Berikut ini adalah tulisan
Ilham
Jaya Abdur Rauf, Lc, M.A., Ketua Divisi Pengkajian LPPI Perw. Indonesia Timur
Saya langsung saja masuk ke dalam poin-poin yang ada,
1. Melakukan Plagiarisme dan Manipulasi Data
semakin
lama saya banyak membaca buku-buku Jalauddin Rakhmat saya mendapati bahwa
“tokoh kita” ini melakukan plagiarisme, menjiplak karya orang lain tanpa
menyebutkan sumbernya secara tepat, sehingga seakan-akan kalau orang awam yang
membaca apalagi –mohon maaf- orang yang tidak memiliki misalnya wawasan bahasa
arab yang memadai maka ia akan menduga bahwa karya tersebut adalah orisinil
karya Jalaluddin Rakhmat. Padahal sebenarnya tidak perlu untuk menjadi
cendikiawan, cukup kita memiliki kemampuan untuk mengotak-atik dan browsing di
internet kita akan tahu bahwa sebagian di antara karya-karya Jalaluddin Rakhmat
itu diambil dari buku-buku yang sebenarnya bisa diakses secara terbuka di
internet. Begitu juga dengan manipulasi data. Makalah-makalah yang
ditulis Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa kesempatan yang beliau datang di kota
Makassar ini, saya dapati bahwa terjadi pemutarbalikan fakta.
Sebenarnya
kalau kita mau menggunakan logika praktis. Sangat sederhana. Kalau dikutip dari
Ibnu Katsir, dikutip dari Imam An-Nawawi, dikutip dari Imam Al-Qurthubi,
dikutip dari Imam Ibnu Hazm yang kemudian mengangkat persoalan-persoalan atau
mengangkat argumentasi-argumentasi yang seakan-akan mendukung paham Syiah,
tentu saja pertanyaannya, kalau memang argumentasi itu benar lantas kenapa Ibnu
Katsir tidak menganut paham Syiah?, lantas mengapa Imam An-Nawawi tidak
menganut paham Syiah?, lantas kenapa Imam Bukhari tidak menganut paham Syiah?,
kalau memang argumentasi itu benar.
Di sini
saya mengungkap satu contoh saja, buku “Al Mushthafa”, buku ini ditulis oleh
Jalaluddin Rakhmat, ini saya fotocopy dan saya ambil dari internet, buku “Al
Mushthafa, Manusia Pilihan Yang Disucikan” terbit April 2010, buku ini pembaca
sekalian isinya banyak mengutip dari buku yang lain, silakan akses di
mezan.net, pembaca bisa akses, kemudian di bagian “Maktabah” akan ada buku yang
judulnya “Ash-Shahih Min Siirati An-Nabiyy Al-A’zham”, buku ini ditulis oleh
pengasuh situs tersebut, nah buku ini saya teliti, karena sebenarnya sudah lama
kami kaji, banyak di antara ide dasar serta kutipan-kutipan dari buku ini
sebenarnya diambil dari buku yang ada di dalam situs tersebut, bukan cuma
ide dasarnya, bahkan catatan kakinya, dan yang lucu adalah, kadang-kadang
pengutipan catatan kaki itu terjadi kesalahan.
Sendainya
kabel sampai pada LCD saya bisa tunjukkan, karena buku ini berbentuk PDF jadi
tidak bisa diubah-ubah.
Kutipan
yang sama, cerita yang sama, dari buku yang sama, tapi keliru dalam menulis
catatan kaki, pada penulisan halamannya, bukunya sama, nah, halaman dari buku
tersebut keliru dalam pengutipannya, ya mungkin buru-buru karena ingin segera
dicetak, dalam buku Ash-Shahih, jilid 1, hal 29, disitu tertulis “Bahwasanya
Amr bin Ash tidak rela ketika ada seorang Nasrani dipukul karena mencela Nabi”
sebenarnya pembaca sekalian, kisah-kisah seperti ini dalam buku-buku hadis
sangat banyak. Makanya ulama kita dahulu dalam menulis hadis-hadis dalam kitab
mereka mencantumkan sanad. Sebenarnya pencantuman sanad-sanad ini oleh ulama
hadis adalah pesan kepada kita, bahwa jangan serta merta menelan satu berita,
satu informasi, satu riwayat kecuali setelah kita memeriksa sanadnya. Dan
memeriksa sanad ini pembaca sekalian adalah pekerjaan berat.
Saya
punya pengalaman di semester yang lalu, kuliah di Malik Su’ud, kami diberi
tugas oleh salah seorang professor kami untuk mentakhrij 20 hadis, salah
seorang kawan saya dari Saudi ketika hari kuliah mengatakan kepada saya, “Pekan
ini berubah jadwal tidur saya, tidak alami lagi tidur saya” kenapa? Karena
kadang-kadang untuk mentakhrij sebuah hadis menghabiskan tiga hari untuk
mentakhrij satu hadis, sementara waktu itu kami diberi tugas mentakhrij 20
hadis. Ini adalah salah satu tugas yang sangat berat kami rasakan.
catatan
saya; Jadi sebuah riwayat tidak bisa diterima begitu saja, kalau hanya
cerita-cerita seperti ini yang kita cari, banyak akan kita temukan pembaca
sekalian, namun pertanyaannya, apakah cerita itu bisa diterima atau tidak?
Itulah juga gunanya ulama kita mencantumkan sanad agar kita bisa memeriksa
secara obyektif, apakah cerita ini, apakah hadis ini, apakah atsar ini bisa
kita jadikan dalil landasan argumentasi atau tidak.
Saya
lanjutkan, jadi cerita ini disebutkan dalam buku Ash-Shahih min sirati
An-Nabiyy Al-‘Azham jilid 1 hal 29, dan juga disebutkan dalam buku ini,
Al-Mushthafa. Maaf saya malas beli bukunya, saya copy bagian-bagian yang
penting saja, sayang kalau harus menyimpan di rak buku saya buku-buku yang
isinya dikutip dari buku-buku yang lain tanpa menyebutkan sumbernya secara
benar. Kisah yang sama di sebutkan dalam buku Al-Mushthafa ini halaman 29,
kisah yang sama, di catatan kaki , disini disebutkan, “Al-Isti’ab, Mathbu’
bihamisy Al-Ishabah, juz III, hal 193 dan buku Al-Ishabah, Juz III hal 195”.
Apa yang
terjadi pembaca sekalian, dalam buku ini penulisnya mengatakan “Buku
Al-Isti’ab, juz III hal 193 dan 195”.
Jadi
kalau dalam sumber asli disebutkan dua buku dan disebutkan dua halaman, namun
dalam catatan kaki buku Al-Mushthafa ini Cuma disebutkan satu buku, akan tetapi
dua halaman yang berbeda, kita saja yang tidak perlu repot-repot membaca buku
aslinya bertanya-tanya, kok bisa satu kutipan disebutkan dalam dua tempat,
itukan tidak mungkin, kecuali ada sesuatu yang sangat luar biasa, tapi itukan
terjadi pengulangan, tidak perlu kita membaca teks aslinya yang bahasa arab,
kita sudah bisa menganalisa, bagaimana bisa sebuah cerita diulangi di dua
tempat pada dua halaman yang berbeda, setelah saya rujuk ke buku aslinya memang
tidak sama, dari dua buku yang berbeda dan dari dua buku yang tidak sama untuk
satu cerita yang persis sama, ini salah satu contoh saja dan tentu tidak cukup
waktu kalau saya mau memparkan semuanya.
Manipulasi
Data
Kalau di
laptop saya ini ada tulisan tentang makalah yang pernah disampaikan oleh
Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pertemuan di Makassar ini juga yang bercerita
tentang Ayatul Mawaddah secara singkat saja saya sampaikan, bahwa Ayatul
Mawaddah ini disampaikan oleh Jalalauddin Rakhmat untuk mendukung paham atau
pendapat yang ia propagandakan bahwa kita umat Islam disuruh oleh Allah subhana
wata’ala untuk berbuat baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan mencintai keluarganya, ayatnya, “Dzalikalladzi yubasysyirullahu
ibadahulladzina amanu wa amilush shalihati, qul la as’alukum alaihi ajra illa
mawaddata fil qurba, wa man yaqtarif hasanatan nazid lahu fiha husna, innallaha
ghafurun syakur ” Jalaluddin Rakhmat menerjemahkan ayat ini sebagai
berikut, “Itulah karunia yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan
hamba-hambaNya yang beriman dan mengerjakan kebajikan, katakanlah wahai
Muhammad, aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan apapun atas seruanku
kecuali kecintaan kepada keluargaku” ini disebutkan dalam makalahnya di halaman
4, jadi Jalaluddin Rakhmat menerjemahkaan bahwa Nabi saw meminta kepada kita
kaum Muslimin agar supaya membalas kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyampaikan risalah Allah subhana wata’ala dengan mencintai keluarga
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terjemah
ini pembaca sekalian bertentangan dengan terjemahan Departeman Agama, jadi kita
belum melangkah ke kitab-kitab Bahasa Arab, ini baru yang bahasa Indonesia saja
sudah berbeda, kalau dalam terjemahan Departemen Agama edisi terbaru 2002,
disebutkan di dalamnya, “Katakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta kepadamua
suatu imbalan apapun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”
jadi bukan ‘Mencintai keluargaku’ akan tetapi ‘Kasih sayang dalam kekeluargaan’
kenapa? Karena memang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hubungan
kekeluargaan dalam masyarakat beliau, Nabi shallallahu alaihi wasallam bukan
makhluk planet yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, beliau adalah
manusia biasa yang lahir dari sebuah keluarga besar Quraisy, sehingga tidak ada
satu pun sebenarnya simpul-simpul induk hubungan keluarga di Makkah melainkan
memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang
saya maksud manipulasi data dalam hal ini pembaca sekalian adalah bahwa
Jalaluddin Rakhmat mengutip dari tafsir Ibnu Katsir, dan juga Fathul Qadir oleh
Imam Asy-Syaukani, dan setelah saya memeriksa kedua tafsir tersebut, memang
benar bahwa, Imam Ibnu Katsir menyebutkan pendapat sebagaimana yang disebutkan
oleh Jalaluddin Rakhmat itu, yaitu ‘Cintailah keluargaku’, akan tetapi pembaca
sekalian, bukan dalam konteks untuk membenarkan pendapat itu, akan tetapi
justru dalam konteks untuk menyalahkan dan melemahkan pendapat tersebut.
Jadi
kalau kita belajar sedikit metodologi penelitian ilmiah saja, ini adalah sikap
yang tidak jujur, seakan-akan Ibnu Katsir berpendapat seperti itu, padahal
sebenarnya memang benar Ibnu Katsir menyebutkan pendapat itu, akan tetapi bukan
dalam rangka untuk mendukung pendapat itu, tapi justru dalam rangka untuk
melemahkan pendapat itu, sehingga sangat wajar pembaca sekalian kalau kemudian
ulama-ulama kita yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam versi bahasa Indonesia
kemudian menggunakan terjemahan sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir Ibnu
Katsir, bukan sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat.
Banyak
lagi contoh-contoh yang kiranya bisa kita angkat pada kesempatan-kesempatan
yang lain.
2. Jalaluddin Rakhmat telah mempublikasikan
karya tulis dalam bidang keilmuan yang tidak dia kuasai sama sekali, sehingga
dapat menimbulkan kerancuan dan menyesatkan masyarakat
Saya,
pembaca sekalian, tidak perlu tamat madinah, semester satu saja di Madinah,
sudah bisa menilai buku ini. Dalam banyak riwayat-riwayat, misalnya dikutip
dari Syarah Nahjul Balaghah, ini Nahjul Balaghah pembaca sekalian, waktu SMA
sudah tamat saya baca, jadi terus terang untuk persentasi ini tidak perlu saya
baca lagi, karena buku ini pernah saya baca dulu. Tapi apa kata Ulama kita
tentang Nahjul Balaghah ini, Nahjul Balaghah ini dinisbatkan kepada Al-Murtadha
Abu Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi yang wafat pada tahun 436 H.
Imam
Adz-Dzahabi –kalau kita belajar hadis, beliau adalah seorang ulama Al-jarhu wa
At-Ta’dil pada masanya. Beliau punya buku Tarikhul Islam berjilid-jilid, beliau
juga punya buku Siyar A’lam Nubala berjilid-jilid, beliau punya buku Mizanul
I’tidal berjilid-jilid- beliau berkata tentang Murtadha,
هو جامع كتاب نهج
البلاغة المنصوبة ألفاظه إلى الإمام علي رضي الله عنه ولا أسانيد لذالك وبعضها
باطل وفيه حق ولكن فيه موضوعات حاش الإمام من نطق بها
“Dialah
adalah tokoh yang dinisbatkan kepadanya kitab Nahj al Balaghah dan bahwa dialah
yang menyusun kitab tersebut, yang mana isinya, materinya dan kontennya
dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra. akan tetapi sayang buku ini
tidak ada sanadnya! –Apa artinya ‘tidak ada sanadnya?’, seakan-akan Murtadha
ini mendengar langsung dari Ali bin Abi Thalib yang hidup pada abad pertama
hijriyah, sementara dia meninggal pada abad kelima hijriyah, ini kan tidak
mungkin, mustahil bin mustahil, makanya Abdullah bin Mubarak mengatakan,
‘Seandainya bukan karena isnad, maka semua orang bisa ngomong sesuai dengan apa
yang dia inginkan’, itulah manfaatnya sanad, tidak semua orang berbicara, kita
mengambil agama ini warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana
warisan itu bisa kita buktikan kesinambungan orang-orang yang meriwayatkan
sabda itu sampai langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-
Sebagiannya bathil, walaupun sebagiannya juga mengandung kebenaran, -inilah
contoh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah bersikap adil, bahwa kalau dilihat dari
segi isi dan kandungannya, ada yang benar dan ada juga yang keliru- akan
tetapi di dalamnya banyak sekali kepalsuan yang mustahil Imam Ali bin Abi
Thalib mengatakan atau mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti itu.”
Ada juga
yang mengatakan bahwa buku itu ditulis oleh saudaranya Asy-Sayrif Ar-Ridha,
intinya pembaca sekalian, Imam Adz-dzahabi, imam Al-Jarh wa At-ta’dil, imam
dalam ilmu hadis ini mengatakan bahwa buku itu ditulis oleh seseorang yang
tidak ada hubungan langsung berguru antara dia dengan Ali bin Abi Thalib,
sehingga kalau ia mengutip langsung dari Ali bin Abi Thalib itu mustahil, baik
secara logika maupun secara ilmu hadis, karena tidak mungkin manusia yang wafat
abad kelima hijriyah mendengar langsung khutbah-khutbah manusia yang hidup di
awal abad pertama hijriyah.
Apakah
cuma Imam Adz-Dzahabi yang mengatakan seperti itu, tidak pembaca sekalian, akan
tetapi juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaq Ar-Rawi wa
Adab As-Sami’, juga disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga
disebutkan oleh DR. Shalih Al-Fauzan dan seterusnya, artinya pembaca sekalian, ulama-ulama
dunia telah mengakui bahwa kitab Nahjul Balaghah ini tidak bisa dinisbatkan
kepada Ali bin Abi Thalib, walaupun mungkin kita baca bagus bahasanya, enak
bahasanya.
Kalau
kita belajar bahasa arab pembaca sekalian, kitab Nahjul Balaghah terdapat di
dalamnya banyak sekali sajak, sajak artinya ungkapan-ungkapan syair yang
ujung-ujungnya sama, ini sama seperti kita di pendidikan dasar dahulu belajar
tentang sajak dan puisi klasik bahasa Indonesia, ujung-ujungnya sama, sementara
siapa pun yang belajar bahasa arab itu faham bahwa metode bahasa arab yang
menggunakan sajak yang berlebihan seperti ini bukan tradisi orang-orang arab
awal zaman sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, silakan kita baca
buku bahasa arab apa saja dan kita bandingkan perkataan-perkataan sahabat
dengan perkataan-perkataan ulama belakangan, kita akan tahu salah satu
perbedaannya, ungkapan-ungkapan sahabat itu tidak dihiasi dengan retorika yang
muluk-muluk, sederhana, mudah, akan tetapi cepat masuk di hati dan akal,
sementara perkataan-perkataan belakangan kadang-kadang dibuat indah, penuh
dengan retorika akan tetapi tidak memiliki bobot makna yang mendalam.
Sebuah
karya ilmiah seharusnya tidak menjadikan kitab Nahjul Balaghah sebagai kitab
refrensinya.
3. Tidak Mengkonfirmasikan Klaim Hasil
Penelitiannya Dengan Hasil Penelitian Ulama-ulama Otoritatif Di Bidangnya
Dalam
buku ini pembaca sekalian banyak sekali kesimpulan-kesimpulan yang seakan-akan
Jalaluddin Rakhmat-lah yang sampai pada kesimpulan tersebut. Ini luar biasa. Islam
ini sudah lima belas abad. Apakah Jalaluddin Rakhmat orang yang pertama kali
membaca Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi? Apakah dia yang pertama membaca Shahih
Bukhari-Shahih Muslim? Sehingga dia bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang
tidak pernah sedikit pun terbesit dalam benak ulama-ulama sebelumnnya. Mustahil
bin mustahil.
Kalau
kita melakukan studi di negara-negara timur tengah. Kenapa studi pascasarjana
sangat sulit selesai? Salah satu di antara sebabnya adalah karena kita sangat
sulit mengemukakan suatu pendapat, kecuali kita dituntut untuk melacak apakah
pendapat itu sudah pernah dikemukakan oleh ulama sebelumnya atau belum. Dan itu
sulit dalam bahasa arab, kenapa? Karena bahasa arab ini pembaca sekalian sudah
lima belas abad menjadi wadah bagi tradisi keilmuan Islam. Bayangkan, kita
harus memeriksa perpustakaan yang usianya lima belas abad karya-karya yang ada
di dalamnya, kira-kira apa yang bisa kita lakukan. Itulah makanya banyak di
antara kawan-kawan terlambat selesai pendidikannya, kenapa? Karena mereka harus
berjibaku membongkar buku-buku yang ada di perpustakaan. Harus ada jaminan
bahwa setiap pendapat yang dikemukakan, kalau memang itu betul-betul baru,
harus bisa dipertanggungjawabkan, tapi kalau tidak, harus bisa disampaikan dan
dinisbahkan kepada pemilik aslinya.
Saya
biasa menyampaikan kepada sebagian kawan-kawan membandingkan bahasa Indonesia
dengan bahasa arab sangat jauh. Bahasa Indonesia ini pembaca sekalian sempat
berubah tahun berapa dan kita sekarang ini tahun berapa, berapa usianya
bahasa Indonesia? Bandingkan dengan bahasa arab sejak turunnya al-Qur’an sampai
hari ini. Dan bandingkan betapa banyak ilmu pengetahuan yang mampu untuk
ditampung oleh bahasa arab yang belum mampu ditampung oleh bahasa Indonesia.
Sederhana sekali. Logikanya sangat sederhana.
4. Meniru Orientalis Yang Menggunakan
Prasangka Konflik Politik dan Aliran Terhadap Peristiwa-peristiwa Sejarah
Sahabat
Yang juga
menjadi catatan saya adalah bahwa buku ini meniru orientalis yang menggunakan
prasangka konflik politik dan politik aliran terhadap peristiwa-peristiwa
sejarah yang ada di zaman sahabat. Jadi kalau kita baca buku ini, sebenarnya
mengutip dari buku Ash-Shahih Min Siratin Nabiy Al-‘Azham menggunakan metode
orientalis yang salah satu cirinya berusaha untuk melihat peristiwa yang
terjadi di zaman sahabat sama dengan kita hari melihat partai-partai politik.
Ada Golkar, PPP, PDI-P, ada partai Demokrat dan seterusnya. Yang mana setiap
pernyataan-pernyataan tingkah laku politik selalu ditafsirkan dalam kerangka
konflik dan upaya untuk memperebutkan kekuasaan. Itulah juga yang berusaha
ditanamkan dalam buku ini. Ketika terjadi peristiwa-peristiwa yang sifatnya
pribadi itu sangat biasa pembaca sekalian, ada konflik-konflik antara kita
dengan tetangga. Ada konflik-konflik antara suami dan istri. Antara anak dengan
bapak. Antara saudara dengan saudara. Itu sesuatu yang sangat manusiawi.
Sahabat-sahabat bukan masyarakat Malaikat. Akan tetapi yang keliru, misalnya
kita menafsirkan konflik suami-istri sebagai perseteruan antara Golkar dengan
Partai Demokrat. Yang keliru adalah ketika kita menafsirkan perbedaan-perbedaan
pendapat di kalangan sahabat sebagai upaya-upaya partai politik untuk
mendapatkan kekuasaan. Ini keliru. Tidak seperti itu konteksnya. Tidak pernah kita
baca bahwa sahabat-sahabat itu berebutan untuk mendapatkan kekuasaan, kecuali
yang kita baca adalah riwayat-riwayat yang lemah, kalau itu mungkin banyak
pembaca sekalian.
5. Metode Penulisan Ilmiah
Metode
penulisan ilmiah saya kira tidak perlu diangkat di sini karena ini adalah karya
yang memalukan untuk diangkat di sini.
6. Melakukan Penodaan Agama
Kemudian
yang terakhir, bahwa Jalaluddin Rakhmat juga melakukan penodaan agama:
1. Secara implisist menghasut
masyarakat untuk melecehkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kira-kira
kalau kita membaca bahwa murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bejat,
bahwa murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berebut kekuasaan, bahwa
murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap kurang ajar sesama
mereka apa yang kita bayangkan? Yang kita bayangkan adalah kegagalan pendidikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kesimpulan apa yang kita peroleh?
Kesimpulan yang kita peroleh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak becus
mendidik masyarakatnya. Masih banyak professor-professor, doktor-doktor,
guru-guru kita yang lebih berhasil dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, begitu kesimpulannya. Secara halus akan tetapi arahnya sangat jelas.
2. Secara eksplisit mendiskreditkan
murid-murid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan panutan umat.
Menjelek-jelekkan
Mu’awiyah dan Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Dusta telah
menyebar berkenaan dengan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sejak
abad-abad yang pertama, sudah diketahui sejak zaman para sahabat, bahkan sudah
tersebar sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang paling merata
adalah pada pemerintahan Bani Umayyah”, “kompetisi politik Bani Umayyah dengan
Bani Hasyim menyebabkan Mu’awiyah menyewa beberapa ulama atau mufti dari para
sahabat untuk memutar balikkan peristiwa tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam” bayangkan, jadi kalau kita sangat menghormati ulama-ulama kita hari
ini bahwa mereka orang-orang yang tidak mungkin dibeli fatwanya, Jalaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa Mu’awiyah dahulu bisa membeli fatwa mufti-mufti
sahabat. Kita saja yang hari ini tidak masuk akal kelihatannya, apalagi dengan
sahabat-sahabat yang sudah mengorbankan jiwa, harta, raga, air mata, darah
untuk memperjuangkan Islam ini.
3. Secara eksplisit
mendiskreditkan ulama-ulama Islam yang merupakan rujukan dalam pemahaman dan
pengamalan agama.
Penulis
menjelek-jelekkan Az-Zuhri, Said bin Musayyab, Sufyan Ats-Tsauri, dikatakan
bahwa Az-Zuhri sangat membenci Ali radhiyallahu anhu, ia termasuk kelompok
pencipta hadis maudhu’, bahwa Said bin Musayyab adalah orang khawarij, munafik
dan tidak mau menyalatkan cucu Ali radhiyallahu anhu, yaitu Ali Zainal Abidin
saat wafat. Dan bahwa Sufyan Ats-Tsauri melakukan tadlis dan meriwayatkan hadis
dari para pendusta. Apa yang kita peroleh ketika kita membaca cerita-cerita
seperti ini, akhirnya kita keluar dengan hati hampa, kalau begitu siapa lagi
yang bisa kita percaya. Kalau ulama-ulama kita, Imam Asy-Syafi’i, Imam Abu
Hanifah, Imam Ahmad, bukan itu lagi yang diambil perkataannya, bukan lagi itu
yang dijadikan sebagai rujukan, apakah Jalaluddin Rakhmat kita mau jadikan
sebagai rujukan? Tidak mungkin. Kalau integritas mereka, kalau kita hari ini
menjelek-jelekkan orang bisa dituntut dan diperkarakan, lantas kenapa bisa
ulama-ulama kita dilecehkan begitu saja. Dihina-hina begitu saja. Padahal juga
tidak disebutkan bukti-buktinya, tidak disebutkan refrensinya dan tidak
diletakkan dalam konteks yang semestinya.
Penutup
Sampai di
sini, saya ingin menutup pemaparan ini bahwa ketika saya pertama kali membaca
buku Al-Mushthafa ini, sesuai dengan judulnya, ‘Al-Mushthafa: Manusia Pilihan
Yang Disucikan’, sebenarnya yang saya inginkan adalah bahwa setelah saya
membaca buku ini saya mendapatkan ketenangan batin, bahwa saya benar-benar bisa
menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia pilihan yang
pantas untuk saya jadikan rujukan dan panutan. Akan tetapi apa yang terjadi?
Baru sedikit buku ini saya baca, yang saya dapatkan justru upaya-upaya untuk
menanamkan kebencian. Kebencian kepada para sahabat, kebencian kepada para
ulama, bukan keteduhan, bukan cinta kasih. Akan tetapi kebencian kepada
orang-orang yang semestinya kita hormati, kepada orang-orang yang semestinya
kita jadikan sebagai rujukan dan panutan kita di dalam beragama, di dalam
beramal, di dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Demikian
pembaca sekalian, mudah-mudahan bermanfaat adanya, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad, wa ‘ala aalihi wa sahabatihi wa sallam.
Oleh:
Ilham Jaya Abdur Rauf, Lc, M.A., Ketua Divisi Pengkajian LPPI Perw. Indonesia
Timur