Oleh: Mahmud Budi Setiawan
“Bertakwalah pada Allah baik pada diri kita maupun
kalian. Kita sama-sama mencitai Ahlul Bait. (Namun)Usaha kalian dalam
menyebarkan ideologi Syi`ah di Mesir, tidak akan berhasil selamanya.”
Begitulah petikan dari Syeikh Ali Jum`ah ketika
masih menjadi Mufti Mesir, yang penulis dapat dari situs resmi Dār Al Iftā`
Mesir.
Syeikh Ali Jumah
mengingatkan, ‘penyebaran idielogi Syiah di wilayah Sunni hanya akan
membuat stabilitas keamanan masyarakat terganggu.
Statemen ini beliau katakan dalam Aula Muhammad
Abduh, ketika sedang menyampaikan kuliah yang diselenggarakan Majma` Buhuts Al
Islami di Al-Azhar sebagai peringatan atas bahaya pemikiran Syi`ah (9 Oktober
2012), 9 tahun silam.
Ada lima poin penting yang beliau paparkan mengenai
perbedaan mendasar Syiah dengan Sunni.
Pertama, akidah al-badā` (idiologi Syi`ah yang
menyatakan bahwa Allah telah menetapkan sesuatu kemudian mengubah pendapatnya
dan menarik kembali keputusannya. Pendapat ini sangat ditentang Ahlu Sunnah).
Kedua, tahrīf (penyimpangan) Al Qur`an. Syiah
meyakini, dalam Al Qur`an yang diyakini oleh Ahlus Sunnah ada tahīf-nya. Ada
ulama Syi`ah yang bernama Syaikh An-Nuri sampai mengarang kitab yang berjudul:
“Fashlu al-Khithāb fī Tahrīfi Kitābi Rabbi al-Arbāb (Penjelasan tentang
penyimpangan dalam Kitab Al Qur`an)”. Pandangan ini sangat ditolak oleh Sunni.
Ketiga, perbedaan terkait mengenai keadilan sahabat
serta celaan mereka terhadap sahabat-sahabat yang mulia. Banyak sekali bukti
tertulis dalam kitab-kitab mereka yang mencela para sahabat. Ada sekitar 110
jilid kitab rujukan inti Syi`ah yang lima di antaranya mencela para sahabat
nabi, yang kemudian berusaha dilenyapkan agar mereka tidak mendapat
pertentangan dari yang lain.
Keempat, perbedaan terkait masalah taqiyah.
Menurut Syeikh Ali Jumah, Syiah tidak segan-segan
melakukan kebohongan demi membela pendapatnya. Sedangkan Ahlus Sunnah mengecam
keras hal itu.
Kelima, Ahlus Sunnah tidak mengakui kemaksuman seorang
pun kecuali para nabi. Adapun Imam Ahlul Bait mereka memang takwa dan berilmu,
namun tidak sampai maksum dan bukan sebagai sumber hukum. Demikianlah beberapa
poin penting yang disampaikan beliau dalam kuliahnya.
Sebenarnya banyak sekali usaha yang menginginkan
terjadinya rekonsiliasi antara paham Ahlus Sunnah dan Syiah.
Di antara ulama yang berusaha mewujudkannya: Syeikh.
Mahmud Syaltut, Syeikh, Manshur Rajab, Syaikh. Abdul Aziz Isa, Syeikh
Al-Baquri, bahkan Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dan masih banyak yang lainnya.
Hanya saja usaha ini menjadi sia-sia lantaran
dilanggar sendiri oleh Syiah yang jelas-jelas memiliki ideologi berbeda dengan
Ahlus Sunnah.
Kalau antara Syiah dan Sunni memang bisa benar-benar
menyatu, maka tidak mungkin dalam sejarah pahlawan sekaliber Nuruddin Mahmud
Zanki, Asaduddin Syirkuh, Imam Al-Ghazali dengan madrasah Nidhamiyahnya,
Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang notabene merupakan bagian dari Ahlus Sunnah
–secara bertahap dan bijak- mengubah ideologi Al-Azhar (atau Mesir) dari Syiah
menjadi Sunni kembali (baca: Muhammad Shallābi, Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa
juhūduhu fī al-Qaḍā `ala al-Daulah al-Fāṭimiyah wa Tahrīri Baiti al-Maqdis).
Sikap ulama Mesir terhadap Syiah –baik tempo dulu
maupun sekarang- semestinya bisa menjadi pelajaran berharga bagi Bangsa
Indonesia untuk mewaspadai ideologi Syiah.
Bagaimana mungkin minyak dan air bisa menyatu? Kalau
ideologi ini dibiarkan berkembang, maka sangat mungkin terjadi apa yang
dipaparkan oleh Syaikh Ali Jum`ah bahwa penyebaran Syi`ah dalam komunitas Sunni
hanya akan merusak stabilitas keamanan. Semoga kita bisa terhindar dari fitnah
besar ini. Wallāhu a`lam.*
Penulis alumni PKU VIII UNIDA Gontor 2014