By: Dr. Ragheb As Sirjani
Di antara sepak terjang yang paling mengagumkan bagi mayoritas
kaum muslimin, khususnya beberapa tahun belakangan ini adalah sepak terjang
Hizbullah dan pemimpinnya: Hasan Nasrallah. Hasan Nasrallah bahkan dijuluki
oleh majalah Newsweek Amerika Serikat sebagai tokoh yang paling kharismatik di
dunia Islam, plus yang paling berpengaruh bagi mayoritas kaum muslimin.
Pun demikian, ulama dan
cendekiawan muslim memiliki pendapat yang bermacam-macam dan bertolak belakang
dalam menilai Hizbullah dan Hasan Nasrallah sebagai pemimpinnya. Di antara
mereka ada yang membelanya mati-matian hingga menjuluki Nasrallah sebagai
Khalifah kaum muslimin. Tapi ada pula yang menyerangnya habis-habisan hingga
mengeluarkan Hizbullah dari Islam secara keseluruhan, dan masih puluhan pendapat
lagi yang berkisar di antara dua penilaian tadi.
Lantas di manakah kebenaran yang sesungguhnya dalam masalah ini?
Bolehkah kita berbangga dengan sepak terjang Hizbullah selama ini? Pantaskah
kita menganggapnya sebagai lambang kebanggaan, ataukah kita harus peringatkan
orang-orang akan bahayanya? Dan bolehkan kita mengikuti gerakan ‘bungkam mulut’
yang dianjurkan oleh banyak kaum muslimin, dengan mengatakan: “Apa perlunya
mengungkit-ungkit masalah ini sekarang?”, ataukah ‘bungkam mulut’ tadi ada artinya,
mengingat peristiwa yang terus berlanjut dan masalah-masalah yang makin ruwet…
dan Anda tahu bahwa orang yang mengacuhkan kebenaran seperti syaithan yang
tuli?!
Sebagaimana yang biasa kami lakukan dalam tulisan-tulisan kami
sebelumnya, untuk memahami sesuatu, kita harus menelusuri asal-usulnya. Kita
harus menyimak kisah ini dari awalnya, dan harus tahu bagaimana Hizbullah
tiba-tiba berdiri? Dalam kondisi apa ia muncul? Dan kita harus tahu kisah
pendirinya, akidahnya, cara berfikir mereka, impian mereka, target mereka dan
sarana yang mereka pergunakan untuk mewujudkannya. Ketika itulah kita akan tahu
banyak hal yang selama ini tersembunyi. Kita akan menggunakan akal untuk
mengarahkan perasaan dan sikap kita, sebab bisikan akal akan berbeda sama
sekali dengan bisikan perasaan.
Bagaimana Berdirinya Hizbullah?
Hizbullah berdiri di negara Lebanon. Negara ini memiliki
karakter spesial yang berbeda dengan seluruh negara di dunia. Ia merupakan
negara multi golongan yang aneh bentuknya, sebab dataran Lebanon dihuni oleh
sekitar 18 sekte agama yang semuanya diakui. Barangkali faktor geografis
Lebanon yang bergunung-gunung itulah yang menjadikannya sarang bagi berbagai
aliran yang saling bertentangan. Dari sanalah terdapat kaum Nasrani dengan
berbagai sektenya, demikian pula Syiah, Druz, dan lain sebagainya.
Orang-orang Lebanon mengakui bahwa tiga golongan terbesar di
Lebanon adalah: Golongan muslimin Ahlussunnah, Golongan Syiah Itsna Asyariah,
dan Golongan Nasrani Maronit. Jauh setelah mereka barulah diikuti oleh Sekte
Druz yang masih dianggap sebagai muslimin meskipun mereka tidak demikian.
Penjajah Perancis yang menginvasi Lebanon pada tahun 1920,
bertekad untuk memantapkan fenomena multi golongan ini. Bahkan mereka sengaja
menyerahkan sebagian besar pusat pemerintahan kepada sekutu-sekutu mereka dari
kalangan Nasrani Maronit. Akan tetapi pasca kemerdekaan Lebanon tahun 1943,
ditetapkanlah Undang-undang Lebanon yang memberikan jabatan presiden kepada
Nasrani Maronit, lalu jabatan kepala pemerintahan (Perdana Menteri) kepada
Ahlussunnah, dan jabatan ketua DPR kepada Syi’ah. Undang-undang ini belum bisa
diterapkan secara praktis hingga tahun 1959, yaitu setelah semua pusat
pemerintahan menerima ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Nasrani Maronit
tersebut.
Berangkat dari sensitivitas multi golongan tadi, maka
orang-orang Lebanon mengacuhkan sama sekali masalah sensus penduduk yang dapat
memberi gambaran lebih rinci akan persentase masing-masing golongan. Pun
demikian, penelitian yang paling mendekati kebenaran ialah yang mengatakan
bahwa nisbah Ahlussunnah adalah 26%, demikian pula Syia’h 26%, sedangkan
Maronit 22% dan Druz 5,6%.
Wajarlah, jika setiap golongan akan berusaha untuk bermarkas di
daerah tertentu sebagai basis kekuatan yang mempengaruhi daerah sekitarnya. Syiah
misalnya, bermarkas di daerah selatan Lebanon dan lembah Bikaa, sedangkan
Ahlussunnah bermarkas di daerah Utara dan Tengah Lebanon, serta kota-kota
pesisir seperti Beirut Tripoli, dan Saida. Sedangkan Maronit bermarkas di
Gunung Lebanon dan Beirut Timur.
Barangkali, posisi markas Syi’ah yang ada di selatan inilah yang
menjadi alasan terjadinya bentrokan dengan pihak Yahudi dalam dekade-dekade
terakhir. Jadi, konflik Hizbullah-Israel yang terjadi –sebagaimana yang akan
kami ulas nantinya- bukanlah perseteruan karena akidah, bukan pula karena Allah
dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan BUKAN demi membebaskan tanah
palestina. Konflik ini terjadi karena mereka merasa bahwa daerah-daerah
strategis yang mereka kuasai terancam hilang, dan mau tidak mau mereka harus
mempertahankannya. Sebab jika tidak, kisah mereka akan segera tamat!! Andai
saja agresi militer Yahudi ditujukan kepada daerah-daerah kekuasaan
Ahlussunnah, dapat dipastikan Syi’ah tidak akan bergerak sejengkal pun untuk
melawan.
Musa Ash Shadr dan kaitannya dengan kronologi kisah ini
Kembali ke awal cerita…
Baik Ahlussunnah maupun Syi’ah, pernah hidup secara sangat
terpinggirkan dibandingkan kaum Maronit yang mendukung penjajah Perancis dan
masyarakat dunia. Akan tetapi, golongan Ahlussunnah dan Syi’ah mulai berusaha
mencari jatidiri dan pengakuan akan eksistensi mereka, terutama di akhir era
lima puluhan.
Di saat Ahlussunnah kehilangan pihak yang memperjuangkan
nasibnya, lebih-lebih seiring dengan munculnya gerakan nasionalis-komunis yang melanda
dunia Arab waktu itu; saat itulah Syi’ah mendapat nafas segar untuk tumbuh dan
berkembang. Tepatnya ketika mendarat di tanah Lebanon seorang tokoh Syi’ah
berpengaruh yang meninggalkan bekas-bekas nyata di peta Lebanon; dialah Musa
Ash Shadr, yang tiba di Lebanon tahun 1959.
Musa Ash Shadr lahir di kota Qumm, Iran, tahun 1928, dan
mendalami madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariah di kota tersebut. Ia kemudian menjadi
dosen di Univ. Qumm yang mengajarkan mata kuliah fiqih dan mantiqq. Ia kemudian
pindah ke kota Najaf, Irak, pada tahun 1954 untuk melanjutkan studinya tentang
Syi’ah di tangan sejumlah rujukan Syi’ah top, seperti Muhsin Al Hakiem dan Abul
Qasim Al Khu’iy. Setelah itu ia pindah ke Lebanon pada tahun 1959 dan menetap
di sana hingga akhir hayatnya.
Musa Ash Shadr tiba di Lebanon mengemban dua misi penting:
Misi pertama ialah misi religius Syi’ah untuk mendirikan Negara
Syi’ah di Lebanon. Ia hendak mendirikan negara tersebut dengan bertolak dari
madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dengan segala akidah dan kepercayaannya yang
menyimpang, plus seluruh bid’ah-bid’ahnya yang mungkar.
Hal ini dapat Anda pelajari secara lebih rinci dalam
tulisan-tulisan yang membahas tentang pokok-pokok keyakinan kaum Syi’ah.
Perlu diketahui, bahwa Syi’ah di Lebanon kala itu bukanlah
syi’ah yang agamis, artinya mereka hanya membawa nama ‘syi’ah’ tanpa mengetahui
tabiat dan prinsip dari madzhab mereka.
Sedangkan misi keduanya ialah dana yang sangat besar jumlahnya
untuk memudahkannya dalam mewujudkan megaproyeknya tadi. Bukan suatu rahasia
bahwa para rujukan Syi’ah di dunia adalah orang-orang yang sangat kaya, sebab
kaum Syi’ah menyumbangkan seperlima (20 %) dari penghasilan mereka kepada para
rujukan tadi, dengan anggapan bahwa mereka berasal dari Ahlul Bait. Harta
tersebut adalah khusus bagi mereka secara pribadi dan mereka bebas
mempergunakan semau mereka. Dengan harta inilah mereka mampu mengendalikan
berbagai hal karena mereka telah membentuk kekuatan ekonomi raksasa.
Kaum Syi’ah dan perlawanan terhadap pemerintahan Sunni
Azas madzhab syi’ah sebenarnya hanyalah pemberontakan terhadap
sistem pemerintahan yang bertujuan untuk menguasai dan mencapai kekuasaan,
dengan cara menentang dan memerangi ajaran-ajaran Sunni. Syi’ah telah berhasil
menguasai daerah yang cukup luas di dunia Islam dalam kurun sejarah yang
berbeda. Anda bisa membaca kembali tulisan tentang “Hegemoni Syi’ah”, yang
menampakkan dengan jelas berbagai dampak negatif yang tercela yang mereka
timbulkan setelah mereka berhasil memegang tampuk kekuasaan di suatu tempat.
Akan tetapi seiring dengan tumbangnya Daulah Ash Shafawiyyah (Savafid Empire)
di pertengahan abad 18 M, Syi’ah kehilangan kendalinya di seluruh dunia, dan
megaproyek mereka pun menyurut selama beberapa waktu.
Akan tetapi, jiwa suka menguasai tadi mulai muncul di era lima
puluhan. Ambisi besar mereka untuk mendirikan sebuah daulah yang menyebarkan
ajaran Itsna ‘Asyariyah yang sesat tadi dengan tangan kekuasaan dan senjata.
Konon tempat yang dianggap strategis untuk mendirikan daulah tersebut tidak
keluar dari tiga tempat: Iran, Irak, dan Lebanon. Sebab di ketiga tempat tadi
Syi’ah memiliki massa yang mendukung berdirinya negara yang dimaksud.
Lobi-lobi Syi’ah sejak semula merencanakan pendirian daulah
tersebut di salah satu dari ketiga negara tadi, atau di ketiga-tiganya.
Kader-kader pun telah disebar di berbagai daerah. Ada yang khusus bekerja untuk
menggulingkan pemerintahan di Iran, yang dipimpin oleh Khomeini. Ada juga yang
bekerja untuk hal serupa di Irak, dan insya Allah akan kita ulas dalam tulisan mendatang.
Dan ada juga yang dikirim untuk beroperasi di Lebanon, yaitu Musa Ash Shadr.
Megaproyek ini merupakan jaringan operasi yang rumit dan
bergerak perlahan-lahan. Bagi mereka tidak masalah bila targetnya baru dicapai
puluhan tahun mendatang, yang penting target itu bisa tercapai. Cara seperti
inilah yang dahulu dipakai untuk mendirikan daulah-daulah Syi’ah tempo dulu,
seperti Daulah Buwaihiyyah, dan Daulah Ubeidiyyah yang menamakan dirinya secara
dusta sebagai Daulah Fathimiyyah; dan lain-lain. Lihat kembali tulisan kami
tentang “Hegemoni Syi’ah”.
Biasanya, organisasi-organisasi tersebut bekerja sama dengan
masyarakat papan bawah dan kaum fakir miskin di suatu negara. Kepada merekalah
angin pemberontakan dihembuskan agar menggulingkan golongan kaya dan para
penghuni istana. Organisasi-organisasi tersebut senantiasa mengungkit-ungkit
masalah revolusi yang telah mengakar dalam jiwa kaum syi’ah, lalu dari sanalah
terjadinya kudeta dan berdirinya negara Syi’ah.
Peristiwa ini telah kita saksikan dalam sejarah, dan kita
saksikan pula di Iran. Mungkin bila tersisa cukup waktu, kita akan menjelaskan
kronologi Revolusi Syi’ah di Iran. Akan tetapi sekarang kita sedang menyaksikan
langkah-langkah nyata di Lebanon dan Irak yang mengarah ke sana. Jika
megaproyek mereka berhasil di kedua negara ini, maka ekspansi mereka berikutnya
akan meliputi Suriah, Kuwait, Bahrain, dan wilayah timur Saudi. Oleh karena
itu, penjelasan ini wajib ditulis, dan kaum muslimin harus faham akan apa yang
terjadi di sekitar mereka.
Rencana pendirian Negara Syi’ah
Kembali ke kisah Lebanon…
Musa Ash Shadr berhasil di kirim ke Lebanon untuk merencanakan
pendirian negara syi’ah. Ialah yang dipilih, sebab ia memiliki asal usul
Lebanon, dan dia pandai berbahasa Arab selain menguasai bahasa Parsi. Ia
senantiasa melakukan kontak dengan Khomeini, bahkan ada hubungan lain antara
keduanya yang lebih kuat dari sekedar relasi politik; sebab putera Khomeini
yang bernama Ahmad Al Khomeini, menikahi puteri saudari kandung Musa Ash Shadr.
Sedangkan Musa Ash Shadr menikahi cucu Khomeini, di samping itu, Musthafa Al
Khomeini juga merupakan salah satu sahabat terdekat Ash Shadr.
Musa Ash Shadr segera menuju Lebanon selatan yang merupakan
kantong Syi’ah. Di sana ia memulai misinya atas nama sosial, tanpa menonjolkan
masalah agama dengan jelas. Ia mendirian yayasan-yayasan sosial untuk membantu
kaum fuqara’, demikian pula sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan.
Kemudian ia mulai menampakkan perspektif syi’ah-nya sedikit demi sedikit. Ia
lalu mendirikan lembaga-lembaga peradilan Ja’fari, yang mengadili kaum syi’ah
berdasarkan madzhab Itsna ‘Asyariah mereka. Karakter multi golongan yang ada di
Lebanon memang mendukungnya untuk beroperasi secara luas, lebih-lebih mengingat
sangat lemahnya pengaruh pemerintah dan militer Lebanon…
Musa Ash Shadr adalah tipe laki-laki yang menempuh segala cara.
Ia siap menggandeng tangan siapa saja demi mewujudkan keinginannya. Sejak
semula ia tahu bahwa golongan Nasrani Maronit adalah golongan terkuat di
Lebanon kala itu, dan pesaingnya adalah golongan Sunni. Padahal perlu kita
ketahui bahwa Ahlussunnah kala itu bukanlah kaum fundamentalis yang berpegang
teguh dengan sunnah atau agama Islam. Mereka tak lain adalah orang-orang
berfaham Nasionalis-Sosialis-sekuler, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat
Allah.
Musa Ash Shadr pun mulai mendekati golongan Nasrani, sebab
Syi’ah sebagaimana yang kita ketahui sejak dulu, tak lain adalah pemberontakan
atas ajaran Islam Sunni.
Syi’ah hanyalah penentang sejarah Islam sejak Abu Bakar Ash
Shiddiq dan Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhuma, lalu demikian seterusnya
di setiap negara Islam yang menaungi umat ini. Intinya, pemikiran syi’ah sejak
semula ialah konfrontasi dengan Ahlussunnah. Nah sebab itulah Musa Ash Shadr
berusaha merangkul Sharel Al Halew, Presiden Lebanon yang Maronit kala itu. Ia
tidak merangkul pemimpin-pemimpin Sunni untuk mengumpulkan kekuatan kaum
muslimin. Ia justeru menganggap bahwa Sharel Al Halew sebagai sekutu yang
pantas untuk menentang penguasa Sunni. Ia mulai mendekatinya dan
memprovokasinya. Hingga akhirnya pada tahun 1967 terjadilah kesepakatan untuk
mendirikan Majelis Tinggi Syi’ah yang bertindak sebagai wakil Syi’ah di
Lebanon. Sharel Al Halew bahkan sepakat untuk menetapkan undang-undang nomor
72/76 yang memutuskan: bolehnya menjadikan rujukan-rujukan Syi’ah dunia (di
Iran, Irak dan lainnya) sebagai rujukan Majelis Syi’ah dalam menetapkan fatwa,
hukum dan undang-undangnya. Mereka tidak harus mengikuti hukum yang berlaku di
Lebanon!
Majelis ini benar-benar berhasil didirikan tahun 1969 dan
ketuanya yang pertama kali tentulah Musa Ash Shadr sendiri. Pemerintah Lebanon
mengakui keberadaan majelis tersebut pada tahun 1970, bahkan pemerintah
menetapkan dana sebanyak 10 juta Dollar sebagai bantuan untuk wilayah selatan
yang Syi’ah.
Musa Ash Shadr juga tak lupa menjual dirinya kepada Amerika.
Dalam pertemuannya dengan Dubes AS, Ash Shadr menyebutkan bahwa ia akan
menghadapi gerakan Nashiri yang Komunis bersama pemuda-pemuda Syi’ah di
Lebanon. Kedekatan hubungannya dengan orang-orang Amerika telah demikian
terkenal, hingga ia dituduh oleh orang-orang dekatnya Khomeini. Sebab Khomeini
ketika itu menganggap AS sebagai bahaya besar, sebab AS mendukung kuat
pemerintahan Shah Iran.
Akan tetapi terjadilah perkembangan di luar keinginan Musa Ash
Shadr pada tahun 1970. Yaitu dengan terjadinya pembantaian para pengungsi
Palestina di Yordania, yang terkenal dengan pembantaian “September Hitam”. Dari
sanalah orang-orang Palestina di bawah komando Fatah diungsikan ke Lebanon.
Tanpa diinginkan oleh Syi’ah, pengungsian tersebut menempati wilayah selatan
Lebanon yang berbatasan dengan Palestina. Masalahnya orang-orang Palestina tadi
adalah Ahlussunnah, dan hal ini berarti akan menghambat megaproyek pendirian
negara Syi’ah tadi. Padahal gerakan Fatah ketika itu menganut faham
Sosialis-sekuler yang sangat jauh dari ajaran Islam.
Pun demikian, Musa Ash Shadr sempat memanfaatkan gerakan Fatah
dalam periode ini. Ia menjalin hubungan solidaritas dengan Fatah, dengan
harapan bahwa Fatah kelak akan memberikan training militer terhadap Syi’ah. Ini
merupakan persiapan pembentukan milisi-milisi bersenjata yang dapat
mempengaruhi masa depan Lebanon. Kebetulan Fatah saat itu juga sedang mencari
sekutu untuk menghadapi kaum Komunis, hingga terjadilah simbiosis mutualisme
antara Fatah dan Ash Shadr.
Pada tahun 1971, Hafizh Asad menduduki kursi kepresidenan di
Suriah. Ia termasuk kelompok Nushairiyyah ‘Alawiyyin, yang berada di luar Islam
meskipun secara politik dihitung sebagai ‘muslim’. Mereka –kaum Nushairiyyah ‘Alawiyyin
tadi- menuhankan Ali bin Abi Thalib. Namun, segera saja Musa Ash Shadr
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kaum ‘Alawiyyin tersebut adalah
Syi’ah, yang konsekuensinya ia menganggap Hafiz Asad sebagai muslim! Ini
menyebabkan makin eratnya hubungan Ash Shadr dengan Suriah dan pemerintahan
yang berkuasa di sana. Musa Ash Shadr menjadi mata rantai penghubung antara
Hafiz Asad dan pemimpin-pemimpin Revolusi Iran, hingga Hafiz Asad pun mendukung
penggulingan Shah Iran, bahkan mendukung Iran pasca Revolusi saat berperang
melawan Irak, sebab ia sangat memusuhi Saddam Husein.
Demikianlah Musa Ash Shadr menanamkan benih-benih negara
Syi’ah-nya yang baru. Ia bekerja sama sangat kuat dengan para tokoh agama di
seluruh dunia, khususnya Khomeini, demikian pula dengan kaum Nasrani Lebanon,
Amerika Serikat, Suriah, bahkan dengan Fatah yang dianggap bagian dari
Ahlussunnah.
Pada tahun 1974, Musa Ash Shadr mendirikan Harakah al Mahrumin
yang menyerukan agar kaum fuqara mendapat hak-hak yang lebih banyak. Mulanya,
banyak kaum Nasrani di selatan yang bergabung dalam gerakan tersebut. Mereka
menyangka bahwa gerakan tersebut bersifat nasionalis yang bertujuan
mengentaskan fakir miskin di Lebanon dari krisis ekonomi. Akan tetapi mereka
akhirnya keluar setelah mencium aroma Syi’ah yang kuat dari Harakah tersebut.
Tak lama kemudian, Ash Shadr membuat kesepakatan dengan Yasir
Arafat sebagai pemimpin Fatah untuk melatih Harakah al Mahrumin secara militer,
dan hal itu atas sepengetahuan pemerintah Lebanon yang lemah.
Pada bulan Juli 1975, Ash Shadr
mengumumkan pembentukan sayap militer Harakah al Mahrumin yang dinamakan
‘Gelomban Perlawanan Lebanon (Afwaaj
Al Muqaawamah Al Lubnaaniyyah’),
yang disingkat Harakah AMAL, dan tentulah dia sendiri yang mengepalainya.
Tiba-tiba Musa Ash Shadr berbalik menentang orang-orang
Palestina, dan menuntut dengan sangat agar warga Palestina yang berfaham Sunni
diusir dari daerah selatan yang notabene syi’ah. Kita akan menyaksikan
selanjutnya, bagaimana anggota Harakah AMAL membantai orang-orang Palestina
tersebut dalam Serangan atas Kamp pengungsian, yang terkenal sejak tahun 1985
hingga 1988.
Pada tahun 1975, Lebanon mulai memasuki silsilah perang saudara
yang membingungkan. Perang ini demikian rumit karena terkait dengan berbagai
faktor internal dan eksternal. Kita mungkin membutuhkan berbagai analisa khusus
untuk dapat memahaminya dengan jelas.
Musa Ash Shadr dan berbagai permusuhan
Setelah terbentuknya Majelis Perwakilan Tinngi Syi’ah dan
Harakah AMAL, Musa Ash Shadr menjadi sebuah kekuatan yang tak bisa disepelekan.
Hal ini mulai menggugah kesadaran banyak orang, sebab Musa Ash Shadr tidak lagi
menutupi kekuatan tersebut atau menyembunyikannya. Ia bahkan sering kali
mengancam terang-terangan dalam berbagai liputan persnya untuk mengerahkan
massanya ke rumah-rumah orang kaya di Lebanon jika mereka tidak memenuhi
tuntutannya. Bahkan ia berani mengritik sebagian tindakan Khomeini, dan
menjalin hubungan dengan pihak-pihak internasional tanpa merujuk ke tokoh-tokoh
agama yang semula mengirimnya ke Lebanon. Masalah semakin meruncing saat ia
mengunjungi Iran dan bertemu Shah secara langsung. Ia meminta agar Shah
memberikan amnesti kepada 12 tokoh agama yang telah divonis mati olehnya, dan
hal ini dianggap oleh Khomeini sebagai tindakan keluar dari kesepakatan
internasional Syi’ah, dan kerjasama dengan Shah yang notabene adalah musuhnya
kaum revolusioner.
Konflik semakin memuncak pada tahun 1978, ketika terjadi krisis
hubungan antara Suriah dan Ash Shadr secara tiba-tiba. Hal ini dikarenakan
Suriah mengalami banyak tekanan dari Negara-negara sekitar dan AS, setelah
Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Zionis Israel tahun 1977. Suriah berharap
agar Lebanon menjadi pembela utamanya, sebab Suriah memiliki pasukan di Lebanon
saat itu. Suriah juga berharap agar Ash Shadr tidak bersekutu dengan selain
Suriah. Akan tetapi Ash Shadr telah merasakan bahwa dirinya kuat dan posisi
Suriah lemah, karenanya ia sengaja mempererat hubungannya dengan negara-negara
Arab dan sengaja melanggar peringatan Suriah. Ia mulai mengunjungi Kuwait,
kemudian Al Jazair, dan terakhir berangkat ke Libya pada bulan Agustus 1978,
yang diiringi sebuah kejutan besar… karena Libya mengumumkan bahwa Ash Shadr
telah angkat kaki dari wilayahnya pada tanggal 25 Agustus 1978, akan tetapi ia
tak pernah muncul lagi di tempat mana pun di muka bumi!!
Ini merupakan kejadian yang sungguh ajaib. Sebab Musa Ash Shadr
bukanlah anak kecil yang gampang tersesat di airport, dan bukan pula orang
biasa yang disikapi masa bodoh oleh Libya kemana perginya… akan tetapi yang
jelas ia telah diculik atau dibunuh.
Saat itu memang banyak musuh yang mengintai Musa Ash Shadr, dan
banyak di antara mereka yang dituding berada di balik pembunuhannya. Yang
paling utama ialah tokoh-tokoh Revolusi yang setahun kemudian muncul di Iran.
Dan tentu mereka tidak menginginkan keberadaan tokoh-tokoh kharismatik yang
memiliki multi relasi sebagai saingan Khomeini yang berada di garda depan
Negara Syi’ah yang baru.
Apalagi membikin berang pemerintah Suriah saat itu, berarti
memberi lampu hijau bagi rencana pembunuhan, sebab pemerintah Suriah memang
terkenal berdarah dingin dalam menghadapi para penentangnya. Libya sendiri
ketika itu berhubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusi Iran, dan siap
mendukung mereka pasca revolusi untuk melawan Irak. Adapun kekuatan internal
Lebanon yang mendapat manfaat dari tersingkirnya Musa Ash Shadr juga cukup
banyak, sebab perang saudara di Lebanon saat itu memang sedang klimaksnya.
Lenyapnya Musa Ash Shadr memang teka-teki yang membingungkan,
yang para politikus berlomba-lomba memecahkannya, akan tetapi tak satu pun dari
mereka yang dapat memberikan jawaban pasti. Yang jelas, Musa Ash Shadr telah
meninggalkan medan pertempuran yang menyala di belakangnya, dan meninggalkan
Harakah AMAL yang melanjutkan cita-citanya, dan meninggalkan jabatan kosong di
Majelis Perwakilan Tinggi Syi’ah… lalu tepat setahun kemudian terjadilah
revolusi Iran untuk menggulingkan Shah, dan empat tahun berikutnya militer
Zionis mencaplok Lebanon selatan, lalu dari ‘rahim’ pergolakan yang rumit tadi
lahirlah Hizbullah yang Syi’ah, untuk melanjutkan megaproyek Ash Shadr, akan
tetapi yang jelas dengan pengarahan dari Iran.
Bagaimana ini semua terjadi? Bagaimana pula nasib Harakah AMAL?
Dan Bagaimana sikap Syi’ah terhadap orang-orang Palestina di Lebanon selatan?
Bagaimana pamor Hizbullah tiba-tiba mencuat? Siapakah sebenarnya Hasan
Nasrallah, dan bagaimana akidah serta pemikirannya?
Kisahnya masih panjang, dan isya Allah akan kita sambung dalam
artikel berikutnya. Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
Banyak dari kaum muslimin yang
memberi peluang kepada perasaan (baca: simpati) mereka untuk menghukumi
berbagai perkara, tokoh, organisasi, dan negara. Mereka tidak meneliti apa yang
ada di balik itu semua, tidak membaca apa yang tertulis dalam buku-buku, dan
tidak menelusuri asal-usulnya. Hal ini menjerumuskan mereka dalam berbagai
kekeliruan dan salah persepsi yang berakibat fatal, yang baru disadari setelah
musibah dan bencana yang diakibatkannya terjadi… dan ketika itu, penyesalan
mungkin tiada berguna lagi.
Benang merah panjang yang
mengawali lahirnya Hizbullah Syi’ah telah dibahas dalam ‘Kisah Hizbullah bag.
1′. Di sana telah kami paparkan tentang Lebanon, dan kali ini akan kami
lanjutkan. Saya (penulis) percaya bahwa saya sedang menelusuri jalan penuh
duri. Usaha saya untuk memberikan gambaran yang benar bagi kaum muslimin ini,
pasti menghadapkan saya kepada gelombang penolakan dan kritikan dari kaum
muslimin yang bersimpati kepada tokoh mana saja yang dianggap sukses di masa-masa
yang sensitif dalam tarikh umat ini; meskipun tokoh tersebut adalah pengikut
Syi’ah yang bobrok, yang meyakini kebebasan berpendapat dalam mengritik,
mencela, menentang dan bahkan menjatuhkan para sahabat yang mulia.
Saya yakin bahwa saya akan
menghadapi perlawanan buas dari pihak Syi’ah sendiri, yang mendorong
media-media massa Sunni agar menyerukan supaya ‘file ini’ ditutup dan jangan
dibicarakan sama sekali, sembari memalingkan mereka kepada Zionis Israel dan
Amerika saja. Padahal di saat yang sama Syi’ah terus melanjutkan skenario
mereka dengan mantap. Kaum muslimin baru akan bangun dari tidurnya, saat Syi’ah
berhasil mendirikan sebuah Daulah besar, yang setara dengan Daulah Buwaihiyyah
tempo dulu, atau lebih besar lagi!!
Perpecahan Harakah AMAL Pasca Ash Shadr
Setibanya Musa Ash Shadr dari Qum
(Iran) dan Najaf (Irak), ia berusaha merekrut orang-orang Syi’ah Lebanon
menjadi sebuah eksistensi yang saling melengkapi, yang bisa diajak mendirikan
sebuah daulah (negara) di masa depan. Ia begitu perhatian dengan sisi religius
dan madzhabiyah kelompok ini, hingga pada tahun 1969, ia mendirikan Majelis
Tinggi Syi’ah. Ia juga perhatian dengan sisi militer mereka, hingga mendirikan
Harakah AMAL, yang merupakan singkata dari Afwaajul Muqaawamah Al Lubnaaniyyah
(Gelombang Perlawanan Lebanon). Ia juga menjalin hubungan erat dengan pihak
Nasrani Maronit, demikian pula dengan Amerika Serikat dan Suriah, di samping
tentunya dengan pihak-pihak yang mengirimkannya ke Lebanon, yang tokoh dari itu
semua adalah Khomeini, yang saat itu masih berada di Irak.
Abdul Amir Qublan
Musa Ash Shadr meninggalkan
kekosongan besar, dan kaum Syi’ah berusaha menertibkan kembali administrasi
mereka, hingga jabatan Majelis Tinggi Syi’ah akhirnya diambil alih oleh Abdul
Amir Qublan, yang tadnya adalah wakil Musa Ash Shadr.
erus menjabat sebagai wakil ketua
Majelis, padahal jabatan ketua sampai kini masing vakum! Sedangkan tokoh-tokoh
Syi’ah di Lebanon merujuk kepada salah seorang syaikh mereka, yaitu Husein Fazhlullah,
dan si saat yang sama kondisi sayap militer Syi’ah yang terkenal sebagai
Harakah AMAL makin ricuh, hingga anggota-anggotanya terpecah menjadi dua
kelompok:
Kelompok pertama, ialah Syi’ah Sekuler yang ingin
mengatur jalannya permainan tanpa merujuk ke kaidah-kaidah madzhab Itsna
Asyariyah. Mereka tidak ingin terikat dengan tokoh-tokoh rujukan agama di luar
Lebanon, alias ingin menempuh jalur nasionalisme. Kelompok ini dipimpin oleh
Nabieh Barrie, salah satu pemimpin Lebanon terkenal. Sedangkankelompok kedua,
ialah mereka yang ingin melanjutkan khittah Musa Ash Shadr,
alias ingin mendirikan Negara bermadzhab Syi’ah yang menetapkan seluruh
keyakinan dan kesesatan kaum Syi’ah dengan kekuatan senjata, sekaligus
melebarkan kekuasaan mereka sekuat kemampuan. Kelompok ini bekerja sama dengan
tokoh-tokoh revolusi Iran yang merencanakan kudeta di Iran, akan tetapi
kelompok ini masih membutuhkan seorang pemimpin yang mengarahkan mereka.
Al Musawi, Nasrallah, dan
Strategi Iran
Di masa-masa yang sulit tadi, ada
dua orang yang datang dari Najaf, Irak. Keduanya telah mendalami akidah Syi’ah
di sana, dan keduanya yang paling berpengaruh dalam mempertahankan eksistensi
khittah madzhabiyyah-nya Musa Ash Shadr. Kedua orang tersebut adalah: Abbas Al
Musawi dan Hasan Nasrallah.
Mereka berdua menyusup dengan
cepat ke barisan Harakah AMAL, dan dapat menduduki pusat-pusat kepemimpinan di
sana, padahal umur Hasan Nasrallah kala itu baru 18 tahun!
Pada tahun 1979, tercetuslah
revolusi Iran dan Shah berhasil digulingkan. Khomeini pun kembali dari Paris
(setelah diusir dari Irak tahun 1978) dan memegang tampuk kekuasaan di Teheran.
Ia mulai ‘menertibkan keadaan’ di sana, dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya.
Ia berbalik kepada pihak-pihak yang dahulu mendukungnya dari ormas-ormas Iran
lainnya. Khomeini berhasil memantapkan dirinya dengan sempurna dan tidak
bergerak ke kota suci Qumm seperti yang diramalkan banyak orang, namun justeru
menetap di ibukota Teheran.
Setelah pulihnya berbagai
masalahnya di Iran, Khomeini mulaimemperhatikan Lebanon dan Irak. Keduanya
merupakan kantong-kantong yang memiliki massa Syiah cukup besar, dan di saat
yang sama, keduanya merupakan bagian dari skenario Syi’ah untuk mendirikan
Negara Syi’ah Raya di wilayah tersebut.
Kondisi di Irak saat itu masih
sangat sulit. Saddam Hussein konon menerapkan tangan besi dalam memerintah.
Khomeini sendiri merasakan hal tersebut, sebab ia pernah tinggal selama 14
tahun penuh di Irak, yang berakhir dengan melarikan diri secara terpaksa ke
Paris. Dari sini, Khomeini tahu persis bahwa Organisasi Syi’ah di Irak tidak
mampu menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Sebab itulah Khomeini memilih
solusi militer, dan segera memulai perang total terhadap pemerintah Irak pada
tahun 1980, sebelum revolusi genap berumur satu tahun! Ini semua karena
ambisinya untuk menjatuhkan pemerintahan Irak dan menyerahkan roda pemerintahan
kepada Syi’ah, yang dengan begitu, Irak akan tergabung dalam Negara Syi’ah Raya
yang diimpikan Khoemini.
Adapun di Lebanon yang jauh, yang
sarat dengan berbagai kelompok dan sekte agama, di sana masih perlu persiapan
dan sejumlah tokoh dengan loyalitas penuh kepada Khomeini dan pemerintahannya.
Sebab itulah, Khomeini terus mengontak kedua orang tadi, yang notabene
bermadzhab Syi’ah Itsna Asyariyah, yang keduanya beriman dengan ajaran
Wilayatul Faqieh[1], yang berhasil menghantarkan
Khomeini ke kursi pemerintahan. Kedua orang tersebut adalah Abbas Al Musawi dan
Hasan Nasrallah, dan dari sinilah Iran mulai memberi dukungan langsung kepada
mereka, meski kepemimpinan Harakah AMAL masih di tangan Nabieh Barrie yang
berpaham sekuler.
Pada tahun 1981, diadakan
muktamar Harakah AMAL yang keempat untuk memberikan solusi atas perselisihan
internal mereka, yang masing-masing selama ini berusaha menguasai daerah
selatan. Muktamar tersebut berakhir dengan tetap dipilihnya Nabieh Barrie
sebagai pemimpin Harakah AMAL, dan Abbas Al Musawi menjadi wakilnya. Ini
merupakan langkah penting untuk mengendalikan kondisi di selatan Lebanon.
Invasi Israel dan Sikap Syi’ah
Akan tetapi pada tahun 1982,
tepatnya tanggal 6 Juni tahun itu, terjadilah peristiwa yang mengacaukan semua
skenario mereka. Mereka semua dikejutkan oleh invasi Zionis Israel atas seluruh
Lebanon Selatan, bahkan Israel sempat mengepung Beirut untuk mengusir Yasir
Arafat beserta segenap pemimpin Fatah dan milisi-milisi Palestina agar keluar
dari selatan Lebanon. Jelaslah bahwa kesepakatan antara militer Israel dan
pihak Nasrani Maronit telah terjadi dalam rangka mengusir orang-orang Palestina
yang telah menjadi suatu kekuatan penekan dalam masyarakat Lebanon. Terjadilah
berbagai pembataian atas warga Palestina, dan yang paling besar di antaranya
adalah Pembantaian Shabra dan Shatila, yang menewaskan 3000 orang Palestina,
dan Zionis Israel –atas bantuan Nasrani Maronit- pun berhasil mengusir
orang-orang Palestina dari selatan Lebanon dan Beirut.
Peristiwa ini mulanya selaras
dengan keinginan Syi’ah. Sebab mereka sejak dahulu menuntut agar orang-orang
Palestina dikeluarkan dari selatan Lebanon, sebagai langkah awal pendirian
negara mereka di sana. Akan tetapi pihak Zionis tidak lantas kembali ke markas
mereka setelah mengusir orang-orang Palestina, namun tetap bercokol di Lebanon
dan melakukan pendudukan militer atas seluruh wilayah selatan.
Kejadian ini mengkandaskan
seluruh impian kaum Syi’ah untuk mendirikan negara mereka. Lebih-lebih
mengingat bahwa mereka kala itu masih terpecah menjadi kelompok sekuler dan
konservatif (agamis). Maka kelompok konservatif akhirnya memutuskan untuk
memisahkan diri dari Harakah AMAL, dan melanjutkan kontak mereka dengan para
pemimpin di Iran untuk mendapat dukungan mereka. Mereka lantas membentuk sebuah
lajnah yang terdiri dari 9 orang untuk berangkat ke Teheran dan berjumpa dengan
Khomeini. Mereka menyatakan keimanan mereka terhadap ajaran wilayatul faqieh,
yang konsekuensinya mengimani kekuasaan Khomeini sebagai ‘faqieh’ yang
dimaksud, yang akan mengurus masalah kaum Syi’ah di Lebanon. Khomeini
menyetujui lajnah tersebut dan mereka kembali lagi ke Lebanon untuk berpisah
total dengan Harakah AMAL, dan membentuk harakah baru yang dikenal saat itu
dengan nama Harakah AMAL al Islamiyyah, dibawah kepemimpinan Abbas Al Musawi.
Iran memiliki campur tangan kuat
dalam berdirinya harakah baru ini. Bahkan Iran sempat mengirim 1500 orang dari
tentara revolusinya ke Suriah, lalu dari Suriah ke lembah Bikkaa di Lebanon.
Mereka semua dikirim untuk melatih Harakah AMAL al Islamiyyah secara
militer,dan memberikan bantuan finansial dan militer yang cukup kepada mereka.
Dengan demikian, harakah yang baru ini telah mendapat dukungan dari dua negara
besar di kawasan tersebut, yaitu Iran dan Suriah, dan di saat yang sama Suriah
tetap mendukung Harakah AMAL yang nasionalis.
Berdirinya Hizbullah dan
Penguasaan atas wilayah selatan
Perang saudara masih berkecamuk
di Lebanon, dan kekuatan Harakah AMAL al Islamiyyah terus bertambah hingga
Abbas Al Musawi mengumumkan berdirinya Hizbullah pada bulan Februari tahun
1985, sebagai ganti dari Harakah AMAL al Islamiyyah. Selang tiga bulan kemudian,
tepatnya bulan Mei 1985, Harakah AMAL yang dipimpin oleh Nabieh Barrie
melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang menewaskan ratusan orang,
dalam rangka membersihkan sisa-sisa orang Palestina yang masih ada di selatan
Lebanon dan Bikkaa. Dari situ, mulailah terjadi perselisihan di antara harakah
AMAL dan Hizbullah, yang berakhir dengan perang besar di antara mereka, dan
Hizbullah berhasil menumpas Harakah AMAL tahun 1988. Hasilnya, 90% anggota
Harakah AMAL beralih ke Hizbullah yang dibawah kendali Iran, sesuai dengan
aturan wilayatul faqieh dan didukung dengan kekuatan Suriah. Bersamaan dengan
itu, Harakah AMAL keluar dari sayap militer, dan hanya menjadi gerakan politik
saja.
Meski medan telah dikuasai oleh
Hizbullah semata, hanya saja ia mendapati bahwa markaz kekuatan pusatnya –yang
berada di selatan Lebanon- masih dikuasai oleh Yahudi. Inilah yang mendorong
Hizbullah untuk menguasai sebagian wilayah di Beirut, agar memiliki markaz sebagai
titik tolak setiap gerakan. Hizbullah tidak bergerak ke Beirut timur tempat
komunitas Nasrani, akan tetapi ke Beirut barat, terutama bagian selatannya.
Hizbullah mulai menduduki tempat-tempat tersebut dengan kekuatan senjata, dan
seluruh tempat itu adalah kantong-kantong Ahlussunnah.
Hizbullah kadang membangun
fasilitas-fasilitasnya di tempat umum, dan kadang di tanah milik Ahlussunnah,
akan tetapi Pemerintah Lebanon hanya berpangku tangan melihat itu semua, sampai
wilayah selatan Beirut menjadi Syi’ah tulen, dan dikuasai sepenuhnya oleh
Hizbullah.
اFoto: ketundukan
Nasrallah thd Ali Khamenei
|
Pada tahun 1989, Khomeini wafat,
dan menyerahkan jabatan pimpinan revolusi kepada Ali Khamenei. Kondisi
Hizbullah sendiri tidak mengalami perubahan, sebab ia masih terikat dengan
aturan wilayatul faqieh yang baru, yaitu Ali Khamenei. Pada tahun yang sama,
pihak-pihak yang bertikai di Lebanon atas perantara Saudi bertemu di Thaif,
untuk membikin kesepakatan dalam rangka menghentikan perang saudara di Lebanon.
Di tahun yang sama pula, terjadi pembunuhan terhadap tokoh Sunni terbesar di
Lebanon, yaitu Syaikh Hasan Khalid rahimahullah, selaku mufti Lebanon dari
kalangan Sunni sejak tahun 1966. Ini dimaksudkan agar Ahlussunnah kehilangan
kepemimpinan mereka, dan di waktu yang sama, Hizbullah muncul sebagai markas
Islam di Lebanon.
Perang Melawan Yahudi dan Berubah
Sikap Terhadap Ahlussunnah
Hizbullah mulai menyiapkan
rencana untuk menggempur Yahudi demi membebaskan wilayah-wilayah mereka yang
diduduki, dan direncanakan sebagai tempat berdirinya Negara Syi’ah Raya.
Kucuran dana pun mengalir deras dari Iran untuk tujuan tersebut, di samping
bantuan dari Suriah. Hal ini mengkhawatirkan Israel hingga mereka melakukan
pembunuhan terhadap Abbas Al Musawi yang menjadi Sekjen Hizbullah pada tahun
1992. Jabatan Sekjen akhirnya diambil alih oleh Hasan Nasrallah.
Di tahun yang sama, muncullah
tokoh Sunni baru, dan Ahlussunnah Lebanon pun mulai berkumpul di sekitarnya.
Dialah Rafiq Al Hariri yang menjabat sebagai PM Lebanon tahun 1992 hingga 1996.
Ia mulai membangun kembali Lebanon, dan mendapat dukungan dari banyak warga
Lebanon.
Pada tahun 1996, Zionis Israel
melakukan agresi brutal atas Lebanon, yang dikenal dengan operasi ‘Grapes
of Wrath’(Anggur Kemarahan). Sejak itu, jiwa patriotisme warga Lebanon
mulai berkobar untuk melepaskan diri dari penjajahan Israel. Hizbullah pun
mengumumkan pembentukan pasukan-pasukan Lebanon untuk melawan musuh Zionis.
Pasukan tersebut adalah gabungan dari berbagai kelompok Lebanon yang bermacam-macam,
akan tetapi mayoritas anggotanya adalah dari Ahlussunnah yang mencapai 38%,
sedangkan Syi’ah 25%, lalu Druz 20% dan Nasrani 17%.
Serangan-serangan pasukan Lebanon
mengakibatkan ditarik mundurnya pasukan Zionis dari sebagian besar wilayah
selatan Lebanon pada tahun 2000, kecuali daerah pertanian Shebaa.
Hizbullah akhirnya menduduki seluruh wilayah tersebut, dan menolak keinginan
Tentara Nasional Lebanon untuk menyebarkan pasukannya di wilayah tersebut.
Bahkan Hizbullah mulai merampas fasilitas-fasilitas milik Ahlussunnah di
wilayah selatan dan di pegunungan Lebanon. Tidak sampai di situ, Hizbullah juga
berani mengganggu sejumlah masjid, seperti Masjid Nabi Yunus, dan tanah-tanah
wakaf milik masjid tersebut yang terdapat di daerah Al Jeyah.
Rafiq Al Hariri dan Gerakan
Syi’ah
Di tahun yang sama dengan
keluarnya Yahudi dari Lebanon, Rafiq Al Hariri dilantik kembali menjadi PM
Lebanon. Ini merupakan kesempatan baginya untuk menampakkan diri dan
keluarganya, dan menjadi simbol Sunni terkenal yang menjadi pesaing kuat
sesungguhnya bagi gerakan Syi’ah di Lebanon.
Kekuatan Hizbullah terus
bertambah, dan ia masih mencari kesempatan untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya
yang didukung oleh Iran dan Suriah. Akan tetapi meningginya pamor Rafiq Al
Hariri menjadikan masalahnya sama kuat di mata rakyat Lebanon.
Pada tahun 2004, Al Hariri
mengundurkan diri dari jabatan PM akibat perselisihan antara dia dengan
orang-orang Suriah yang jumlahnya cukup banyak di tubuh tentara Lebanon.
Kemudian terjadilah kejutan berdarah pada 14 Februari 2005 dengan terbunuhnya
Rafiq Al Hariri ketika berada dalam kendaraannya di Beirut, di tengah
tersebarnya berbagai agen intelijen internasional yang beroperasi di Lebanon,
seperti CIA, Perancis, Suriah, Iran dan Lebanon sendiri. Dengan demikian,
Ahlussunnah Lebanon kembali kehilangan salah satu tokoh besar mereka.
Lebanon goncang pasca terbunuhnya
Rafiq Al Hariri, dan jari-jari tuduhan internasional mengarah kepada Suriah.
Lalu dari situ masyarakat internasional menuntut agar Suriah menarik diri dari
Lebanon. Maka Hizbullah melakukan demonstrasi besar-besaran pada 8 Maret 2005
untuk mempertahankan keberadaan Suriah di Lebanon. Hal ini mendapat respon
balik dari gerakan Al Mustaqbal (Future Movement), yang merupakan gerakan
keluarga Al Hariri di bawah pimpinan Sa’ad Al Hariri. Ia mendapat dukungan dari
Democratic Gathering Bloc pimpinan seorang Druz: Walid Jumblat, dan Hizbul
Quwwah Al Lubnaniyyah yang mewakili kaum Maronit pimpinan Sameer Ja’ja’. Ketiganya
melakukan demonstrasi besar pada tanggal 14 Maret 2005 dengan tuntutan
keluarnya Suriah dari Lebanon. Sebab itulah demonstrasi tersebut disebut
demonstrasi 14 Maret, dan berhasil mengeluarkan Suriah dari Lebanon di bulan
yang sama.
و
|
Dilema Hizbullah dan Perang tahun
2006
Pasca keluarnya Suriah, Hizbullah
menghadapi dilema di Lebanon, lebih-lebih dengan makin kuatnya persaingan antar
golongan pasca terbunuhnya Al Hariri. Sebab itulah Hizbullah memilih untuk
beraliansi secara politik bersama kekuatan-kekuatan lain untuk ikut serta dalam
pemilu parlemen Lebanon bulan Mei 2005. Ia bergabung dengan ketiga kelompok
lain yaitu: Gerakan Al Mustaqbal yang Sunni, Gerakan Jumblat yang Druz –meski
sangat memusuhi kedua gerakan ini-, di samping juga bergabung dengan Gerakan
politik Harakah AMAL. Aliansi ini dikenal dengan aliansi kwartet, dan secara
keseluruhan mereka berhasil meraih 72 kursi di Parlemen dari total 128 kursi.
Dengan demikian, mereka menjadi mayoritas di parlemen, yang akhirnya menjadi
bagian dari pemerintah Lebanon yang dipimpin oleh Fuad Seniora.
Hizbullah telah menekan dirinya
sendiri, dan beraliansi dengan kelompok Sunni meski mereka berseberangan. Ini
semua demi menampakkan bahwa Hizbullah ikut serta dalam kepentingan Nasional.
Padahal Hasan Nasrallah sendiri tidak pernah hadir dalam sidang-sidang parlemen
maupun muktamar umum mereka. Ia hanya mengirim utusannya dan bersikap kepada
semua pihak sebagai atasan, sebagai persiapan untuk menjadi pemimpin masa depan
atas mereka semuanya.
Bukti paling besar atas asumsi
ini ialah terlibatnya Hizbullah pada tanggal 12 Juli 2006 dalam melakukan
operasi militer melawan Zionis Israel. Hizbullah berhasil menawan dua tentara
Israel dan menewaskan delapan lainnya. Semua itu ia lakukan tanpa konsultasi
sedikit pun dengan negara yang ia menjadi bagian dalam pemerintahannya; dan
juga tidak berkonsultasi dengan faksi-faksi lain yang menjadi sekutunya dalam
parlemen. Padahal operasi militer inilah yang menyeret negara seluruhnya –dan
bukan hanya Hizbullah- dalam perang melawan Israel.
Foto: Serangan Israel dlm Perang
Lebanon 2006
Akhirnya meledaklah perang besar
yang terkenal pada bulan Juli 2006. Israel menggempur Lebanon terus-menerus
selama 33 hari penuh, dengan target menghancurkan bungker-bungker Hizbullah
sekaligus Lebanon. Hizbullah melakukan serangan balik kepada Israel dengan
menembakkan roket-roket, dan banyak korban yang tewas dari rakyat Lebanon dalam
perang ini.
Pihak Israel tidak berhasil
menghentikan serangan roket Hizbullah, dan ini dianggap sebagai ‘kemenangan
besar’ untuk Hizbullah, sebab Yahudi telah menghentikan serangan udara mereka
tanpa berhasil melumpuhkan sistem kekuatan roket Hizbullah, maupun membebaskan
dua orang pasukannya yang ditawan Hizbullah.
Perang pun berakhir seiring
dengan kehancuran besar yang dialami oleh rakyat Lebanon atas negerinya.
Kehancuran tersebut merata di setiap daerah di Lebanon. Di samping itu, rakyat
Lebanon merasakan eksistensi Syi’ah yang semakin kuat, yang tercermin melalui
Hizbullah yang tetap memegang senjata canggih produk Iran-nya, dan didukung
penuh oleh Suriah. Hal ini sengaja diciptakan agar semua orang merasa bahwa
negara mereka sedang mengarah ke seorang tokoh Syi’ah tertentu, seiring dengan
banyaknya simpati dari umat Islam secara umum atas Hizbullah dalam melawan
Israel.
Menurut Anda, apakah yang terjadi
di Lebanon setelah itu? Apakah langkah-langkah yang ditempuh oleh Syi’ah dalam
skenario mereka? Bagaimana visi Hasan Nasrallah tentang masa depan Lebanon?
Mengapa Hizbullah kalah dalam pemilu parlemen bulan Juni 2009 padahal ia
semakin kuat? Dan apakah yang seharusnya dilakukan oleh segenap umat Islam
dalam menyikapi ini semua?
Inilah sederet pertanyaan yang
perlu penjelasan dan perincian, dan inilah yang menjadi topik artikel kita
berikutnya insya Allah, semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
[1] Yaitu ajaran yang
dicetuskan Khomeini untuk merubah sikap kaum syi’ah yang semula tidak meyakini
adanya perang sebelum munculnya Imam Mahdi mereka (yakni Imam ke-12 yang
diyakini masih ghaib sejak 12 abad lalu). Dengan wilayatul faqieh, Khomeini
mengatakan bahwa posisi Imam Mahdi untuk sementara diambil alih oleh seorang
faqieh (ahli agama) -yang dalam hal ini adalah dirinya-, untuk memimpin kaum
Syi’ah. Nah, dengan jabatan tersebut Khomeini bertindak layaknya Imam Mahdi dan
berhasil merubah kaum Syi’ah menjadi kaum radikal dan revolusioner hingga mau
berperang demi ambisi pribadinya.
Dalam dua artikel sebelumnya,
kita telah membahas sejarah berdirinya Hizbullah sekaligus pendirinya. Kita
juga membahas tentang hubungan Hizbullah-Iran dan Hizbullah-Suriah, serta
megaproyek mereka untuk mendirikan Negara Syi’ah Raya di Lebanon. Pembahasan
kita berakhir pada meletusnya perang Lebanon tahun 2006 di mana Zionis Israel
gagal menghancurkan kekuatan Hizbullah, dan gagal membidik pemimpinnya. Hal ini
mengakibatkan kegembiraan luar biasa di dunia Islam, dan kebanggaan besar bagi
pemuda-pemuda Islam. Lebih-lebih mengingat mereka belum pernah menyaksikan
kemenangan hakiki melawan Yahudi dalam suatu peperangan sejak tahun 1973, alias
sejak lebih dari 30 tahun! Orang-orang pun saling memberikan selamat kepada
Hizbullah dan pemimpinnya, Hasan Nasrallah. Bahkan sebagian mengira bahwa Hasan
Nasrallah adalah pemimpin gerakan seluruh umat Islam. Mereka seakan lupa akan
background-nya yang Syi’ah Itsna Asyariah itu; yang konsekuensinya ialah
permusuhan abadi terhadap Ahlussunnah, baik ia nampakkan hal tersebut ataupun
ia sembunyikan.
Foto:
Percobaan Kudeta oleh Hizbullah
Hizbullah dan Kudeta Pemerintahan
Hizbullah keluar dari perang
Lebanon 2006 dengan harapan bisa memanfaatkan momentum besar tersebut. Ia
segera memutuskan untuk mengkudeta pemerintah Lebanon yang tidak lain adalah
sekutunya. Pada tanggal 30 Desember 2006, Hizbullah menggalang aksi duduk
besar-besaran di sekitar istana pemerintahan. Mereka mendirikan lebih dari 600
tenda agar mosi duduk tersebut bertahan lebih lama. Mereka menuntut agar PM
Sunni Fuad Seniora mengundurkan diri, padahal menurut undang-undang Lebanon,
penggantinya juga harus Sunni; akan tetapi keinginan Hizbullah tadi menandakan
bahwa mereka mampu merubah-rubah keadaan semau mereka, dan siapa saja yang akan
menggantikan PM harus ‘manut’ kepada seluruh instruksi ‘pemimpin masa depan’
Lebanon, yang dilambangkan oleh Hasan Nasrallah. Akan tetapi pemerintah tidak
menggubris ‘instruksi’ Hasan Nasrallah tersebut, hingga aksi berkemah tadi
berlangsung hingga 18 bulan berturut-turut!
Kondisi semakin kacau saat
Hizbullah melakukan operasi militer anarkis, yaitu dengan mengerahkan pasukan
bersenjatanya untuk mengepung Beirut barat secara total, yang merupakan wilayah
kediaman Ahlussunnah. Mereka mengancam akan menduduki wilayah tersebut, atau
tidak akan melonggarkan kepungan sampai PM yang dimaksud mengundurkan diri. Hal
itu terjadi pada 9 Mei 2008.
Rupanya masalah ini tidak lagi
sekedar ‘bisikan hati’. Ia telah menjadi percobaan nyata di lapangan dengan
bergeraknya milisi-milisi untuk menguasai titik-titik utama di ibukota Beirut.
Bahkan ini sangat menarik perhatian, tatkala Waleed Jumblat mengungkap apa yang
terjadi enam hari sebelum pengepungan, tepatnya tanggal 3 Mei 2008. Ia
mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa dirinya menemukan dokumen
surat-menyurat antara menteri pertahanan Lebanon Ilyas Almur dengan pihak
intelijen tentara nasional Lebanon. Dokumen tersebut melaporkan adanya sejumlah
kamera milik Hizbullah yang dipasang di airport Beirut. Jumblat juga
menyebutkan bahwa di saat yang sama ketika persenjataan dilarang masuk ke
Lebanon, ternyata arus pengiriman senjata mengalir deras dari Iran kepada
Hizbullah. Artinya, tidak lama lagi Hizbullah akan menjadi satu-satunya
kelompok bersenjata di lebanon yang persenjataannya jauh melebihi tentara
nasional Lebanon.
foto:
Hizbullah Mengepung Beirut
Kesepakatan Doha dan kesalahan
Nasrallah
Pengepungan Beirut barat
berlanjut selama 13 hari, hingga ditandatanganinya kesepakatan di Doha (Qatar),
untuk mengakhiri perang dan menyudahi aksi duduk massal. Akan tetapi, seiring
dengannya bubar pula aliansi kwartet yang terbentuk antara gerakan Al Mustaqbal
yang Sunni, Hizbullah dan Harakah AMAL yang Syi’ah, serta Partai Demokratik
yang Druz. Mereka semua mendapati bahwa aliansi semacam ini adalah sangat sulit
dipertahankan, dan berbagai kepentingan Ahlussunnah dan Syi’ah pasti akan
saling bertabrakan. Dari sini, mulai lah kedua belah pihak saling melempar
tuduhan dan bersaing ketat. Gerakan Al Mustaqbal atau Aliansi 14 Maret, kini
meyakini bahwa Syi’ah sangat mungkin mengambil alih kekuasaan secara total di
Lebanon. Hizbullah pun mulai menuduh Gerakan Al Mustaqbal sebagai kaki tangan
Amerika dengan maksud menurunkan pamor mereka di mata rakyat Lebanon dan
gerakan-gerakan Nasionalis lainnya. Tuduh-menuduh terus berlanjut antara kedua
belah pihak, dan semakin menguat dari waktu ke waktu seiring dengan makin
dekatnya Pemilihan anggota parlemen baru pada bulan Juni 2009. Akhirnya,
Gerakan Al Mustaqbal yang dipimpin oleh Sa’ad Al Hariri ikut serta dalam Pemilu
melawan Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrallah. Masing-masing pihak mulai
memamerkan kapabilitasnya untuk memimpin sekaligus menjatuhkan lawan
politiknya.
Hasan Nasrallah lalu membuat
kekeliruan besar yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang politikus ahli
sepertinya. Akan tetapi Allah berkehendak untuk menyingkap apa yang ada di
balik tabir… Ia mengumumkan dalam pidatonya menjelang Pemilu pada tanggal 29
Mei 2009, – yang teks pidatonya ada dalam situs resmi Hizbullah di internet-,
bahwa jika kelompoknya menang dalam Pemilu, maka ia akan memasukkan
persenjataan ke Lebanon dari Suriah dan Iran. Ia telah menampakkan bahasa
Syi’ahnya yang kental, bahkan mengatakan: “Yang saya tahu ialah bahwa Republik
Islam Iran, khususnya Imam pemimpin Revolusi yang mulia: Sayyid Al Khamenei
tidak akan pelit untuk memberikan segalanya bagi Lebanon”.[1]
Foto: Kesepakatan Doha
Ia telah berterus terang tanpa
tedeng aling-aling kepada rakyat Lebanon, bahwa pendanaan yang akan menjamin
stabilitas dan kejayaan mereka akan datang dari pihak Syi’ah, dan ini adalah
bujukan sekaligus ancaman, plus suatu hal yang menarik perhatian akan kuantitas
Hizbullah dan relasinya.
“Pesan” tersebut sampai ke rakyat
Lebanon, namun dalam bentuk yang berlawanan dari yang diharapkan Hasan
Nasrallah. Rakyat Lebanon akhirnya sadar akan bahaya Syi’ah. Mereka tahu bahwa
naiknya kelompok Hizbullah ke kursi pemerintahan, berarti bertambahnya kekuatan
bagi Hizbullah, bukan bagi Lebanon. Di samping itu, kemungkinan berdirinya
sebuah negara Syi’ah yang loyal kepada Iran dan Suriah menjadi dekat sekali.
Dari sinilah rakyat Lebanon takut terhadap arah Hizbullah, dan ketakutan
tersebut nampak di kotak-kotak suara saat Pemilu hingga mereka memberikan
suaranya ke Aliansi 14 Maret, padahal Sa’ad Al Hariri tidaklah secakap
bapaknya, mendiang Rafiq Al Hariri. Akan tetapi rakyat Lebanon telah menyadari
sendiri akan bahaya momen ini, dan tidak ada lagi waktu untuk mengatakan bahwa
Pemilu ini akibat tekanan Amerika, sebab ternyata Pemilu ini adalah pemilu yang
bersih dan tidak ada satu pihak pun yang mengritik ketransparanannya.
Akhirnya Aliansi 14 Maret menang
dalam Pemilu dengan merebut 14 kursi lebih banyak dari Hizbullah. Ini adalah
angka yang besar dalam pemilu Lebanon, dan ini berarti bahwa masalah-masalah
akan semakin jelas.
Foto: Dukungan Iran untuk
Hizbullah
Sikap kita terhadap Hizbullah
Setelah memaparkan kisah yang
panjang ini, saya mengajak pembaca sekalian untuk merenung dan memberi catatan
atas beberapa hal, yang nanti akan menjawab sejumlah pertanyaan membingungkan
yang terlintas di benak setiap muslim saat menyaksikan peristiwa-peristiwa
tadi. Mungkin ada di antara pembaca yang setuju dengan pandangan saya, namun
mungkin juga tidak; akan tetapi saya sampaikan kepada semuanya bahwa saat kita
memberikan catatan, hendaknya kita menyingkirkan perasaan kita, dan memutuskan
dengan akal kita. Jika kita ingin memberi analisa yang tepat, kita harus
menelusuri akar masalah, mempelajari sejarah baik yang dahulu maupun sekarang,
mengaitkan hal-hal satu sama lain, membaca apa yang tertulis dalam buku-buku,
dan meneliti tujuan masing-masing golongan serta latar belakang dan akidah
mereka. Ketika itulah berbagai asumsi yang dahulu kita yakini kebenarannya akan
berubah, dan boleh jadi kita menyerang apa yang dahulu kita bela, atau membela
apa yang dahulu kita serang!!
Pertama: Berdirinya sebuah negara Syi’ah
di Lebanon adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi bahkan mungkin segera
terjadi, mengingat fasilitas yang dimiliki Hizbullah bukanlah fasilitas suatu
kelompok atau golongan kecil, akan tetapi fasilitas suatu negara. Apalagi
dukungan Suriah dan Iran atas berdirinya suatu negara Syi’ah yang loyal kepada
keduanya sangatlah besar. Negara ini kelak meliputi Lebanon selatan, lembah
Bikkaa yang berada di timur laut Lebanon. Wilayahnya bisa jadi meluas hingga
mencakup Lebanon utara yang Sunni, termasuk menguasai Beirut barat dan selatan.
Adapun wilayah-wilayah Nasrani, maka masih diperselisihkan, dan tidak menutup
kemungkinan jika Hizbullah menerima berdirinya dua negara di bumi Lebanon:
Negara Syi’ah dan Negara Nasrani.
Bahkan seribu tahun sebelum itu,
Syi’ah Isma’iliyyah pernah menawarkan kepada pasukan salibis saat memasuki
Syam, agar mereka membagi-bagi wilayah Ahlussunnah di antara mereka: pasukan
salibis menguasai Suriah dan Lebanon, sedangkan Syi’ah menguasai Palestina dan
Yordania; akan tetapi pasukan salib menolak, sebab mereka ingin menguasai Syam
seluruhnya!
Berdirinya sebuah negara Syi’ah
di Lebanon bukanlah masalah sepele bagi Ahlussunnah. Silakan baca kembali kisah
Ahlussunnah di Iran dan Irak, dan telaah kembali sikap Harakah AMAL yang lalu
berganti menjadi Hizbullah terhadap Ahlussunnah di Lebanon. Baca pula tarikh
daulah Buwaihiyyah, Hamdaniyyah, dan Ubeidiyyah –yang menamakan dirinya dengan
dusta sebagai Fathimiyyah-, serta Shafawiyyah… pelajarilah sejarah mereka agar
Anda tahu bahwa berdirinya sebuah negara Syi’ah yang kuat, berarti penindasan
terhadap Ahlussunnah di barisan yang pertama, sebab masalahnya adalah masalah
akidah, dan semua fakta yang ada mengarah kesana.
Perang Demi Sejumlah Kepentingan
Kedua, perang Hizbullah melawan Yahudi
adalah perang demi sejumlah kepentingan, bukan perang atas dasar akidah. Sebab
Yahudi memasuki wilayah Lebanon selatan tahun 1982, yang mulanya hendak
dijadikan cikal bakal Negara Syi’ah Raya. Maka, mau tidak mau harus ada perlawanan
demi eksistensi, sebagaimana peperangan pada umumnya yang terjadi di dunia.
Perang ini bukanlah perang demi meninggikan kalimat Allah, sebab kalimat Allah
(baca: agama) yang diyakini kaum Syi’ah adalah kalimat yang batil dan
menyimpang. Mereka meyakini bahwa imam-imam mereka ma’shum, dan kedudukannya
lebih tinggi dari para rasul, lantas kebaikan apa yang diharapkan dari akidah
semacam ini?!!
Cobalah kita bikin perumpamaan
bahwa Syi’ah memiliki markas di Lebanon Utara, sedangkan Ahlussunnah di selatannya.
Apakah Anda mengira bahwa Syi’ah akan berperang demi menyelamatkan wilayah
Lebanon yang ditempati Ahlussunnah? Ini sesuatu yang mustahil bin tidak
mungkin… bahkan boleh jadi akan terjadi kesepakatan untuk membagi bumi Lebanon
secara damai dengan Yahudi, dan ini bukan sekedar omong kosong tanpa bukti;
sebab Syi’ah telah mendiami Lebanon sejak puluhan tahun, namun adakah mereka
tergerak untuk memerangi Yahudi di Palestina? Padahal dalam syair-syair mereka
katakan bahwa Palestina adalah bumi yang dijajah Zionis Israel.
Al ‘Allamah DR. Musthafa As
Siba’I –rahimahullah- yang merupakan muraqib Ikhwanul Muslimin di Suriah pernah
berusaha mengadakan pendekatan Sunnah-Syi’ah ketika meletus perang Arab-Israel
tahun 1948. Ia berusaha mendorong Syi’ah agar bersekutu dengan Ahlussunnah
untuk membebaskan Palestina, akan tetapi mereka menolak dan enggan, hingga DR.
Musthafa kecewa berat, lalu menulis dalam kitabnya yang berjudul (السنة ومكانتها في التشريع الإسلامي) “Kedudukan Sunnah dalam Syariat Islam”, bahwa pendekatan
antara Sunnah dengan Syi’ah adalah sesuatu yang tidak ada hakikatnya, sebab
mereka memahaminya sebagai pengalihan Ahlussunnah menjadi Syi’ah, bukan untuk
bertemu di tanah yang dimiliki bersama.[2]
Kemudian saat meletusnya perang
tahun 1967, Syi’ah yang ada di Palestina Utara tidak bergerak sedikit pun.
Bahkan Musa Ash Shadr mengelu-elukan slogannya yang terkenal pada bulan Maret
1973 bahwa: “Senjata adalah perhiasan kaum lelaki”, namun saat meletus perang
di bulan Oktober 1973, yakni 6 bulan setelah Musa mengucapkan slogan tersebut,
tidak ada seorag Syi’ah pun yang ikut serta dalam memerangi Yahudi di
Palestina!
Kita semua menyaksikan bagaimana
perang Gaza tahun 2009 yang lalu. Sebenarnya rudal-rudal Hizbullah bisa saja
ditembakkan untuk menahan serbuan brutal Yahudi atas Gaza, akan tetapi kita
tidak mendengar selain ucapan saja, dan tidak ada satu rudal pun yang
ditembakkan untuk menyerang kaum Zionis. Dari sinilah kaum Zionis tahu bahwa
bahaya Hizbullah hanya sebatas daerah yang dikuasainya saja, dan untuk periode
ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak punya kepentingan dengan Palestina.
Sebagaimana yang diketahui Amerika bahwa slogan-slogan anti-AS yang diserukan
Iran tidak ada hakikatnya, namun sekedar mencari simpati kaum muslimin lewat
media massa. Jika tidak percaya, silakan perhatikan bagaimana proyek Syi’ah di
Irak yang berjalan mulus dengan dukungan murni Amerika… bahkan Amerika
sesungguhnya tidak menentang rencana pendirian Negara Syi’ah Raya yang meliputi
Iran, Irak, Lebanon dan Suriah, sebab negara ini akan mewujudkan keseimbangan
bagi sejumlah kekuatan yang ada di wilayah Islam, dan otomatis akan menghadang
kekuatan Islam Sunni yang berupa kebangkitan Islam di sejumlah negara kawasan
itu, terutama Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. Itulah negara-negara yang
Amerika selalu berusaha menekan kekuatannya, baik secara politik, militer,
maupun ekonomi.
Antara Kemenangan & Kebenaran
Manhaj
Ketiga, kemenangan tidak berarti
kebenaran suatu manhaj (ajaran), dan pengorbanan besar belum tidak selalu
menandakan keikhlasan! Betapa banyak pihak yang menang sedangkan mereka adalah
pelaku bid’ah. Bahkan Syi’ah Qaramithah pernah berkuasa di muka bumi selama
seabad atau lebih, padahal mereka yang membantai jama’ah haji, mencongkel Hajar
Aswad dari tempatnya, dan berbuat kerusakan di muka bumi. Bangsa Persia dan
Romawi juga pernah berkuasa di muka bumi, demikian pula Tartar (Mongol),
Inggris, dan Amerika; padahal manhaj mereka semuanya rusak. Termasuk para
penguasa muslim yang kejam dan bengis, yang melenceng dari ajaran Islam yang
lurus, juga pernah menguasai rakyat mereka selama puluhan tahun.
Setiap kemenangan dan kekuasaan
suatu kaum, tidak harus menunjukkan bahwa yang bersangkutan menganut manhaj
(ajaran) yang benar. Namun kaum muslimin harus melihat ucapan dan perbuatan
yang bersangkutan, apakah itu semua sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, atau
tidak seperti itu. Berapa banyak orang yang berkorban dalam peperangan, tabah
laksana pahlawan, akan tetapi menjadi penghuni Neraka? Ya, sebab ia tidak
melakukan semua itu karena Allah. Bahkan di zaman Rasulullah e para sahabat
menyaksikan ada seorang lelaki yang demikian hebat mengobrak-abrik barisan
musyrikin, hingga orang-orang mengiranya sebagai orang Islam terhebat, akan
tetapi Nabi mengabarkan kepada merek bahwa lelaki itu adalah penghuni Neraka!
Lantas saat para sahabat menguntitnya, mereka mendapatinya dalam sakaratul maut
dan ia mengatakan: “Sesungguhnya aku berperang demi kaumku”[3]. Jadi, dia tidak berperang demi Allah
‘Azza wa Jalla, alias ia berperang demi kepentingan, dan kemenangan serta
ketabahannya di medan perang berangkat dari asas yang batil.
Kita bukannya sok tahu akan niat
Hizbullah, sebab hanya Allah yang tahu isi hati mereka. Akan tetapi kita
berbicara tentang akidah yang mereka nyatakan, dan bid’ah yang mereka tampakan.
Silakan merujuk kembali artikel yang berjudul: “Hegemoni Syi’ah”, niscaya Anda
akan dapatkan bagaimana Syi’ah menang dan berkuasa, akan tetapi sama sekali
bukan menang dalam ajaran, namun semuanya adalah penyimpangan dari jalan yang
lurus.
Sikap Ahlussunnah
Keempat, meski perang yang terjadi
antara Hizbullah dan Zionis Israel adalah perang demi kepentingan, tidak
berarti bahwa muslimin Ahlussunnah tidak perlu mengambil sikap tertentu dalam
masalah ini. Bahkan dalam hal ini saya berbeda pendapat dengan banyak senior
saya dalam masalah ilmu dan dakwah, yang memandang agar masalah ini dibiarkan
saja tanpa campur tangan, sebab kedua belah pihak adalah kaum yang sesat.
Seorang muslim hendaknya berperan positif dan dapat menilai antara maslahat dan
mudharat. Perang ini terjadi antara Zionis Israel yang benar-benar menjajah bumi
Palestina, dan Hizbullah yang hidup di bumi yang sebagiannya dijajah oleh pihak
Zionis. Dari sini, melemahkan kaum Zionis pada dasarnya adalah suatu tujuan,
mengingat jelasnya permusuhan kaum Zionis, dan membebaskan bumi Lebanon dari
cengkeraman Zionis adalah suatu keharusan.
Nah setelah itu, hendaknya kaum
muslimin mengatur masalah mereka dengan strategi yang bisa menjaga hak-hak
mereka tanpa terseret kepada Yahudi maupun Hizbullah.
Dahulu saya pernah menganggap
luar biasa sikap Ahlussunnah di Lebanon tahun 1997 saat mereka bergabung dalam
jumlah besar ke pasukan perlawanan Lebanon yang berusaha mengusir Yahudi dari
Lebanon. Padahal komandonya dipegang oleh Hizbullah, dan Hizbullah banyak
memanfaatkan perjuangan Ahlussunnah setelah itu dan tidak mau mengakuinya; akan
tetapi tetap saja pandangan kaum muslimin jelas dalam hal ini.
Bahkan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah meladeni seorang lelaki musyrik yang datang kepadanya
untuk menuntut haknya yang dirampas Abu Jahal. Nabi saat itu tidak mengatakan:
“Lelaki ini kelak akan menggunakan harta yang dirampas tadi untuk bertaqarrub
kepada Latta dan ‘Uzza”, namun Nabi membantunya dalam hal ini, kemudian di
kesempatan lain beliau mendakwahinya ke jalan Allah.[4]
Kita tidak akan mencampur susu
dengan nila, kita tahu bahwa proyek Syi’ah Hizbullah di Lebanon sangat
berbahaya, namun di saat yang sama kita juga sadar akan bahaya proyek Zionis di
wilayah tersebut.
Kelima, Hasan Nasrallah adalah tokoh
kharismatik. Artinya, ia seorang yang punya karakter khusus dapat mempengaruhi
orang di sekitarnya, dapat memimpin massa, dan menggelorakan semangat. Dia
termasuk politikus nomor wahid, sangat cerdas dan pandai berbicara… Menurut
saya (DR. Ragheb As Sirjani), boleh-boleh saja ia dikagumi sebagai politikus
dan ahli strategi. Saya tidak takut jika ada orang yang mengagumi cara
berpidatonya, atau caranya mempermainkan neraca politik… ini semua tidak
mengapa bagiku untuk dirasakan oleh kaum muslimin. Bahkan kalau pun mereka
(kaum muslimin) menirunya dalam sebagian hal tersebut, itu juga tidak mengapa.
TAPI, yang tidak bisa diterima
ialah bila kita mengaguminya sebagai pemimpin Islam yang mengobarkan jihad
sesuai perintah Allah. Sebab untuk menjadi pemimpin model ini syaratnya harus
memiliki akidah yang lurus dan ibadah yang benar. Ia harus mengikuti Sunnah
Nabi dan tunduk pada ayat-ayat Allah, dan semua syarat ini tidak dimiliki oleh
Hasan Nasrallah!
Di antara Akidah Hasan Nasrallah
Hasan Nasrallah adalah penganut
Syi’ah Itsna ‘Asyariah. Artinya, ia mempercayai semua keyakinan madzhab
tersebut. Dia percaya bahwa para sahabat semuanya bersekongkol untuk merebut
khilafah dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib, dan menyerahkannya kepada Abu Bakar,
Umar, kemudian Utsman –semoga Allah meridhai mereka semua-. Dia juga meyakini
bahwa Nabi telah memberi wasiat kepada imam-imam mereka yang dua belas dan
menyebut nama-nama mereka secara jelas. Dia meyakini bahwa para imam tadi
ma’shum, dan imam yang kedua belas telah masuk gua Sirdab –di Samurra, Irak-
dan masih hidup (sejak 12 abad lalu) hingga saat ini, dan akan keluar suatu
hari nanti. Dia juga mengimani taqiyyah[5]sebagai sembilan persepuluh (90%) agama
Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa Ahlussunnah adalah golongan yang memusuhi Ahlul
Bait, padahal Ahlussunnah lah yang lebih menghargai Ahlul Bait dari pada
Syi’ah, namun caranya sesuai sunnah Rasul. Dia juga meyakini bahwa imam-imam
yang besar berhak mengambil seperlima dari penghasilan pribadi setiap penganut
Syi’ah. Dia juga meyakini bahwa nikah mut’ah adalah halal; artinya, boleh saja
baginya bila seorang pemuda mendatangi pacarnya, atau gadis lain lalu
menikahinya selama sehari atau satu jam, demi melampiaskan syahwatnya kepada si
wanita lalu mencerainya. Dia juga meyakini teori wilayatul faqih, dan berangkat
dari sini, haram baginya untuk menyelisihi pemimpin revolusi Iran: Ali Khamenei
dalam perintah apa pun, demikian seterusnya…
Semua yang saya sebutkan tadi
adalah bagian dari keyakinan (akidah) Hasan Nasrallah yang telah mengakar.
Kalau ada yang protes dan mengatakan: “Lho, kita kan tidak pernah mendengar dia
mencaci-maki sahabat, atau menuduh isteri-isteri Nabi dengan tuduhan keji?”,
maka saya katakan kepada orang-orang lugu tersebut: “Bukan suatu keharusan bagi
kita untuk mendengar semua itu darinya agar kita yakin bahwa dia memang
mengatakan seperti itu, sebab semua hal tadi merupakan KONSEKUENSI dari ajaran Syi’ah
Itsna ‘Asyariyah”. Anda sendiri mungkin tidak pernah mendengar tetangga anda
yang muslim mengatakan: laa ilaaha illallaah muhammadun rasulullah, akan tetapi
anda tahu bahwa tetangga anda meyakini ucapan tersebut, karena dia seorang
muslim. Demikian pula seorang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, ia mau tidak mau harus
mengimani semua yang saya sebutkan tadi, sebab kalau tidak, dia akan berada di
luar Syi’ah. Kalau Hasan Nasrallah harus menghargai dan menghormati para
sahabat, maka ia tidak mungkin bisa membenarkan pokok-pokok ajaran Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, demikian pula dengan jabatan Khalifah yang dipegang oleh Ali,
Hasan, Husein, dan imam-imam lainnya.
Jadi, seorang tokoh yang menganut
berbagai kesesatan dan bid’ah tadi, sama sekali tidak layak untuk kita kagumi,
maupun kita jadikan sebagai pemimpin Islam teladan. Kita hanya boleh mengambil
sedikit hal darinya, sebagaimana kita ambil dari orang lain; bukan karena dia
itu Islami, tapi karena dia adalah manusia yang memiliki potensi dan keahlian.
Sejarah Islam telah menyaksikan
bagaimana kaum Salibis menjajah Palestina dan Syam sebelum ini, dan hal itu
terjadi di depan mata daulah Syi’ah yang kuat, yaitu Daulah ‘Ubeidiyyah yang
saat itu menguasai Mesir. Pun demikian, kaum muslimin yang sejati di zaman itu
tidak menjadikan para pemimpin Daulah Ubeidiyyah sebagai teladan mereka, sebab
para pemimpin tadi adalah orang yang rusak akidahnya, meskipun mereka adalah
jago-jago politik, dan ahli strategi perang. Kaum muslimin hanya melahirkan
teladan-teladan mereka yang sejati, hingga muncullah tokoh-tokoh seperti
Imaduddien Zanky, Nuruddien Mahmud, dan Shalahuddien Al Ayyubi.
Inilah yang harus menyibukkan
kita sekarang… jika kita telah menyaksikan megaproyek Syi’ah, dan telah matang
dan berhasil di Iran, Irak serta Lebanon. Lantas di manakah megaproyek Sunni
yang menyamai megaproyek Syi’ah, agar kemudian bisa mengunggulinya?!
Kita mengharap kepada salah satu
dari sekian banyak pemimpin negara Islam agar merancang megaproyek Sunni tadi,
yang berpijak kepada Al Qur’an dan Sunnah, dan berjalan di atas manhaj As
Salafus Shalih. Inilah proyek yang akan melindungi hak-hak kaum muslimin di
muka bumi, dan mendukung Ahlussunnah yang tertindas di Iran, Irak, Lebanon, dan
Suriah; dan yang akan tegar menghadapi proyek-proyek Yahudi dan penjajahan
mereka atas negara-negara Islam.
Namun kalau tidak ada seorang
pemimpin pun yang mau memikul tanggung jawab ini, maka kita mengajak seluruh
rakyat merek untuk merevisi kembali manhaj mereka dan mengintrospeksi diri agar
kembali dengan pasrah dan taat kepada Allah. Sebab Allah tidak akan membiarkan
umat tanpa seorang pemimpin yang mukhlis, kecuali karena umat itu sendiri yang
menerlantarkan dan menyia-nyiakan agama Allah. Jadi, sebagaimana kalian,
demikianlah penguasa kalian, dan Allah tidaklah berbuat zhalim sedikit pun…
maka bela lah agama Allah, agar Allah membela kalian, dan tolonglah ajaran-Nya
agar Dia menolong kalian, serta kembalilah kepadanya, agar Dia menerima kalian,
mengampuni dosa kalian, dan membimbing kalian ke jalan yang lurus…
Semoga Allah memuliakan Islam dan
kaum muslimin… [tamat].
[2] Lihat dalam kitab yang
dimaksud, hal 24 cet. Darul Warraq-Al Maktabul Islami.
[3] Lihat: Sirah Nabawiyah
tulisan Ibnu Hisyam, 1/524-525. Lelaki tersebut bernama Quzman yang merupakan
sekutu Bani Dhafar.
[4] Idem, 1/389-390.
[5] Taqiyyah artinya
menampakkan ucapan/perbuatan yang berbeda dengan keyakinan demi kemaslahatan
pribadi, yang dahulu dikenal dengan istilah nifaq (kemunafikan).
Sumber : basweidan.wordpress.com