Rabu, 27 Juni 2012

Kawinilah Aku, Kau Kukontrak: Potret Nikah Mut’ah Sepasang Syiah

Minggu 5 Oktober 1997, Harian Media Indonesia, menurunkan sebuah berita mengenai kehidupan mahasiswa di Yogyakarta yang menjalani nikah mut’ah sebagai sebuah doktrin dalam Syiah.
Kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, tentang kesesatan ajaran Syiah yang tidak hanya cacat secara akidah, namun juga dipenuhi kejangggalan dalam perkara syahwat biologis.
Anehnya, sekalipun perkawinan berlangsung dalam jangka waktu tertentu saja, serta dapat dilakukan tanpa ada saksi dan wali ini banyak ditentang kalangan agamawan, namun masih tetap banyak pasangan yang melakukannya. Bahkan, saat itu kawin kontrak telah pula merambah kehidupan kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi.
Meskipun, bila diamati, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan mahasiswa yang melakukan kawin kontrak adalah para penganut aliran Syiah. Harian Media Indonesia pun kemudian mencoba mengurai pelaku nikah mut’ah yang tidak lain sepasang mahasiswa Yogja.
Tengok saja pengakuan Ani –bukan nama sebenarnya- mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta yang telah dua kali menjalani kawin kontrak. Menurut wanita yang saat itu berusia 24 tahun, menyatakan bahwa bujukan dari pasangannyalah yang telah mampu meluluhkan hatinya untuk melakukan kawin kontrak.
Ceritanya begini. Sekitar tahun 1992 saat baru memasuki jenjang kuliah, ia jatuh cinta pada kakak kelasnya, sebut saja Adi. Penampilannya yang sopan serta ketekunan ibadah lelaki pujaannya itu, semakin mempertebal rasa cinta wanita ini. Ibarat gayung bersambut, ternyata sang kekasih memiliki perasaan yang sama. Maka ketika Adi menyatakan cintanya, kesempatan itu tentu saja tak disia-siakan begitu saja, ia pun langsung menerimanya dengan sepenuh hati.
Rasa cinta mereka pun semakin hari semakin tumbuh subur. Tak ayal setiap ajakan dan permintaan pacarnya selalu dituruti. Bukan apa-apa, sebab ia sudah menganggap pacarnya itu bukan orang lain lagi. Waktu pun terus berlalu. Sekitar enam bulan sejak mereka pacaran. Ani diajak pacarnya untuk masuk ke dalam sebuah kelompok pengajian Syiah. Kala itu ia tidak menolaknya sedikitpun. Apalagi Ani, anak kedua dari dua bersaudara ini masih merasakan kurang dalam ilmu agama.
Awalnya, ketika baru beberapa kali mengikuti pengajian ini. Ia merasakan ada perbedaan ajaran Syiah dengan apa yang pernah didapatnya di bangku sekolah dulu. Tapi, segala prasangka buruk segera ditepisnya, karena ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa Adi, pacarnya itu tak akan menjerumuskan dirinya dalam kesesatan.
“Saya sempet bertanya kepada Adi, tapi ia menyuruh saya agar pasrah dan ikhlas”. Kenang Ani.

Tak lama berselang, kurang lebih satu tahun sejak mereka bergabung dalam kelompok ini, tanpa diduga Adi mengutarakan isi hatinya untuk melakukan kawin kontrak dengannya. Pasalnya, sesuai dengan apa yang diajarkan Imam pada aliran Syiah ini, perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin kontrak. Dalam keyakinan Syiah, langkah ini ditujukan untuk menghindari diri dari godaan nafsu biologis serta perbuatan zina.
 Yakin akan pengajaran itu, Ani pun menerima ajakan pacarnya itu. Acara Ijab kabul segera dilaksanakan. Mereka berdua sepakat untuk menjalani kawin kontrak untuk jangka waktu satu tahun.
“Saat itu tak ada lagi keraguan. Saya malah senang karena kebutuhan kami, baik lahir dan batin dapat terpenuhi tanpa melanggar larangan agama”. Ujar mahasiswi yang kini sedang menjalani ujian skripsi ini.
Padahal, menurutnya kalau dibayangkan saat itu, entah bagaimana sikap orang tuanya seandainya mereka tahu langkah yang telah dijalaninya. Bagaimana tidak, kawin kontrak itu dilakukan tanpa persetujuan serta saksi orang tuanya. Sebab, menurut kelompok ini saksi dapat diwakili oleh ketua kelompok serta orang-orang yang hadir saat itu.
“Orang tua tidak wajib datang atau menjadi saksi. Ada yang mewakili sebagai saksi saja sudah cukup”. Ungkap wanita itu dengan enteng.
Setelah satu tahun berlalu, rasa bosan mulai timbul di hati kedua insan ini. Mereka pun sepakat untuk tidak meneruskan ikatan perkawinan yang telah dijalani keduanya sejak satu tahun silam. Ani pun kembali menjalani kehidupannya tanpa seorang kekasij di sisinya.
Tapi, ini tak berlangsung lama. Dan ternyata kekasih barunya itu tak lain adalah adik kandung Adi sendiri, mantan “suaminya” yang dulu. Alasannya, Ani telah merasa cocok dengan lingkungan keluarga Adi.
Bisa diduga, keduanya juga melakukan kawin kontrak dengan jangka waktu satu tahun. Dan seperti sebelumnya, kawin kontrak ini pun hanya berumur satu tahun saja.
“Saya tidak menemukan kasih sayang seperti yang diberikan kakaknya, sehingga setelah satu tahun saya memutuskan tidak meneruskan lagi” tambah anak seorang pengusaha yang bergerak dibidang kontraktor ini.
Sebenarnya, selama ia menjalani kawin kontrak tak sedikit gunjingan yang diterimanya. Namun diibaratkan, ‘masuk kuping kanan keluar kuping kiri’, tak satupun gunjingan itu yang digubrisnya. Tetapi, lama kelamaan mereka ini merasa dikucilkan teman-temannya, dan Ani pun merasa stres, terlebih sejak ia pisah dengan ‘suami’ keduanya.
“Saya mulai dijauhi teman-teman kost, mereka tampak sekali menjaga jarak”. Katanya dengan sedikit terbata-bata.
Untungnya, sikap teman-teman serta dasar agama yang dimilikinya waktu kecil mampu menuntunnya untuk meninggalkan kebiasaan kawin mut’ah. “Akhirnya, saya memutuskan untuk menjauhi kehidupan yang selama ini telah saya lakukan itu”. Tutur wanita yang tampak tegar akan keadaannya itu. Alhamdulillah. (pz/eramuslim)

Pernyataan Para Tokoh Islam Indonesia Tentang Kesesatan Syiah

Komentar Beberapa Tokoh Islam Tentang Syi’ah

1.         Pengantar Ketua LPPI Pusat
“Oleh karenanya, bilamana ada doktor yang mengatakan, antara Syi’ah dan Sunni itu sama saja, sebab hanya ada perbedaan fiqih semata, maka itu menunjukkan doktor tersebut tidak mengerti sama sekali tentang Syi’ah dan juga tidak mengerti tentang Sunni (tidak mengerti tentang Agama, tentang Islam).
Dan sehubungan dengan itulah, kumpulan makalah ini dibukukan dan kemudian diterbitkan, karena sangat perlu dibaca kaum muslimin bangsa Indonesia, agar supaya mereka terhindar dari kesesatan Syi’ah. Sebab, kalau boleh ditamsilkan Syi’ah itu dengan sekaleng makanan, maka kaleng makanan tersebut sesungguhnya adalah berisi daging babi, namun label dan kemasannya ditulis daging sapi murni serta seratus persen halal. Jadi, semua serba penipuan, sama halnya dengan pelacuran yang kemudian dikemas dengan istilah nikah mut’ah, kemunafikan dan kebohongan dikemas dengan istilah taqiyah.
Akhirnya demikianlah kata pengantar ini kami sampaikan, semoga kita semua terpelihara dari kesesatan dan penyesatan Syi’ah, ajaran sesat yang berkedok Islam, musuh dalam selimut kaum muslimin, kita harus dan perlu mewaspadainya” (H. M. Amin Jamaluddin, ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XI-XII, 16 November 1997)
2.          Ketua MUI Pusat
“Saya sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada LPPI yang telah bekerja keras mengumpulkan bahan-bahan untuk penerbitan buku tersebut. Akhirnya saya berharap semoga buku tersebut dapat dibaca oleh umat Islam Indonesia dalam upaya membendung paham Syi’ah di Indonesia” (KH. Hasan Basri, Ketua MUI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 8 Januari 1998, hal: XIII)
3.          Ketua PP Muhammadiyah
“Kami berpendapat, bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah itu. Oleh sebab itu kepada segenap umat Islam dianjurkan untuk mempelajarinya secara kritis dengan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah Al Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya” (Dr. Amin Rais, ketua PP Muhammadiyah, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XIV)
4.          Ketua PBNU
“Syuriah PBNU di Jakarta menganggap penting dibukukannya makalah-makalah tentang Syi’ah yang disampaikan pada Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah pada tanggal, 21 September 1997 di aula masjid Istiqlal Jakarta.

Karena makalah-makalah itu memuat penjelasan yang akurat tentang hakikat aqidah dan ajaran Syi’ah yang diangkat dari buku-buku Syi’ah yang standar (Mu’tabarah).
Maka kumpulan-kumpulan ini perlu dibaca dan dipahami oleh kaum muslimin, terutama para intelektualnya, agar mengetahui secara jelas perbedaan yang prinsipil antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah, tak terkecoh oleh obrolan propagandis-propagandis Syi’ah, yang menyamakan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah” (PBNU, Rais Aam: KH. M. Ilyas Ruhiat, Katib Aam: KH. Drs. M. Dawam Anwar, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 14 Oktober 1997, hal: XV)

5.       PP PERSIS
“Perbedaan paradigma yang dimaksud adalah paradigma tentang kedudukan sahabat Nabi. Mayoritas sahabat Nabi menurut paradigma Syi’ah adalah para pengkhianat dan karena itu, para sahabat diberi gelaran tidak senonoh dan tidak ada sopan santun sama sekali. Menurut penilaian mereka hanya sebagian kecil saja di antara para sahabat yang dianggap jujur, yaitu antara lain: Abu Dzar, Salman al Farisi, dan Miqdad bin Aswad. Para sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman bin Affan (walaupun yang terakhir ini masih menantu Nabi pula) dilihat sebelah mata, dihina, bahkan dicaci maki sebagaimana akan ditemukan dalam makalah-makalah yang akan dibaca nanti. Padahal Al Quran dan Hadits menempatkan sahabat sedemikian mulia karena perjuangan mereka dalam membela Islam. Salah seorang imam mereka di abad modern ini, misalnya, yang dikultuskan sebagai imam yang agung itu oleh para pengagumnya, ternyata ucapannya, tidak lepas pula dari cacian tersebut, sebagaimana ia ucapkan kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra. yang menyebutkannya sebagai ‘Dua Berhala Quraisy’. Istri Rasul yang dihormati, yaitu Aisyah dan Hafshah yang digelari Ummul Mukminin disebut sebagai ‘Dua Puteri Berhala Quraisy’. Suatu ucapan yang tidak layak dikeluarkan oleh seorang intelektual dan pemimpin bangsa” (PERSIS, Ketua Bid. Tarbiyah: Dr. H. M. Abdurrahman, MA, Sekretaris Umum: H. Emon Sastranegara, Mengapa kita Menolak Syi’ah, 15 Oktober 1997, hal: XIX)
6.          Sambutan Ketua LPPI Pusat
“Sebagaimana dimaklumi, bahwa LPPI adalah sebuah lembaga yang mengkhususkan diri untuk meneliti aliran-aliran sempalan yang muncul di Indonesia, kemudian kami melaporkannya kepada MUI Pusat, Departemen Agama RI, Kejaksaan Agung RI, serta pihak-pihak yang terkait yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi.
Ada salah satu wartawan ibu kota yang bertanya kepada kami, pertanyaannya antara lain: ‘Tidakkah dengan menyelenggarakan Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah ini, bisa menimbulkan perpecahan di antara umat Islam Indonesia?’. Kami menjawab: Rumusan persatuan itu apa?, sebab masalah sekarang ini di Indonesia, seumpama kebun, sebidang kebun. Kebun isinya Ahlus Sunnah. Yang punya Ahlus Sunnah, sudah turun temurun dari dulu. Sekarang datang orang-orang Syi’ah dan menggarap kebun yang berisi Ahlus Sunnah, milik Ahlus Sunnah. Datang yang punya, yang punya kebun. ‘jangan digarap ini kebun, ini milik kami, kebun kami sejak dulu turun-temurun’. Tapi orang-orang Syi’ah tetap bersikeras untuk menggarap. Akhirnya terjadi cekcok. Maka dalam hal ini, yang salah siapa? Yang mempertahankan kebun haknya, yang salah, ataukah yang menggarap kebun orang, itu yang salah?.
Kalau menggarap boleh saja menggarap namun jangan di kebun orang, tetapi yang masih hutan rimba di sana, kita sama-sama menggarap hutan rimba yang belum diisi atau dimiliki oleh orang lain. Itulah jawaban saya terhadap salah satu wartawan tersebut.” (H. M. Jamaluddin Amin, Ketua LPPI Pusat, Mengapa kita Menolak Syi’ah, hal: XXVII-XXVIII)

7.         Kata Sambutan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

-          Membaca kesimpulan tersebut, memang terdapat dengan terang beberapa penyimpangan ajaran Syi’ah, terutama dari segi aqidah dan ibadah. Kesimpulan seminar nasional sehari tentang Syi’ah tersebut perlu sekali ditindak lanjuti dengan upaya-upaya yang terprogram, guna membentengi umat dari ajaran sesat ini, serta menjaga keutuhan umat dan bangsa dari kemungkinan terjadinya perpecahan.
-           Dalam buku “Syi’ah dan Sunnah” karangan Prof. Dr. Ihsan Ilahi Zahir, MA, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Bey Arifin, diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya cetakan pertama tahun 1984, dapat kita simak setumpuk besar masalah mengenai perbedaan antara Ahlus Sunnah dan golongan Syi’ah.
-          Mengantar penerbitan buku tersebut, almarhum Bapak Muhammad Natsir memberi sambutan dengan judul “Kata Berjawab”.
Antara lain beliau mengatakan:
Kalau perkembangan sudah demikian (pengaruh ajaran seesat dari Syi’ah, pen), apakah para alim ulama kita di Indonesia bisa mendiamkan saja?
Tidak bisa dan tidak boleh!
Mereka, alim ulama adalah, sebagaimana yang dilukiskan dalam Al Quran:
Yakni satu golongan yang fungsinya memperdalami ilmu agama dan memberi ingat kepada kaum mereka bila mereka kembali, agar mereka ini senantiasa waspada. Ini tugas alim ulama.
Kata berjawab, gayung bersambut, yaitu: Secara bijaksana (bilhikmah), dalam rangka pendidikan (wal mau’izhah Al-hasah) dan bertukar pikiran, bertukar hujjah dan alasan (mujaddalah billati hiya ahsan)dengan cara yang terbaik”.
-          Melihat perkembangan akhir-akhir ini, dimana komunikasi informasi melalui media cetak dan elektronik yang semakin canggih bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, maka setiap orang maupun golongan dapat dengan mudah menyodorkan idea dan keyakinannya kepada orang lain, terutama kepada anak-anak muda yang belum punya pegangan hidup yang mantap. Demikian pula umat kita yang tergolong ”dhu’afa” yang lemah dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan lebih-lebih dalam bidang aqidah dan ibadah, dengan mudah menjadi sasaran yang empuk dari ajaran-ajaran yang sesat.
-          Disinilah letaknya tugas berat dari para Ulama, Zu’ama, para pendidikan dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi para muballigh dan da’i di lapangan, untuk selalu waspada dan berusaha keras membentengi umat dari segala macam pengaruh yang merusak agama dan memecah belah persatuan umat dan bangsa. Dan tak kurang pula -tentunya- adalah menjadi tanggung jawab dari para Umara (Pemerintah) dari pusat sampai ke daerah, dari kota sampai desa di seluruh wilayah tanah air ini. (H. Hasanuddin Abu Bakar, Sekretaris DDII Pusat, Mengapa kita Menolak Syiah, hal: xx-xxi)

 8.         Sambutan Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah
“…Diharapkan hasil cetakan dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat agar lebih memahami hakekat ajaran Syi’ah, dengan demikian menyadari betapa berbahayanya paham tersebut apabila menyebar dan tersebar luas di Indonesia. “
Mengapa Berbahaya?
-          Umat Islam Indonesia merupkan Ahlus Sunnah yang mempunyai perbedaan aqidah, fiqiyyah dan akhlak yang asasi dengan aliran Syi’ah, seperti: masalah imamah, martabat, ke-ma’shum-an; pandangan yang merendahkan terhadap Khulafa-ur-Rasyidin selain Khalifah Ali bin Abi Thalib; kebiasaan bertaqiyyah dan sebagainya. Perbedaan itu sulit dipertemukan apalagi dikompromikan.
-          Merebaknya praktek nikah mut’ah dihalalkannya oleh sementara kalangan masyarakat di Indonesia, merupakan fenomena berbahayanya, karena: menumbuhkan sikap yag merendahkan ajaran Islam; merendahkan derajat wanita; mengacaukan nasab serta menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; dan
-          Agresifitas ajaran Syi’ah sangat berbahaya, karena pada suatu waktu akan menimbulkan gangguan keamanan dan peluang konflik Syi’ah-Sunnah seperti terjadio di beberapa kawasan dunia. Adalah Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam Muktamarnya ke-36 bulan Oktober 1996 di Pekalongan yang telah melahirkan himbauan kepada pemerintah untuk melarang ajaran Syi’ah berkemabang di Indonesia.
(H. Geys Amar, SH. (Ketua Umum) Masdoen Pranoto (Sekjen), Pimpinan Al Irsyad Al Islamiyyah, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxii-xxiii, tanggal 12 Rajab 1418 H/ 13 November 1997)

9.         Sambutan Yayasan Al Bayyinat
Jerih payah LPPI dan para tokoh Islam di Jakarta mengadakan seminar Nasional tentang Syi’ah di masjid Istiqlal, ternyata telah membuahkan hasil yang mengggembirakan dan tidak ternilai. Sehingga masyarakat yang dahulunya tidak mengatahui apa dan bagaimana Syi’ah itu, menjadi faham. Karena dalam seminar tersebut di bahas bagaimana sebenarnya akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ‘asyariyah, serta bahayanya bagi agama, bangsa dan Negara.
Jika sebelum seminar tersebut banyak orang mengira bahwa perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah sekedar dalam masalah Furuiyyah (cabang) saja, seperti perbedaan antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki, maka dengan diadakannya Seminar tersebut, kini masyarakat mulai memahami bahwa perbedaan antara Syi’ah dan AhlussSunnah bukan hanya dalam masalah furuiyyah saja tapi disamping masalah furuiyyah juga dalam ushul (pokokS). Rukun iman Syi’ah berbeda dengan Rukun iman Ahlus Sunnah, begitu pula rukun Islam Syi’ah berbeda dengan rukun islam Ahlus Sunnah. Bahkan syahadatnya pun berbeda. Dimana jika syahadat Ahlus Sunnah berbentuk dua kalimat syahadat atau syahadatain, tapi bagi Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah berbentuk tiga kalimat syahadat yaitu disamping Asyhadu Anla Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammasar Rasulullah masih ditambah dengan menyebut dua belas iamam-imam mereka.
Selanjutnya agar apa yang sudah dihasilkan oleh seminar tersebut dapat diketahui oleh masyarakat, serta dapat dipakai sebagai rujukan bagi siapa saja yang ingin mengkaji Syi’ah, maka kami atas nama Yayasan Al Bayyinat merasa gembira dan mendukung dibukukannya Makalah-makalah dalam seminar tersebut.
Semoga buku hasil seminar ini dapat menambah wawasan pembaca mengenai Syi’ah Imamiyah Itsna’asyariyah, atau yang sekarang menggunakan nama samaran Mazhab Ahlul Bait. (Achmad Zein Alkaff (Ketua Bidang Organisasi), Pimpinan Pusat Al Bayyinat, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxv tanggal 10 November 1997)

10.     Sambutan Majelis Ulama Indonesia Pusat
“Adapun masalah Syi’ah yang pada hari ini diseminarkan, Alhamdulillah pada tahun 1993 bulan April, ulam-ulama Indonesia diundang beSrkumpul di Brunei Darussalam. Dari Malaysia, dari Singapura dari Indonesia dan Brunei tuan rumahnya. Dari Indonesia saya ingat, kita menyusun suatu delegasi yang cukup kuat waktu itu, termasuk Rais Aam NU, KH. Ilyas Ruhiat, Alm. KH. Azhar Basyir, Ketua Umum Muhammadiyah dari Yogya, beliau masihS hidup waktu itu, saya sendiri dari Majelis Ulama. Kita berkumpul disana, bersama seluruh ulama dari Malaysia, Singapura, dan Brunei. Kita mengadakan seminar, namanya seminar Aqidah. Ini bukunya, masih saya simpan. Jadi, semua berikrar pada waktu itu, delegasi dari empat Negara, bahwa kita harus menyelamatkkan kawasan tanah air kita ini, dari aqidah menyimpang. Ada dua keputusan waktu itu, ijma’nya ulama-ulama empat Negara ini. Yang pertama, kita ini Sunni, Ahlussunnah wal Jamaah. Baik Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, adalah Sunni. Kita bukan Syi’i. itu jelas. Itu ikrar kita, pada waktu itu bersama-sama dalam seminar itu.
Kemudian yang kedua adalah mazhab dalam fiqih. Semua sepakat pada waktu itu, mazhab kita mazhab Syafi’i namun di izinkan untuk pindah dari Syafi’I, tetapi tidak keluar dari salah satu mazhab yang empat. Itu keputusan diBrunei. Saya kira ikrar ulama-ulama kita ini penting. Sebab yang hadir adalah ulama-ulama yang membawa aspirasi ummat seluruh tanah air dari empat Negara, baik Malaysia, baik Brunei.
Brunei, sebagai Negara kecil, dia ketat sekali menjaga tentang Syi’ah ini. Dia jaga di imigrasi. Kalau masuk Brunei kalau dia curiga apa orang itu Syi’ah, apa ahmadiyah, ia akan ditolak di imigrasi dan hari itu juga akan dikeluarkan dia, dikembalikan dia, tidak diterima dia masuk kedalam negeri Brunei. Praktek ini dilakukan di Brunei. Mereka hanya Negara kecil, begitu, orangnya sedikit, tapi punya banyak uang. Jadi, dia dapat menyelanggarakan ini dengan baik. Kita belum sampai kesana. Di Imigrasi tidak ditanya apa mazhab saudara, apakah Syi’ah apakah Sunni, belum lagi itu. paling-paling yang ditanya: “Bawa Ekstasi atau narkotik?”
Kalau dari segi ajaran bahaya Syi’ah melebihi ekstasi dan narkotik. Sebab, dia merecuni aqidah. Kalau ekstasi dan narkotik dia meracuni fisik, fisik manusia. Tapi kalau aqidah diracuni, itu sangat berbahaya sekali bagi manusia.
…Majelis ulama pernah memutuskan bahwa aqidah Syi’ah ini tidak benar. Kemudian kita didatangi duta-duta besar dari mana-mana. Yang satu mendukung kita, bagus sekali. Tapi satu duta besar yang datang: “kenapa kok tidak menyetujui Syi’ah?”. Saya katakan: “Kami menyelamatkan aqidah kami, menyelamatkan umat kami”.
Itu yang diputuskan Majelis Ulama. Jadi jangan dibawa-bawa masalah politik apalagi politik Negara ini masing-masing ada masalah. Jadi jangan dibawa-bawa. Murni kita pada hari ini, secara ilmiah, membicarakan Syi’ah ini, dengan kepala dingin. Tunjukkan.  (KH. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat, Mengapa kita menolak Syi’ah hal. xxx-xxxiii, tanggal 19 Jumadil ‘Ula 1418H/ 21 September 1997 M)
(Muis/LPPIMakassar.blogspot.com)

Apa Kata Ulama Sulsel Tentang Doktoral Jalal

Komentar Beberapa Ulama dan Tokoh Masyarakat
Terhadap Rencana Pemberian Gelar Doktor Ilmu Agama Islam Melalui Program By Research kepada Prof. Dr. H. Jalaluddin Rakhmat (JR) oleh PPs UIN Alauddin Makassar

1.       KHM. Sanusi Baco, Lc  (Ketua MUI Sul-Sel)

  • Tidak boleh memberikan gelar doktor ilmu agama kepada orang yang meyakini dan menyebarkan pemahaman yang menyimpang, sebagaimana tidak boleh menjual beras ketan kepada orang yang kita tahu akan membuatnya menjadi minuman yang memabukkan
  •  JR adalah ilmuan yang tidak berakhlak karena menjelek-jelekkan para sahabat dan tabi’in (para ulama)
  •  Pihak UIN Alauddin Makassar adalah orang yang tentunya bijaksana dan berpengalaman. Tentunya tidak akan memberikan gelar doktor ilmu agama yang merupakan pujian dan penghormatan serta pengakuan kepada orang yang demikian  itu (JR)

2.   KH. Jamaluddin Amin (Penasehat Muhammadiyah Sul-Sel)
Bagaimana bisa sahabat itu dijelek-jelekkan, apalagi Abu Bakar RA yang dipuji Allah sebagai sahabat Nabi saw, sesuai firmanNya: “ Tatkala keduanya didalam gua, tatkala ia berkata kepada sahabatnya, jangan takut, sungguh Allah bersama kita” (S. At-Tawbah: 40)

3.   KH. Bakri Wahid (Penasehat Muhammadiyah)
Memang JR itu orang Syiah dan orang Syiah itu terkenal pembohong. Sangat tidak pantas memberi gelar doktor ilmu agama kepadanya

4.   Prof. Dr. H.M. Akil (Pembina RS Ibnu Sina UMI)
Bagaimana bisa seorang yang menamakan dirinya cendekiawan muslim, mengetahui hukum-hukum agama diberi kesempatan untuk merusak akidah dan akhlak umat Islam terutama generasi muda dengan menghalalkan nikah mutah.

5.   Drs. H. Abd. Rauf Assegaf, M.Ag (Sekretaris NU Sul-Sel)
KHM. Nur adalah guru kami. Kami ikut fatwanya. JR telah menulis yang sangat menyinggung perasaan keagamaan.

6.   Drs. Muhammad Alwi Uddin, M.Ag (Ketua PW Muhammadiyah Sul-Sel)
KH. Jamaluddin Amin dan KH. Bakri Wahid adalah penasehat Muhammadiyah, maka tentu ilmu (pernyataannya) patut dipertimbangkan

7.   KHM. Zein Irwanto, M. Ag (Ketua NU Sul-Sel)
Kami ikut kepada KHM. Sanusi Baco, Lc, Ketua Dewan Syuriah NU

8.   Prof. Dr. KHM. Farid Wajdi (Pimp. Ponpes DDI Mangkoso)
Rencana pemberian gelar doktor ilmu agama kepada JR merupakan bukti keberhasilan kaum orientalis merusak Islam melalui beasiswa belajar Islam dinegara Barat. Sebagian lulusannya tidak bisa lagi membedakan mana perbedaan dalam agama yang bisa ditolerir, mana yang tidak boleh ditolerir. Ajaran Ahmadiyah, Syiah, Pluralisme, Sekularisme, Liberalisme agama tidak boleh dibiarkan karena merusak aqidah dan telah dinyatakan sesat oleh ulama sejak dahulu sampai sekarang, temasuk oleh MUI.

9.   Prof. DR. dr. Amiruddin Aliah (Ketua Yayasan Masjid Nurul Amin)
Saya yakin bahwa misi UIN adalah, sebagai lembaga studi Islam, bukan universitas agama, dan agama Islam hanya satu yang sudah sempurna dari RasuluLLAH Muhammad di jazirah Arab, sepatutnya tidak memberi peluang kepada orang yang hanya mencari status S3 untuk popularitas/ dakwah agama lain, orang yang terbukti gemar menyiarkan kebohongan, kepalsuan, dan membawa misi yang akan merusak tatanan Islam yang justru diemban UIN dan bertentangan dengan prinsip ilmiah; menegakkan kebenaran berdasarkan bukti/ rujukan yang benar, bukan rujukan yang palsu/ dibuat-buat. Saya menangkap sinyal adanya imperialisme baru ke negeri/ umat Islam termasuk cendekiawan/ ulama/ dan dunia ilmiah/ PTnya! Hati-hati hukuman Allah ! WaLLAHU a’lam.
sumber : LPPIMakassar.blogspot.com

Terimakasih kepada Bapak Haidar Bagir atas Pegakuannya

Oleh Dr. Muhammad Arifin Badri*
Sepandai-pandai tupai melompat, pasti kan terjatuh juga. Pepatah ini adalah hal pertama yang melintas dalam pikiran  saya ketika membaca tulisan Bapak Haidar Bagir di harian Republika (20/1/2012) dengan judul: Syiah dan Kerukunan Umat.
Bapak Haidar Bagir dengan segala daya dan upayanya berusaha menutupi beberapa idiologi Syi’ah yang menyeleweng dari kebenaran. Walau demikian, tetap saja ia tidak dapat melakukannya. Bahkan bila anda mencermati dengan seksama, niscaya anda dapatkan tulisannya mengandung pengakuan nyata akan kesesatan sekte Syi’ah Imamiyah.
Berikut saya ketengahkan ke hadapan anda empat pengakuan terselubung Bapak Haidar Bagir.
Pengakuan Pertama :
Data Syi’ah Imamiyah tentang idiologi adanya Al Qur’an versi Syi’ah begitu melimpah dalam berbagai referensi Syi’ah. Wajar bila Bapak Haidar Bagir tidak menemukan cara untuk mengingkarinya. Fenomena ini mengharuskannya untuk menempuh cara selain menutupinya, ternyata lebih dia pilih untuk mengesankan bahwa data tersebut adalah
(hanya) pendapat pribadi sebagian tokoh syi’ah Imamiyah. Karena itu, tulisan bapak Haidar Bagir ini mengandung pengakuan bahwa idiologi tentang adanya Al Qur’an versi Syi’ah Imamiyah adalah benar-benar nyata, dan bukan tuduhan semata.
Adapun klaim bapak Haidar bahwa idiologi ini adalah idiologi sebagian oknum Syi’ah maka itu menyelisihi fakta yang ada. Sebagai salah satu buktinya, Ayatullah Ali Khamenei, yang mereka anggap sebagai Wali Faqih, dan tokoh terkemuka Syi’ah Imamiyah zaman ini teryata masih mengajarkan hal ini. Dalam kitabnya Kasyful Asrar hal. 149 ia menyatakan: “Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah al imaamah (kepemimpinan) dalam Al Qur’an. Alasannya, beliau khawatir Al Qur’an akan diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.”
Adapun keberadaan Mushaf Utsmani di tengah-tengah para penganut Syi’ah Imamiyah maka itu belum cukup kuat untuk mengingkari adanya mushaf Fatimah dalam idiologi Syi’ah. Yang demikian itu karena tokoh Syi’ah Imamiyah sejak dahulu mengajarkan agar para pengikut mereka untuk sementara membaca Al Qur’an yang ada, hingga kelak Imam Mahdi yang mereka yakini bangkit.
Al Kulaini dalam kitabnya Al Kaafi 2/619, meriwayatkan bahwa Abu Hasan Ali bin Musa Ar Ridha, bertanya kepada Abu Ja’far :  Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada pada Al Qur’an kita ini. Sebagaimana kita juga tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajarkannya kepada kalian.”
Adapun tokoh-tokoh sunni yang oleh Bapak Haidar diklaim telah berpendapat tentang adanya perubahan pada Al Qur’an, adalah klaim sepihak yang kosong dari bukti. Karena pernyataan sahabat Umar bin Al Khatthab tentang ayat rajam adalah penjelasan tentang adanya ayat yang oleh Allah Azza wa Jalla dianulir/dihapuskan secara bacaan namun hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana ulama’-ulama’ sunni juga menegaskan bahwa dalam Al Qur’an terdapat beberapa ayat-ayat yang kandungan hukumnya telah dihapuskan walau secara bacaan masih tetap ada.  Fakta ini bukanlah hal aneh, karena telah dijelaskan pada ayat 106, surat Al Baqarah.
Namun tentu syari’at nasekh (anulir) suatu ayat menurut sunni menyelisihi idiologi perubahan Al Qur’an dalam doktrin Syi’ah Imamiyah. Nasekh menurut sunni hanya terjadi semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sepeninggal beliau maka tidak terjadi nasekh.
Ditambah lagi menurut syariat sunni, hingga hari qiyamat tidak ada yang mengembalikan ayat-ayat yang semasa Nabi hidup shallallahu ‘alaihi wa sallam mansukh (dianulir).
Sedangkan menurut sekte Syi’ah Imamiyah Al Qur’an mengalami perubahan sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Dan kelak ayat-ayat yang dirubah sepeninggal beliau akan dikembalikan lagi oleh imam mereka ke-12. Karena itu, sekte Syi’ah senantiasa menantikan kehadiran sosok tersebut, yang mereka yakini sebagai Imam Mahdi.
Pengakuan Kedua :
Pada awal tulisan, Bapak Haidar mengklaim bahwa celaan syi’ah terhadap sahabat hanyalah sebatas kecenderungan dan bukan ajaran. Menurutnya, syi’ah yang mencela sahabat Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan juga sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah minoritas.
Selanjutnya Bapak Haidar berusaha menguatkan klaim ini dengan menyebutkan sekte Syi’ah Zaidiyah. Menurutnya sekte Zaidiyah menerima kekhilafahan sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Penuturan ini adalah bukti nyata bahwa Bapak Haidar telah memutar balikkan fakta. Sejatinya Bapak Haidar Bagir lah yang telah menggunakan data syadz (ganjil) guna mendukung kesimpulannya. Karena sekte Zaidiyah adalah sekte minoritas syi’ah, sedangkan meyoritas syi’ah saat ini adalah para pengikut sekte Imamiyah.
Terlebih lagi, adanya pengakuan terhadap kekhilafahan sahabat Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah alasan Imamiyah mengucilkan sekte Zaidiyah.
Adapun beberapa tokoh Syi’ah Imamiyah yang disebut oleh Bapak Haidar telah mengakui kekhilafahan ketiga sahabat di atas, maka saya tidak ingin banyak mempersoalkannya. Saya hanya ingin bertanya: Apakah pengakuan tersebut diamini oleh tokoh Imamiyah yang lain dan kemudian diterapkan oleh seluruh penganut Imamiyah?
Fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa pengikut syi’ah imamiyah tetap saja melaknati ketiganya dan juga lainnya. Kasus sampang dan berbagai kasus serupa di negeri kita adalah salah satu buktinya. Karena itu Abu Luklu’ah Al Majusi aktor pembunuh Khalifah Umar bin Khatthab diagungkan oleh sekte Imamiyah sehingga mereka menjulukinya dengan Baba Suja’uddin. Dan sebagai apresiasi atas jasanya membunuh Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab, mereka membangun kuburannya dengan megah.
Pengakuan Ketiga:
Kebesaran jiwa ulama’-ulama’ sunni dan juga seluruh umat sunni untuk menghentikan kemungkaran yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah. Sehingga mereka semua patuh dan mengapresiasi sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan hal tersebut.
Namun hal serupa hingga saat ini tidak kuasa dilakukan oleh para penganut ajaran syi’ah Imamiyah. Sehingga walaupun para aktor sandiwara taqrib telah menyerukannya, namun tetap saja di lapangan para penganut Syi’ah terus mencaci sahabat-sahabat Nabi. Sikap Yasir Al Habib beserta para pengikutnya dan juga syi’ah di Sampang adalah bukti nyata, bahwa seruan tersebut hanyalah seruan tanpa pembuktian.
Pengakuan Bapak Haidar ini, dapat menjadi bukti nyata bahwa hanya dengan mengikuti ajaran sunnilah kedamaian antar komponen umat Islam dapat terwujud. Adapun ajaran syi’ah, terlebih Imamiyah, hingga saat ini terus menjadi biang terjadinya permusuhan bahkan perang saudara di tengah-tengah umat Islam. Sikap pasukan Al Hautsi di Yaman yang menyerang sunni di daerah Dammaj, dan juga pasukan Al Mahdi di Irak yang membantai sunni adalah bukti nyata akan hal tersebut.
Pengakuan Keempat :
Bapak Haidar Bagir juga mengakui bahwa sekte Syi’ah yang selama ini menjadi biang kericuhan umat Islam adalah Syi’ah Imamiyah atau Itsna ’Asyariyah. Karena itu beliau merasa perlu untuk mengutarakan adanya perubahan pandangan tentang keabsahan khilafah sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Walau demikian, ada satu fakta yang mungkin kurang diwaspadai oleh Bapak Haidar Bagir. Mengakui adanya perubahan ini sejatinya adalah pengakuan bahwa idiologi Imamah versi Imamiyah adalah sesat. Andai tidak sesat, buat apa beliau perlu mengutarakan adanya ralat yang dilakukan oleh sebagian tokoh sekte Imamiyah?
Terlebih sejatinya idiologi bahwa imam (penguasa umat) dalam Islam hanya berjumlah 12 orang, adalah idiologi tidak nyata dan tidak masuk akal. Anda pasti telah mengetahui bahwa dari kedua belas imam Syi’ah yang benar-benar pernah mengenyam sebagai khalifah hanyalah sahabat Ali bin Abi Thalib dan putranya Al Hasan.
Adapun Al Husein beserta anak cucunya, maka hingga mereka meninggal dunia, tidak seorangpun yang sempat menjadi pemimpin. Sehingga berbagai dalil yang mereka yakini tentang keimaman mereka benar-benar menyelisihi fakta.
Secara defacto seluruh ahli sejarah sepakat bahwa Al Hasan bin Abi Thalib telah menyerahkan khilafah (kekuasaan) kepada sahabat Mu’awiyah. Dan tahun terjadinya serah terima khilafah ini akhirnya dikenal dan diabadikan oleh umat sunni hingga akhir masa. Sehingga mereka menyebut tahun tersebut dengan sebutan ‘aamul jama’ah (tahun persatuan).
Setiap umat sunni bergembira dengan kejadian ini. Umat sunni menganggap sikap Al Hasan ini sebagai jasa terbesar yang beliau lakukan untuk umat Islam. Bahkan umat sunni hingga saat ini meyakini bahwa sikap Al Hasan ini sebagai wujud nyata dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya:

” { إنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللَّهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ } “
“Sejatinya putraku ini adalah seorang pemimpin, dan semoga dengannya Allah menyatukan dua kelompok besar dari umat Islam.” (Bukhari)
Namun tahukah anda bahwa umat sunni yang mengapresiasi kebesaran jiwa Al Hasan ini ternyata tidak diteladani oleh penganut Syi’ah. Beberapa referensi Syi’ah malah menukilkan sikap yang berlawan arah. Beberapa tokoh Syi’ah malah menganggap sikap Al Hasan ini sebagai bentuk pengkhianatan.
Pada suatu hari, seorang  tokoh Syi’ah bernama Sufyan bin Laila berkunjung ke rumah Al Hasan bin Ali. Didapatkan beliau sedang duduk-duduk sambil berselimut di depan rumahnya. Sepontan Sufyan bin Laila mengucapkan salam kepada Al Hasan dengan berkata: “Semoga keselamatan atasmu, wahai orang yang telah menghinakan kaum mukminin! Karena merasa ganjil dengan ucapan selamat yang disampaikan oleh Sufyan, Al Hasan bertanya: Darimana engkau mengetahui hal itu? Ia menjawab: Engkau telah memangku kepemimpinan, lalu engkau melepaskannya dari bahumu. Selanjutnya engkau sematkan kepemimpinan itu di bahu penjahat ini agar ia leluasa menerapkan hukum selain hukum Allah.”
Kisah ini bisa anda temui pada beberapa refensi agama Syi’ah, semisal: Al Ikhtishash karya As Syeikh Al Mufid wafat thn: 413 H, hal: 82,  Ikhtiyaar Ma’rifat Ar Rijal, karya As Syeikh At Thusi wafat thn: 460, hal: 1/327 & Bihaarul Anwaar karya Muhammad Baqir Al Majlisi wafat thn: 1111 H, hal: 44/24.
Sejak serah terima khilafah antara sahabat Al Hasan kepada sahabat Mu’awiyah ini, tidak seorangpun dari keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib yang memangku jabatan khalifah.
Bahkan Al Husein bin Ali bin Abi Thalib yang hendak merebut khilafah dari Yazid bin Mu’awiyah, menemui kegagalan dan terbunuh sebelum sempat mendapatkannya. Tak ayal lagi, ia hidup tanpa imamah, hingga akhir hayatnya, demikian pula nasib seluruh anak cucunya. Dengan demikian kesepuluh imam Syi’ah Imamiyah setelah Al Hasan berstatus The Kings Without A Kingdom.
Ini adalah bukti nyata bahwa meyakini keimamahan kesepuluh imam sekte Imamiyah adalah kekeliruan, karena menyelisihi fakta. Sehingga wajar bila seluruh sunni dan juga setiap yang berakal sehat tanpa terkecuali umat Islam di negeri kita tercinta ini menolak idiologi Syi’ah Imamiyah.
*Dr. Muhammad Arifin, Dosen Tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI).(nahimunkar.com)

Membantah Argumentasi Syi’ah: tentang Ayat Dzawi Qurba

Yang dimaksud ayat dzawi qurbâ oleh kaum Syiah adalah firman Allah kepada Rasulullah ketika memerintahkan beliau agar berkata kepada manusia:‘ .Katakanlah, aku tidak meminta dan kalian suatu imbalan apapun atas seruanku ini tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan…’.” (Asy-Syura [ 23).
Kalangan Syiah menafsirkan maksud kekeluargaan pada ayat itu sebagai Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.
Seperti misalnya yang dilakukan oleh Anthaki dalam kitabnya, Limâdza Ikhtartu Madzhab Asy-SyI’al’z, yang tampaknya sangat lancang dan tergesa-gesa —kendati saya seratus persen yakin bahwa kitab tersebut sebenarnya bukan hasil karyanya, tapi ditulis oleh orang lain lalu dinisbatkan kepada dirinya, wallahu a’lam. Ketika sampai pada ayat tersebut, dia mengutip satu hadits dan Shahih Al-Bukhâri yang isi sebenarnya bahwa Ibnu Abbas ditanya seseorang tentang makna ayat tersebut. Belum sempat Ibnu Abbas menjawab, Said bin Jubair sudah mendahuluinya dengan, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku.” Ibnu Abbas membantahnya dengan berkata, “Kamu terlalu gegabah. Demi Allah, tidak satu pun keluarga besar dan sekian banyak keluarga besar di suku Quraisy melainkan ada pertalian kekerabatan antara mereka dengan Nabi. Maksudnya yang benar adalah kecuali kalian menjalin kekerabatan yang ada antara diriku dengan kalian. (Shahih Al-Bukhâri, no. 4818).
Apa yang dilakukan oleh Anthaki —atau orang yang menulis kitab tersebut lalu menisbatkannya kepada dia— sangat tidak bertanggung jawab; dia tidak mengutip hadits itu secara utuh, tetapi sebagiannya dibuang dan bahkan dipelintir, padahal sumber hadits yang sebenarnya adalah dari riwayat Bukhari. Yang ia kutip dalam bukunya adalah: “Ibnu Abbas berkata, “Kecuali kalian menyayangi kerabatku” Ia sengaja mengacuhkan sanggahan Ibnu Abbas terhadap pendapat Said bin Jubair, dan justru perkataan yang sebetulnya diucapkan oleh Said bin Jubair itu malah dinisbatkan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Silakan Anda menilai sendiri perbuatan ini. Jelas, ini bukan cara dan metode orang beriman, karena mereka tidak akan memotong hadits, tidak melakukan tadils (menyamarkan makna aslinya), dan tidak pula menambahkan kedustaan di dalamnya.
Berkaitan dengan penyebutan kerabat/keluarga, ada juga firman Allah, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil....” (Al-Anfal [ 41). Distribusi pembagian ghanimah menurut mereka adalah 1/5 bagi Allah dan Rasul, 1/5 untuk sanak kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 bagi fakir miskin, dian 1/5 lagi kepada ibnu sabil. Inilah yang mereka sebut khumus (seper- lima). Khumus ini memang hanya diambil dan harta rampasan di medan jihad, karena Allah Ta’ala berfirman “sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang”, namun amatlah disayangkan harta rampasan jihad atau ghanimah yang seharusnya diambil dan harta orang-orang kafir justru mereka ambil dari umat Muslim.
Di sini ada dua hal yang menjadi letak kesalahan mereka. Pertama, terkait porsi jatah pembagian ghanimah, dan kedua, menyangkut asal harta yang dibagi-bagikan itu diambil dan mana. Untuk yang pertama, semestinya 1/5 dan ghanimah itu memang dibagi rata ke pada Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil, sehingga 4/5 yang tersisa dan keseluruhannya adalah untuk para mujahidin.
Jika diilustrasikan, seandainya total keseluruhan ghanimah bernilai 10.000 (bisa dinar atau dirham), maka ghanimah tersebut dibagi menjadi lima bagian yang sama, yang masing-masing bernilai 2.000. Selanjutnya, empat bagiannya dibagikan kepada para mujahidin yang turut bertempur di medan peperangan, yakni sebanyak 8.000, sedangkan sisanya yang satu bagian itu, 2.000, dibagi menjadi lima bagian lagi: (1) 400 untuk Allah dan Rasul, (2) 400 untuk kerabat Rasul, (3) 400 untuk anak-anak yatim, (4) 400 untuk fakir miskin, dan (5) 400 untuk ibnu sabil. Demikianlah seharusnya pembagian yang benar menurut petunjuk Allah .
Lalu sekarang, apa yang dilakukan kaum Syiah? Seperti sudah disinggung tadi, bahwa mereka memberikan kerabat Rasul 1/5 bagian dari total keseluruhan harta. Bila memakai ilustrasi di atas, maka kerabat Rasul akan mendapatkan harta ghanimah senilai 2.000, bukan 400 seperti yang dituntunkan Allah Ta’ala.
Persoalan kedua, semestinya harta ghanimah yang dibagi hagikan berasal dan harta musuh kafir yang dirampas di medan pertempuran, bukan dan harta muslimin. Sementara yang dilakukan oleh kaum Syiah, mereka mengambilnya dan harta muslimin kemudian 1/5 diserahkan kepada kerabat Rasul. Jelas, apa yang mereka lakukan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga kita tidak bisa menerimanya.
Jika kita bandingkan pula antara surah Al-Anfal ayat 41 dengan surah Asy-Syura ayat 23, ada perbedaan signifikan di sana. Penyebutan qurba (kerabat) dalam surah Al-Anfal ayat 41 diawali dengan huruf lam yang berarti “untuk” atau “bagi”, sedangkan dalam surah Asy-Syura ayat 23 diawali dengan huruf fi yang bermakna “dalam” Jelas beda antara kata “untuk kerabat” dengan “dalam kekerabatan Oleh karenanya, kita meyakini bahwa Nabi tidak mungkin meminta imbalan dalam dakwah. Bagaimana beliau akan meminta imbalan sementara karakter beliau seperti yang difirmankan Allah, ‘…Aku tidak meminta imbalan sedikit pun dan kamu atas seruanku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada.” (Shad [38]: 86).
Bukan hanya Nabi , bahkan semua nabi tidak meminta imbalan dan kaum mereka. Tentang Nabi Nuh Allah berfirman, “Dan aku tidak meminta imbalan dan kalian atas ajakanku ini. Imbalanku hanya dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]:109). Juga tentang Nabi Hud “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 127). Demikian pula yang dikatakan oleh Nabi Shalih, Luth, dan Syuaib, “Dan aku tidak meminta imbalan darimu atas ajakanku ini. Imbalanku hanyalah dari Rabb seluruh alam.” (Asy-Syuara [26]: 145).
Sebagaimana kita ketahui, Nabi Muhammad adalah penghulu para Nabi dan Rasul. Jika saudara-saudara beliau sesama Nabi dan Rasul itu, seperti Nabi Nuh, Luth, Hud, Shalih, Syuaib, dan lainnya —semoga shalawat dan salam terlimpah atas mereka semua— tidak meminta imbalan dan manusia atas kerja dakwah yang mereka lakukan, tentunya Nabi Muhammad harus lebih meneladankan untuk tidak meminta imbalan tersebut. Mereka semua, para nabi dan rasul itu, hanya meminta imbalan dari Allah saja. Jadi, inilah pengertian firman Allah, “Katakanlah,’Aku tidak meminta darimu suatu imbalan apapun atas seruanku tetapi kasih sayang dalam kekeluargaan’.” Kata illa dalam ayat ini dimaknai lâkin (tetapi), bukan illâ (kecuali) seperti biasanya yang memiiki makna pengecualian. Sehingga, Nabi  sama sekali tidak meminta balasan atau imbalan apapun. Dan kurang lebih makna ayat ini adalah ‘ tidak meminta imbalan dan kalian tetapi kecintaan dalam kekerabatan. Cintailah aku dengan jalan mencintai kerabatku’ ini seperti pendapat yang dikemukakan Ibnu Abbas.
Disalin dari buku Membantah Argumentasi Syi’ah oleh: Utsman bin Ahmad al-Khumais
Sumber: http://wimakassar.org

KAUM WAHHABI ADALAH SYI’AH SEJATI

Ada ajaran dari para imam maksum yang malah dipegang erat oleh kaum Wahabi. Ajaran itu malah ditinggalkan oleh Syi’ah. Bukan hanya meninggalkan, Syi’ah selalu mengolok-olok dan mencaci mereka. Apa ajaran itu?
Dari hari ke hari, kita makin sering melihat dengan mata kita, orang-orang yang mengenakan celana dan sarung di atas mata kaki. Orang awam menyebutnya dengan sebutan cingkrang. Sementara sebagian lagi mentertawakan mereka, saat bertemu kawan yang mengenakan celana cingkrang, mereka bertanya, “Ada banjir ya?” Ditanya tentang banjir karena celananya dinaikkan ke atas mata kaki. Biasanya orang bercelana cingkrang karena takut terkena air saat banjir.
Ketika ditanya tentang alasan mereka, mereka menjawab bahwa Nabi-lah yang menyuruh mereka. Jadi bukan karena banjir atau apa. Nabi Muhammad menyuruh mereka melakukan itu, menyuruh mereka memendekkan pakaian ke atas mata kaki. Karena ingin mengikuti perintah Nabi, mereka rela dicaci maki. Memang, melakukan perintah Nabi membuat banyak orang sinis dan benci. Ini berlaku dari awal jaman Nabi diutus, hingga saat ini, sampai hari ini.
Kawan-kawan Syi’ah memiliki pandangan berbeda. Bagi mereka, pakaian yang tidak menjulur ke bawah mata kaki adalah salah satu ciri kaum Wahabi. Kaum Wahabi yang membenci Nabi dan keluarganya. Karena mereka tidak mengikuti mazhab Syi’ah, mereka dianggap membenci Nabi dan keluarganya.
Maka kita lihat Syi’ah tidak ada yang memendekkan pakaiannya hingga ke atas mata kaki. Mereka tidak ingin meniru kaum Wahabi. Mereka malu dianggap kaum Wahabi, karena yang terbiasa melakukan ajaran Nabi itu adalah kaum Wahabi.
Ternyata apa yang menjadi ajaran kaum Wahabi itu tercantum dalam kitab Syi’ah sendiri. Para imam Syi’ah yang maksum memerintahkan pengikutnya untuk memendekkan pakaian ke atas mata kaki.
Dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah Alaihissalam, mengenai firman Allah: “Dan bajumu bersihkanlah.” Abu Abdillah berkata: pendekkanlah. ( Al Kafi jilid 5, bab: memendekkan pakaian. )
Memendekkan celana atau sarung adalah perbuatan membersihkan. Yang dimaksud bukan membersihkan fisik pakaian agar tidak kotor dan nyaman dipandang. Yang dimaksud adalah membersihkan pakaian dari noda kesombongan.
Dari Ma’la bin Khunais, dari Abu Abdillah berkata: Ali ‘alaihissalam ada di tempat ini, dia mendatangi Bani Diwan, lalu membeli tiga buah baju seharga 1 dinar, sebuah baju sepanjang di atas maka kaki, dan sarung sampai setengah betis, dan sebuah sorban yang mencapai dada di depannya, sementara belakangnya sampai bawah punggung, lalu mengangkat tangannya ke langit, memuji Allah atas baju pemberian Allah, kemudian dia masuk ke rumahnya dan mengatakan, ‘Inilah pakaian yang harus dikenakan oleh kaum muslimin.’ Abu Abdillah berkata: ‘Tetapi mereka tidak bisa mengenakannya hari ini, jika kami hari ini mengenakan pakaian itu, orang akan mengatakan: dia orang gila, dia adalah seorang yang riya’, Allah berfirman: ‘Dan bajumu bersihkanlah.‘, Abu Abdullah berkata: ‘Pendekkanlah bajumu jangan engkau julurkan, jika Imam Mahdi muncul, inilah pakaian yang akan dikenakannya. ( Al Kafi jilid 5, bab: memendekkan pakaian )
Imam Mahdi sejati adalah Imam Mahdi yang mengikuti perintah Nabi. Maka tidak heran jika Imam Mahdi mengenakan pakaian seperti yang diperintahkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Dari Abdullah bin Hilal berkata: “Abu Abdillah menyuruh saya untuk membeli sarung. Aku berkata: ‘Saya hanya memakai sarung yang longgar, potonglah dan jahit ujungnya.’ Lalu berkata: ‘Sesungguhnya ayahku berkata: ‘Apa yang lebih panjang dari dua mata kaki, maka tempatnya di neraka. ( Al Kafi jilid 5, bab: memendekkan pakaian ).
Membersihkan pakaian dengan memendekkan, membersihkan pakaian dan diri kita sendiri, agar tidak terkena adzab neraka di hari akhir nanti.
Dari Abul Hasan mengatakan: “Allah berfirman pada Nabi-Nya: ‘Dan pakaianmu bersihkanlah.’ Sedangkan pakaian Nabi adalah bersih, maksudnya diperintahkan untuk memendekkan. ( Al-Kafi, jilid 5, bab: memendekkan pakaian)
Dari Abu Bashir dari Abu Ja’far -’alaihissalam-, bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berwasiat pada seorang laki-laki dari Bani Tamim, “Hindarilah isbal dalam sarung dan gamis, karena isbal adalah termasuk kesombongan, sedangkan Allah tidak menyukai kesombongan. ( Al-Kafi, jilid 5, bab: memendekkan pakaian )
Sering orang berkilah, bahwa yang dilarang adalah menjulurkan pakaian karena kesombongan. Padahal, perbuatan menjulurkan pakaian itu sendiri adalah bagian dari kesombongan. Maka kita lihat ulama Syi’ah di Iran, ustadz Syi’ah yang belajar pada mereka, serta orang awam Syi’ah, seluruhnya menjulurkan pakaian ke bawah mata kaki. Mereka menghiasi diri mereka dengan kesombongan. Bagaimana kesombongan yang ada dalam hati bisa nampak? Jelas nampak, karena apa yang ada di hati akan nampak terlihat orang dari anggota badan. Sedangkan para imam maksum jelas memberi tanda kesombongan dengan pakaian yang menjulur ke bawah mata kaki.
Dalam kitab Biharul Anwar, jilid 2 hal. 143, terdapat sebuah hadits dari Nabi: “Tidak akan masuk surga, orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebiji sawi.”
Di akhir hadits, Nabi menggariskan definisi sombong:
“Sombong adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah orang lain.”
Biharul Anwar menambah penjelasan tentang sombong: enggan mengikuti kebenaran.
Kepada teman-teman Syi’ah, pendekkan celana kalian, jangan sampai kain celana kalian menjulur sampai bawah mata kaki, karena itu adalah bagian dari kesombongan, bagai menyemi bibit kesombongan dalam hati. Jika bibit yang disemi sudah tumbuh, maka ia akan berakar di dada. Akibatnya, kita akan menolak kebenaran. Semua ini diawali dari celana yang menjulur ke bawah mata kaki.
Dari Abu Hamzah: Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memandang pada seorang pemuda yang memanjangkan sarungnya, lalu berkata: ‘Wahai anakku, pendekkan sarungmu, karena itu membuat awet pakaianmu, dan membuat hatimu lebih bertaqwa. ( Al Kafi, jilid 5, bab: memendekkan pakaian )
Jauh sebelumnya, Umar bin Khattab telah mengatakan ucapan yang sama, saat menjelang wafatnya, ada seorang pemuda yang menjenguknya, lalu Umar melihat pakaian pemuda itu menjulur ke bawah mata kaki, lalu Umar berkata: “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu, sesungguhnya itu lebih bersih untuk bajumu, dan lebih bertakwa pada Rabb-Mu. ( Riwayat Bukhari )
Imam Ali mengucapkan hal yang sama, jauh setelah Umar bin Khattab wafat.
Pakaian yang menjulur adalah bagaian dari sombong, sebaliknya, pakaian yang terangkat melambangkan taqwa. Ini bukti bahwa pakaian menunjukkan kondisi hati seseorang. Seolah para imam memberitahu kita, bahwa isi hati seseorang bisa diketahui dari pakaiannya.
Dari Salamah, dia berkata: “Saya bersama Abu Ja’far, lalu Abu Abdullah masuk menemuinya, lalu Abu Ja’far berkata: ‘Wahai anakku, mengapa kamu tidak membersihkan pakaianmu?’ Lalu dia pergi, kami mengira bahwa bajunya terkena kotoran, lalu kembali dan berkata: ‘Memang sudah bersih seperti ini.’ Lalu kami berkata: ‘Semoga kami dijadikan Allah sebagai tebusanmu, ada apa dengan bajunya?’ Abu Ja’far menjawab: ‘Gamisnya adalah panjang, dan saya memerintahkan untuk memendekkannya, Allah berfirman : dan bajumu bersihkanlah..”
Dari Muhammad bin Musllim berkata: “Abu Abdullah memandang ke arah seseorang yang mengenakan gamis sampai mengenai tanah, lalu berkata: ‘Ini bukanlah baju yang bersih.’”
Dari Sama’ah bin Mahran, dari Abu Abdillah -’alaihissalam- berkata tentang orang yang memanjangkan gamisnya: “Saya tidak senang dia menyerupai wanita. ( Al-Kafi, jilid 5, bab: memendekkan pakaian)

Dari Abdullah bin Hilal, dari Abu Abdillah berkata: “Ayahku berkata: ‘Setiap yang melewati dua mata kaki, maka tempatnya di neraka.” ( Wasa’il Syi’ah, jilid 5 hal. 25-49)
Kawan-kawan Syi’ah yang menganggap para imam adalah maksum, sudah semestinya meniru kaum Wahabi yang memendekkan celana di atas mata kaki. Tetapi yang melaksanakan sabda para imam adalah kaum Wahabi. Kita dilanda bingung, jangan-jangan kaum Wahabi adalah pengikut Ahlulbait sejati??? ^_^ ( hakekat.com )