Rabu, 24 Juli 2013

Disertasi Aqil Siradj Telah Menyebut Syiah Sesat?



Pada disertasi S3 Aqil Siradj saat kuliah di Univ. Umm Al Quro, telah menganggap Syiah dan Ahyadiyah sebagai sekte sesat
PERJALANAN hidup manusia melalui berbagai fase dan juga perubahan fisik, mental, dan juga spiritual. Adanya perubahan ini menjadi bukti nyata bahwa hanya Allah Azza wa Jalla yang kekal. Dan kalau bukan karena karunia dari-Nya manusia tidak akan kuasa untuk teguh dalam menetapi sesuatu termasuk agamanya (istiqamah). Karena itu, dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa memohon keteguhan hati kepada Allah: “Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Dan ini mungkin salah satu hikmah yang dapat anda petik dari kewajiban membaca surat Al Fatihah pada setiap rakaat shalat. Pada surat ini terdapat permohonan kepada Allah Azza wa Jalla agar senantiasa menunjuki anda jalan yang lurus, yaitu jalan kebenaran
Fenomena ini terus melintas dalam pikiran saya, gara-gara saya membaca pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj di berbagai media. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa ajaran syiah tidak sesat dan termasuk Islam seperti halnya Sunni.
Untuk menguatkan klaimnya ini, Said Aqil merujuk pada kurikulum pendidikan pada almamaternya Universitas Umm Al Quro di Arab Saudi. Menurutnya: "Wahabi yang keras saja menggolongkan Syiah bukan sesat."
Pernyataan Said Aqil ini menyelisihi fakta dan menyesatkan. Sebagai buktinya, pada Mukaddimah disertasi S3 yang ia tulis semasa ia kuliah di Universitas Umm Al Quro, hal: tha’ (ط) Said Aqil menyatakan: “Telah diketahui bersama bahwa umat Islam di Indonesia secara politik, ekonomi, sosial dan idiologi menghadapi berbagai permasalahan besar. Pada saat yang sama mereka menghadapi musuh yang senantiasa mengancam mereka. Dimulai dari gerakan kristenisasi, paham sekuler, kebatinan, dan berbagai sekte sesat, semisal syi’ah, Qadiyaniyah (Ahmadiyyah), Bahaiyah dan selanjutnya tasawuf.”
Pernyataan Said Aqil pada awal dan akhir disertasi S3-nya ini menggambarkan bagaimana pemahaman yang dianut oleh Universitas Umm Al Quro. Bukan hanya Syi’ah yang sesat, bahkan lebih jauh Said Aqil dari hasil studinya menyimpulkan bahwa paham tasawuf juga menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu pada akhir dari disertasinya, Said Aqil menyatakan: “Sejatinya ajaran tasawuf dalam hal “al hulul” (menyatunya Tuhan dengan manusia) berasalkan dari orang-orang Syi’ah aliran keras (ekstrim). Aliran ekstrim Syi’ah meyakini bahwa Tuhan atau bagian dari-Nya telah menyatu dengan para imam mereka, atau yang mewakili mereka. Dan idiologi ini sampai ke pada para pengikut Sekte Syi’ah berawal dari pengaruh ajaran agama Nasrani.” ("Silatullah Bil Kaun Fit Tassawuf Al Falsafy" oleh Said Aqil Siradj 2/605-606).
Karena menyadari kesesatan dan mengetahui gencarnya penyebaran Syi’ah di Indonesia, maka Said menabuh genderang peringatan. Itulah yang ia tegaskan pada awal disertasinya, sebagai andilnya dalam upaya melindungi Umat Islam dari paham yang sesat dan menyesatkan.
Namun, alangkah mengherankan bila kini Said Aqil menelan kembali ludah dan keringat yang telah ia keluarkan. Hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, kini ia ingkari sendiri dan dengan lantang Said Aqil berada di garda terdepan "pembela" Syi’ah. Mungkinkah kini Said Aqil telah menjadi korban ancaman besar yang dulu ia kawatirkan mengancam Umat Islam di negeri tercinta ini?
Wassalam,
Dr. Muhammad Arifin Badri
Lulusan Universitas Islam Madinah, dosen tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI)

Sumber : hidayatullah.com

Menjawab Dua Argumen Klasik Syiah



Salah satu kejelian para ulama Islam, sengaja menggunakan metode agar hadits yang diriwayatkan tidak dicela Syiah di kemudian hari
Oleh: Bahrul Ulum
KETIKA mengisi kajian Shubuh di sebuah masjid perumahan elit di wilayah Surabaya Barat, saya tersentak oleh protes seorang jamaah yang tidak setuju dengan statemen yang mengatakan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni pada masalah aqidah.
Sebenarnya, kajian pagi itu membahas tentang Pluralisme Agama yang titik tekannya mengupas perbedaan aqidah di antara agama yang ada.
Namun pada sesi tanya jawab, salah seorang jamaah menanyakan kasus Syiah dan Sunni di Sampang, Madura, apakah berkaitan dengan persoalan aqidah atau tidak. Spontan saya jawab bahwa akar persoalannya adalah masalah aqidah.
Ternyata jawaban saya ini diprotes oleh jamaah lain yang tidak setuju mengaitkan kasus tersebut dengan masalah aqidah. Sebab menurutnya, aqidah Syiah dan Sunni sama saja, tidak ada perbedaan.
Kemudian ia mengajukan beberapa argumen untuk memperkuat pendapatanya itu. Di antaranya, pertama ia menyebutkan bahwa Arab Saudi masih menganggap Syiah memiliki aqidah yang benar. Buktinya, negara petro dolar tersebut masih mengizinkan orang Syiah berhaji di sana. Menurutnya, kalau Syiah berbeda aqidah, tentu Arab tidak akan mengijinkan orang-orang Syiah berhaji. Ia juga mengatakan bahwa para ulama hadits Sunni terbukti banyak mengambil perawi dari Syiah. Ia menyebutkan sekitar 100 perawi Syiah yang dipakai dalam kitab-kitab hadits Sunni.
Dengan kedua alasan itulah ia kemudian menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni dalam masalah aqidah. Karena itu ia tidak setuju jika orang Syiah dinilai berbeda aqidah dan poisisinya sama dengan orang non-Muslim.
Menjawab argumen tersebut, saya menjelaskan bahwa kedua hal itu sudah dijawab oleh para ulama dan cendekiawam Sunni.

Pertama, berkaitan dengan kaum Syiah yang diijinkan berhaji, karena mereka masuk ke Saudi paspornya menggunakan identitas Muslim. Tentu saja Saudi tidak akan menolak orang yang mengaku Muslim masuk ke kota Makkah dan Madinah. Lain ceritanya jika mereka menggunakan identitas agamanya dengan nama Syiah atau Imamiyah, tentu ada penolakan dari pihak petugas di bandara.
Padahal dalam kitab-kitab Syiah, ulama mereka menyebut agamanya dengan nama agama Imamiyah. Sebagai contoh, Baqir al-Majlisi yang dikenal sebagai Syaik as-Syuduq (w. 381 H) menyebut agamanya (Syiah) dengan sebutan agama Imamiyah. Ia mengarang buku khusus berjudul Al-I’tiqodat Din al-Imamiyah. Dalam kitab ini Syaikh As-Syuduq menjelaskan secara tuntas tentang aqidah Syiah yang berbeda dengan aqidah Ahlu Sunna wal Jamaah.
Hal ini juga diakui oleh At-Thusi (w.460 H) dalam kitabnya al-Farsht hal. 189 dan Rahib al-Asfahani dalam kitabnya ad-Dari’ah ila Makarimi Syariah, juz II, hal. 226.
Pengakuan kedua ulama Syiah ini cukup menjadi bukti bahwa istilah agama Imamiyah sudah sangat dikenal bahkan menjadi aqidah di kalangan Syiah. Karena itu tidak salah jika kita menyebut Syiah sebagai agama Imamiyah, bukan Islam. Penyebutan ini berdasar pengakuan mereka sendiri, bukan mengada-ada.
Taqiyah
Kalau mau jujur, seharusnya kaum Syiah yang pergi ke Makkah mencantumkan nama Imamiyah dalam paspornya ketika masuk Saudi, bukan Islam. Namun, jika mereka tidak melakukan hal itu, ini bisa dimaklumi, karena mereka memiliki ajaran Taqiyah.
Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama Syiah, Muhammad Jawaad Mughniyah, sebagai berikut: "Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu" (Muhammad Jawaad Mughniyah, As Syi'ah fil Mizaan, hal : 48)
Ajaran Taqiyah ini merupakan bagian dari aqidah Syiah. Al-Kulaini menisbahkan kepada Imam Ja’far Shodiq yang berkata "Wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah. Taqiyah ada pada setiap sesuatu kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada menyapu khuuf (kaus atau kulit)." Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia berkata : "Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah." (Usul al-Kafi, hal: 482-483)
Berdasar dalil di atas, Syiah memandang Taqiyah itu sebagai fardu (wajib), sebab tidak akan berdiri mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakannya Taqiyah saat kondisi sulit mengepung mereka.
Kedua, berkaitan dengan perawi Syiah yang ada di kitab-kitab Sunni, juga dijelaskan oleh para ulama bahwa hal itu dilakukan oleh para muhaditsin dalam rangka memperkuat posisi hadits tersebut. Paea ulama hadits memang sengaja tidak mengambil dari perawi Sunni seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, atau bahkan Imam Ja’far as-Shadiq karena memiliki pemahaman yang sama dengan para ulama hadits seperti Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para Imam tersebut sependapat dengan hadits para muhaditsin.
Periwayatan dari para imam tersebut hanya sedikit yang diambil oleh para muhaditsin. Contohnya, Imam Bukhari yang tidak lain adalah murid Imam Ahmad, hanya sedikit mengambil periwayatan dari gurunya tersebut. Hal yang sama juga mereka berlakukan terhadap para imam lainnya.
Tetapi jika mereka mengambil periwayatan dari orang yang tidak sepaham, tentu hal ini akan menjadi bukti kuat bahwa hadits yang dikeluarkan adalah benar dan sahih.
Inilah rahasia kenapa para imam hadits Sunni mencari periwayatan dari orang-orang yang dianggap Syiah, Khawarij, Nasibi dan sebagainya. Namun penerimaan tersebut dengan syarat-syarat tertentu, yaitu riwayat yang dikemukakan tidak dalam rangka mendukung golongan mereka dan tidak menyeru orang lain masuk kelompoknya. (As-Sakhowi, Fatkhul Mughis, juz I, hal. 332). Jika hal itu terjadi, para muhaditsin tidak akan menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli bid'ah seperti itu.
Inilah salah satu kejelian para ulama Islam. Mereka sengaja menggunakan metode seperti itu agar hadits yang diriwayatkan tidak dicela di kemudian hari. Bisa jadi orang-orang di luar Sunni akan menolak hadits-hadits Sunni jika hanya diriwayatkan oleh ulama Sunni sendiri.*
adalah Peniliti pada Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya
Sumber : hidayatullah.com

Fatwa Salaf tentang Syiah Tetaplah Berlaku



Dan yang paling penting, Risalah Amman tidak akan mampu menjatuhkan atau menghapus fatwa-fatwa ulama Salaf tentang kesesatan para pencela Sahabat Rasulullah yang mulia
Oleh; Bahrul Ulum
BELUM lama ini, Ketua Dewan Syuro Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi) Jalaludin Rahmat menulis opini di Harian Repubilka, Sabtu, (10/11/2012) berjudul “Menyikapi Fatwa tentang Fatwa”.
Tulisan tersebut sebagai bantahan atas tulisan KH. Ma’ruf Amin sebelumnya, di harian yang sama berjudul "Menyikapi Fatwa MUI Jatim" yang mendukung fatwa MUI Jawa Timur tentang peenyesatan Syiah.
Dalam tulisan itu, secara eksplisit Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa fatwa tersebut salah dan dilakukan oleh sekelompok orang yang belum punya kapasitas untuk memberi fatwa.
Padahal menurutnya, para ulama Salaf yang memiliki keilmuan yang tinggi, tidak gampang mengeluarkan fatwa, karena hal itu memiliki dampak yang besar. Mereka merasa takut untuk memberikan fatwa, lebih takut daripada menghadapi singa.
Menurut Jalaludin Rakhmat dalam artikel itu, “fatwa salah yang disampaikan oleh lembaga yang mengklaim berhak memberikan fatwa, sama seperti obat yang salah yang diberikan kepada pasien. Alih-alih menyembuhkan, ia bisa membunuh.”
Karenanya, kasus di Sampang yang menghilangkan nyawa orang, menurutnya akibat fatwa yang salah dari MUI Jawa Timur.
Pendapat ini menarik untuk dikritisi, terlepas apakah kasus Sampang akibat fatwa MUI Jawa Timur atau bukan.
Apa yang disampaikan Jalaludin Rakhmat tentang sikap kehati-hatian para ulama Salaf dalam berfatwa memang benar. Mereka tidak akan mudah mengeluarkan fatwa sebelum memahami dan tahu persis serta urgennya kasus yang hendak difatwakan. Sebaliknya, mereka akan tegas ketika melihat ada persoalan yang dianggap penting untuk dikeluarkan fatwanya.
Di antara masalah yang dianggap penting ketika itu yaitu maraknya kaum Syiah Rafidah yang senang mencela sahabat Rasulullah. Para ulama melihat fenomena ini sebagai persoalan yang tidak ringan sehingga mereka banyak yang mengeluarkan fatwa tentang kaum tersebut.
Imam Malik menyebut Syiah Rafidah sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam. Al-Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al-Marwadzi, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam” (As-Sunnah, juz 2: 557).
Sedang Imam Syafi’i menilai Syiah sebagai kelompok yang terjelek.
Dari Yunus bin Abdil A’la, beliau berkata: “Saya telah mendengar Imam Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Syiah itu kelompok terjelek.” (Manaqib Imam as-Syafii oleh Imam Baihaqi, juz 2:486)
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal dengan tegas mengatakan, kaum Syiah yang senang mengkafirkan para sahabat, terutama Sahabat Abubakar, Sahabat Umar dan Sahabat Ustman adalah orang-orang yang keluar dari Islam. Beliau berkata, “Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rafidhah (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.” (As-Sunnah Imam Ahmad: 82)
Selain ulama di atas, masih banyak ulama Salaf yang dengan tegas mencela bahkan menyesatkan kaum Syiah karena sikapnya terhadap sahabat Nabi.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Ahlul Bait sendiri yang tidak senang dengan kaum yang suka mencela sahabat Rasulullah. Imam Zainal Abidin Ali bin Husein pernah mengusir orang-orang Syiah Rafidah karena mereka mencela sahabat Rasulullah dihadapannya.
Diriwayatkan dari Ali al-Arbali di dalam kitabnya “Kasyful Ghummah” dari Imam Ali bin Husein. "Datang menghadap kepada Imam beberapa orang dari Iraq, mereka mencaci maki Abubakar, Umar, dan Utsman (radhliyallahu 'anhum). Ketika mereka sudah selesai berbicara, Imam berkata kepada mereka: "Apakah kalian mau menjawab pertanyaanku? Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar."? (al-Hasyr:8). Mereka menjawab: "Bukan." Beliau kembali bertanya: "Apakah kalian termasuk orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah Ta'ala: "Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan (apa-apa yang mereka berikan itu)."? (al-Hasyr 9). Mereka menjawab: "Bukan." Beliau berkata lagi: "Kalian telah mengakui, bahwa kalian bukan termasuk salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya bersaksi, bahwa kalian juga bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan Allah: "Mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman." (al-Hasyr 10). Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!”(Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, juz II, hal 291).
Dari penjelasan tersebut teranglah bahwa persoalan fatwa ulama Salaf dengan Syiah sudah gamblang. Saya kira MUI Jawa Timur juga mengacu pada fatwa-fatwa tersebut sebelum mengeluarkan fatwa tentang Syiah. Karena fatwa ulama Salaf itu sudah menjadi rahasia umum sehingga tidak perlu dipersoalkann jika ada orang atau kelompok yang menggunakan fatwa itu untuk menilai kaum yang senang mencela Sahabat Rasulullah.
Logika Jalaluddinn yang mencoba melemahkan fatwa MUI Jawa Timur dengan membandingkan cara ulama Salaf mengelurkan fatwa tidak pada tempatnya. Ini menunjukkan kalau ia berusaha mengelabui pembaca seakan fatwa MUI Jawa Timur salah.
Keliru, Berlindung Dibalik Risalah Amman
Adapun alasan Jalaluddin yang menolak fatwa MUI Jatim dengan berlindung dibalik Risalah Amman, juga tidak tepat. Sepertinya Jalal sengaja menutupi atau tidak tahu dinamika dibalik risalah tersebut.
Beberapa ulama yang terlibat dalam deklarasi itu, telah sadar dan menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi ‘taqrib’ antara Sunni dan Syiah setelah mempelajari ajaran Syiah.
Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam sebuah wawancara televisi yang dirilis Islamworld.us, menjelaskan panjang lebar ketidakmungkinan adanya “taqrib” antara Sunni dan Syiah.
Alasannya, salah satu ajaran Syiah yang tidak mungkin bisa ditolerir oleh kaum Sunni yaitu senang mencela sahabat dan istri Rasulullah. Sampai sekarang, ajaran ini masih dijalankan oleh hampir semua lapisan kaum Syiah mulai dari para ulamanya sampai orang awamnya.
Hal ini bisa dimaklumi karena mencela Sahabat menurut Syiah, merupakan salah satu wasilah agar do’a cepat terkabul. Tentu saja ajaran ini menyakiti umat Islam karena bagi Sunni para sahabat adalah orang-orang mulia yang harus dihormati.
Selain Al-Qaradhawi, ulama yang tegas menyatakan tidak akan terjadi taqrib yaitu Syeikh Abdullah bin Sulaiman al-Mani’ dan Syeikh Shalih alu al-Syekh. Keduanya aktif menjelaskan kepada umat Islam tentang kesesatan ajaran Syiah.
Karena itu tidak tepat jika Jalaluddin menjadikan risalah ini sebagai hujjah bahwa Syiah bukan kelompok yang sesat.
Dan yang paling penting, Risalah Amman tidak akan mampu menjatuhkan atau menghapus fatwa-fatwa ulama Salaf tentang kesesatan dan kekafiran para pencela Sahabat Rasulullah yang mulia.*
Penulis Peneliti pada Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya
Sumber : hidayatullah.com

Syiah dan Kitab-Kitab Perusak Kehormatan Rasulullah



Dalam hukum positif yang dianut Indonesia, tindakan mencela agama mayoritas sudah digolongkan ‘religius blemish’ (menodai agama)
Oleh: Muh. Nurhidayat
PADA tahun 2011 kemarin, umat Syi’ah melakukan pemberontakan berdarah di Bahrain, Arab Saudi, dan Yaman yang sebagian besar penduduknya Muslim. Malah di Yaman, para milisi Syi’ah menyerang Ponpes Syekh Muqbil Al Wadiy, yang mengakibatkan beberapa orang santri tewas dan cedera, termasuk santri asal Indonesia.
Di Suriah, selama beberapa dekade—hingga tulisan ini dibuat—pemerintah
yang didominasi salah satu sekte Syi’ah (An Nusairiyah) banyak melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Muslim. Demikian pula di Iran, sejak Revolusi Syi’ah 1979 oleh Khomeini, pemerintah negara beribukota Teheran sangat represif terhadap kaum Sunni.

Seringkali masyarakat awam tak bisa membedakan antara Sunni dan Syiah. Bahkan sebagian besar menganggap sama. Sekilas, identitas dan ritualitas umat kedua agama tidak ada perbedaan. Namun setelah dicermati dengan benar, antara Islam dan Syi’ah terdapat perbedaan yang kontras dari tingkat keyakinan hingga tingkat aplikasi syariat.
Jika ditinjau dari kajian komunikasi dakwah, salah satu akar konflik Islam-Syi’ah adalah sikapnya dalam hal melecehkan pribadi Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), maupun penistaan atas para istri, keluarga, dan sahabat beliau.
Perusakan kehormatan tersebut banyak ditulis pada kitab-kitab karangan pemuka umat Syiah. Banyak kalangan menyebut mereka sebagai ulama Syiah.
Padahal, berdasarkan kitab-kitab imajinatif yang sarat pelecehan atas Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), para pemuka Syi’ah telah menunjukkan bahwa mereka tidak takut kepada Allah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan rasul-Nya.
Di bawah ini adalah kitab-kitab yang menjadi rujukan penting kaum Syiah. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Al Anwar an Nu’maniyah
Ni’matullah Al Jazairi adalah tokoh Syi’ah yang paling jahat dalam melecehkan sahabat Umar bin Khattab RA. Di dalam ‘Al Anwar an Nu’maniyah’, tokoh tersebut memfitnah bahwa Umar akan menerima siksaan lebih berat daripada Iblis karena merebut jabatan khalifah dari tangan Ali bin Abu Thalib RA, juga menulis berita bohong kalau ayah mertua Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) itu pernah (maaf) terserang penyakit ‘kotor’.
2. Al Bayan
Jika pendeta Syi’ah yang lain menyerang kehormatan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) melalui keluarga dan sahabat, Abul Qasim Al Kuu’iy justru melecehkan pribadi Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sendiri. Dalam kitab ‘Al Bayan’, pemuka umat Syiah itu menuduh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah menghapus redaksi firman Allah Subhanahu wa-ta'ala tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib dalam Surah Al Maa’idah ayat 67.
3. Al Ihtijaj
Seorang pendeta Syi’ah bernama Ahmad bin Manshur Ath Thibrisi, dalam kitabnya ‘Al Ihtijaj’ menuduh para sahabat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah menghapus ayat-ayat Al Qur’an yang berisi celaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) atas mereka, agar wibawa sahabat tidak jatuh di mata umat Islam.
4. Ajma’ul Fadha’ih
Di dalam ‘Ajma’ul Fadha’ih’, Al Mulla Kazhim, salah satu tokoh pengikut Syiah menjanjikan bahwa barangsiapa yang sekali saja melaknat kedua sahabat nabi (Abu Bakar RA dan Umar RA) maka Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) akan memberinya 70 juta kebaikan, menghapuskan 1 juta kejelekan, dan mengangkatnya 70 juta derajat.
5. Ar Raudhah minal Kafi
Seorang tokoh agama Syi’ah, Abu Ja’far Al Kulaini di dalam kitab ‘Ar Raudhah minal Kafi’ memfitnah semua sahabat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah murtad, kecuali 3 orang di antara mereka, yaitu Al Miqdad bin Al Aswad RA, Abu Dzar Al Ghifary RA, dan Salman Al Farisy RA.
6. As Sujud ‘Alaa at Turbah al Huseiniyah
Dalam ‘As Sujud ‘Alaa at Turbah al Huseiniyah’, Asy Syihristani membuat informasi bohong, bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah mengatakan kalau Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) hanya menerima shalat orang yang bersujud di atas tanah Karbala, Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah memerintahkan para wanita Muslimah untuk meratapi jenasah Hamzah bin Abdul Muthalib RA yang gugur dalam Perang Uhud, bahkan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah menyebutkan keutamaan sujud di atas kuburan Husein bin Ali RA.
7. Ash Shirat al Mustaqim ila Mustahiq at Taqdim
Dalam kitab ‘Ash Shirat al Mustaqim ila Mustahiq at Taqdim’, pendeta Syi’ah bernama Zainuddin Al Bayadhi telah melakukan pelecehan secara khusus terhadap sahabat Utsman bin Affan RA, dengan memfitnah bahwa menantu Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tersebut sebagai orang (maaf) banci, serta pernah (maaf) meniduri seorang tahanan wanita yang akan dihukum rajam.
8. Awa’ilul Maqalaat
Muhammad An Nu’man, salah satu pemuka umat Syiah, menuduh bahwa para sahabat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) yang menjadi oposan pemerintahan Ali bin Abu Thalib, adalah sebagai orang yang (maaf) murtad, sesat, terlaknat, dan kekal di dalam neraka jahanam.
9. Bihar al Anwar
Kitab ‘Bihar al Anwar’ karangan Muhammad bin Bagir Al Majlisi, memfitnah ‘Aisyah RA, istri Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sebagai seorang perempuan yang (maaf) lemah iman dan lemah akal.
10. Fashlul Khitab
Dalam ‘Fashlul Khitab’, pemuka umat Syiah bernama Husain Muhammad Ath Thibrisi menulis bahwa kitab suci Al Qur’an yang berada di tangan umat Islam telah mengalami perubahan (modifikasi) dan penyimpangan (distorsi).
11. Hadits al Ifk
Pendeta Syi’ah bernama Abu Ja’far Al Kulaini adalah ‘tukang’ tulis banyak kitab pelecehan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Kitab ‘Hadits al Ifk’ merupakan salah satu karangannya yang menghina kedua istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), yaitu ‘Aisyah RA dan Hafshah RA, sebagai (maaf) perempuan kafir seperti istri Nabi Nuh AS dan istri Nabi Luth AS.
12. Haqqul Yaqin
Muhammad Bagir Al Majlisi, seorang tokoh Syiah, dalam ‘Haqqul Yaqin’ menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia membenci para sahabat nabi, terutama Abu Bakar, Umar, Utsman, Mu’awiyah, ‘Aisyah, Hafsah, Hindun, dan Ummul Hakam, serta orang-orang yang mengikuti mereka.
13. Miftahul Jinan
Kitab ‘Miftahul Jinan’ adalah buku panduan wirid umat Syi’ah yang berisi kalimat-kalimat laknat atas 2 ayah mertua Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) (Abu Bakar RA dan UMar RA), serta kalimat-kalimat laknat atas 2 istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) (‘Aisyah RA dan Hafshah RA).
14. Mira’ah al Anwar wa Misykah al Asrar
Kitab ‘Mira’ah al Anwar wa Misykah al Asrar’ karangan Abu Hasan Al Aamili pun juga menuduh para sahabat baginda nabi telah melakukan penghapusan sejumlah ayat dalam Al-Qur’an.
15. Syarh Nahjih Balaghah
Ibnu Abil Hadid, salah satu tokoh Syi’ah, dalam kitab ‘Syarh Nahjih Balaghah’, merendahkan derajat para sahabat Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sebagai orang-orang yang tidak memiliki keutamaan. Bahkan dengan sangat berani ia menuduh dosa para sahabat lebih besar daripada dosa orang-orang dari kalangan non-sahabat.
16. Tafsir al ‘Ayasyi
Muhammad Al ‘Ayasyi, salah satu tokoh Syiah tidak tanggung-tanggung dalam memfitnah kedua istri Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), ‘Aisyah RA dan Hafshah RA. Al ‘Ayasyi menulis berita dusta bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) meninggal dunia karena (maaf) telah diracun oleh ‘Aisyah dan Hafshah.
17. Tafsir al Quumi
Ali bin Ibrahim al Quumi dalam kitabnya berjudul ‘Tafsir Al Quumi’, mengatakan bahwa di akhirat kelak 2 sahabat utama sekaligus ayah mertua Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), yaitu Abu Bakar RA dan Umar RA (maaf) meronta-ronta kesakitan akibat siksaan neraka jahanam, serta menuduh janda Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bernama ‘Aisyah RA (maaf) berselingkuh dengan seorang sahabat bernama Thalhah RA dalam perjalanan ke Basrah menjelang terjadinya Perang Jamal.
18. Tafsir ash Shafi
Menurut pemuka umat Syiah bernama Al Faidl al Kasyani dalam kitab ‘Tafsir ash Shafi’, Abu Bakar dan Umar (maaf) telah murtad setelah kematian nabi yang juga menantu mereka, Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
19. Tahdzibul Ahkam
Dalam ‘Tahdzibul Ahkam’, seorang tokoh Syi’ah bernama Ja’far Ash Shadiq menyatakan, bahwa para wanita dari kalangan ahlul bait (keluarga Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)) setara derajatnya dengan wanita Majusi dan (maaf) wanita pelacur.
20. Ushul al Kaafi
Di mata umat Islam, Abu Ja’far al Kulaini dikenal sebagai The Character Assassination Maker, mengingat begitu banyaknya kitab karangan tokoh Syi’ah tersebut yang menista Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Salah satunya adalah ‘Ushul al Kaafi’, yang mengatakan bahwa para sahabat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah banyak menghapus isi Al Qur’an, sehingga kitab suci terakhir tersebut tidak utuh lagi, 2/3 bagian hilang dan tersisa 1/3 bagian saja.
Sikap Pemerintah RI
Berdasarkan rujukan kitab-kitab di atas (juga kitab-kitab lainnya) yang sarat pelecehan atas kehormatan Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), maka umat Syi’ah tidak akan pernah hidup berdampingan secara harmonis dengan umat Islam. Faktormnya, umat Islam tidak akan pernah rela jika Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) beserta istri, ayah mertua, keluarga, serta para sahabat beliau dinista harga dirinya.
Oleh karena itu, pemerintah RI perlu bersikap tegas terhadap pemeluk agama Syi’ah yang banyak meresahkan masyarakat dengan selalu menghina pribadi, keluarga, dan para sahabat Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), nabi dan rasulnya umat Islam, penduduk mayoritas negara ini. Sebab di mata hukum positif warisan kolonial Belanda yang dianut Indonesia saja, tindakan tercela itu sudah digolongkan dalam ‘religius blemish’ (menodai agama).
Pemerintah patut memperhatikan betapa banyaknya firman Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dalam Al Qur’an yang mengancam orang-orang yang merusak kehormatan nabi dan rasul-Nya, yang salah satunya adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di
akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. Al Ahzab : 57)

Ketegasan sikap pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk SK pelarangan ajaran Syi’ah oleh lembaga negara yang berwenang, seperti Kejaksaan Agung RI. Pemerintah Indonesia patut kiranya mengikuti langkah pemerintah Arab Saudi, Yaman, Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara lainnya dalam pelarangan Syi’ah demi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Wallahu’alam.*
Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Ichsan
Keterangan: Al Ushul Al Kafi, salah satu kitab hadits rujukan utama Syiah
Sumber : hidayatullah.com