Ini adalah kisah nyata tentang nikah
mut’ah penganut Syiah di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Untuk maslahat
bersama, nama pelaku kami tampilkan dengan inisial.
YA (pria, 35 tahun) adalah seorang
wirausahawan muda di bidang pariwisata. Bisa dikatakan usahanya cukup
berkembang dan terhitung usaha kelas menengah.
Tahun 2007 lalu, YA menikah dengan
sorang perempuan yang kini sudah melahirkan anak mereka. Saat ini anaknya telah
berumur 5 tahun.
Kehidupan YA berubah setelah ia
bergaul dengan komunitas Syiah di Bojonegoro. Ia mulai mengikuti ajaran sesat
Syiah sejak tahun 2009.
Komunitas Syiah yang diikuti YA
adalah komunitas Syiah yang aktif menggelar kajian dan memiliki literatur
Syiah. Menurut sumber Fimadani, YA tidak sendirian, banyak kawan-kawannya yang
tergabung dalam komunitas Syiah Bojonegoro tersebut.
wanita syiah di kalimantan
Selain menggelar kajian Syiah secara
tematik, komunitas Syiah yang dipimpin oleh Ustadz HF yang berasal dari Madura
Jawa Timur ini rutin menggelar Kajian Madrasah Karbala yang fokus pada
peristiwa pembunuhan cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Husain bin
Ali Radhiyallahu ‘Anhu.
“Lokasi pengajiannya di rumah
saudara AK, sebelah barat Masjid Al Mukhlisin, Jalan Monginsidi Bojonegoro.
Kadang juga di Balai Desa Klangon Bojonegoro (kini sudah tidak aktif-red).
Mereka juga punya radio komunitas, namanya Brain Community, tapi sudah tidak on
air sekarang,” jelas sumber Fimadani.
Meski sudah 5 tahun menjadi penganut
Syiah, YA tidak mengajak istri dan keluarganya juga menjadi pengikut Syiah. Di
keluarganya, hanya ia sendiri yang menjadi pengikut aliran sesat yang pernah
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia tersebut.
Maka, ketika muncul keinginan
melakukan salah satu ajaran penting Syiah, nikah mut’ah atau kawin kontrak,
tidak ada anggota keluarganya yang tahu.
Uniknya, YA tidak melakukan nikah
mut’ah dengan wanita Syiah yang sudah lama menjadi pengaut Syiah. Ia memilih
melakukan nikah mut’ah dengan wanita Sunni yang didoktrinnya dengan konsep
keutamaan nikah mut’ah menurut Syiah.
“Kalau wanita-wanita itu malah tidak
ikut ngaji (Syiah-red) sama sekali. Cuma diberi penjelasan singkat tentang
mut’ah dan wanitanya mau diajak mut’ah, maka terjadi kawin mut’ah. Rata-rata
cuma cinta sesaat karena bisa diajak check in hotel dan diberi mahar,” terang
sumber.
Dalam referensi Syiah disebutkan
pahala nikah mut’ah:
Dari Shaleh bin Uqbah, dari ayahnya,
“Aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala?”
Jawabnya, “Jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu,
maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan
sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti
diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni
sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni
dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi.” Aku
bertanya, “Sebanyak jumlah rambut?” Jawabnya ,” Ya, sebanyak jumlah rambut.“
Abu Ja’far berkata “ketika Nabi
sedang isra’ ke langit berkata, Jibril menyusulku dan berkata, wahai Muhammad,
Allah berfirman, Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah. (Man
La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464)
Oleh karena itu, wanita-wanita yang
didoktrin oleh YA pun mau melakukan nikah mut’ah dengannya. Bahkan, YA dan
wanita-wanita yang di-nikah-mut’ah-inya melakukan pernikahan tanpa saksi dan
tanpa penghulu. Pernikahan nikah mut’ah dalam Syiah memang bisa dilakukan
dengan cara seperti itu.
Dalam referensi Syiah disebutkan:
Dari Zurarah bin A’yan, ia berkata :
Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang
menikahi wanita tanpa ada saksi-saksi, maka ia menjawab, “Tidak mengapa dengan pernikahan yang terjadi
antara dirinya dan Allah. Dijadikan saksi-saksi dalam pernikahan itu hanyalah
karena (keberadaan) anak (yang dihasilkan). Jika tidak demikian (tanpa
saksi-red), maka tidak mengapa” [Al-Kaafiy, 5/387].
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam
tentang seorang laki-laki yang menikah tanpa adanya bukti, maka ia
menjawab, “Tidak mengapa.” [Al-Kaafiy,
5/387].
Ulama Syi’ah yang bernama ‘Abdullah
bin Ja’far Al-Himyariy pernah ditanya,
“Apa yang engkau katakan tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang
wanita pada posisi ini atau yang lainnya tanpa ada bukti maupun saksi-saksi ?”
Ia menjawab, “Ya, nikahilah ia tanpa ada bukti dan saksi-saksi.” [Qurbul-Isnaad
oleh ‘Abdullah bin Ja;far Al-Himyariy, hal. 252].
Hingga kini, YA sudah melakukan
nikah mut’ah dengan 7 perempuan. Seluruhnya berasal dari Bojonegoro. Dari
ketujuh perempuan tersebut, YA menikahinya dengan durasi yang berbeda-beda.
“Kontraknya bervariasi, ada yang
mingguan hingga setahun,” kata sumber.
Wanita terakhir yang dinikah-mut’ahi
oleh YA adalah EN. Seorang janda yang punya seorang anak. EN bekerja sebagai
SPG. YA dan EN baru berkenalan 2 bulan yg lalu. Dengan jurus yang sama, YA
mendoktrin EN dengan konsep nikah mut’ah Syiah. Ia juga kerap mengajak EN
jalan-jalan dengan mobilnya. Alhasil, EN pun mau diajak nikah mut’ah oleh YA
pada Oktober 2014 lalu. Tentu saja istri YA tidak mengetahui nikah mut’ah itu.
Setelah mut’ah berjalan beberapa
waktu, EN menginginkan hal yang lebih. Ia ingin dinikahi YA secara permanen dan
resmi di KUA. Jelas saja YA tidak mau.
ilustrasi anak2 syiah
“Si istri mut’ah mengancam akan
mendatangi istri resminya di rumah jika tidak mau bertanggung jawab,” papar
sumber Fimadani.
“Dia lain dari wanita yang dinikah
mut’ah sebelum-sebelumnya, dia tergolong nekat dan berani mengadu ke
keluarganya istri jika tuntutannya tak dipenuhi,” lanjutnya. Bahkan, EN rela
menunggu hingga YA menjadi duda.
Hingga kini, YA masih kebingungan
menyelesaikan masalah yang dibuatnya sendiri itu. Apakah ia akan menikahi EN
secara resmi, ataukah ia akan membiarkan EN membongkar pernikahan mut’ahnya
pada sang istri? Yang jelas, pernikahan mut’ah yang dilakukannya merupakan dosa
besar karena tidak ada bedanya dengan zina, meskipun mereka menganggapnya
sebagai ibadah agama.
SUMBER : fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar