Laporan : Majalah Tempo
Sampai sekarang ini Qom masih
memiliki daya tarik bagi santri asal Indonesia .
Indonesia salah satu pemasok santri
bagi hauzah atau madrasah di Qom , Iran . Sejak kemenangan revolusi Islam Iran
pimpinan Imam Khomeini, negeri para mullah itu menjadi daya tarik bagi pemuda
Indonesia untuk belajar agama. Sebelumnya, minat pelajar Indonesia menimba ilmu
agama umumnya ke Universitas Al-Azhar Mesir, Ummul Qurra Arab Saudi, Irak, dan
Pakistan .
Saat ini, menurut catatan Yayasan
Jahani, lembaga yang bergerak mencari dan memantau lulusan hauzah Qom di
mancanegara, tercatat 150 alumnus hauzah Qom di Indonesia. Saya berharap
mereka bermanfaat untuk masyarakat sekitarnya. Percuma saja sudah jauh-jauh ke
Iran dan diberi fasilitas tapi tak menjadi manfaat bagi umat, kata pemimpin
Jahani, Ayatullah Murtadha Muqtadai, yang berkunjung ke Indonesia beberapa
waktu lalu.
Lulusan Qom di Indonesia kini
tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Ada yang menjadi pendakwah, guru,
penulis, bahkan politikus. Saat ini masih ada ratusan santri Indonesia yang
belajar di Qom . Di bawah ini beberapa profil alumnus hauzah Qom .
Musa Kadzim Siraj, 43 tahun
Pria kelahiran Bangkalan, Madura,
1963 ini semula mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, Jawa Timur, selama dua tahun. Tak puas dengan pendidikan yang
diterimanya, Musa mulai berkorespondensi dengan lembaga pendidikan yang ada di Timur
Tengah: Arab Saudi, Mesir, dan Iran .
Ternyata proposalnya diterima di
Iran . Saya berminat ke Iran karena negeri itu punya daya tarik yang luar
biasa. Bahasa dan budaya Persia tua. Iran salah satu kekuatan timur pada zaman
rasul. Dan tentu saja revolusi Islam Iran yang dibawa Imam Khomeini, katanya.
Namun tak mudah untuk bisa masuk ke
negeri itu. Apalagi pemerintah Orde Baru saat itu sedang ketakutan dengan isu
ekspor revolusi Islam yang diembuskan negara Barat yang anti terhadap
pemerintahan Khomeini. Walau tanpa visa, Musa langsung terbang ke Karachi ,
Pakistan , pada 1985. Ia sempat terdampar selama tiga bulan dan ditampung oleh
mahasiswa asal Iran , Mr Daud, di Dow Medical Centre, sebuah asrama mahasiswa
Iran yang dibangun Shah untuk mahasiswa Iran di Pakistan.
Setelah memegang visa Iran , Musa
lebih dulu belajar bahasa Persia di Nejafabad, delapan kilometer dari Kota
Isfahan, selama setahun. Setelah itu, bersama 10 orang lainnya dia dijebloskan
ke Hauzah Ilmiyah Hujatiyah, Qom . Kampusnya hanya 100 meter dari makam Hazrat
Maksumah Fatimah. Sebelumnya, sudah ada enam orang Indonesia lain belajar di
madrasah yang memang khusus untuk orang asing itu.
Di sekolah itu Musa, dengan bahasa
pengantar Arab, belajar mengkaji akidah Islam, bahasa Arab, fikih, tafsir, dan
logika (mantiq). Musa belajar Babul Hadi Asyar (akidah karya Alamah al-Hlli)
dari Hujatul Islam Jafar Hadi, murid kesayangan Ayatullah Jafar Subhani. Ia
juga belajar Mantiq al-Mudaffar 2 jilid karya Dr Syekh Nabil, Fiqh, Tahrir
Wasilah karya Imam Khomeini, dan Tafsir Al Mizan fi Tafsirul Quran karya
Ayatullah Muhammad Thabathabai. Yang paling berkesan belajar di Iran adalah
perilaku ulama-ulama yang ada di Qom, yang begitu baik menghargai
pelajar-pelajar dari Indonesia, tidak merasa lebih tinggi atau pintar. Mereka
benar-benar memahami Islam dengan baik dari perilakunya, ujar Musa.
Setelah lima tahun di Qom, 1990,
Musa kembali ke Indonesia, langsung bersilaturahmi ke ulama-ulama, terutama di
Martapura, Kota Baru, dan Banjarmasin, Kalimantan. Di Martapura ada Guru Zain.
Martapura itu seperti Qom. Seluruh ulama Kalimantan untuk mengkaji irfan harus
ke Guru Zain itu, katanya.
Selain mengajar bahasa Persia di
Pusat Kebudayaan Islam (ICC), Jakarta, Musa aktif berdakwah di kalangan bawah,
waria, dan buruh migran. Bulan lalu, selama sebulan Musa mengadvokasi buruh
migran di Hong Kong. Pemerintah harus memperhatikan buruh migran yang
menghasilkan devisa tidak kecil bagi negeri ini, ujarnya.
Abdullah Beik, 37 tahun
Berawal dari membaca buku-buku
anti-Syiah dan Imam Khomeini, pelajar Lembaga Pendidikan Bahasa Arab (LPIA)
milik pemerintah Arab Saudi itu kemudian justru penasaran terhadap ajaran ahlul
bait. Apalagi setelah menonton film detik-detik kematian Imam Khomeini, ujar
Abdullah Beik. Dengan modal bahasa Arab dari LPIA yang bagus, lulusan SMA di
Sumenep, Madura, ini melamar ke lembaga pendidikan di Iran,
Pria kelahiran 1970 tersebut masuk
ke Hauzah Hujatiyah Qom pada 1991. Lulus sarjana jurusan syariah, ia lalu
pulang ke Indonesia. Pendidikan di sana sudah modern. Saya sempat belajar
langsung dari murid Imam Khomeini, Syekh Nur Muhammadi, kata Beik. Saat masih
mahasiswa, Beik tinggal di asrama dengan para pelajar bujangan lainnya.
Tak puas hanya jadi sarjana, setelah
menikah, Beik memboyong istrinya mengambil gelar master teologi dan filsafat di
Sekolah Tinggi Imam Khomeini, Qom, sejak 1999. Saya tinggal di rumah yang
disediakan pemerintah Iran khusus untuk mahasiswa asing yang sudah
berkeluarga, ujarnya.
Ayah satu anak ini kembali ke Indonesia
pada 2004 dan kini menjadi Manajer Pendidikan dan Dakwah ICC, Jakarta. Sebagai
lulusan Qom, Beik juga memantau rekan-rekannya yang aktif di berbagai bidang. Setiap
tahun kami bertemu dalam silaturahmi nasional, ujarnya.
Dibandingkan dengan India, Pakistan,
Turki, atau Afganistan, menurut Beik, lulusan Indonesia tak terlalu banyak. Jika
dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, atau Filipina, Indonesia memang lebih
banyak, kata penggemar film Oshin itu.
Ali Hussein, 32 tahun
Tiga tahun nyantri di Pesantren
Al-Hadi, Pekalongan, Jawa Tengah, pimpinan Habib Ahmad Baragbah, ia tak cukup
puas. Melalui relasi yang dimiliki ajengan pesantren itu, Ali Hussein, yang
sering dipanggil sebagai Ali Pati, berangkat ke Qom pada 1994.
Sebelum diterima di Hauzah
Hujatiyah, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, itu belajar bahasa Persia selama
enam bulan di Madrasah Sahabiyah. Di Hujatiyah, Ali bersama pelajar mancanegara
asal Tunisia, Sierra Leone, Afrika Selatan, Pakistan, India, dan Malaysia
belajar ilmu-ilmu teologi, akidah, fikih, bahasa Arab, ushul fiqh, dan tafsir
Al-Quran. Kelas berisi hampir 40 orang, tiap pagi belajar tiga jam dan sore
tiga jam, katanya.
Selain ustad-ustad yang disediakan
madrasah, sering datang juga dosen tamu. Kami pernah diajar oleh pemimpin
Hizbullah Libanon, Hassan Nasrallah, kenang Ali. Sekretaris Direktur ICC ini
punya alasan memilih belajar di Qom. Kota itu dianggap sebagai pusat
perkembangan ilmu makrifah Islam, terutama bidang-bidang filsafat, dan ilmu
kalam. Banyak sekali ulama lulusan Qom, bahkan sebagian besar ulama ahlul bait
di dunia ini pernah belajar di Qom, marja-marja terkenal juga punya kedudukan
di Qom, katanya. Lulus setingkat sarjana, Ali sempat bekerja selama dua tahun
untuk Radio Republik Islam Iran (IRIB) seksi Melayu.
Ammar Fauzi, 33 Tahun
Berawal dari suka filsafat, santri
YAPI, Bangil, Jawa Timur, ini mengakses karya-karya orang Iran. Lalu Ammar
berhubungan dengan guru-guru yang datang dari Qom.
Pria kelahiran Purwakarta, Jawa
Barat, itu nekat pergi dengan tiket satu kali jalan (one way). Entah bagaimana
situasi masa itu, rombongan kecil kami harus mengambil visa entry dari Kedutaan
Iran di Kuala Lumpur, katanya. Lebih dari seminggu Ammar dan kawan-kawan harus
berada di Singapura dan Malaysia. Setelah visa diperoleh, barulah bisa
berangkat ke Teheran. Proses perjalanan seperti ini tidak dialami lagi oleh
mereka yang datang setelah saya, ujarnya.
Di Qom, seperti santri Indonesia
lainnya, ia diceburkan ke Hauzah Hujatiyah (1994-1998), lalu dilanjutkan ke
Hauzah Muassasah Pezwuhesh, Institut Penelitian Misbah Yazdi (1995-2001). Kini
Ammar adalah mahasiswa semester akhir program doktoral filsafat Islam Hauzah
Imam Khomeinisejak 2000. Di tempat kuliah, Ammar mendapat pelajaran bahasa
Persia, sastra Arab, ilmu-ilmu agama, logika Aristotelian, teologi, filsafat,
fisiologi, psikologi, dan matematika. Sekarang banyak bermunculan guru pemikir
muda yang melakukan perimbangan dan terobosan baru di banyak bidang ilmu,
ujarnya.
Ketika awal masuk Qom, Ammar tinggal
di asrama. Seperti tinggal di rumah sendiri, katanya. Keragaman pelajar waktu
itu cukup terlihat. Kini keragaman itu jauh lebih kompleks dan fasilitasnya
jauh lebih memadai. Ammar, yang sudah berkeluarga, tak lagi tinggal di asrama. Kami
tinggal di perumahan dan apartemen yang telah disediakan, ujarnya. Ammar
tinggal lima kilometer dari tempat kuliahnya di kawasan Haram Sayidah Masumah.
Tiap bulan Ammar mendapat biaya
hidup dari marja-nya berkisar 250 ribu tuman atau senilai Rp 2,5 juta. Cukuplah
untuk hidup di sini, katanya. Bagi Ammar, jalan-jalan di pertokoan buku sudah
merupakan hiburan.
Abdurahman Baragbah, 46 tahun
Abdurahman Baragbah sudah lelah
tinggal di Iran . Saya mau kembali ke Indonesia , saya sudah bikin surat
pengunduran diri, ujar penyiar Radio Republik Islam Iran seksi Melayu itu.
Pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang menguasai bahasa Arab, Persia, dan
Inggris ini sudah lebih dari 20 tahun berada di Iran.
Tiga belas tahun ia menjadi penyiar
dan penerjemah di IRIB Teheran, setelah delapan tahun mondok di Hauzah
Hujatiyah Qom . Dulu, ketika awal belajar di Qom, kayak di pesantren, kami
harus menempel seorang ulama, katanya. Namun belakangan sistem itu diubah
menjadi sistem modern dengan kelas dan hitungan SKS.
Ada kenangan yang tak terlupakan
saat ia berada di Qom. Ketika rudal-rudal Irak menghantam sasaran sipil, para
ulama meminta para pelajar mancanegara pindah untuk sementara. Kami semula
tidak ada yang mau, dan dengan bersemangat ingin bertahan bersama-sama di
pesantren kami. Namun marja dengan tegas mengatakan, ini perintah, kami tak
bisa menolak, kata ayah dua anak ini.
Ustad Aman, begitu teman-teman
memanggilnya, diberi tanggung jawab mengurusi kepindahan para pelajar ke
Mashad. Dengan fasilitas yang terbatas dan waktu menunggu beberapa hari,
pemerintah Iran menyediakan dua bus kotakarena bus antarkota dipakai untuk
membawa para pejuang ke front depan. Selama 20 jam bus menembus jalan yang
dingin dan bersalju.
Dua bulan di Mashad, akhirnya para
pelajar kembali menuntut ilmu di Qom. Aman segera kembali ke Indonesia jika
proses pengunduran dirinya diterima. Dua anaknya sudah lebih dulu dikirim
bersekolah di Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Jawa Timur. Saya ingin
mendirikan sekolah Islam modern di Purwokerto, katanya bercita-cita.
Send instant messages to your online
friends http://uk.messenger.yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar