Ini adalah
catatan jujur seorang muslim sunni yang melakukan perjalanan ke Iran. Seorang dosen
yang bernama : Prof Dr Moh. Ali Aziz MA, guru besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan
Ampel Surabaya, untuk ketiga kalinya, dengan tujuan : menjadi imam Tarawih dan
narasumber kajian Islam selama Ramadan. Meski perjalanan di tahun 2010, tapi
sekarang ini tidak akan jauh beda, kondisi iran relatif tidak banyak berubah
secara adat dan kebiasaan apalagi madzhab mereka tidak ada perubahan yaitu
mazdhab syiah.
Ini tulisan
pada saat itu :
Inilah
hari pertama Ramadan (11/8/2010) sekaligus salat Duhur berjamaah pertama pada
kunjungan ketiga saya di Teheran.
Masyarakat
Iran lebih terbiasa dengan ucapan salom daripada assalamualaikum seperti di Indonesia.
Remote
solat
Bocah
berhidung mancung dengan celana panjang dan kaus bergaris itu terlambat datang.
Seharusnya dia bertugas sebagai "remote" salat Duhur. Karena terlambat, dia baru
melaksanakan tugasnya untuk salat Asar yang selalu dikerjakan satu waktu dengan
Duhur (Demikian juga, salat Isya di sana dikerjakan secara berjamaah pada waktu
magrib).
Solat 3
waktu
Solat
zuhur asar, satu waktu. Mahrib isya juga satu waktu, jadi sehari Cuma ada 3
waktu saja.
Bocah
itu langsung memegang mikrofon. Dia berdiri tiga meter sebelah kanan imam.
"Allahu Akbar," komando sang bocah kepada jamaah di belakangnya,
segera setelah imam yang mengenakan pakaian kebesaran jubah cokelat tua dan
serban putih memulai salat. Demikian seterusnya untuk komando rukuk, sujud,
iktidal, dan sebagainya.
Takbir
qunud
Pada
rakaat kedua salat jamaah itu, saya keliru memahami komando. Sebelum rukuk,
terdengar komando takbir. Saya langsung rukuk sebagaimana biasa saya lakukan.
Ternyata itu komando doa kunut. Baru takbir berikutnya, komando rukuk.
Remote
solat saolatnya sendirian
Dalam
perjalanan pulang dengan udara panas yang sampai membuat hidung keluar darah,
saya berkata dalam hati, "Hebat benar, seorang bocah bisa memberi komando
sang syekh." Yang menarik, meski memberikan komando, dia tidak ikut salat.
Bocah "remote" itu baru salat "sendirian" setelah salat
jamaah usai.
Tidak
selalu "remote" salat jamaah adalah anak-anak.
Di
Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam di Aqdasiyeh Street Teheran, komando salat
diucapkan orang dewasa yang duduk persis di depan imam salat. Dengan celana dan
baju lengan panjang yang disingsingkan sedikit dan tanpa tutup kepala, dia
memberikan komando dengan suara mantap.
Masyarakat
Iran tidak biasa menggunakan tutup kepala saat salat di masjid. Hanya imam yang
menggunakan tutup kepala dengan serban hitam atau putih. Serban hitam sebagai
tanda bahwa dia sayyid (keturunan nabi) dan warna lainnya bukan sayyid.
Saya
memang sering terlihat asing bagi jamaah lainnya. Bukan hanya karena baju dan
kulit saya, tapi juga karena cara beribadah saya yang non-Syiah. Sejak wudu
saja, saya sudah dipandang aneh.
Wudlu
dengan kran
Bagi
penganut Syiah, membasuh tangan untuk berwudu
“tidak
boleh dengan membasahinya di bawah pancuran keran, tapi dengan cakupan tangan.
Sisa air dari tangan itu lalu diusapkan sedikit di kepala dan sedikit di kaki.
Jadi, tanpa mengusap telinga dan tanpa membasuh kaki.”
Dalam
buku Amozes Namaz (petunjuk salat) yang saya beli di Bazar Bozorge (Pasar
Besar), ternyata memang demikian aturan wudu.
Solat
dengan turbah dan tidak sedekap
Ketika
masuk masjid, saya juga asing. Mereka mengambil turbah (tanah bulat atau persegi empat dari tanah
"suci" Karbala, tempat cucu nabi sekaligus anak Ali bin Abi Thalib
meninggal) yang tersedia di rak pintu masjid untuk alas sujud, sedangkan saya
ngeloyor begitu saja. Apalagi sewaktu berdiri salat, hanya saya yang
bersedekap. Jamaah lain membiarkan tangan lurus ke bawah.
Kekakuan
di tengah jamaah itu segera cair setelah Karami, warga Iran yang lebih dari 15
tahun menjadi staf lokal KBRI, yang mendampingi saya, menjelaskan kepada jamaah
bahwa saya sedang belajar tentang Syiah dan masyarakat Iran. Paham Syiah memang
amat kental bagi masyarakat Iran. Berkali-kali saya bertemu orang dan ditanya
dengan pertanyaan yang sama: Dari negara mana, penganut Syiah atau tidak, dan
ketika saya menjawab Suni, mereka bertanya pengikut mazhab apa?
Ditanya
mazhab
Pada
Ramadan hari ketiga, saya salat Duhur didampingi Choiruddin, pelajar Indonesia
yang sudah tiga tahun belajar di Iran, di Haram Muthahar Imam Khumeini (masjid
dan makam Imam Khumeini). "Jika ditanya orang, Pak Ustad sebaiknya
menjawab saya pengikut Suni bermazhab Imam Syafii," pesan Choiruddin.
Benar
kata Choiruddin. Beberapa menit kemudian, dua orang berpakaian rapi dan berjas
menghampiri saya. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Dengan bahasa Arab
yang lumayan fasih, dua orang itu berbicara sangat sopan dan toleran terhadap
kami yang Suni. Bahkan, keduanya "orang kampus sekaligus penghafal
Alquran" menyebut beberapa kebaikan Imam Syafii.
Diceramahi
dan diajak masuk syiah
Sekalipun
ulama Suni, Imam Syafii sangat dicintai penganut Syiah. Banyak penduduk Iran
yang bernama Syafii. "Jika bukan orang kampus, Pak Ustad pasti diceramahi
panjang lebar, yang intinya ajakan untuk meninggalkan paham nenek moyang yang
tidak benar dan mengikuti Syiah,"
kata Choiruddin setelah mengucapkan Khoda hafez (Tuhan menjagamu)
sebagai ucapan perpisahan kepada keduanya.
Hampir
semua masjid di Iran yang saya kunjungi dihias dengan kaligrafi yang sangat
indah. Jangankan masjid, tembok-tembok rumah dan kantor pun berhias kaligrafi.
Pada mihrab Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam, misalnya, terdapat
kaligrafi surat An-Nur ayat 35, "Allah adalah (pemberi) cahaya langit
dan bumi...". Mengapa ayat itu yang dipilih? Bagi mereka, ayat itu ada
kaitannya dengan kedudukan para imam Syiah. Cahaya Allah hanya bisa terpancar
di langit dan bumi melalui para imam.
Cahaya
imam syiah
Terdapat
juga doa dalam kaca dan berlampu yang menggambarkan penantian akan datangnya
Imam Mahdi yang sedang dirindukan sebagai pemberi solusi semua masalah
kehidupan. Sebutan untuk imam yang dinantikan itu bermacam-macam. Ada kalanya dipanggil Wali Ashr, Imam Zaman,
Shahibuz Zaman, atau Mahdi al Muntadhar.
Doa khas
ala syiah : doa wa"ajjil farajahum
Setiap usai
salawat nabi dengan lagu yang khas, baik sewaktu mendengar azan maupun selesai
salat, mereka selalu menambah dengan doa wa"ajjil farajahum (wahai Allah
percepatkan selesainya semua masalah umat dengan kehadiran Mahdi al-Muntadhar).
Ada juga doa yang terpampang di tembok, Ya shahibaz Zaman adrikni (Wahai Imam yang ditunggu, beri saya jalan
keluar).
Doa di
tembok : doa yang terpampang di tembok
Ada juga
kaligrafi yang dipasang di hampir semua toko yang terkenal dengan sebutan
kaligrafi Waiy Yakad. Sebutan itu
terkait dengan bunyi awal ayat yang ada dalam kaligrafi tersebut, yaitu Surat
Al-Qalam ayat 51, yang artinya "Dan
sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu
dengan pandangan mereka tatkala mereka mendengar Alquran".
Kaligrafi
"pelaris dagangan".
Pada
Ramadan dua tahun yang lalu, saya sudah membeli kaligrafi itu karena indah dan
sangat populer. Melihat artinya, saya menduga ayat tersebut untuk penangkal
kejahatan. Namun, baru pada kunjungan kali ini saya menemukan jawabannya bahwa
itu adalah kaligrafi "pelaris dagangan".
"Masyarakat
Iran yang terkenal cerdas ternyata juga menyukai jimat," kata saya kepada
Buyuk, warga Iran yang bertugas sebagai sopir di KBRI. Mendengar kelakar saya
itu, dia hanya tersenyum.
Dadan Maula,
ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran
Dadan
Maula, ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran, punya pandangan menarik
tentang fenomena tersebut. "Bahkan,
"jimat" yang banyak beredar di masyarakat Indonesia ada
kaitannya dengan budaya dan keyakinan orang Iran, Pak," katanya setelah
sama-sama mengikuti upacara memperingati kemerdekaan ke-65 RI di Teheran.
Dia
menunjukkan beberapa bukti, antara lain, gambar pedang pada jimat di Jawa.
Gambar itu diduga kuat adalah gambar pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang
juga sangat populer di Iran. Kaligrafi
berbentuk kepala singa yang banyak kita jumpai di Indonesia juga sangat mungkin
dari Iran. Sebab, gambar tersebut juga ada di bendera Iran pada zaman pemerintahan
Shah Pahlevi. Orang Iran menyebut gambar itu dengan shir va khurshid (harimau
dan matahari).
Saat
berada di pasar dekat masjid, saya ditawari Buyuk yang sudah lansia itu untuk
membeli tasbih zahra untuk oleh-oleh. "Tasbih apa lagi," pikir saya.
Saya menduga tasbih (alat penghitung zikir) itu terbuat dari bunga karena zahra
dalam bahasa Arab berarti bunga. Setelah masuk toko, ternyata itu tasbih biasa
seperti yang banyak dijumpai di Indonesia.
Tasbih
syiah
Yang
menjadi pertanyaan, mengapa orang Iran menyebut itu dengan tasbih zahra. Ternyata,
karena orang Iran menggunakan tasbih selain untuk berzikir subhanallah,
alhamdulillah, dan Allahu Akbar, juga untuk memanggil-manggil imam atau orang
suci pujaan mereka. Ya Zahra (gelar
untuk Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali bin Abi Thalib) atau Ya Husein (cucu
nabi, putri Fatimah) atau Ya Abal Fadhal (imam atau pejuang yang
terpotong-potong tubuhnya karena membela Imam Husein di Karbala).
Sebelum
keluar dari toko, pemilik toko mengangkat
tangan saya sambil mengatakan dengan bahasa Persia, Andunezi khaeli khube. Ba Iran Israel ra ruswa
kunim (Indonesia sangat baik, bersama Iran, kita tumpas Israel?. "Bale.
Mamnun," jawab saya, yang berarti, ya dan terima kasih.
Saya
tidak tahu dia paham atau tidak terhadap jawaban saya. Tapi, yang jelas, dia
kemudian mengangkat kedua ibu jari tangannya (Jika hanya mengangkat satu ibu
jari, itu berarti penghinaan di Iran). Tapi, karena sudah menjadi kebiasaan,
saya sering keliru memuji orang dengan satu ibu jari.
Fungsi
alumni iran
Iran
mulai diminati pelajar Indonesia yang ingin studi Islam. Alumninya kelak bisa
menjadi perekat bagi pemahaman yang lebih baik antara penganut Suni dan Syiah.
Berikut lanjutan catatan MOH. ALI AZIZ, guru besar IAIN Sunan Ampel, dari
Teheran.
= = = =
= = = = = = = = = = = =
175
orang, 150 nya di hauzah qum
SAAT ini
jumlah jumlah pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di
Iran sekitar 175 orang. Dari jumlah itu, sebagian besar atau 150 orang
memilih belajar ilmu agama di Hauzah
Ilmiyah di Kota Qom. Hauzah Ilmiyah adalah perguruan tinggi di bawah payung Jamiatul
Musthafa Al Alamiyah. Selain di Qom, lembaga tersebut mempunyai beberapa
perguruan tinggi di Kota Mashad, Isfahan, dan Gorgan (khusus untuk penganut
Sunni).
Semula
lembaga tersebut bernama Markaz Jahani Ulume Islami. Pergantian nama ini
seiring dengan perubahan menjadi universitas, seperti perubahan dari Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia.
Yang
menarik, para istri (pelajar/mahasiswa) juga wajib ikut kuliah plus menjadi
santri di perguruan tinggi yang sistem pengajarannya bernuansa pondok pesantren
itu. Karena mahasiswa sekaligus juga santri, belajarnya seharian penuh.
Choiruddin,
pelajar asal Lombok Timur
Salah
seorang anggota IPI yang kerap mendampingi saya selama di Iran adalah
Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur.
Dia sedang menyelesaikan S2 di Universitas Mazahabe Islami di bawah
Kementerian Sains dan Ristek Iran yang berdiri sebelas tahun lalu.
3
mahasiswa utusan NU pindah dari qum karena ada tekanan
Choiruddin
adalah salah seorang di antara tiga mahasiswa yang dikirim PB NU untuk kuliah
di negeri Mullah itu. Tiga mahasiswa itu sebelumnya kuliah di Qom. Karena tidak
kuat dengan tekanan ideologis (karena berlatar belakang Suni), akhirnya mereka
pindah ke universitas di Teheran melalui perjuangan yang berliku-liku. Di ibu kota Iran mereka agak leluasa untuk
menampakkan jati diri sebagai mahasiswa non-Syiah.
Nama2
mahasiswa :
1.
Choiruddin, lombok timur
2.
Dadan maulana darmawan
3.
Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar
Ada dua
jenis beasiswa di Iran, yaitu dari pemerintah melalui Kementerian Sains-Ristek
dan Jamiatul Musthofa Al Alamiyah, lembaga swasta untuk pusat studi Syiah di
Kota Qom. Pelajar menerima beasiswa dari pemerintah Iran antara 400 ribu?1 juta
riyal Iran per bulan (nilai tukar satu riyal hampir sama dengan rupiah).
"Alhamdulillah cukup, Pak," kata Dadan, mahasiswa Universitas
Internasional Imam Khumaeni di Qazvin, sekitar 150 kilometer dari Teheran.
Menurut
Dadan, beasiswa itu cukup karena biaya asrama ditanggung. Demikian pula makan di kampus disubsidi
sehingga hanya membayar dua ribu riyal. Padahal, di luar harus 50 ribu sekali
makan. Tidak hanya itu, naik bus hanya membayar 200 riyal (Rp 200) dengan tiket
jauh dekat.
"Untuk
kami yang di Qom hanya (dapat bea siswa, Red) 500 ribu riyal,|" kata
Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar yang sudah dua tahun di Qom.
"Anak saya ini mendapat jatah satu beasiswa," katanya sambil
menggendong anaknya yang berusia dua tahun.
Sudah 28
tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid
Di
antara ratusan pelajar Indonesia, ada seorang yang telah menyelesaikan S3
bidang filsafat dan seorang lagi dalam proses penyelesaian S3. Yang lebih
hebat, ada pelajar Indonesia yang sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah
berada di jenjang darajatul mujtahid sehingga beberapa tahap lagi menjadi
ayatullah. Bisa jadi, dialah orang Indonesia pertama yang bergelar ayatullah.
Seorang ayatullah sudah diberi otoritas
menjadi mujtahid (pengambil keputusan hukum Islam). Ia bisa juga memasuki
jenjang yang paling atas, ayatullah udhma yang bisa menjadi rujukan
taqlid. Seorang ayatullah dituntut
menguasai satu disiplin ilmu, sedangkan ayatullah udhma multidisiplin.
Yang
menarik, untuk setiap jenjang itu, seseorang harus menghafal sejumlah kitab
standar Syiah dan menyusun karya ilmiah. Di Iran, para akhund (ulama) itulah
yang mengendalikan negara, mulai level lokal hingga nasional. Sektor swasta
maupun negeri. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga di negeri itu yang
lepas dari kontrol agama.
Ironisnya,
saat ini gejala degadrasi kepercayaan kepada tokoh agama amat sering saya
dengar dari beberapa mahasiswa dan sopir taksi di Teheran. Keluhan itu dipicu
oleh, antara lain, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, buku, bahkan
bensin setelah pencabutan subsidi. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para
akhund apakah para agamawan bisa membawa Iran lebih sejahtera.
Sebagai
negara republik Islam yang menempatkan para agamawan di tempat yang strategis,
Iran memiliki perhatian besar pada agama. Salah satu even menarik selama
Ramadan ini adalah Pameran Alquran Internasional yang dilaksanakan di Musala
Imam Khumeini.
Pameran
internasional itu dilaksanakan oleh pemerintah setiap Ramadan. Meski diadakan
di "musala?", menurut saya, itulah musala yang terbesar di dunia.
Saya tidak tahu persis luasnya, tapi saya perkirakan ratusan hektare. Saya
mengitari dengan sedan sampai berganti tiga nama jalan di jantung Kota Teheran
itu, namun belum juga tuntas.
tahun
ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), 20
ahun belum 40 persen utk menandingi makkah dan madinah
Jangan
tanya berapa lama membangunnya! Sebab, saat ini merupakan tahun ke-20 sejak
mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), tapi
pembangunannya belum mencapai 40 persen.
Itulah musala yang sering disebut orang
dibangun untuk "menandingi"
Masjidilharam di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di dekat musala
ada beberapa hutan buatan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Di sepanjang
tepi jalan raya ada saluran air dari gunung berdiameter 50 cm untuk penyiraman
dua kali sehari di tanah gersang itu.
Negara
syiah : tidak ada tarawih dan tadarrus
Pameran
buka pukul 17.00?24.00. Ini jam buka pameran yang wajar bagi masyarakat Iran
karena tidak ada tarawih dan tidak ada tadarus bagi mereka selama Ramadan.
"Subhanallah," ucap saya berkali-kali melihat kemegahan musala dan
menyaksikan secara langsung macam-macam kitab Alquran. Desain dan kaligrafi
yang ditampilkan belum pernah saya jumpai di museum Belanda maupun di
Indonesia.
Tidak
hanya itu, para wanita anggun berpakaian
serbahitam menunggu beberapa pengunjung di lobi untuk berdiskusi tentang
Alquran. Ada ruang untuk diskusi, bahkan
debat terbuka, tentang tafsir, fikih, atau tauhid yang dipandu oleh akhund.
"Banyak di antara mereka yang berpredikat hujjatul Islam yang setara
dengan profesor," kata Choiruddin kepada saya sambil menunjuk debat
terbuka yang disiarkan langsung melalui televisi.
Ada satu
stan yang semua penjaganya wanita muda dengan laptop di tangannya. Mereka bukan
menjual produk yang terkait dengan Alquran, tapi memamerkan klasifikasi dan
kajian mendalam Alquran terkait dengan disiplin ilmu biologi, fisika,
astronomi, kedokteran, dan sebagainya.
Patung
Para Nabi Di Iran
Persis
di pintu keluar, saya mendapat suguhan pameran yang tidak kalah menarik, yaitu
patung para nabi, mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim yang sedang berjihad melawan
kaum pembangkang. Tetapi, tidak ada
patung Nabi Muhammad. Di tempat itu pula
Pameran Buku Internasional diadakan setiap tahun dengan suasana yang jauh lebih
meriah. Setelah mengelilingi tempat
tersebut, baru saya paham mengapa
namanya musala (bukan masjid). Mungkin agar bisa lebih leluasa untuk mengadakan
even-even akbar setiap saat.
97 Persen Iran Adalah Syiah
Yang
membuat saya takjub, semua Alquran yang dipamerkan oleh negeri dengan 97 persen
penganut Syiah itu sama persis dengan milik kaum Suni. Setelah keluar dari
tempat pameran, saya bermimpi suatu saat tidak boleh lagi ada bentrokan antara
Suni dan Syiah. Sebaliknya, masing-masing bisa bersama-sama membangun peradaban
dunia dengan nuansa rahmatan lilalamin.