanya Allah menginginkan menghilangkan dosa dari kalian, para ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya). Dalam ayat ini isteri-isteri Nabi masuk kategori Ahlul Bait, menurut Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan selama hidupnya, mereka mendapat sebutan Ummul Mu’minin (ibunda orang-orang Mukmin) Radhiyallahu ‘Anhunna.
LOGIKA 3: “Islam dan Sahabat”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda beragama Islam?” Maka dia akan menjawab dengan penuh keyakinan: “Tentu saja, kami adalah Islam. Kami ini Muslim.” Lalu tanyakan lagi ke dia: “Bagaimana cara Islam sampai Anda, sehingga Anda menjadi seorang Muslim?” Maka orang itu akan menerangkan tentang silsilah dakwah Islam. Dimulai dari Rasulullah, lalu para Shahabatnya, lalu dilanjutkan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, lalu dilanjutkan para ulama Salafus Shalih, lalu disebarkan oleh para dai ke seluruh dunia, hingga sampai kepada kita di Indonesia.”
Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Anda mempercayai silsilah dakwah Islam itu, mengapa Anda sangat membenci para Shahabat, mengutuk mereka, atau menghina mereka secara keji? Bukankah Anda mengaku Islam, sedangkan Islam diturunkan kepada kita melewati tangan para Shahabat itu. Tidak mungkin kita menjadi Muslim, tanpa peranan Shahabat. Jika demikian, mengapa orang Syiah suka mengutuk, melaknat, dan mencaci-maki para Shahabat?”
Faktanya, kaum Syiah sangat membingungkan. Mereka mencaci-maki para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dengan sangat keji. Tetapi di sisi lain, mereka masih mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci Shahabat, seharusnya mereka tidak lagi memakai label Muslim. Sebuah adagium yang harus selalu diingat: “Tidak ada Islam, tanpa peranan para Shahabat!”

LOGIKA 4: “Seputar Imam Syiah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda meyakini adanya imam dalam agama?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan imamah menjadi salah satu rukun keimanan kami.” Lalu tanyakan lagi: “Siapa saja imam-imam yang Anda yakini sebagai panutan dalam agama?” Maka mereka akan menyebutkan nama-nama 12 imam Syiah. Ada juga yang menyebut 7 nama imam (versi Ja’fariyyah).
Lalu tanyakan kepada orang Syiah itu: “Mengapa dari ke-12 imam Syiah itu tidak tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali? Mengapa nama empat imam itu tidak masuk dalam deretan 12 imam Syiah? Apakah orang Syiah meragukan keilmuan empat imam madzhab tersebut? Apakah ilmu dan ketakwaan empat imam madzhab tidak sepadan dengan 12 imam Syiah?”
Faktanya, kaum Syiah tidak mengakui empat imam madzhab sebagai bagian dari imam-imam mereka. Kaum Syiah memiliki silsilah keimaman sendiri. Terkenal dengan sebutan “Imam 12” atau Imamah Itsna Asyari. Hal ini merupakan bukti besar, bahwa Syiah bukan Ahlus Sunnah. Semua Ahlus Sunnah di muka bumi sudah sepakat tentang keimaman empat Imam tersebut. Para ahli ilmu sudah mafhum, jika disebut Al Imam Al Arba’ah, maka yang dimaksud adalah empat imam madzhab rahimahumullah.

LOGIKA 5: “Allah dan Imam Syiah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Siapa yang lebih Anda taati, Allah Ta’ala atau imam Syiah?” Tentu dia akan akan menjawab: “Jelas kami lebih taat kepada Allah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa Anda lebih taat kepada Allah?” Mungkin dia akan menjawab: “Allah adalah Tuhan kita, juga Tuhan imam-imam kita. Maka sudah sepantasnya kita mengabdi kepada Allah yang telah menciptakan imam-imam itu.”
Kemudian tanyakan ke orang itu: “Mengapa dalam kehidupan orang Syiah, dalam kitab-kitab Syiah, dalam pengajian-pengajian Syiah; mengapa Anda lebih sering mengutip pendapat imam-imam daripada pendapat Allah (dari Al Qur’an)? Mengapa orang Syiah jarang mengutip dalil-dalil dari Kitab Allah? Mengapa orang Syiah lebih mengutamakan perkataan imam melebihi Al Qur’an?”
Faktanya, sikap ideologis kaum Syiah lebih dekat ke kemusyrikan, karena mereka lebih mengutamakan pendapat manusia (imam-imam Syiah) daripada ayat-ayat Allah. Padahal dalam Surat An Nisaa’ ayat 59 disebutkan, jika terjadi satu saja perselisihan, kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikap Islami, bukan melebihkan pendapat imam di atas perkataan Allah.

LOGIKA 6: “Ali dan Jabatan Khalifah”

Tanyakan kepada orang Syiah: “Menurut Anda, siapa yang lebih berhak mewarisi jabatan Khalifah setelah Rasulullah wafat?” Dia pasti akan menjawab: “Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Khalifah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa bukan Abu Bakar, Umar, dan Ustman?” Maka kemungkinan dia akan menjawab lagi: “Menurut riwayat saat peristiwa Ghadir Khum, Rasulullah mengatakan bahwa Ali adalah pewaris sah Kekhalifahan.”

Kemudian katakan kepada orang Syiah itu: “Jika memang Ali bin Abi Thalib paling berhak atas jabatan Khalifah, mengapa selama hidupnya beliau tidak pernah menggugat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman? Mengapa beliau tidak pernah menggalang kekuatan untuk merebut jabatan Khalifah? Mengapa ketika sudah menjadi Khalifah, Ali tidak pernah menghujat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Ustman, padahal dia memiliki kekuasaan? Kalau menggugat jabatan Khalifah merupakan kebenaran, tentu Ali bin Abi Thalib akan menjadi orang pertama yang melakukan hal itu.”
Faktanya, sosok Husein bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma berani menggugat kepemimpinan Dinasti Umayyah di masa Yazid bin Muawiyyah, sehingga kemudian terjadi Peristiwa Karbala. Kalau putra Ali berani memperjuangkan apa yang diyakininya benar, tentu Ali Radhiyallahu ‘Anhu lebih berani melakukan hal itu.

LOGIKA 7: “Ali dan Husein”
Tanyakan ke orang Syiah: “Menurut Anda, mana yang lebih utama, Ali atau Husein?” Maka dia akan menjawab: “Tentu saja Ali bin Abi Thalib lebih utama. Ali adalah ayah Husein, dia lebih dulu masuk Islam, terlibat dalam banyak perang di zaman Nabi, juga pernah menjadi Khalifah yang memimpin Ummat Islam.” Atau bisa saja, ada pendapat di kalangan Syiah bahwa kedudukan Ali sama tingginya dengan Husein.
Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Ali memang dianggap lebih mulia, mengapa kaum Syiah membuat peringatan khusus untuk mengenang kematian Husein saat Hari Asyura pada setiap tanggal 10 Muharram? Mengapa mereka tidak membuat peringatan yang lebih megah untuk memperingati kematian Ali bin Abi Thalib? Bukankah Ali juga mati syahid di tangan manusia durjana? Bahkan beliau wafat saat mengemban tugas sebagai Khalifah.”
Faktanya, peringatan Hari Asyura sudah seperti “Idul Fithri” bagi kaum Syiah. Hal itu untuk memperingati kematian Husein bin Ali. Kalau orang Syiah konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu lebih dahsyat lagi.

Logika 8: “Syiah dan Wanita”
Tanyakan ke orang Syiah: “Apakah dalam keyakinan Syiah diajarkan untuk memuliakan wanita?” Dia akan menjawab tanpa keraguan: “Tentu saja. Kami diajari memuliakan wanita, menghormati mereka, dan tidak menzhalimi hak-hak mereka?” Lalu tanyakan lagi: “Benarkah ajaran Syiah memberi tempat terhormat bagi kaum wanita Muslimah?” Orang itu pasti akan menegaskan kembali.
Kemudian katakan ke orang Syiah itu: “Jika Syiah memuliakan wanita, mengapa mereka menghalalkan nikah mut’ah? Bukankah nikah mut’ah itu sangat menzhalimi hak-hak wanita? Dalam nikah mut’ah, seorang wanita hanya dipandang sebagai pemuas seks belaka. Dia tidak diberi hak-hak nafkah secara baik. Dia tidak memiliki hak mewarisi harta suami. Bahkan kalau wanita itu hamil, dia tidak bisa menggugat suaminya jika ikatan kontraknya sudah habis. Posisi wanita dalam ajaran Syiah, lebih buruk dari posisi hewan ternak. Hewan ternak yang hamil dipelihara baik-baik oleh para peternak. Sedangkan wanita Syiah yang hamil setelah nikah mut’ah, disuruh memikul resiko sendiri.”
Faktanya, kaum Syiah sama sekali tidak memberi tempat terhormat bagi kaum wanita. Hal ini berbeda sekali dengan ajaran Sunni. Di negara-negara seperti Iran, Irak, Libanon, dll. praktik nikah mut’ah marak sebagai ganti seks bebas dan pelacuran. Padahal esensinya sama, yaitu menghamba seks, menindas kaum wanita, dan menyebarkan pintu-pintu kekejian. Semua itu dilakukan atas nama agama. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

LOGIKA 9: “Syiah dan Politik”
Tanyakan ke orang Syiah: “Dalam pandangan Anda, mana yang lebih utama, agama atau politik?” Tentu dia akan berkata: “Agama yang lebih penting. Politik hanya bagian dari agama.” Lalu tanyakan lagi: “Bagaimana kalau politik akhirnya mendominasi ajaran agama?” Mungkin dia akan menjawab: “Ya tidak bisa. Agama harus mendominasi politik, bukan politik mendominasi agama.”
Lalu katakan ke orang Syiah itu: “Kalau perkataan Anda benar, mengapa dalam ajaran Syiah tidak pernah sedikit pun melepaskan diri dari masalah hak Kekhalifahan Ali, tragedi yang menimpa Husein di Karbala, dan kebencian mutlak kepada Muawiyyah dan anak-cucunya? Mengapa hal-hal itu sangat mendominasi akal orang Syiah, melebihi pentingnya urusan akidah, ibadah, fiqih, muamalah, akhlak, tazkiyatun nafs, ilmu, dll. yang merupakan pokok-pokok ajaran agama? Mengapa ajaran Syiah menjadikan masalah dendam politik sebagai menu utama akidah mereka melebihi keyakinan kepada Sifat-Sifat Allah?”
Faktanya, ajaran Syiah merupakan contoh telanjang ketika agama dicaplok (dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran politik. Bahkan substansi politiknya terfokus pada sikap kebencian mutlak kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap merampas hak-hak imam Syiah. Dalam hal ini akidah Syiah mirip sekali dengan konsep Holocaust yang dikembangkan Zionis internasional, dalam rangka memusuhi Nazi sampai ke akar-akarnya. (Bukan berarti pro Nazi, tetapi disana ada sisi-sisi kesamaan pemikiran).

LOGIKA 10. “Syiah dan Sunni”
Tanyakan ke orang Syiah: “Mengapa kaum Syiah sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum Syiah kepada Sunni, melebihi kebencian mereka kepada orang kafir (non Muslim)?” Dia tentu akan menjawab: “Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan orang Sunni. Kami mencintai mereka dalam rangka Ukhuwwah Islamiyyah. Kita semua bersaudara, karena kita sama-sama mengerjakan Shalat menghadap Kiblat di Makkah. Kita ini sama-sama Ahlul Qiblat.”
Kemudian katakan ke dia: “Kalau Syiah benar-benar mau ukhuwwah, mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa mereka menyerang tokoh-tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, isteri-isteri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah, Zubair, Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki, menghina, atau mengutuk tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni. Tidak pernah ada ukhuwwah atau perdamaian antara Sunni dan Syiah, sebelum Syiah berhenti menista para Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”
Fakta yang perlu disebut, banyak terjadi pembunuhan, pengusiran, dan kezhaliman terhadap kaum Sunni di Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll. Hal itu menjadi bukti besar bahwa Syiah sangat memusuhi kaum Sunni. Hingga anak-anak Muslim asal Palestina yang mengungsi di Irak, mereka pun tidak luput dibunuhi kaum Syiah. Hal ini pula yang membuat Syaikh Qaradhawi berubah pikiran tentang Syiah. Jika semula beliau bersikap lunak, akhirnya mengakui bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah sangat sulit disatukan. Dalam lintasan sejarah kita mendapati bukti lain, bahwa kaum Syiah tidak pernah terlibat perang melawan negara-negara kufar. Justru mereka sering bekerjasama dengan negara kufar dalam rangka menghadapi kaum Muslimin. Hancurnya Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, sikap permusuhan Dinasti Shafawid di Mesir, era Perang Salib di masa Shalahuddin Al Ayyubi, serta Khilafah Turki Utsmani, di atas semua itu terekam fakta-fakta pengkhianatan Syiah terhadap kaum Muslimin. Begitu juga, jatuhnya Afghanistan dan Iraq ke tangan tentara Sekutu di era modern, tidak lepas dari jasa-jasa para anasir Syiah dari Iran.
Demikianlah 10 LOGIKA DASAR yang bisa kita gunakan untuk mematahkan pemikiran-pemikiran kaum Syiah. Insya Allah tulisan ini bisa dimanfaatkan untuk secara praktis melindungi diri, keluarga, dan Ummat Islam dari propaganda-propaganda Syiah. Amin Allahumma amin.
Jika ada benarnya, hal itu semata merupakan karunia Allah Azza Wa Jalla. Kalau ada kesalahan, khilaf, dan kekurangan, itu dari diri saya sendiri. Wal ‘afwu minkum katsira, wastaghfirullaha li wa lakum, wa li sa’iril Muslimin. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wallahu a’lam bisshawaab.* [habis]

Waskito, penulis buku "Bersikap Adil pada Wahabi" 
sumber : hidayatullah.com
 

Syiah dan Kesalahpahaman “Pembelanya”

Oleh: Fahmi Salim, MA

DALAM artikelnya di Republika (27/1/2012), saudara Haidar Bagir kembali menanggapi artikel bantahan yang ditulis oleh Muhammad Baharun dan saya dengan judul "Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat (Tanggapan untuk Muhammad Baharun dan Fahmi Salim), (Republika, 27 Januari 2012). Sebelumnya, perlu disampaikan, dalam setiap munazharah (debat ilmiah) perlu ada kode etik (adabul baths). Dan salah satu kode etik yang selalu saya pegang dari Al-Azhar Mesir, -- almamater saya -- adalah kaidah yang menyatakan, “in kunta naqilan fa’alayka bil-shihhat wa in kunta mudda’iyan fa’alayka bi-d-dalil” (jika Anda menukil pendapat, maka harus benar-benar diverifikasi dan jika Anda mendakwa maka harus mendatangkan dalil).

Dalam konteks inilah, Haidar keliru. Saat menyebutkan satu-dua dakwaan atau nukilan, ia tidak menyebut sumber apalagi memverifikasi kesahihannya. Jadi harap dimaklumi. Tak bermaksud semena-mena, tetapi menaati kode etik, yang mungkin ditafsirkan lain. Ini berbeda dengan ulama salaf yang dengan amanah telah menyebutkan sanad lengkap, dan menjadi tugas peneliti selanjutnya untuk memverifikasi kebenarannya.

Pertama, masih soal Tahrif (distorsi dan ketidaklengkapan) Al-Qur’an di kalangan Syiah dan Sunnah. Saya tegaskan bahwa Ahlusunnah secara mutlak menerima keotentikan, kelengkapan dan kemutawatiran mushaf Usmani yang ada saat ini --tanpa ada pengurangan dan tambahan sedikitpun. Namun tak jarang, kalangan Syiah menuduh balik bahwa indikasi tahrif banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab hadis standar di kalangan sunnah. Saudara Haidar telah menyebutkan di antara contoh sebagiannya.

Contoh-contoh riwayat yang berbau ‘Tahrif’, yang disebut Haidar, sangat akrab di kalangan pengkaji ilmu Al-Qur’an dalam kajian Nasikh-Mansukh. Berbagai literatur seperti Al-Burhan (vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon (hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan (vol.2/154-155) karya Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali susuan yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep abrogasi) baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar tentang ayat rajam (HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam (HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan hukumnya tetap berlaku.

Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut konsep ‘Ahlusunnah’, dan menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan yang mendasar. Ulama Ahlusunnah memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, --- yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT dan hanya bisa terjadi selama Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi (Tahrif) dan ketidaklengkapan Al-Qur’an.

Nukilan dari Aisyah, seperti dikutip Haidar, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200 ayat lalu tersisa hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari sanadnya dhoif. Karena hadits itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid (penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu Lahi’ah dinilai mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya dhoif/lemah (Mizan Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab bahwa jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata seorang rawinya Al-Mubarak ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu Zur’ah dalam Al-Mudallisin (vol.1/80).

Nah, tidak seperti dikesankan Haidar bahwa fakta itu ditengarai bentuk Tahrif, lagi-lagi jika mau jujur, justru riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh tilawah (lihat hlm.336). Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat semuanya telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang hukumnya tetap berlaku meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan Ibnu Hajar Asqallani dalam Fathul Bari (vol.12/144).

Jadi kesimpulannya, riwayat-riwayat itu hanya untuk konteks nasikh-mansukh, dan bukan pembuktian terjadinya Tahrif dalam Qur’an menurut ulama sunni. Saudara Haidar sebagai pendukung Syiah seharusnya memahami masalah ini. Menyamakan atau sengaja mengaburkan konsep Naskh dengan Tahrif jelas kesalahan fatal. Jangan memaksakan cara pandang Syiah pada referensi kaum Sunni.

Selanjutnya, yang kedua, soal riwayat pengutukan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak memungkiri ‘adanya’ cerita-cerita fantastis yang tertuang dalam buku-buku tarikh yang Saudara Haidar sebutkan. Namun sekali lagi, sumber tertua pangkal dari cerita itu adalah riwayat Ibnu Sa’d dalam Thabaqat. Jika Ali Al-Madaini bisa sedikit ditolerir, namun kelemahan riwayat lebih berat karena faktor guru al-Madaini yaitu Luth ibn Yahya Al-Kufi. Dia lah yang saya maksud semua pakar dan imam hadits menilainya lemah. Al-Dzahabi dalam Siyar A'lam An-Nubala (vol.7/301-302) menulis: "Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi, penulis kitab tasnif dan tarikh, meriwayatkan dari Jabir al-Ju'fi, Mujalid ibn Sa'id, Sha'qab ibn Zuhair, dan sekelompok orang tak dikenal (majhulin)…Yahya ibn Ma'in berkata: (orang ini Luth ibn Yahya) tidak tsiqoh, Abu Hatim berkata: hadisnya ditinggalkan, Ad-Daruquthni berkata: tukang pemberi kabar yang lemah. Selain itu, Abu Mikhnaf adalah tukang berita yang rusak dan tak dipercaya. (Mizan Al-I’tidal, vol.3/409)

Mengutip riwayat Sahih Muslim dari Sahl ibn Sa’ad (no.2409) juga kurang tepat dalam konteks pengutukan. Sebab Imam Muslim justru memasukkan hadits itu dalam Bab Min Fadha’il Aly ibn Abi Thalib (Keutamaan Ali R.A.).

Memang tidak mudah menyeleksi riwayat yang tertuang dalam buku-buku sejarah, juga menganalisanya secara adil. Apalagi sering dijumpai oknum-oknum tertentu dengan motif politis memperkeruh suasana dalam setiap periode penulisan sejarah.

Penting dicatat, Ahlusunnah sepanjang sejarah tidak pernah membela, merestui dan apalagi menjadikan pengutukan terhadap para sahabat dan ahlul bait Nabi – terlebih Sayidina Ali -- sebagai akidah atau dendam kesumat yang tertanam kuat secara resmi.

Bisa dibayangkan, dengan asumsi cerita kutukan terhadap Sayidina Ali selama 70 tahun (yang diragukan kebenarannya) itu sudah sangat tercela, bagaimanakah lagi pengutukan terhadap Khalifah Abu Bakr dan Umar, serta istri Nabi yang dilestarikan lebih dari 1000 tahun–dan entah sampai kapan-?

Dalam I’tiqad Ahlusunnah, semua sahabat dan keluarga Nabi, tanpa terkecuali, adalah orang-orang mulia yang terdidik dalam madrasah nubuwwah dan berjuang bertahun-tahun menegakkan panji Islam bersama Rasulullah.

Pengorbanan nyawa, harta dan keluarga sudah tak terhitung. Mustahil rasanya, manusia-manusia yang disanjung berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, mereka sontak berubah menjadi manusia tak bermoral dan beragama seketika hanya karena rebutan tahta dunia. Kecuali jika kita hendak katakan, bahwa Rasul telah gagal total dalam dakwahnya dan Allah SWT salah karena telah memuji kualitas iman mereka. Ini sama artinya merendahkan Allah dan Rasul-Nya, Wal’iyadzu billah!

Polemik ini semoga lebih membuka wawasan umat, bahwa masih ada ganjalan-ganjalan teologis dan historis dalam hal hubungan muslim Sunni dan Syiah. Jurang perbedaan antara keduanya juga lebar baik dalam aspek ushul akidah maupun furu’ agama.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan bersama, juga demi keutuhan bangsa ini, maka benarlah ajakan Saudara Haidar agar semua elemen Syiah tidak mendakwahkan ajarannya di tengah mayoritas mutlak Sunni. Jika himbauan itu tidak diindahkan serius, terus terang saya kuatir nasib persatuan bangsa ini, dimana muslim sebagai mayoritas, akan terkoyak dan tercabik-cabik. Cukup sudah pengalaman konflik sektarian di Iraq, Libanon dan Pakistan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Sayangnya, Penerbit Mizan yang dipimpin Saudara Haidar, sejak 1983 terus-menerus menerbitkan buku berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah –sebuah dialog fiktif yang dikarang Syarafuddin Al-Musawi- yang mengandung fitnah dan penghinaan terhadap Istri Nabi Muhammad saw, terutama Aisyah R.A.

Terakhir, apa yang saya tulis ini adalah bagian dari tawashaw bil-haq dan tawashaw bil-shabr secara objektif, ikhlas, dan tajarrud pada al-haq seperti harapan Sdr. Haidar. Agar umat semakin cerdas dan dewasa. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
sumber : http://hidayatullah.com

“Menagih Janji Kaum Syiah”

Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA Hari Kamis, 19 Januari 2012, Jurnal Islamia-Republika, (hal. 23-26) – Jurnal Pemikiran Islam bulanan hasil kerjasama antara INSISTS dan Harian Republika -- menurunkan kajian utama tentang Syiah di Indonesia. Artikel saya yang dimuat di Jurnal tersebut berjudul “Solusi Damai Muslim Sunni-Syiah”.
Esoknya, Jumat, 20 Januari 2012, Kajian Islamia-Republika itu mendapatkan tanggapan dari Haidar Bagir, Dirut Penerbit Mizan – yang dikenal sebagai salah satu penerbit buku Syiah di Indonesia. Artikel Haidar di Harian Republika itu diberi judul “Syiah dan Kerukunan Umat.” Dalam artikelnya, Haidar Bagir menulis, bahwa dia setuju dengan solusi damai yang saya tawarkan:  “Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini…. Itulah jalan damai untuk  Muslim Sunni dan kelompok Syiah.

Menurut Haidar Bagir, dia pernah bertemu secara pribadi dengan Syaikh Ali Taskhiri, seorang ulama terkemuka di Iran, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Ayatullah Ali Khamenei, serta wakil Dar al-Taqrib bayn al-Madzahib (Perkumpulan Pendekatan antar-Mazhab), yang dengan tegas menyatakan: “hendaknya kaum Syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia.”
Haidar Bagir juga menyampaikan imbauan di ujung artikelnya: “Khusus untuk orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut Syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini.”
Dalam soal sikap terhadap para sahabat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) -- yang menjadi langganan caci-maki kaum Syiah, Hadiar Bagir juga menulis:

“Sementara itu, banyak ulama Syiah Imamiyah atau Itsna ’Asyariyah yang telah merevisi pandangannya tentang ini. Hasil konferensi Majma’ Ahl al-Bayt di London pada 1995, mi sal nya, dengan tegas menyatakan menerima keabsahan kekhalifah an tiga khalifah terdahulu sebelum Khalifah Ali.
Bahkan, terkait dengan skandal pengutukan sahabat besar dan sebagian istri Nabi yang dilakukan oleh oknum Syiah yang tinggal di Inggris, bernama Yasir al-Habib, Ayatullah Sayid Ali Khamenei sendiri mengeluarkan fatwa yang dengan tegas melarang penghinaan terhadap orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk Ahlus Sunnah (fatwa ini tersebar dan dapat dengan mudah diakses dari berbagai sumber). Di antara isinya adalah,
“Diharamkan menghina figur-figur/tokoh-tokoh (yang diagungkan) saudara-saudara seagama kita, Ahlus-Sunnah, termasuk tuduhan terhadap istri Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)dengan hal-hal yang mencederai kehormatan mereka ...”
  
Benarkah?

Jadi, sesuai artikel Haidar Bagir di Republika tersebut,  ada dua hal pokok yang harus dilakukan oleh kaum Syiah untuk solusi damai bagi Ahlu Sunnah dan Syiah di Indonesia, yaitu (1) menghentikan caci maki terhadap sahabat-sahabat dan istri-istri  Nabi saw dan (2) menghentikan ambisi untuk meng-Syiahkan Indonesia, seperti ditegaskan oleh seorang ulama Syiah yang dijumpai Haidar Bagir: “hendaknya kaum Syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia.”
Apakah janji yang disampaikan Haidar Bagir tersebut bisa dipenuhi kaum Syiah? Tampaknya, itu tidaklah mudah. Seperti disebutkan dalam CAP-323 lalu, sejumlah fakta di lapangan menunjukkan banyaknya penerbitan Syiah di Indonesia yang masih mengumbar caci-maki dan fitnah terhadap para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad saw. Bahkan, salah satu buku terkenal yang mencaci-maki dan menfitnah sahabat dan istri Nabi Muhammad saw adalah buku terbitan Mizan, pimpinan Haidar Bagir sendiri, yang berjudul  “Dialog Sunnah – Syiah”  karya  Syarafuddin al Musawi, (Bandung: Mizan (cetakan pertama, 1983).
Buku ini diklaim penulisnya sebagai kumpulan surat menyurat antara penulis dengan Syaikh Salim al-Bisyri al-Maliki, yang saat itu menjabat Rektor al Azhar, Mesir. Di dalamnya banyak berisi dialog yang menjelaskan antara lain: Kewajiban berpegang pada madzhab Ahlul Bait, adanya wasiat Nabi saw untuk Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai penggantinya, para sahabat tidak ma’shum (infallible) dari dosa dan kesalahan yang berimplikasi ketidakpercayaan periwayatan dari mereka, dan bahasan lain yang mendukung pemahaman Syiah.
Di buku ini, juga ditulis berbagai tuduhan bahwa Aisyah r.a. telah berbohong karena menceritakan Nabi Muhammad saw meninggal di pangkuannya, sehingga didoakan oleh penulisnya,  mudah-mudahan Allah memberikan ampunan untuk Aisyah r.a.
“Oh…., semoga Allah mengaruniakan ampunan-Nya bagi Ummul Mu’minin! Mengapa ia, ketika menggeser keutamaan ini dari Ali, tidak mengalihkannya kepada pribadi ayahnya saja! Bukankah yang demikian itu lebih utama dan lebih layak bagi kedudukan Nabi saw daripada apa yang didakwahkannya? Namun sayang ….., ayahnya – waktu itu – bertugas sebagai anggota pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, yang persiapannya telah diatur dan ditetapkan sendiri oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) ; dan pada saat itu sedang berhenti dan berkumpul di sebuah desa bernama Juruf!” (hal. 353).
Di buku ini juga dimuat cerita tentang provokasi Aisyah terhadap khalayak dengan  memerintahkan mereka agar membunuh Utsman bin Affan: “Bunuhlah Na’tsal, karena ia sudah menjadi kafir!” (Catatan: Na’tsal adalah orang tua yang pandir dan bodoh). (hal. 357). Di halaman yang sama, dimuat satu syair yang mengecam Aisyah r.a.:
“Engkau yang memulai, engkau yang merusak
Angin dan hujan (kekacauan)
Semuanya berasal darimu
    Engkau yang memerintahkan
    Pembunuhan atas diri sang Imam
    Engkau yang mengatakan
    Kini dia sudah kafir.”
   
(NB. Berbagai cercaan terhadap Aisyah r.a. tersebut saya kutip dari buku  Dialog Sunnah-Syiah, edisi Oktober 2008. Jadi, sejak 1983 buku ini terus dicetak oleh Penerbit Mizan – yang Dirutnya adalah Haidar Bagir – sampai tahun 2008. Saya tidak tahu, apakah masih ada edisi buku tersebut setelah 2008).
Itulah sebagian isi buku “Dialog Sunnah-Syiah” terbitan Mizan. Pokok-pokok bahasan di dalam buku “Dialog Sunnah-Syiah”  tersebut telah dijelaskan kekeliruannya oleh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus dalam karyanya Ensiklopedi Sunnah Syiah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, yang diterbitkan Pustaka Al Kautsar (Jakarta, 1997). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dr. Hidayat Nurwahid, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Syiah lulusan  Universitas Islam Madinah. Dalam pengantarnya, Hidayat Nurwahid memuji keseriusan Prof. as-Salus yang berhasil menunjukkan, bahwa buku karya al-Musawi, yang aslinya berjudul al-Muraja’at,  hanyalah karangan al-Musawi belaka. Alias, dialognya adalah fiktif belaka.
Bahkan, Prof. as-Salus menulis: “Tetapi al-Musawi, seorang Syiah Rafidhah yang terkutuk ini, tanpa rasa sungkan dan malu ingin menjadikan seorang Syaikh al-Azhar yang kapabel dan kredibel sebagai murid kecil dan bodoh yang menerima ilmu pertama kali dari dia.” (hal. 249).
Kaum Muslim yang mencintai Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), para sahabat beliau yang mulia, dan juga istri-istri beliau yang herhormat, pasti tidak ridho jika orang-orang yang mulia tersebut dihina, difitnah dan dilecehkan. Kita pun tidak rela jika orang yang kita hormati dan sayangi diperhinakan. Bagaimana jika yang dihina dan difitnah adalah para sahabat dan istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)? Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda: “Tidak beriman salah seorang  diantara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari dan Muslim).
Cerita bahwa Aisyah r.a. memerintahkan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan adalah tuduhan keji dan dusta. Aisyah sendiri pernah dikonfirmasi tentang adanya surat atas nama Aisyah di Medir yang memerintahkan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan r.a.  Beliau bersumpah, bahwa beliau tidak pernah menulis surat seperti itu. Banyak riwayat dari Aisyah r.a. yang sudah mengklarifikasi masalah ini. Anehnya, orang-orang Syiah tidak mau tahu, dan selalu mengutip cerita-cerita bohong tersebut. (Lihat, Tarikh Khalifah bin Khayyath, hal. 176 & Tarikh al-Madinah, Ibn Syabbah 4:1224. Semuanya ada dalam Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fil-Fitnah, karya Dr. Mahmud Umahzun, Dar Thayba, Riyadh, cet. I,  1994, vol.2/29-30. Data: Buku Fitnah Maqtal Utsman, karya Dr. Mhmmad al-Ghabban, Maktabah Obeikan, Riyadh, cet. I, 1999).
Jika Aisyah dinistakan dan difitnah, kaum Muslim tentu sangat tidak ridha. Ummul mukminin, Aisyah r.a. sangat dicintai kaum Muslimin. Beliau adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad saw wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah r.a. adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, K.H. Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Kasus buku Dialog Sunnah-Syiah terbitan Mizan ini menjadi bukti nyata, bahwa ajakan Haidar Bagir untuk kerukunan Sunnah-Syiah masih perlu dipertanyakan. Bukankah buku yang mencaci maki sahabat-sahabat dan istri Nabi tersebut sudah diterbitkan oleh Penerbit Mizan selama hampir 30 tahun?

Jalan Damai: Mungkinkah?

Menyimak berbagai penerbitan kaum Syiah – termasuk terbitan Mizan – patut dipertanyakan, mungkinkah jalan damai Sunnah-Syiah itu bisa diwujudkan? Mungkinkah kaum Syiah memenuhi imbauan dari sebagian tokoh mereka: agar tidak berambisi men-Syiahkan Indonesia dan menghentikan caci maki terhadap sahabat dan istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)?
Memang itu tidak mudah. Sebab, tampak dalam berbagai penerbitan mereka, kebencian terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman, radhiyallaaahu ‘anhum, sudah begitu mendarah daging.  Sikap Syiah terhadap para sahabat Nabi itu sangat berbeda dengan sikap kaum Sunni yang menghormati semua sahabat, apalagi KhulafaaurRasyidin, termasuk Sayyidina Ali r.a.
Saya mendapat satu brosur doa berjudul “Ziarah Asyura”, terdiri atas enam halaman. Disamping berisi doa-doa untuk para Nabi Muhammad saw dan keluarganya,  doa ini diwarnai dengan kutukan dan laknat terhadap berbagai orang. Misalnya, di halaman 5, ditulis doa laknat: “Allahummal-‘an awwala dhaalimin dhalama haqqa Muhammadin wa-Aali Muhammadin…”. (Ya Allah, laknatlah orang-orang zalim yang awal-awal, yang menzalimi hak Nabi Muhammad dan keluarganya…”).
Doa ini diakhiri dengan kutipan perkataan Imam Muhammad Al-Baqir as., yang berkata kepada Alqamah: “Jika engkau mampu berziarah kepada beliau (Imam Husein as.) setiap hari dengan membaca doa ziarah ini (ziarah Asyura) di rumahmu, maka lakukanlah itu dan engkau akan mendapatkan semua pahala (berziarah).”
Itulah petikan doa “Ziarah Asyuro” yang diedarkan di Indonesia. Siapakah yang dimaksud dengan “orang-orang zalim”  yang disebutkan telah menzalimi hak Nabi dan keluarga Nabi?  Apakah mereka Abu Bakar, Umar bi Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a., dan sebagainya?  Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, dalam buku yang disebutkan terdahulu, telah mengklarifikasi masalah ini, dengan menunjukkan adanya riwayat dari Imam Zaid bin Hasan bin Ali bin Husain Radhiyallaahu ‘anhum, bahwa dia membenarkan apa yang dilakukan Abu Bakar r.a. terhadap Fathimah dalam soal waris keluarga Nabi.  “Jika saya pada posisinya (Abu Bakar) niscaya saya akan menetapkan hukum seperti yang ditetapkannya,”  kata Imam Zaid. Diriwayatkan juga dari saudara Imam Zaid, yaitu al-Baqir, bahwa dia pernah ditanya, “Apakah Abu Bakar dan Umar menzalimi sesuatu dari hak kalian?” Ia menjawab, “Tidak, demi Dzat yang menurunkan al-Quran kepada hamba-Nya agar menjadi peringatan bagi alam semesta, sungguh kami tidak dizalimi dari hak kami meskipun seberat biji sawi.” (as-Salus, hal. 297).
Jika dicermati, polemik Ahlu Sunnah dan Syiah itu sudah berlangsung lebih dari 1.000 tahun. Apakah hal seperti ini yang diinginkan oleh kaum Syiah di Indonesia, dengan terus-menerus menebarkan kebencian kepada Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a.? Sampai kapan caci-maki semacam ini akan diakhiri? Karena itu, saya ingin mengakhiri CAP ini dengan ungkapan sama seperti dalam artikel di Jurnal Islamia-Republika (19/1/2012): “Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Masih banyak lahan dakwah di muka bumi ini – jika hendak di-Syiahkan.  Itulah jalan damai untuk  Muslim Sunni dan kelompok Syiah. Kecuali, jika kaum Syiah melihat Muslim Sunni adalah aliran sesat yang wajib di-Syiahkan!
Kita tunggu realisasi janji kaum Syiah untuk tidak men-Syiahkan Indonesia dan menghentikan caci-maki kepada para sahabat dan istri-istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)! (Walahu a’lam bil-shawab).*

Penulis, dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor. CAP Adian Husaini ini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Awalnya Dipinjami, Kemudian Diajak Mengaji


Fakta Baru Kasus Syiah Sampang

Hidayatullah.com—Berita pembakaran tempat pemondokan, yang kemudian diklaim sebagai pesantren milik Tajul Muluk, pembawa ajarah Syiah di Sampang sarat kejanggalan. 
Sebelum terjadi pembakaran yang melibatkan puluhan ribu warga masyarakat di dusun Nangkernang desa Karagayam, Kecamatan Omben, Sampang, di kediaman Kiai Tajul Muluk, hari Kamis (29/12/2011) warga sebenarnya menemui banyak kejanggalan dan merasa resah.

Keresahan dan keanehan ini dirasakan mantan tokoh masyarakat setempat. Menurut Kepala Kepala Dusun Nangkernang, Ahmad Khamsah, mengatakan, Tajul sering meminjami warga uang. Ada dugaan, uang pinjaman itu sebagai cara merekrut waga agar masuk Syiah.

“Tajul Muluk sering meminjami uang kepada penduduk. Setelah itu diminta ikut mengaji,” ujarnya kepada hidayatullah.com

Dugaan ini dibenarkan mantan pengikut Tajul, ustad Muhammad Nur (37). Menurut  pria yang pernah dua tahun ikut Tajul Muluk ini, Tajul diduga memiliki banyak dana-dana yang ditengarai berasal dari Iran.

Pria yang kini  telah telah keluar dari Syiah sejak tahun 2008 bercerita awal kegiatannya mengaji di rumah Tajul Muluk.
"Awalnya beliau (Tajul, red) mengajari saya hadits-hadits  tentang cinta Ahlul Bait. Itu dilakukan setahun pertama," ujarnya dengan mimik serius.

"Ia juga sering mengatakan, sahabat Nabi kan manusia biasa, pasti berbuat salah," lanjut Nur. Sepintas, menurutnya  itu masuk akal. Hari-hari berikutnya, pelajaran yang dia dapat makin meragukan.

"Setelah itu saya diajari do'a-do'a. Namun anehnya di dalamnya ada pelaknatan kepada Abu Bakar, Ustman dan Aisyah. Saya jadi mikir.Tertekan jiwa saya, mas."

Suatu hari ketika ia di ladang mencangkul, Tajul berdiri di samping dan mendakwahkan ajaran Syiah. Ia melaknat sahabat dan mengkafirkan Sunni.
“Kyai Tajul juga mengatakan al-Qur`an sekarang telah banyak dirubah. Karena tak tahan dengan ini, Nur akhirnya keluar tanpa pamit. Namun sejak dirinya keluar dari Syiah, ia justru dijuluki dengan panggilan buruk oleh Tajul.
"Sejak saya keluar, Tajul dan pengikutnya memanggil saya dengan sebutan Mad Naari (bahasa Arab, artinya Neraka)" ujar M. Nur.

“Dulu, saya tidak berani mengkritik keanehan-keanehan ajaran Syiah yang mengajarkan doa melaknat Abu Bakar, Umar, dan Ustman,” tambahnya.
Namun kini justru sebaliknya. Nur dan sepakat, jika Tajul Muluk berhenti menyebarkan ajaran Syiah yang selalu mencela tokoh-tokoh yang dihormati Sunni, maka pembakaran dan pengusiran itu tidaklah akan terjadi.

Sebelumnya telah diberitakan media ini, ada beberapa kejanggalan terjadi dalam kasus pembakaran pemondokan Tajul Muluk. Di mana penyebutan pesantren Syiah diyakini masyarakat terjadi setelah adanya pembakaran. Padahal, warga tak mengenal nama itu. Menariknya, penyebutan nama itu justru dilakukan sebuah media.
Selain itu, Bupati Sampang, Noer Cahya sebelumnya juga mengatakan, di kantor Depag dan Bakesbangpol Sampang  tidak pernah tercatat adanya pesantren Syiah.

Nama Pesantren Muncul Pasca Pembakaran

Fakta Baru Kasus Syiah Sampang

Hidayatullah.com—Fakta cukup mengagetkan kembali datang dari Sampang, Madura. Setelah sebelumnya, Bupati Sampang, Madura mengatakan di wilayahnya tidak tercatat pondok Syiah, beberapa nara sumber mengatakan adanya banyak kejanggalan dalam kasus ajaran Syiah Tajul Muluk yang mencuat ke media massa ini.

Salah satu kejanggalan penting adalah  nama pesantren "Misbahul Huda", yang diklaim sebagai pesantren milik Syiah asuhan Tajul Muluk baru muncul pasca pembakaran terjadi.

“Saya penduduk sini, mas. Saya tahu nama pesantren (Misbahul Huda,-red) itu dari wartawan. Diberi nama setelah dibakar, kata Roisul Hukama, adik Tajul yang sudah rujuk ke paham Sunni saat ditemui hidayatullah.com, Jumat pekan lalu.

Pendapat ini juga diakui Kepala Dusun Nangkernang, Ahmad Khamsah saat ditemui rombongan hidayatullah.com di lokasi pembakaran.

Seorang ulama Sampang mengatakan, penyebutan nama pesantren itu muncul justru dari sebuah media massa ternama di Jakarta.

Fakta lainnya adalah tempat yang menjadi sasaran massa, mirip sebuah musholla. Menurut Rois,  umumnya di Madura, langgar kecil semipermanen ini didirikan di depan atau di samping rumah, digunakan untuk shalat. Bukan masjid atau pesantren.

“Saya sebut itu markas,” kata Rois.

“Bahkan terkadang juga dibuat gudang, “ ujar KH. Ali Karrar Sinhaji, Pimpinan PP Daruttauhid, Desa Lenteng, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan Madura.

Hanya masalah menjadi lain, ketika media besar menyebut ada sebuah pesantren dibakar.

Bupati Sampang, Noer Cahya sebelumnya juga sudah mengatakan, tidak pernah tercatat adanya pesanten Syiah di Sampang. “Di kantor Depag, di Bakesbangpol tidak terdaftar satu pesantren pun yang didirikan oleh Tajul Muluk,” katanya kepada hidayatullah.com tengah bulan lalu. 

Lantas untuk tujuan apa dimunculkan nama pesantren Syiah Sampang, jika namanya saja tak tercantum dalam daftar Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) dan Depag?

Selasa, 28 Februari 2012

MUI Jatim: Mumpung Masih Kecil, Syiah Harus Dilarang

Hidayatullah.com--Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur, KH. Abdusshomad Bukhori menyeru agar dikeluarkan larangan Syiah di Indonesia. Hal itu dikatakannya kepada para wartawan usai pertemuan dengan pengurus MUI Pusat di Jakarta, 24/1, siang tadi.
Katanya, perbedaan Syiah dengan mayoritas umat Islam sunni di Indonesia mulai dari yang pokok (usul) hingga yang cabang (furu'). Perbedaan itu  mulai dari rukun Islam dan rukun iman. Mereka meyakini al-Qur`an saat ini palsu, syahadatnya beda, cara ibadanya juga beda.
"Mumpung masih kecil, larang Syiah di Indonesia," kata Bukhori, walau dia mengakui perkembangan Syiah di negeri ini sudah semakin pesat dan membesar.
Ketua MUI Pusat, Ma'ruf Amin mengatakan, fatwa MUI Jatim yang menyatakan aliran Syiah sebagai ajaran sesat dan menyesatkan merupakan masukan yang sangat berharga.
Katanya, MUI Pusat telah melakukan kajian literatur soal potensi bahaya Syiah, dan potensi-potensi bahaya itu telah terbukti oleh temuan-temuan MUI Jatim di lapangan.
Dalam pertemuan tersebut, turut hadir sekitar 27 kiai dan tokoh agama dari Jawa Timur, khususnya para kiai dari Madura. Di antara mereka hadir pula Rois Al Hukama, seorang mantan Syiah yang juga adik tokoh Syiah di Sampang, Tajul Muluk.
Ketua MUI, Umar Shihab, yang biasanya sering membela Syiah, tidak banyak bicara dalam pertemuan itu. "Beliau diam saja," kata KH. Cholil Ridwan, yang juga salah satu Ketua MUI Bidang Dakwah Khusus, kepada www.hidayatullah.com.*

Pelajaran dari Kasus Syi’ah di Sampang

Oleh: Dr. Adian Husaini
KASUS pembakaran rumah dan pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Desember 2011, membelakkan mata banyak orang. Peristiwa itu begitu mengejutkan, karena selama ini di berbagai media massa diceritakan, bahwa ulama dan warga Sampang yang mayoritasnya NU adalah orang-orang Muslim moderat, tidak radikal, anti-kekerasan, dan sebagainya. Gambaran itu tidak keliru. Sebab, memang warga NU atau kaum Muslim yang mayoritasnya adalah pengikut Ahlu Sunnah wal-Jamaah, memang cinta perdamaian. Ahlu Sunnah wal-Jamaah adalah ajaran yang tidak berlebihan dalam agama (ghuluw). Tetapi, mengapa kaum Ahlu Sunnah itu sampai bertindak keras dan tegas terhadap Syiah?

Saya mendengar peristiwa Sampang itu dari berita di radio. Ketika itu pejabat setempat mengatakan, bahwa konflik yang muncul itu murni urusan keluarga. Konflik antara kakak dan adik. Namun, pernyataan pejabat itu segera dimentahkan oleh berbagai fakta yang terungkap kemudian. Bahwa, kasus Sampang adalah akumulasi dari kejengkelan ulama dan umat Islam di sana terhadap penyebaran paham Syiah di Sampang dan Madura pada umumnya.
Kasus Syiah di Sampang, Madura ternyata  memiliki akar masalah yang panjang. Kasus ini sudah berlarut-larut selama bertahun-tahun.  Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura telah mengeluarkan pernyataan bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul Muluk Ma’mun di Madura – yang rumah dan mushallanya dibakar massa tahun 2012 ini -- tergolong Syi’ah Ghulah (Rafidlah). Salah satu ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah ajaran yang melecehkan para sahabat NabiMuhammad yang mulia.
Dalam pernyataannya, para ulama Madura itu mengutip isi salah satu Kitab Syiah,  Haqqul Yaqin hal:519 karangan Moh. Baqir Al-Majlisi, yang menyebutkan:
(وعقيدتنا في التبرء أننا نتبرأ من الأصنام الأربعة أبي بكر وعمر وعثمان ومعاوية، والنساء الأربع عائشة وحفصة وهند وأم حكم، ومن جميع أتباعهم وأشياعهم، وأنهم شر خلق الله على وجه الأرض، وإنه لايتم الإيمان بالله ورسوله والأئمة إلا بعد التبرء من أعدائهم)
Artinya: “Kepercayaan kami mengenai tabarru’ ialah bahwa kami berlepas diri empat berhala (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Mu’awiyah) serta empat orang wanita (Aisyah, Hafshah, Hindun dan Ummu Hakam) serta semua pengikut mereka dan golongan mereka. Mereka adalah makhluq Allah yg paling jahat di muka bumi. Sesungguhnya tidaklah sempurna keimanan kepada Allah, Rasul-Nya dan para imam kecuali jika seseorang telah melepaskan diri dari musuh-musuh mereka”.

Para ulama Madura itu mengimbau, agar umat Islam secara umum,  dan masyarakat Madura secara khusus, menghindarkan diri dari kelompok Syiah ini dan selalu berwaspada dari tipu muslihat mereka. “Bahwa kami menghimbau kepada Pemerintah agar melarang aliran tersebut serta menghapus hingga akar-akarnya,” begitu imbauan para ulama  Madura.
Adanya pernyataan ulama-ulama Madura itu membuktikan, bahwa kasus Syiah di Sampang, sudah bertahun-tahun menjadi duri dalam daging di Madura. Kasus ini tidak segera diselesaikan, sehingga “bara dalam sekam” itu akhirnya meledak, dan mengagetkan banyak orang. Muncullah opini seolah-olah kelompok Syiah di Indonesia tidak mendapatkan hak kebebasan beragama dari kaum Muslim Indonesia; seolah-olah mereka terzalimi.
Masalah Sampang ini tentu memerlukan kajian dan penelitian yang serius. Akan tetapi, yang jelas adalah bahwasanya, di Indonesia, kelompok Syiah terbukti sangat agresif dalam menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Ini sulit dipisahkan dari sejarah kelahiran kelompok Syiah itu sendiri, yang menganggap hak kekhalifahan Ali r.a. dirampas oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Tidak heran, jika ketiga sahabat utama Rasulillah saw itu sering menjadi bulan-bulanan caci maki kaum Syiah.
Begitu pula ummul mukminin, Aisyah r.a. yang sangat dicintai kaum Muslimin tak lepas dari berbagai fitnah dan cemoohan kaum Syiah. Padahal, Aisyah adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad saw wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah r.a. adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, KH Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Jadi, keutamaan Aisyah r.a. sudah begitu masyhur dan disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. Sangat wajar, jika kaum Muslim akan terluka hatinya jika wanita yang sangat mulia dan agung ini dicaci-maki.
*****
Di Indonesia, berbagai penerbitan kaum Syiah juga sulit menyembunyikan caci-maki terhadap para sahabat dan istri Nabi yang mulia tersebut. Padahal, dalam buku-buku tersebut, kadangkala disebutkan, bahwa penulis buku Syiah itu  mengaku ingin membangun persaudaraan dengan kaum Muslim Sunni. Sebut satu contoh, buku berjudul The Shia, Mazhab Syiah, Asal-usul dan Perkembangannya karya Hashim al-Musawi (Jakarta: Lentera, 2008). Secara halus, buku ini juga mendiskreditkan Abu Bakar dan Umar r.a. Misalnya, dalam hal pencatatan sabda Nabi Muhammad saw.
“Sumber-sumber historis mengindikasikan beragam pendapat berbeda mengenai penulisan kata-kata Nabi. Para Imam Ahlulbait Nabi yakin perlunya menulis atau mencatat kata-kata Nabi dan menjaganya dari hilang atau didistorsi. Imam Ali beserta putranya, al-Hasan, memerintahkan pencatatan sabda Nabi dan pendokumentasian sumber-sumbernya. Menurut ad-Dailami, Imam Ali berkata: “Bila kamu mencatat sebuah sabda, sebutkan juga sumbernya.” (Catatan kaki: Hasan ash-Shadr, asy-Syiah wa Finun al-Islam). Imam Ali sendiri mencatat sabda-sabda Nabi dalam sebuah surat gulungan, dan surat gulungan ini diwarisi oleh para imam keturunan Imam Ali.
Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar melarang pencatatan sabda Nabi, dan para penguasa Umayah juga memberlakukan larangan ini sampai Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan mengirim pesan berikut ini kepada warga Madinah: Carilah sabda-sabda Nabi, dan kemudian catatlah, karena aku khawatir sabda-sabda beliau akan hilang secara perlahan, dan orang-orang yang ingat sabda-sabda beliau akan meninggalkan dunia ini. Ibn Syuaib az-Zuhri adalah orang pertama yang mencatat sabda-sabda Nabi, dan setelah itu bermunculan banyak koleksi sabda Nabi.” (Catatan kaki: Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari be Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi, ed. Ke-4, 1408 (1988)).
Beginilah cara Syiah dalam menista Abu Bakar dan Umar r.a. Seolah-olah dalam masalah hadits, Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang berkhianat pada Rasulullah saw. Na’udzu billahi min dzalika.
*****
Cara kelompok Syiah dalam mengkritik kaum Sunni dalam soal ilmu hadits semacam itu tentu saja tidak fair dan tidak sesuai dengan keilmuan. Bahkan, beberapa hal  merupakan fitnah. Sebab, faktanya tidaklah seperti itu. Kitab Shahih Bukhari adalah kumpulan hadits shahih yang tertinggi nilainya. Ulama-ulama hadits mengakui hal itu. Kitab itu disusun Imam Bukhari selama 16 tahun dan telah disyarah oleh 82 ulama. Karena ketelitian yang sangat ketat, para ulama menempatkan Kitab Shahih Bukhari dalam peringkat pertama dalam peringkat keshahihan hadits. (Lihat, Suyitno, Studi Ilmu-ilmu Hadits, (Palembang: IAIN Raden Patah Press, 2006), hal. 242-243).
Masalah pencatatan hadits Nabi Muhammad saw di kalangan sahabat Nabi juga sudah dibahas dengan sangat mendalam oleh Dr. M. Musthafa al-A’zhami dalam bukunya, “Studies in Early Hadits Literature” (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000). Dalam buku yang merupakan disertasi doktornya di Cambridge University ini, al-A’zhami menunjukkan data adanya 50 sahabat Nabi yang melakukan pencatatan hadits. Termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab r.a. Berita tentang Abu Bakar yang membakar kumpulan haditsnya diragukan keabsahannya oleh adh-Dhahabi. Bukti lain yang meragukan riwayat pembakaran hadits tersebut adalah bahwasanya, Abu Bakar sendiri mengirim surat kepada ‘Amr bin al-Ash, yang memuat sejumlah ucapan Rasulullah saw.  Surat senada yang mengandung hadits Nabi juga dikirim Abu Bakar kepada Gubernur Anas bin Malik di Bahrain.
Riwayat tentang kasus pembakaran hadits oleh Umar bin Khathab juga diragukan kebenarannya. Al-A’zhami menelusuri tiga jalur riwayat berita tersebut, dan dia menemukan, semuanya mursal.  Artinya, rangkaian cerita itu terputus, tidak sampai pada Umar bin Khathab. Juga, faktanya, Umar bin Khathab mengirimkan Ibn Mas’ud dan Abu Darda’ sebagai guru ke Kufah, padahal keduanya dilaporkan memiliki catatan hadits  sebanyak 848 dan 280 buah. Umar sendiri juga terbiasa mengutip hadits-hadits Nabi  dalam surat-surat resminya sebagai kepala negara. (hal. 34-60).
Jadi, tuduhan kelompok Syiah akan kejahatan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab r.a. yang – katanya – menghalang-halangi pencatatan hadits Nabi perlu dijernihkan.Tuduhan semacam itu sangatlah tidak bersahabat dan keterlaluan.
Tahun 2009, sebuah kelompok penyebar Syiah bernama IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) juga menerbitkan sebuah buku berjudul “40 Masalah Syiah”.  Buku ini diedit oleh Jalaluddin Rakhmat, seorang pegiat paham Syiah yang terkenal. Buku ini, katanya, ditulis dengan tujuan untuk: “tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.”  Itu tujuan yang tertulis dalam sampul belakangnya. Tetapi, jika disimak isi bukunya, buku ini justru mengejek dan melecehkan kaum Muslim Indonesia yang Sunni.
Betapa tidak!  Lagi-lagi, buku semacam ini juga tak bisa lepas dari caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan. Padahal kaum Muslim sangat menghormati Ali r.a. dan Ahlulbait. Fakta sejarahnya, Ali bin Abi Thalib pun tidak mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, juga Aisyah r.a.
Dalam bab berjudul “Syiah Melaknat Sahabat” disebutkan, bahwa Syiah tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. Salah satu cara menggambarkan buruknya perilaku Utsman bin Affan adalah penghormatannya kepada al- Hakam bin abi al-ash. Padahal, orang ini sudah dilaknat Rasulullah saw. “Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat anaknya sebagai orang kepercayaannya.” (hal. 89). 
“…dan menurut al-Quran Allah melaknat orang yang menyakiti Rasulullah saw,maka Syiah melaknat orang-orang yang menyakiti Fathimah a.s.” (hal. 90). Lalu, diceritakan, bahwa Fathimah pernah kecewa kepada Abu Bakar r.a. dan tidak berbicara dengannya sampai akhir hayatnya. Ketika ia wafat, suaminya memakamkannya di malam hari dan tidak mengizinkan Abu Bakar untuk menshalatkannya. (hal. 195).
Buku ini pun memaparkan bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh Abu Bakar r.a. seperti: Menghapus hak “muallafatu qulubuhum” dan melarang penulisan hadits dan membakarnya. Sedangkan bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh Umar bin Khathab antara lain: Menentang Rasulullah saw untuk menuliskan wasiatnya dan melarang nikah mut’ah. (hal. 235).
Sebagaimana dalam kasus pencatatan hadits, tuduhan-tuduhan kelompok Syiah terhadap Utsman bin Affan juga sangat berlebihan. Kadangkala fakta ditafsirkan lain, sehingga seolah-olah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. telah melakukan  persekongkolan jahat melawan Nabi. Ibnul Arabi, dalam Kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim,  menjelaskan, kasus al-Hakam terkait dengan kesaksian Utsman r,a., bahwa Rasulullah saw telah memberikan izin kepada al-Hakam untuk kembali ke Madinah. Tetapi, Abu Bakar dan Umar tidak menerima saksi lain selain dari Utsman bin Affan, sehingga permintaan Utsman ditolak. Tetapi tidak diberitakan, saat menjadi Khalifah, Utsman menyambutnya dengan segala kemuliaan. Mengutip Ibn Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah,  Dr. Muhammad al-Ghabban menjelaskan melalui bukunya, Kitab Fitnah Maqtal Utsman,  bahwa semua riwayat tentang pengusiran Hakam adalah mursal, jadi sanadnya lemah.
Fitnah kaum Syiah di Indonesia juga pernah dilakukan melalui penerbitan buku Dialog Sunnah – Syiah karya  Syarafuddin al Musawi, (Bandung: Mizan (cet.1, 1983). Buku ini diklaim penulisnya sebagai kumpulan surat menyurat antara penulis dengan Syaikh Salim al-Bisyri al-Maliki, yang saat itu menjabat Rektor al Azhar, Mesir. Di dalamnya banyak berisi dialog yang menjelaskan antara lain: Kewajiban berpegang pada madzhab Ahlul Bait, adanya wasiat Nabi saw untuk Ali bin Abi Thalib r.a. sebagai penggantinya, para sahabat tidak ma’shum (infallible) dari dosa dan kesalahan yang berimplikasi ketidakpercayaan periwayatan dari mereka, dan bahasan lain yang mendukung pemahaman Syiah.
Pokok-pokok bahasan di dalam buku tersebut telah dijelaskan kekeliruannya oleh Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus dalam karyanya Ensiklopedi Sunnah Syiah, Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, yang diterbitkan Pustaka Al Kautsar (Jakarta, 1997). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dr. Hidayat Nurwahid, yang juga dikenal sebagai pakar tentang Syiah lulusan  Universitas Islam Madinah. Dalam pengantarnya, Hidayat Nurwahid memuji keseriusan Prof. as-Salus yang berhasil menunjukkan, bahwa buku karya al-Musawi, yang aslinya berjudul al-Muraja’at,  hanyalah karangan Abdul Husein al-Musawi. Alias, dialognya adalah fiktif belaka.
*****
Begitulah, mungkin, karena kebencian yang luar biasa terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman, maka kelompok Syiah – termasuk di Indonesia – tidak dapat menyembunyikan syahwat mereka untuk mencerca para sahabat Nabi yang mulia tersebut.  Itulah fakta ajaran Syiah yang disebarkan di Indonesia melalui berbagai penerbitan mereka.  Jika manusia-manusia yang begitu mulia dan dihormati oleh kaum Muslim – seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Aisyah r.a. -- dicerca dan diperhinakan oleh kaum Syiah, apakah umat Islam bisa terima?
Ulama dan tokoh sufi terkemuka, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, dalam kitabnya, al-Ghunyah Lithaalibi Thariqil Haq, menguraikan kesesatan ajaran Syiah dan memberikan penjelasan terhadap keabsahan kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab,  Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.  Mereka semua adalah pemimpin yang mulia yang dikaruniai petunjuk Allah SWT (al-khulafa al-rasyidun).  Terhadap konflik yang pernah terjadi di masa sahabat-sahabat Nabi itu, Syeikh Abdul Qadir al-Jilani mengimbau:
“…Sehingga masing-masing merasa memiliki  pena’wilan yang benar menurut versi mereka.  Jadi lebih baik kita mencegah diri untuk tidak mengusik-usik hal tersebut dan menyerahkannya kepada Allah sebagai hakim yang paling bijak dan wasit yang paling baik, sembari menyibukkan  diri dengan  aib kekurangan kita sendiri dan menyucikan hati kita dari dosa-dosa induk serta membersihkan zahir penampilan kita dari hal-hal yang membahayakan.” (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Buku Pintar Akidah Ahlusunnah Waljamaah, (Terj.), (Jakarta: Zaman, 2011). .
Kaum Muslim sangat mencintai Nabi dan para sahabat yang mulia. Tidak seyogyanya, ada orang yang menyimpan dendam abadi kepada manusia-manusia terbaik  yang dididik oleh Rasulullah sendiri. Bahkan, Abu Bakar, Umar bin Khathab adalah mertua Rasulullah saw. Sementara Utsman bin Affan adalah menantu Rasulullah saw.  Kaum Muslim yang masih memiliki kesadaran keimanan, tentu tidak ridho jika para sahabat Nabi yang mulia itu difitnah dan dicaci-maki.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari sudah banyak mengupas masalah Syiah, seperti disebutkan dalam  "Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, "Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.
Di ketiga kitab itu, Kyai Hasyim sangat gamblang memberikan kritik-kritik terhadap ajaran Syi’ah. Menurutnya, baik Syi’ah Imamiyah maupun Zaidiyyah adalah mazhab yang tidak benar. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi,  hal.7,  Kyai Hasyim mengkritik golongan yang mencaci -- bahkan mengkafirkan -- sahabat Nabi saw. Menurutnya, orang atau kelompok yang mengecam para sahabat termasuk ahli bid’ah dan sesat.  Berbagai bukti, dari dulu hingga kini, Syiah memang tidak henti-hentinya memberikan cacian terhadap sahabat-sahabat Nabi utama seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab dam Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhum.
Padahal, Nabi saw bersabda: ”Janganlah kau menyakiti aku dengan cara menyakiti ‘Aisyah”. “Janganlah kamu caci maki sahabatku. Siapa yang mencaci sahabatku, maka dia akan mendapat laknat Allah SAW, para malaikat dan sekalian manusia. Allah tidak akan menerima semua amalnya, baik yang wajib maupun yang sunnah.” Juga hadits Nabi saw:  “Apabila telah nampak fitnah dan bid’ah pencacian terhadap sahabatku, maka bagi orang alim harus menampakkan ilmunya. Apabila orang alim tersebut tidak melakukan hal tersebut (menggunakan ilmu untuk meluruskan golongan yang mencaci sahabat) maka baginya laknat Allah, para malaikat dan laknat seluruh manusia.” (Lebih jauh, pendapat KH Hasyim Asy’ari tentang Syiah, lihat artikel Bahrul Ulum di Jurnal Islamia Republika, 19 September 2012).
Jadi, sungguh, sangat disesalkan, kelopok Syiah di Indonesia, tidak mampu mengubur dendam sejarah yang sudah terelihara ratusan tahun itu?.*
Penulis, dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor. Tulisan ini kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Senin, 27 Februari 2012

Akhlak Kang Jalal (4)

Sekali lagi Prof Dr Jalaludin Rahmat ingin memfitnah Utsman bin Affan, padahal kedua istri sahabat Utsman adalah ahlulbait, putri Nabi tercinta, Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Ada beberapa poin tuduhan Prof Dr Jalaludin Rahmat pada Utsman bin Affan. Kita telah membahas dua poin tuduhan, kali ini kita akan bahas satu lagi tuduhan dan fitnah keji pada Utsman.

Dalam bukunya “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih”, Prof Dr Jalaludin Rahmat menuduh Utsman melakukan pembaruan hukum, yaitu merubah hukum yang sudah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Dalam dua makalah sebelumnya, tuduhan itu terbukti dusta. Kali ini kita akan menemukan lagi kedustaan pembaruan hukum, seperti tuduhan Prof Dr Jalaludin Rahmat.

Seperti diketahui oleh penganut ahlussunnah kelas 5 SD, berdusta adalah akhlak tercela, memfitnah orang adalah tercela. Tapi bagi Profesor Doktor syiah, berdusta dan memfitnah adalah akhlak mulia. Jika itu adalah akhlak tercela, mana mungkin seorang Profesor Doktor melakukannya. Tapi itulah akhlak Profesor Doktor syiah.

Pada halaman 169 di buku “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih”, Prof Dr Jalaludin Rahmat berkata:

Utsman ibn Affan membolehkan “menikahi” dua orang wanita bersaudara dari antara buadak belian sekaligus. Ali ibn Abi Thalib mengharamkannya.

Ada footnote nomor 24 di akhir kalimat. Kita melihat ke footnote, referensi Prof Dr Jalaludin Rahmat adalah : AL Muwaththa’, Sunan Al Baihaqi, Ahkamul Qur’an lil Jashshash, Al Muhalla, Tafsir Az Zamahsyari, Tafsir AL Qurthubi, Tafsir Al Khazin, Ad Durr Al Mantsur, dan Tafsir As Syaukani.

Benarkah tercantum demikian di Al Muwaththa’?

Kita lihat bersama:


عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ عَنِ الأُخْتَيْنِ مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ هَلْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا فَقَالَ عُثْمَانُ أَحَلَّتْهُمَا آيَةٌ وَحَرَّمَتْهُمَا آيَةٌ فَأَمَّا أَنَا فَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَصْنَعَ ذَلِكَ. قَالَ فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ فَلَقِىَ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَوْ كَانَ لِى مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ ثُمَّ وَجَدْتُ أَحَدًا فَعَلَ ذَلِكَ لَجَعَلْتُهُ نَكَالاً. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أُرَاهُ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ.

Dari Malik dari Ibnu Syiab dari Qabishah bin Dzu’aib bahwa seseorang bertanya pada Utsman tentang dua wanita bersaudara yang menjadi budak, apakah boleh menggauli keduanya? Utsman menjawab: ada ayat yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan, sedangkan saya maka saya tidak mau melakukan itu. Lalu orang itu pergi dari tempat Utsman, lalu bertemu seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam lainnya, dan bertanya padanya tentang hal tadi, lalu sahabat tadi menjawab: jika saya memiliki kekuasaan, lalu saya menemukan orang yang melakukan itu, maka akan kusiksa dia. Ibnu Syihab berkata: dia adalah Ali bin Abi Thalib.

Redaksi yang sama juga ditemukan dalam Sunan Al Baihaqi.

Dalam Ad Durr Al Mantsur :

dari Qais berkata: aku bertanya pada Ibnu Abbas: apakah seorang boleh menggauli budak wanita dan anaknya sekaligus? Dia menjawab: ada ayat yang menghalalkan, dan ada ayat yang mengharamkan, tapi aku tidak melakukannya.

Dari Abd bin Humaid, dari Ibnu Abbas, mengenai ayat : dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, An Nisa 23, Ibnu Abbas berkata: ini untuk perempuan merdeka, sedangkan untuk budak tidak mengapa.

Ibnu Mas’ud juga membolehkan, ada riwayat juga dari Abd bin Humaid, Ibnu Abi Hatim dan Thabrani.

Ali juga berpendapat sama seperti Utsman,  dalam durr al mantsur:

وأخرج ابن أبي شيبة والبيهقي من طريق أبي صالح عن علي بن أبي طالب قال في الأختين المملوكتين : أحلتهما آية وحرمتهما آية ، ولا آمر ولا أنهى ، ولا أحل ولا أحرم ، ولا أفعله أنا ولا أهل بيتي .

Dari Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi, dari jalan Abu Shalih dari Ali bin Abi Thalib berkata tentang dua budak wanita yang bersaudara: ada ayat yang menghalalkan, dan ada ayat yang mengharamkan, aku tidak menyuruh dan tidak melarang, tidak menghalalkan dan tidak mengharamkan, aku dan keluargaku tidak melakukannya.

Al Qurthubi menyebutkan bahwa At Thahawi dan Ad Daru Quthni meriwayatkan bahwa Ali berpendapat seperti pendapat Utsman.

Dari riwayat-riwayat di atas, bisa kita ketahui bahwa apa yang disebut oleh Profesor Doktor Jalaludin Rahmat adalah fitnah belaka. Tidak ada pembaruan. Yang ada adalah para sahabat berbeda pendapat terhadap masalah yang ada dalilnya, di mana satu ayat membolehkan, dan satu ayat mengharamkan.

Jika memang Profesor Doktor Jalaludin Rahman memfitnah bahwa Utsman membolehkan, maka Ibnu Abbas, yang juga sepupu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, juga membolehkan. Artinya tidak ada pembaruan seperti yang difitnahkan oleh Profesor Doktor Jalaludin Rahmat.

Dan kita lihat dalam Al Muwaththa’, ternyata Ali bin Abi Thalib berpendapat sama dengan Utsman. Jika dengan itu Profesor Doktor Jalaludin Rahmat menganggap Utsman melakukan pembaruan, mestinya Ali juga dianggap melakukan pembaruan.
sumber : hakekat.com

Akhlak Kang Jalal (3)


Prof Dr Kang Jalal ingin membuat kesan jelek pada Utsman bin Affan. Untuk memuluskan tujuannya, dia melakukan segala cara, salah satunya menuduh Utsman melakukan pembaruan hukum Islam, yaitu merubah hukum yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Masih dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih, Prof Dr Kang Jalal mengatakan pada halaman 169, dalam bab Fikih Penguasa :

Utsman juga melakukan banyak pembaruan dalam fikih Islam:
Membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan istrinya tanpa mengeluarkan mani.

Prof Dr Kang Jalal merujuk ke Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Kesan yang nampak,  bahwa sahabat Usman membuat hukum itu, yang mana sebelumnya yang diamalkan oleh kaum muslimin, dan diajarkan oleh Nabi adalah sebaliknya, yaitu wajib mandi bagi yang bercampur dengan istrinya walau tanpa mengeluarkan mani.

Di sini muncul pertanyaan, benarkah Utsman membuat pembaruan dalam hukum bercampur dengan istri tanpa mengeluarkan mani?

Dalam artian benarkah hukum yang berjalan sebelumnya bahwa orang yang bercampur dan tidak mengeluarkan mani wajib mandi, lalu Utsman membuat pembaruan dan tidak mewajibkan mandi?

Ini kesan yang nampak dari cerita Prof Dr Kang Jalal. Dalam catatan referensi Prof Dr Kang Jalal menuliskan referensi dari Shahih Bukhari dan Muslim. Di sini jelas sekali bahwa Prof Dr Kang Jalal hendak mengesankan bahwa Shahih Bukhari dan Muslim memuat keterangan seperti yagn dimaksud oleh Prof Dr Kang Jalal, yaitu Utsman membuat pembaruan hukum.

Anda akan membayangkan bahwa dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat riwayat bahwa Utsman mengumpulkan semua sahabat, lalu berkhotbah di masjid mengumumkan pembaruan ini, seperti layaknya amandemen undang-undang, atau ada orang bertanya dan Utsman mengatakan:

dulu kalian perlu mandi walau tanpa mengeluarkan mani, namun sekarang aku ganti hukumnya, jadi tidak perlu mandi. Ini yang terbayang ketika ada referensi perubahan itu dari Bukhari Muslim.

Dan satu hal lagi, yang melakukan perubahan adalah Utsman sendiri, inisiatif dari Utsman sendiri.

Mari kita lihat ke TKP, ke shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Ketika melihat ke shahih bukhari dan muslim, anda tidak akan mendapati riwayat Utsman melakukan pembaruan.

Apa yang kita dapatkan? Utsman hanya menyampaikan sabda Nabi. Dan begitu melihat judul bab tempat hadits itu berada, kita langsung bisa tahu apa isi hadits-hadits yang ada di dalamnya.


Pada Shahih Muslim Hadits yang dimaksud oleh Prof Dr Kang Jalal ada dalam Kitab Haidh dalam bab : Innamal Maa’u minal Maa’I, artinya, air adalah dari air, maksudnya adalah mandi adalah dari keluar air mani. Ada beberapa hadits sebelum hadits riwayat Utsman yang dimaksud oleh Prof Dr Kang Jalal.

فَقَالَ عِتْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يُعْجَلُ عَنِ امْرَأَتِهِ وَلَمْ يُمْنِ مَاذَا عَلَيْهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ ».

Itban berkata : Wahai Rasulullah , bagaimana jika seseorang tergesa-gesa, bercampur dengan istrinya dan tidak mengeluarkan mani, apa yang harus dilakukan? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   bersabda : air adalah dari air.

Maksudnya, mandi adalah akibat keluar air mani. Kita lihat yang ditanya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Jika ini dianggap sebagai sebuah pembaruan, maka yang membuat pembaruan adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tapi bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah penyampai syareat?

Kita lihat hadits berikutnya:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ ».

Dari Abu SA’id Al Khudri, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: air adalah dari air.

 عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُصِيبُ مِنَ الْمَرْأَةِ ثُمَّ يُكْسِلُ فَقَالَ « يَغْسِلُ مَا أَصَابَهُ مِنَ الْمَرْأَةِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى ».

Dari Ubayy bin Ka’ab, aku bertanya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang seorang laki-laki yang bercampur dengan istrinya lalu malas : mencuci yang terkena dari perempuan itu, lalu berwudhu dan shalat.

Ini adalah ketetapan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bukan buatan Utsman sendiri. Prof Dr Kang Jalal sengaja membuat kesan bahwa yang membuat perubahan atau pembaruan ini adalah Utsman sendiri. Dengan sendirinya, Prof Dr Kang Jalal menuduh Utsman menyelisihi ajaran Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Kita lihat hadits berikutnya:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ الْجُهَنِىَّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَالَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ وَلَمْ يُمْنِ قَالَ عُثْمَانُ « يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ ». قَالَ عُثْمَانُ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Zaid bin Khalid Al Juhani bertanya pada Utsman bin Affan : Bagaimana jika seorang laki-laki bercampur dengan istrinya dan tidak mengeluarkan mani? Utsman menjawab: berwudhu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. Utsman berkata: aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa Utsman tidak membuat pembaruan, tapi dia mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyampaikan sesuai yang didengarnya. Dan hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam benar-benar menetapkan hal itu, bukan dari Utsman sendiri.

Hadits ini juga menunjukkan kualitas integritas intelektual Prof Dr Kang Jalal.

Apakah hukum ini masih berlaku? Yaitu apakah kita hari ini boleh berwudhu dan mencuci kemaluan saat bercampur dengan istri tapi tidak mengeluarkan mani?

Tidak, karena hukum ini sudah dirubah dan diganti, oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri.

Kita lihat di bab selanjutnya, Imam Muslim berkata:

باب نَسْخِ « الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ ». وَوُجُوبِ الْغُسْلِ بِالْتِقَاءِ الْخِتَانَيْنِ.

Bab naskh hadits : air adalah dari air, dan wajibnya mandi dengan bertemunya dua kemaluan.

Artinya hadits-hadits di atas, yang membolehkan sekedar berwudhu jika berhubungan suami istri tanpa keluar mani, sudah dihapus hukumnya, dengan hadits-hadits berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْغُسْلُ ». وَفِى حَدِيثِ مَطَرٍ « وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ »

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: jika duduk di antara empat cabangnya lalu menindihnya, maka telah wajib mandi.

Dalam jalur periwayatan Mathar ada tambahan : meskipun tidak mengeluarkan mani.

Menindihnya di sini adalah kiasan dari bertemunya dua kemaluan.

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».

Dari Aisyah istri Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang seorang lelaki yang bercampur dengan istrinya lalu malas, apakah wajib mandi? Sedangkan Aisyah duduk, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: aku melakukan itu bersama dia lalu kami mandi.

Artinya tidak pernah ada pembaruan di sini. Utsman tidak melakukan pembaruan, yang ada adalah hukum itu diangkat, dan digantikan dengan hukum baru di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hidup, dan yang mengubahnya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri, berdasar wahyu yang diterimanya.

Hadits-hadits di atas adalah dari Shahih Muslim. Mari kita ke TKP satu lagi, yaitu Shahih Bukhari. Kita temukan hadits Utsman yang dimaksud:

زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ - رضى الله عنه - قُلْتُ أَرَأَيْتَ إِذَا جَامَعَ فَلَمْ يُمْنِ قَالَ عُثْمَانُ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ . قَالَ عُثْمَانُ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - . فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ عَلِيًّا ، وَالزُّبَيْرَ ، وَطَلْحَةَ ، وَأُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ - رضى الله عنهم - فَأَمَرُوهُ بِذَلِكَ .

Dari Zaid bin Khalid, dia bertanya pada Utsman bin Affan: bagaimana pendapatmu jika seseorang mencampuri istrinya lalu tidak mengeluarkan mani? Utsman menjawab: dia berwudhu seperti wudhu’nya untuk shalat, dan mencuci kemaluannya. Utsman berkata: aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sampai di sini masih sama dengan redaksi di Shahih Muslim, tapi ada tambahan lagi, yaitu Zaid bin Khalid berkata: aku bertanya tentang hal itu pada Ali, Zubair, Thalhah dan Ubay bin Ka’ab, mereka menyuruhku melakukan itu.

Artinya yang berpendapat demikian bukan hanya Utsman, hingga Utsman bisa dituduh melakukan pembaruan, mengganti hukum dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tapi Ali, Thalhah, Zubair dan Ubay bin Ka’ab juga menjawab dengan jawaban yang sama.

Jika Utsman dituduh melakukan pembaruan dalam hal ini, maka Ali pun bisa dituduh juga melakukan pembaruan. Tapi Prof Dr Kang Jalal menerapkan standar ganda dalam hal ini. Dia jelas melihat riwayat di Shahih Bukhari sebelum menulis, dan dia tahu bahwa Ali juga menjawab dengan jawaban yang sama. Tapi sengaja Prof Dr Kang Jalal tidak menyebutkan riwayat ini dengan lengkap, karena ketika menyebut riwayat ini dengan lengkap, tujuannya untuk menjelekkan Utsman tidak tercapai.

Sekali lagi, kita tahu integritas intelektual Prof Dr Kang Jalal.

 Sebagai seorang syi’ah, dia merasa berkepentingan untuk menjauhkan umat Islam dari para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Prof Dr Kang Jalal ingin menciptakan kesan negatif pada sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam di benak umat Islam. Maka dia menjelek-jelekkan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan segala cara, baik cara yang sesuai integritas maupun cara yang menyimpang dari integritas seorang Profesor Doktor.

Prof Dr Kang Jalal menempuh segala cara untuk menjelekkan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Rupanya inilah akhlaknya yang harus didahulukan di atas fikih.
sumber : hakekat.com