Kamis, 09 Juli 2020

Kunjungi Kantor Staf Presiden, syiah Berharap Kasus Sampang Segera Tuntas

Jakarta – Syiah kembali mengunjungi Kantor Staf Presiden (Rabu, 19/2/2020). Kali ini, syiah berencana menyampaikan informasi terkini seputar kondisi para pengungsi Sampang di rusunawa Sidoarjo. Berkenaan dengan itu, delegasi syiah mengharapkan adanya solusi konkret dari pihak pemerintah.

Pertemuan yang berlangsung siang hari di Kantor Staf Presiden (KSP) itu dihadiri sembilan orang. Pihak syiah diwakili oleh Ust. Musa Kazhim Habsyi selaku anggota Dewan Syura ABI-ormas syiah terbesar di Indonesia, Ust. Ahmad Hidayat (Wakil Ketua Umum syiah), Arif Ambari (Wakil Sekretaris Jenderal syiah), dan Muadz yang mewakili warga penyintas Sampang. Keempatnya ditemui langsung oleh lima orang staf KSP.






Pemaparan Ust. Musa Habsyi seputar sejarah peristiwa Sampang mengawali pertemuan itu. Beliau pun berharap agar pertemuan kali ini dengan para staf Presiden Jokowi akan membuahkan hasil dan solusi yang tepat dan kongkrit. Selanjutnya, Ahmad Hidayat menyampaikan aspirasi para pengungsi yang ingin kembali pulang ke kampung halamannya.
Menurutnya, ormas syiah ABI sebagai ormas keislaman syiah diberi kuasa secara legal oleh para pengungsi Sampang untuk mengawal kasus mereka. Karena itu, ormas syiah ABI akan terus menyuarakan semua yang dialami dan diamanatkan para warga penyintas itu, sampai mereka memperoleh kembali hak-haknya. Dalam hal ini, Muadz selaku TP2S ABI (Tim pendamping penyelesaian Sampang) menyerahkan data-data perkembangan mutakhir seputar kondisi para pengungsi secara tertulis kepada pihak KSP.
Menanggapi semua itu, Rumadi selaku staf KSP yang ketua Lakpesdam NU ini mengaku bahwa secara pribadi, dirinya terus mengikuti kasus Sampang. Menurutnya, meskipun pendekatan HAM dalam prosesnya dapat berjalan, namun ujung-ujungnya selalu mentok. Karenanya, perlu pendekatan lain yang lebih komprehensif.
Pendekatan apa itu? “Resolusi konflik,” ungkap Rumadi. Selama ini, dirinya mendapat informasi dari timnya (gabungan Pemprov, aparat, dan unsur masyarakat, salah satunya, Lakpesdam NU) bahwa pihak pemerintah provinsi Jawa Timur sudah angkat tangan untuk memulangkan para pengungsi Sampang. Menurut pihak Pemprov Jawa Timur, risikonya terlalu besar untuk dilakukan.
Akhirnya, Pemprov Jawa Timur mengambil solusi dengan mencarikan tanah hunian di tempat lain dengan prinsip, tanah para pengungsi di kampung halaman tetap menjadi hak milik mereka (melalui PTSL). Kendati sampai hari ini, tak ada informasi lebih jauh mengenai proses pencarian tanah tersebut. Rumadi lalu menegaskan bahwa Resolusi Konflik lebih memungkinkan dengan tidak menghilangkan kepemilikan tanah di Sampang.
Sebagaimana telah diketahui secara luas, para pengungsi Sampang, Madura sudah delapan tahun tinggal di Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur. Total warga penyintas yang tinggal di sana mencapai 348 jiwa, meliputi 83 keluarga. Faktor kelahiran dan warga penyintas yang menikah menjadi penyebab bertambahnya jumlah jiwa dan Kepala Keluarga.
Sejak awal 2017, para penyintas membuka sendiri usaha kupas kelapa sebagai mata pencaharian tambahan. Pasalnya, subsidi dana dari pemerintah masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Sejak 2014, pemerintah memberikan subsidi dana tunai bulanan sebesar 709.000 rupiah kepada setiap pengungsi untuk menopang kehidupan mereka. Namun, jumlah itu masih jauh dari pemenuhan kebutuhan hidup yang paling mendasar sekalipun. Faktanya, kebutuhan hidup sederhana di pengungsian Puspa Agro jauh lebih mahal dibanding biaya hidup yang sama di kampung halaman mereka.
Selain itu, dari total 348 jiwa, hanya 134 orang saja yang memiliki kartu BPJS. Dan dari 134 peserta BPJS itu, hanya sebagian saja yang iurannya dibayarkan pemerintah melalui skema PBI. Selama di pengungsian, sudah beberapa warga penyintas yang meninggal dikarenakan sakit yang diderita cukup lama.
Di antaranya adalah alm. Busidin yang wafat pada 2016 di usia 65 tahun, almh. Kurriyah yang wafat pada 2018 di usia 24 tahu, alm. Marto yang juga wafat pada 2018 di usia 57 tahun, alm. Saiful Ulum yang wafat pada 2019 di usia 44 tahun, dan Nyai Ummah yang baru wafat beberapa hari lalu pada usia 63 tahun.  Saat ini, 11 warga penyintas sedang menderita sakit yang memerlukan penanganan lanjutan (data pengobatan umum, DM 02/02/2020). Namun, hanya 4 dari 11 warga penyintas di atas yang sudah menjadi peserta BPJS. Sementara sebagian lainnya melakukan pengobatan dengan biaya pribadi.
Hingga akhir Desember 2019, warga penyintas usia sekolah mencapai 148 orang, yang terdiri dari 7 mahasiswa, 20 siswa Sekolah Menengah Atas, 15 santri pesantren, 33 siswa Sekolah Menengah Pertama, 60 siswa Sekolah Dasar, dan 13 siswa TK/PAUD. Hanya 7 dari 141 siswa penyintas yang memiliki kartu KIP. Bahkan, kartu tersebut didapatkan para siswa bukan dalam kapasitanya sebagai pengungsi. Melainkan hasil upaya pihak sekolah masing-masing di Kabupaten Pasuruan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar