Minggu, 30 Juli 2017

IJABI BONDOWOSO JAWA TIMUR (bag ketiga)



lanjutan dari bagian kedua : 

Syiah Antara Akhbari dan Ushuli dan syiah di Bondowoso

Adanya perbedaan paham tentang Syiah antara pihak yang anti-Syiah dan IJABI kiranya merupakan salah satu sebab terjadinya konflik antara mereka. Mengapa? Analisis yang mungkin adalah sumber ajaran Syiah yang dipakai masing-masing pihak berbeda. Dalam perkembangan sejarahnya Syiah tidak monolitik tetapi tumbuh dan berkembang menjadi ratusan sekte, yang masing-masing saling bersebarangan, ada yang ekstrim, ada pula yang moderat. Para pemimpin mereka saling berebut pengaruh dan pengikut sejak dulu hingga sekarang.

Analisis menarik dikemukakan oleh Vali Nasr tentang hal ini, seperti dalam kasus Ayatollah Khomeini. Menurut Nasr, Iran bukan pusat dan Khomeini bukan marja’ utama Syiah kendati dia sudah bersusah payah membangun citra keulamaan pada dirinya yang membangun sistem “kepausan”, namun pengaruhnya tidak pernah lebih jauh dari Iran. Konsep velayat-e faqeh menjadikan ulama sebagai pusat kekuasaan banyak ditentang oleh para ulama lain yang derajat keulamaannya lebih tinggi dari Khomeini, seperti Abol-Qasem al-Khoi, mentor Ayatollah Sistani, karena dianggap sebuah inovasi tanpa dukungan sedikitpun dari hukum dan teologi Syiah. Khomeini tidak bergeming, bahkan melakukan tindakan yang tidak shahpun memikirkannya, yaitu memecat Ayatollah Muhammad Kazem Shariat Madari.

Orang Syiah memang menerimanya sebagai pemimpin politik, tapi untuk bimbingan spiritual, mereka mencari ayatollah yang agung Abol-Qasem al-Khoi, atau Ayatollah Sistani di Najaf. Satu hal yang menarik, Abol-Qasem al-Khoi disebutsebut sebagai salah satu rujukan (marja’) kalangan Syiah di
Bondowoso.

Al-Khoi adalah ulama Syiah Imamiyah dari kelompok ushuli (rasionalis) di Irak yang berpikiran moderat. Lawan kelompok ushuli adalah kelompok akhbari (tradisionalis) yang cenderung berpikiran sektarian. Kedua kelompok ini saling berselisih pendapat, setara dengan perselisihan pendapat antara ahl al-hadits (tradisionalis) dan ahl al-ra’yi (rasionalis) dalam sejarah pemikiran empat
madzhab fiqih Sunni.

Salah satu perselisihan yang disinggung adalah dalam menyikapi kitab-kitab utama rujukan kalangan Syiah, seperti terhadap kitab Ushul al-Kafi yang disusun Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (w.329/940-941), seorang tokoh penting yang dianggap memberikan kerangka dasar sosio-religius Syiah sektarian pada periode Buwaihiyah (945-1055). Kitab ini merupakan kompilasi koleksi-koleksi utama hadits-hadits Syiah. Sikap kaum ushuli jelas tidak bisa menerima begitu saja semua isi kitab tersebut. Mereka menolak hadits-hadits yang cenderung mengobarkan permusuhan antara kaum Sunni dan Syiah, di mana sikap bertolak belakang diambil kaum akhbari.

Masyarakat Bondowoso demo menolak syiah


Penutup

Berdasarkan elaborasi di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu:

-          Pertama, resistensi terhadap IJABI (khususnya kasus Jambesari) merupakan puncak akumulasi ketidaksenangan masyarakat Bondowoso terhadap keberadaan Syiah.
-          Kedua, ketidakterusterangan penganut Syiah
-          Ketiga, masyarakat sudah sadar bahwa segala bentuk pelecehan terhadap agama bila perlu harus dilawan dengan tidak kekerasan, kendati harus mengorbankan nyawa sekalipun.


Selesai .....

Jumat, 28 Juli 2017

IJABI BONDOWOSO JAWA TIMUR (bag kedua)

lanjutan dari bag pertama: 

Resistensi atas IJABI:

Analisis terhadap berita media massa dan wawancara mengungkapkan bahwa alasan utama penolakan masyarakat terhadap IJABI adalah karena kelompok ini dianggap--- melalui jalur organisasi (IJABI)---telah menyebarluaskan ajaran Syiah secara sistematis kepada masyarakat.

Analisis tersebut kiranya menarik:
Pertama, adanya anggapan masyarakat bahwa IJABI adalah Syiah.
Kedua, bila IJABI dianggap sebagai bentuk terang-terangan penyebarluasan ajaran Syiah, maka berarti, sebetulnya masyarakat sudah tahu di Bondowoso ada komunitas Syiah. Terhadap pernyataan pertama sudah dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini, bahwa merujuk visi dan misi organisasi, IJABI tidak bisa diidentikkan dengan Syi’ah. Hasil penelitian lapangan membuktikan sesungguhnya masyarakat Bondowoso sudah mengetahui ada komunitas Syiah di daerahnya. Namun, perlu dicatat bahwa Syiah yang mereka kenal adalah Syiah yang berada di Kampung Arab, yaitu ajaran yang hanya dipraktikkan secara exclusive oleh mereka yang mengaku kerabat Nabi Muhammad Saw (habaib).


Sejarah Syiah di Bondowoso

Adanya Syiah dibenarkan oleh Muhammad Baqier. Keberadaannya sudah cukup lama, dan tidak bisa dilepaskan dari kedatangan habaib di Bondowoso. Menurut penjelasan Abdul Qadir, Kampung Arab di Bondowoso sudah ada sejak tahun 1900-an. Cikal bakalnya adalah kedatangan Ghasim Baharmi di Bondowoso pada 1800-an. Dia punya tiga anak perempuan, yaitu Aisyah, Nur dan Khadijah. Pada 1830-an Habib Muhsin masuk ke Bondowoso dan meninggal pada 1842-an. Habib Muhsin meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung. Pada 1842 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Habib Ahmad. Pada usia 14 tahun Habib Ahmad pergi ke Yaman untuk belajar bahasa Arab. Pada usia 28 tahun Habib Ahmad pulang ke Bondowoso. Saat itu sudah banyak keturunan Arab yang tinggal di Kampung Arab. Begitu pulang Habib Ahmad menikah dengan Ghamar pada 1870. Dia punya anak cukup banyak tetapi yang hidup hanya 3 (tiga), yaitu Hasan, Su`ud, Alwi (ayah dari Habib Abdul Qadir).

Habib Ahmad menjadi guru mengaji di rumah. Dia tidak berkeliling tapi murid-muridnya yang datang ke rumahnya. Selain itu dia juga mengajarkan bahasa Arab dan fiqih Syafi`i, tetapi akidahnya Syiah Zaidiyah---salah satu sekte Syiah yang ajarannya dianhggap dekat dengan ajaran Sunni (Ahlussunnah
waljamaah). Pada 1914 bersama dengan Habib Hasan bin Hafidz bin Syaikh Abu Bakar mendirikan Madrasah Khaeriyah dan berhenti menjadi guru ngaji.

Sekte Syiah Zaidiyah tidak berkembang menjadi ajaran yang dianut habaib di Kampung Arab. Sesudah tahun 1948 banyak anak Kampung Arab menuntut ilmu ke Irak dan pulang membawa ajaran Syiah Imamiyah. Pada saat itulah datang Habib Muhammad al-Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar (w. 1984) dari Hadhramaut yang membawa ajaran Syiah Imamiyah atau Itsna `Asyariyah atau dikenal dengan sebutan Syiah Imam Dua Belas. Beliau seorang penyair. Banyak syi`ir-syi`ir beliau, di antaranya yang mengatakan “khayr al-madzahib madzhab ahl al-bayt”. Pengakuan ini tidak serta merta membuat beliau dan pengikutnya secara furu`iyyah melaksanakan paham Syiah;
mereka bertaqiyah dengan tetap melaksanakan tata cara ibadat menurut Syafi`iyyah, tetapi secara akidah mereka penganut Syiah.

Lalu, pada tahun 1950-an ada Habib Hamzah bin Ali Al-Habsy (paman Muhammad Baqier). Habib Muhammad Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar berkeliling sebagai da`i bersama Habib Hamzah bin Alwi Al-Habsy (w. 2005). Mereka tidak mengajarkan Syiah kepada masyarakat umum tetapi menjelaskan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan untuk kalangan keluarga dari para penghuni Kampung Arab---terutama mereka yang mengaku habaib--- sudah dikenalkan ajaran Syiah, seperti keyakinan bahwa Abu Thalib adalah mukmin; namun, uniknya mereka masih mengamalkan cata ibadat kalangan Sunni, terutama Syafi`iyah. Keyakinan bahwa Abu Thalib mukmin di Kampung Arab cukup kuat, sehingga tidaklah aneh ketika Sayyid Alwi Al-Maliki datang ke Bondowoso dan minta diterjemahkan kitab “Insan Kamil” (Manusia Paripurna) orang Bondowoso tidak mau menerjemah kan, sebab dalam kitab itu disebutkan Abu Thalib itu kafir.

Keberadaan Syiah Bondowoso (termasuk Indonesia pada umumnya) mengalami momentum sejak terjadinya Revolusi Islam yang dimotori para mullah pada 1979. Rentang waktu tidak lama, pada 1980-an, Habib Hamzah terang-terangan mengaku Syiah. Mulailah masyarakat sekitar memperhatikan keberadaan beliau.

Pada kira-kira tahun 1995 dibentuk Yayasan Ash-Shadiq yang dipimpin langsung oleh Habib Hamzah. Habib Hamzah membuka pengajian di rumahnya setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu. Dia mengajarkan gramatikal bahasa Arab (nahwu) pada hari Senin, fiqih pada hari Selasa, dan tafsir pada hari Rabu. Murid-murid beliau adalah anak-anak kiai yang datang dari penjuru Bondowoso, di antaranya sekarang menjadi tokoh masyarakat seperti Kyai Saharie, Kyai Abd. Muis, Kyai Rahbini dari Patemon, Kyai Mushawwir dari Jambesari, dan Ahmad Husein.

Kendati sudah mengaku sebagai Syiah, Habib Hamzah tetap konsisten mengajarkan kitab-kitab dan fiqih Sunni, hanya sekarang ditambah penjelasan dari sudut fiqih Ja`fari (Syiah). Seperti hukum wudhu misalnya, mulai ada penjelasan tentang batas aurat. Bila sebelumnya hanya disebutkan
mabaynahuma” saja, sekarang sudah dijelaskan “bayn al-surur wa al-ruqban”. Karena kebanyakan yang ikut pengajian itu rata-rata kiai atau anak-anak kiai, sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti di kalangan Ahlussunnah waljamaah. Namun, kondisi tenang rupanya tidak berjalan lama. Rupanya ada pihak-pihak yang mulai tidak senang dengan keberadaan Habib Hamzah dan Syiahnya itu.





Penolakan pada syiah oleh ulama dan masyarakat Bondowoso


IJABI Bondowoso: Syiah Rasional dan Moderat

Posisi Habib Hamzah dalam penyebaran Syiah dan tokoh pemersatu komunitas Syiah di Bondowoso sangat dominan. Pengetahuan keislamannya yang tinggi membuat ia disegani banyak kiai, yang nota bene banyak menimba ilmu darinya, dan kedudukannya sebagai “masih keturunan Nabi (dzurriyat al-nabi)” menambah kewibawaannya. Dalam tradisi masyarakat Ahlussunnah Waljamaah kedudukan habaib sebagai dzurriyat al-nabi sangat dihormati karena dipercaya memiliki kharisma/ keramat yang tidak dimiliki umat Islam pada umumnya. Wafatnya---sebagaimana diakui Muhammad Baqier---membuat posisi Syiah melemah, karena belum ada tokoh Syiah sekaliber beliau yang dapat menjadi pemersatu. Ini membuka peluang pihak-pihak yang tidak senang kepada Syiah untuk melakukan “penyerangan kembali” terhadap Syiah. Apabila sebelumnya segala upaya-upaya untuk menjelek-jelekkan Syiah masih bisa diredam dengan keilmuan dan wibawa Habib Hamzah, sekarang tembok penghalang tidak ada lagi.

Apa yang dituduhkan kelompok anti-Syiah tersebut bukan tanpa sumber rujukan. K.H. Abdul Muis Turmudzi menegaskan bahwa semuanya itu bukan “asal ngomong” tetapi dikutip dari “kitab-kitab induk” yang menjadi pegangan utama kaum Syiah sendiri, seperti Kitab Ushul al- Kafi, Kitab Ma La Yadhuruhu al-Faqih, Kitab al-Tahzib, Kitab al-Istibshar, dan Kitab Bihar al-Anwar.

Menurut beliau, lima kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang mempunyai otoritas tinggi dalam tradisi keagamaan Syiah; bisa disetarakan dengan kutubussittah dalam tradisi Sunni. Selain kitab-kitab tersebut masih banyak kitab yang dijadikan rujukan kendati levelnya masih di bawah kelima kitab tersebut Namun, intinya sama, dalam kitab-kitab itulah dijelaskan secara gamblang doktrin-doktrin Syiah yang berlawanan secara diametral dengan doktrin Sunni, bahkan cenderung menjelekkan ajaran lawannya tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka Yayasan Al-Bayyinat Indonesia yang berpusat di Surabaya misalnya, mengeluarkan selebaran yang isinya menyerukan umat Islam agar mengambil sikap tegas terhadap penganut Syiah, yaitu dengan jalan mengucilkan dan memboikot mereka. Caranya adalah dengan:

1.      tidak menyalati dan menguburkan orang Syiah yang mati;
2.      tidak menjadikan orang Syiah sebagai imam;
3.      melarang menikah dengan mereka; \
4.      tidak bergaul (duduk-duduk) dengan mereka (jangan menghadiri undangan mereka); dan
5.      tidak menjenguk orang Syiah yang sedang sakit.

Selebaran itu beredar secara luas di Bondowoso. Intensitas Kiai Muis membentengi masyarakat
terhadap pengaruh Syiah tergolong tinggi. Menurut pengakuannya dan informasi dari pihak lain, setiap ada kesempatan ceramah selalu diselipkan pesan untuk waspada terhadap Syiah. Hanya sayangnya, seperti dituturkan Kiai Abd. Salam, terkadang Kiai Muis suka “melampaui batas”,
dengan mengeluarkan kata-kata yang berpotensi membakar emosi massa, seperti: “apakah bapak-bapak tidak tersinggung bila ibu kita dikatakan pelacur, apalagi itu ditujukan kepada Aisyah ra.,
ibu semua kaum muslimin. Kalau tidak carok, ketok saja “anu”- nya”.

Semasa Habib Hamzah masih hidup, Muhammad Baqier, menyatakan bahwa beliau tidak berusaha membela diri dan membiarkan segala tuduhan pejoratif terhadap Syiah itu berkembang di masyarakat. Diamnya beliau itu disebabkan karena merasa bahwa keyakinan Syiahnya (Imamiyah) tidak sama dengan keyakinan Syiah yang dituduhkan itu. Jadi, tidak ada juga gunanya beliau membela
diri, karena mengganggap mereka yang menuduh tersebut salah alamat karena ketidak tahuan. Beliau baru memberikan penjelasan secara detil apabila ada orang yang datang baikbaik

ke rumahnya untuk klarifikasi, sebagaimana dituturkan Abd. Rozak, Sekretaris Majelis Tarjih PDM Kabupaten Bondowoso. Saat itu, dia menanyakan langsung kepada Habib Hamzah tentang apakah benar kalangan Syiah punya kitab suci selain al-Quran; berdasarkan selebaran yang dia baca. Ketika itu Habib Hamzah menjawab dan mengatakan kalau ada orang yang bisa membuktikan bahwa Syiah punya kitab suci lain, dia bersedia membeli dengan harga Rp 500.000.000,00. Berarti, tidak benar Syiah punya kitab suci selain al-Quran. Penjelasan serupa diterima dari Muhammad Baqier, bahwa ajaran Syiah yang mereka amalkan---mengutip Abubakar Aceh---adalah Syiah yang rasional, dari sekte Syiah Imamiyah, dan bersumber dari Irak (bukan dari Iran).

bersambung .....ke bagian ketiga

Kamis, 27 Juli 2017

IJABI BONDOWOSO JAWA TIMUR (bag : Pertama )



Kelompok Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Bondowoso, Jawa Timur

Sumber : Penelitian Imam Syaukani, 2007, dengan perubahan seperlunya.

Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) adalah

sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang
didirikan oleh cendekiawan muslim, Prof. Dr.
Jalaluddin Rakhmat, M.Sc pada 1 Juli 2000 M/29 Rabiul
Awwal 1421 H di Bandung. Berasaskan Islam berdasarkan
kecintaan (mahabbah) kepada ahlul bait Nabi Muhammad Saw.
Visinya menampilkan gerakan intelektual yang mencerahkan
pemikiran Islam dan pembelaan terhadap kaum yang
tertindas (mustadh`afin). Misinya menghimpun semua pencinta
ahlul bait dari madzhab mana saja mereka berasal. Bersifat
independen dan non-sektarian.

perayaan syiah oleh IJABI Bondowoso


Tujuannya adalah:
-          Pertama, membangun diri untuk hidup berjamaah dan berimamah dan mengenalkan serta menyebar kan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi Muhammad Saw (ahlul bait).
-          Kedua, pemberdayaan masyarakat ekonomi kecil dan lemah (mustadh`afin).
-          Ketiga, mengembang kan kajian-kajian spiritual dan intelektual.
-          Keempat, menjalin dan memelihara hubungan baik dengan segenap ormas dan keagamaan serta lembaga kemanusiaan lainnya.

Ada yang menilai ijabi negatif, dari mulai hanya sekadar
menyayangkan hingga penolakan yang mengarah pada
pengusiran dan kekerasan, IJABI dicurigai membawa misi
penyebaran Syi’ah yang bertentangan dengan paham Sunni
yang dianut mayoritas muslim di Indonesia.

Pertama, Organisasi ini hanya sekadar menampung
mereka yang punya visi sama, yaitu mencintai ahlul bait Nabi
Muhammad Saw terlepas apa madzhab mereka. Bahwa dalam IJABI, terutama
pada pengurus dan simpatisannya terdiri dari penganut
Syiah, yang memang salah satu doktrinnya adalah wajib
mencintai ahlul bait, hal tersebut mungkin terjadi.

Kedua, ijabi berpaham Syiah, paham keagamaan Syiah
yang dianut IJABI Bondowoso menyebabkan masyarakat
merasa terganggu. Dalam al-Milal wa al-Nihal,
dijelaskan lebih dari 30 subaliran yang dapat dinisbahkan
kepada Syiah. Masing-masing sub aliran tersebut mempunyai
konstruksi teologi, paham, dan organisasi keagamaan sendirisendiri.

Kuantitas dan Kualitas Resistensi atas IJABI
Resistensi masyarakat terhadap keberadaan IJABI ternyata tidak hanya pada 23 Desember 2006 saja, namun beberapa kali terjadi dalam bentuk beragam dan intensitas
yang semakin meningkat. Dalam kerangka teoritik David G.
Bromley (2002), perkembangan konflik IJABI telah melewati
tiga tahapan, yaitu: latent tension, nascent conflict, dan intensified
conflict.
Pada tahapan pertama, latent tension, konflik masih dalam bentuk kesalahpah-pahaman antara satu dengan lainnya, tetapi antara pihak yang bertentangan belum melibatkan dalam konflik. Tahapan ini bisa disebut juga dengan konflik autistik.
Pada tahapan kedua, nascent conflict,
konflik mulai tampak dalam bentuk pertentangan meskipun
belum menyertakan ungkapan-ungkapan ideologis dan
pemetaan terhadap pihak lawan secara terorganisasi.

Sedangkan pada tahapan ketiga, intensified conflict, konflik
berkembang dalam bentuk yang terbuka disertai dengan
radikalisasi gerakan di antara pihak yang saling bertentangan,
dan masuknya pihak ketiga ke dalam arena konflik.


penolakan muslim bondowoso terhadap syiah


Kasus resistensi masyarakat terhadap IJABI yang pernah
terjadi selama ini secara berurutan adalah sebagai berikut:

Pertama, tanggal 4 Juni 2006, :

Pelantikan Pengurus Daerah IJABI dilaksanakan di Hotel PALM yang dihadiri oleh Ketua Umum Pengurus Pusat, Drs. Furqon Bukhori dan Ketua Dewan Syuro, Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc mendapat penolakan dari sekelompok orang. Mereka melakukan demonstrasi untuk membubarkan pelantikan tersebut. Alasannya, IJABI beraliran Syiah. Guna menghindari tindak anarkis, Kapolres Bondowoso saat itu AKBP Indradji, SH dan didampingi Ketua DPRD Bondowoso, H. Ahmad Dhafir, berusaha menenangkan massa dan memberikan beberapa penjelasan. Acara pelantikan Pengurus Daerah IJABI Bondowoso pun berjalan lancar.

Kedua, pada 5 Juni 2006, : 

Para ulama mendatangi Kantor Dep. Agama Bondowoso untuk menyerahkan surat keberatan
terhadap keberadaan IJABI. Surat tersebut ditandatangani orang pengasuh pondok pesantren dan 5 surat yang mengatasnamakan ormas Islam. Kepala Kantor Dep. Agama, Drs. H.M.
Kholil Syafi`i, M.Si, pada saat itu menjelaskan bahwa pihaknya belum bisa mengambil langkah secara langsung atas tuntutan pelarangan berdirinya IJABI, sebab menurutnya organisasi yang baru tersebut masih belum dipelajari AD/ARTnya. Selain itu, di zaman sekarang, pemerintah tidak
mudah melarang serta memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berorganisasi. Selaku Kepala Dep. Agama, Kholil hanya bisa mengharapkan kepada semua warga khususnya para ulama Sunni untuk bisa menjaga aqidah dan syariat jemaah masing-masing agar tidak mudah
terpengaruh berbagai paham yang mungkin menyimpang. Namun di sisi lain dapat dipahami bahwa setiap orang harus menjunjung tinggi paham atau pemeluk agama lain.

Ketiga, tanggal 12 Agustus 2006, :

Terjadi pemukulan terhadap santri Pesantren Al-Wafa Jambesari yang diasuh Kiai
Mushawwir, hanya karena berpaham Syiah. Kejadiannya, salah seorang santri Pesantren Al-Wafa bernama Ghofur beradu mulut dengan Subani. Subani mengatakan bahwa orang Syiah kalau mati dihadapkan ke timur. Ghofur menolak keras tuduhan tersebut. Keduanya bertengkar dan diakhiri dengan tamparan Subani terhadap Ghofur.

Keempat, pada 12 September 2006, : \

Terjadi upaya pembakaran terhadap rumah Kiai Mushawwir, salah satu tokoh IJABI di Desa Jambesari. Peristiwanya terjadi pada pukul 02.30 WIB. Untung saja, tuan rumah dan dua anggota
keluarganya terbangun dan segera mengetahui kejadian itu. Sebelum menjalar dan menghanguskan seisi rumah, sumber api langsung mereka matikan. Kerugian relatif kecil, namun tak pelak lagi, bangku sofa di ruang keluarga dan sebuah pintu dapur yang terbuat dari bambu sempat hangus dilalap
api. Rupanya asal api berasal dari dua titik ini. Tidak satupun tersangka tertangkap. Kasus ini berlalu begitu saja tanpa penyelesaian apapun.

Kelima, tanggal 23 Desember 2006, : 

Sekitar 400 warga Jambesari, Bondowoso, Jawa Timur, membubarkan acara haul dan pengajian rutin yang diadakan di salah satu rumah warga pengikut IJABI. Jelasnya, pada pukul 19.00 WIB, Muhammad Baqier, seorang tokoh IJABI diundang untuk mengisi acara tahlilan di rumah anggota IJABI yang keluarganya meninggal. Pengajian berjalan lancar, demikian juga ceramah dwimingguan nya. Pada pukul 21.30 WIB tiba-tiba datang sekelompok orang (sekitar 400 orang) yang menamakan diri sebagai penganut ajaran Ahlussunnah waljamaah yang menolak kehadiran Syiah di Jambesari. Awalnya terjadi pelemparan pasir kepada jemaah perempuan yang ada di mushalla.

Akhirnya kesepakatan dibuat secara tertulis dan Ustadz Baqier menyetujui dengan persyaratan bahwa jemaah IJABI Jambesari tidak diintimidasi oleh pihak manapun. Polisi dan MUI setuju. Pukul 09.00, perjanjian tertulis resmi dibuat 3 set bermaterai dibuat oleh Polres Bondowoso yang harus
ditandatangani oleh Ustadz Baqier tetap bersyarat yaitu jemaah tidak boleh diintimidasi. Pada pukul 15.00 WIB, PP IJABI dan beberapa pengurus IJABI senior mendatangi Polres untuk mencari data sebanyak-banyaknya dan berangkat ke TKP. Namun, anggota Polres melarang mereka dengan alasan
keamanan. Akhirnya hanya ada pertemuan antara pihak IJABI dan Polres yang dihadiri oleh: Kepala Polres: AKBP Tri Yudho Irianto, Kasadintel: Susiyanto, S.Sos, Wakapolres: Totok Heri,
Kabagop: Latif, dan dari IJABI: Furqon Bukhori (Ketua Umum PP IJABI), Emilia Renita Az (Wasekjen PP IJABI), Kiai Nurkhatib (IJABI Lumajang), Kiai Makmun (IJABI Turen) dan
Asep (IJABI Jakarta) yang isinya adalah alasan pelarangan rombongan ke Jambesari. 

Baru pada 25 Desember 2006, Furqon Bukhari dan Asep dapat mengunjungi dan menggali data di TKP. Data tersebut kemudian digunakan untuk dasar pengambilan langkah berikutnya oleh PP IJABI Jakarta. Pada saat kajian ini dilaksanakan, ternyata PP IJABI berkeputusan untuk mengajukan peristiwa kekerasan itu ke meja hijau. Dari hasil pemantauan di Polres ternyata gugatan itu telah ditindaklanjuti dengan status P21 dan sudah masuk Kejaksaan dengan surat rencana penuntutan yang sudah siap
dilimpahkan ke pengadilan. Data terakhir yang diperoleh, pada tanggal 2 Mei 2007, sidang pertama kasus kekerasan terhadap IJABI Bondowoso telah dilakukan yang dihadiri oleh tim advokasi PP IJABI.

Bersambung .ke bag kedua..