Rabu, 30 November 2016

NIKAH MUT'AH DI MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Makassar sejak dahulu hingga kini tetap menjadi salah satu kota terpenting dan memiliki daya pikat yang tinggi. Satu di antara sekian daya pikat itu adalah tempat menuai ilmu dari lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi yang berdiri di setiap sudut Ibu Kota.

                                                                 Para wanita syiah

Kota berpenduduk heterogen ini adalah tempat berkumpulnya segala etnis dari penjuru Nusantara. Geliat kajian-kajian keislaman yang dipelopori segenap mahasiswa juga demikan, tumbuh berkembang bak jamur di musim hujan. Dunia kampus adalah dunia akademis yang penuh kebebasan dalam berekpresi. Dan undang-undang menjamin hal itu.

Nikah mut’ah yang dianjurkan –untuk tidak mengatakan diperintahkan—dari sebuah gerakan pemahaman yang bernama Syiah juga sangat tumbuh subur. Hal ini terungkap dengan jelas dan tidak dapat disangkal lagi, sebagaimana pandangan beberapa intelektual diabolik (berwatak iblis, tahu kebenaran tapi tetap ingkar) yang berpandangan bahwa nikah mut’ah itu hanya isapan jempol belaka.

Adalah sebuah skripsi dari hasil penelitian mahasiswa Universitas Negeri Makassar tahun 2011 dengan judul “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” telah mematahkan semua argumen akan ketiadaan praktik nikah mut’ah di tengah-tengah kita. Golongan jin dan Iblis pun tak kuasa membantah kenyataan pahit ini.

Dalam skripsi itu tertulislah pengakuan beberapa wanita yang telah melakukan nikah mut’ah. Tidak sedikit di antara mereka yang melakukan lebih dari sekali bahkan berkali-kali. Motivasi utamanya adalah untuk menjalankan sunah rasul, karena hadis-hadis tentang anjuran untuk nikah mut’ah sering disuguhkan para mentor.

Dituliskan bahwa seorang mahasiswi yang masih berusia 24 tahun telah melakukan nikah mut’ah sebanyak tiga kali. Mahasiswi pada salah satu perguruan tinggi ini menikah untuk ketiga kalinya bersama seorang mahasiswa yuniornya, pernikahan pertama kandas karena cerai sebelum kontranya habis, kedua dan ketiga berakhir karena tempo yang telah disepakati telah selesai.

Dikisahkan pula bagaimana proses perkawinan itu berlangsung.  Berawal dari ketertarikan antara lawan jenis sebagaimana manusia normal pada umumnya, maka sang junior mengutarakan hatinya –menembak, meminjam istilah anak muda zaman sekarang- kepada seniornya itu. Sang mahasiswi menolak untuk pacaran, dan mengusulkan untuk nikah mut’ah saja. Dengan penjelasan yang meyainkan dari sang senior dan atas  dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, mahar berupa hand phone dan cincin disertai ucapan serah terima (ijab qabul) dan tempo kontrak, tanpa wali nikah dan saksi apalagi walimah (pesta), maka pernikahan mereka berdua sudah dianggap sah. Sepasang kekasih pun sudah halal melakukan hubungan suami-istri. (Perempuan dalam Nikah Mut’ah, UNM 2011, ‘Skripsi’ hal. 61).

SUMBER : lppimakassar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar