Puasa atau Tidak Saat Perjalanan?
Dalam sebuah diskusi (tidak ilmiah) dengan seorang teman di
masjid sebelum memasuki bulan Ramadhan, teman saya mengatakan bahwa ketika
melakukan perjalanan (safar) seperti pada zaman sekarang ini, maka seseorang
tetap harus berpuasa. Alasan yang dikemukakan adalah pada zaman sekarang ini,
sebuah perjalanan—dengan pesawat terbang, misalnya—dapat ditempuh dalam waktu
singkat dan “nyaman”. Maka hukum membatalkan puasa saat perjalanan sudah tidak
relevan.
Pengikut Syiah di Jepara
Selain alasan-alasan tersebut, teman saya juga berdalil
dengan ayat Al-Quran. Lebih tepatnya, berdalil dengan terjemahan ayat Al-Quran
Departemen Agama RI. Ayat yang dimaksud adalah: Maka barang siapa di antara
kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
mengganti) di hari yang lain… dan puasa kalian lebih baik bagi jika kalian
mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Kalimat terakhir dari ayat tersebut
menjadi dalil baginya bahwa jika kita tetap berpuasa saat melakukan perjalanan
maka itu lebih baik. Apakah demikian?
Saya tidak tahu persis bagaimana fikih kontemporer Ahlus
Sunnah menilai apakah perjalanan pada zaman sekarang yang “cepat dan nyaman”
itu menggugurkan hukum keringanan untuk tidak berpuasa? Tapi yang jelas, dalam
mazhab Syiah Ahlul Bait (Ja’fariah) sebuah perjalanan yang telah sesuai dengan
ketentuan syar’i, terlepas dari “cepat dan nyaman”, maka wajib untuk tidak
puasa. Sebagaimana ayat di atas berbunyi: Maka barang siapa di antara kalian
sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) di
hari yang lain…
Lalu bagaimana dengan potongan ayat terakhir di atas: …dan
puasa kalian lebih baik bagi jika kalian mengetahui? Itu adalah terjemahan
Depag dari ayat wa an tashûmû khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. Jadi dari ayat
itu mereka tafsirkan bahwa ketika sakit atau perjalanan, boleh tidak puasa.
Tapi kalau puasa, maka itu lebih baik.
Namun, mazhab Ahlul Bait tetap tidak menafsirkan seperti
demikian. “Keringanan” untuk tidak puasa adalah dari Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah dan Ahlul Baitnya dengan masyhur meriwayatkan, “Bukanlah suatu
ibadah (perbuatan baik) puasa dalam berpergian.” Lalu bagaimana dengan ayat
tersebut? Wa an tashûmû ditafsirkan sebagai mashdar dengan jumlah, sehingga
memiliki makna shiyâmukum khayrul lakum (puasa itu kebaikan bagi kalian). Kebaikan
apa? La’alakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Kebaikan yang dimaksud adalah
puasa menjadi salah satu timbulnya ketakwaan. Shiyâm (puasa) itu adalah khayr,
khayr yang diartikan sebagai “kebaikan”.
Ayat lain yang senada adalah: Dzâlikum khayrul lakum in
kuntum ta’lamûn (QS. Ash-Shaff [61]: 11). Ayat tersebut berbicara tentang
jihad. Jika diterjemahkan: Itulah (jihad) yang lebih baik bagi kalian jika
kalian mengetahui, maka boleh jihad boleh juga tidak jihad. Tentu ini
bertentangan.
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Dzâlikum khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. (QS.
Al-Jumu’ah [62]: 9) Departemen Agama tetap menerjemahkannya: Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Jika demikian maka shalat Jumat itu
lebih baik. Shalat Jumat boleh, tidak pun juga tidak apa-apa. Meninggalkan
shalat Jumat baik, tapi shalat Jumat lebih baik. Tentu tidak demikian. Karena
itu seharusnya Depag dapat lebih tepat menerjemahkan menjadi: Yang demikian itu
merupakan kebaikan bagimu jika kamu mengetahui. Karena seluruh ibadah yang
Allah tetapkan khayrul lakum (kebaikan bagi kalian). Wallâhua’lam.
Sempurnakan Puasa Hingga Malam
Dengan judul seperti di atas, saya tidak hendak mengatakan
atau menyatakan batalnya puasa saudara-saudara ahlusunah. Karena masing-masing
punya alasan fikihnya sendiri dalam menentukan waktu berbuka puasa. Tapi
terkadang kesalahpahaman membuat orang berpikiran salah mengenai mazhab Syiah
ahlulbait yang memiliki waktu berbuka puasa lebih lama dari muslim umumnya.
Misalkan saja sebuah forum diskusi ini (Al-Fikrah.net).
Karena ketidaktahuan dikatakan bahwa Syiah berbuka puasa pada waktu Isya atau
munculnya bintang. Lebih jauh, ketika saya berbuka puasa dengan teman-teman
ahlusunah saya dianggap tidak mengikut sunah. Seorang teman mengatakan,
“Padahal sunahnya kita disuruh bersegera.” Ya, perkataan itu sekilas memang
benar. Tapi maksud hadis itu kita dilarang menunda kalau waktunya sudah masuk.
Nah, kalau belum masuk waktu berbuka, apa artinya bersegera?
Tentu hal seperti itu bukan cuma saya saja yang mengalami.
Teman-teman bermazhab ahlulbait mungkin juga pernah mengalami dilema yang sama
ketika mendapat undangan buka puasa bersama dengan ikhwan ahlusunah. Buka puasa
mengikuti yang lain berdasar azan magrib tentu batal karena belum masuk
waktunya buka; atau memilih menunda tapi dengan perasaan “tidak enak”.
Fatwa Ayatullah
Ali Khamenei
SOAL: Bolehkah
mengikuti muslim ahlusunah berkenaan dengan waktu ifthâr (buka puasa) dalam
pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi, dan lainnya? Apa yang wajib
dilakukan mukalaf bila ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyah dan tidak
ada alasan syar’i untuk menerapkannya?
JAWAB: Mukalaf
tidak diperbolehkan mengikuti selain dirinya tanpa memastikan masuknya waktu
berbuka puasa (ifthâr). Bila berbuka sebelum waktu Magrib yang diyakininya
termasuk dalam situasi taqiyah, maka dia diperbolehkan berbuka tapi wajib
mengadanya [qadha]. Ia juga tidak diperbolehkan berbuka puasa atas kehendak
sendiri (sesuka hati), kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan
berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar’i
(hujjah syar’iah).
Judul tulisan ini sebenarnya merupakan potongan ayat 187
dari surah Al-Baqarah: ثم أتموا الصيام إلى الليل
(Kemudian sempurnakanlah puasa kalian hingga malam). Ayat tersebut dengan jelas
menggunakan kata al-lail (malam). Apakah memang mayoritas umat Islam menganggap
lail sama dengan ghurub (terbenam) atau ada perbedaan memahami ghurub?
Mega Merah Langit yang Masih Nampak
Rasulullah saw. bersabda, “Bila malam (al-lail) telah datang
dari arah sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah
tenggelam (gharabati) matahari, maka sungguh orang puasa telah berbuka.” (HR.
Bukhari). Artinya, matahari harus benar-benar tenggelam dengan sempurna hingga
disebut sebagai malam. Tapi apa yang terjadi sekarang, banyak yang sudah
berbuka ketika langit masih cerah.
Sedangkan pemahaman ahlulbait dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far,
Imam Ash-Shadiq as. berkata, “Waktu Magrib adalah bila mega merah telah hilang
dari ufuk timur… hal itu karena ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat.”
Imam, sambil mengangkat tangan kanannya di atas tangan kirinya, berkata,
“Apabila matahari terbenam di sebelah sana maka hilanglah mega merah di sebelah
sini.”
Dengan terbenamnya matahari, benar Magrib sudah masuk. Tapi,
keterbenaman ini tidak dapat diketahui hanya dengan hilangnya bola matahari
dari pandangan mata, melainkan dengan naiknya mega merah di ufuk timur, karena
ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat. Mega merah di ufuk timur itu
sebenarnya merupakan bias cahaya matahari. Semakin dalam terbenam, semakin
hilang bias itu.
Tentang tuduhan bahwa Syiah menunda Magrib sampai
bintang-bintang bermunculan adalah fitnah semata, sebagaimana ribuan fitnah
lain telah menimpa Syiah. Imam Shadiq as. pernah diberitahu bahwa penduduk Irak
menunda Magrib sampai bintang-bintang bertebaran. Imam as berkata, “Ini adalah
perbuatan musuh Allah, Abul Khattab.” Wallahualam.
Niat
1. Seseorang tidak harus menuturkan niat puasa dengan
lisannya seperti dengan mengatakan, “Besok saya akan berpuasa.” Cukup saja ia
bermaksud puasa (dalam hatinya) untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan tidak
akan melakukan hal-hal yang akan membatalkannya, sejak terbit fajar hingga
terbenam matahari. Tetapi untuk meyakinkan bahwa sepanjang hari itu ia
berpuasa, hendaklah ia menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya
sejak dari sesaat menjelang subuh hingga sesaat menjelang maghrib. (Taudhih
al-Masail, masalah 1550).2. Jika seseorang hendak berpuasa selain puasa
Ramadhan, hendaklah (dalam niatnya) ia menentukan jenis puasanya, seperti “saya
hendak puasa qadha atau nazar.” Tetapi pada bulan Ramadhan seseorang tidak
wajib menyebutkan puasa Ramadhan (dalam niatnya). Bahkan bila ia tidak tahu
atau lupa bahwa saat itu adalah bulan Ramadhan, kemudian ia berniat puasa yang
lain, puasanya tetap dihitung sebagai puasa Ramadhan. (Taudhih al-Masail,
masalah 1555).
3. Apabila seseorang berniat puasa untuk hari pertama
Ramadhan, lalu ia tahu bahwa hari tersebut adalah hari kedua atau ketiga
misalnya, puasanya tetap sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1557).
4. Jika pada bulan Ramadhan seseorang berniat puasa sebelum
masuk waktu subuh, lalu ia tidur dan bangun kembali ketika waktu sudah maghrib,
maka puasanya sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1560).
5. Seseorang tidak diwajibkan berpuasa pada hari syak (yaitu
hari yang meragukan apakah hari terakhir Sya’ban atau awal Ramadhan). (Taudhih
al Masail, masalah 1568).
6. Pada puasa wajib (seperti puasa Ramadhan), jika seseorang
berpaling dari niatnya semula, maka puasanya batal. Tetapi bila ia berniat
melakukan suatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa tersebut, kemudian ia
tidak jadi melakukannya, maka puasanya tidak batal. (Taudih al-Masail, masalah
1570).
Hal-hal yang berkaitan dengan orang sakit
1. Jika seseorang sembuh dari sakitnya sebelum waktu dzuhur
dan sejak adzan subuh hingga saat sembuh ia belum melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa, maka wajib baginya berniat puasa pada hari itu.
2. Jika ia sembuh setelah dzuhur, maka tidak wajib baginya
berpuasa pada hari itu. (Taudhih al-Masail, masalah 1570).
Waktu Niat
1. Seseorang dapat berniat puasa pada tiap-tiap malamnya,
atau dapat pula ia berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk sebulan
penuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1551)
2. Seseorang boleh berniat puasa kapan saja sejak awal malam
hingga adzan subuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1568)
3. Seseorang yang tidur sebelum adzan subuh (dalam keadaan)
belum berniat puasa, maka :
* Jika bangun sebelum dzuhur lalu ia berniat puasa, maka
puasanya sah, baik puasa wajib maupun sunah.
* Jika ia bangun setelah dzuhur, maka puasanya dianggap
tidak sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1554)
Membatalkan Puasa
Terdapat 9 (sembilan) macam hal yang dapat membatalkan
puasa, yaitu :
1. Makan.
2. Minum.
3. Jima’ (hubungan suami isteri).
4. Sengaja melakukan istimna’ (perbuatan yang menyebabkan
mani keluar).
5. Berdusta atas nama Allah SWT, Rasul dan para Imam Ma’shum
as.
6. Memasukkan seluruh bagian kepala sekaligus ke dalam air.
7. Tetap berada dalam keadaan junub, haid, dan nifas hingga
adzan subuh.
8. Memasukkan sesuatu berupa cairan ke dalam tubuh melalui
dubur.
9. Muntah (secara sengaja).
Qadha Puasa dan Kafarat
1. Secara sengaja membatalkan puasa dengan makan dan minum,
jima, tetap berada dalam keadaan junub hingga masuk waktu subuh, menelan debu
pekat, berdusta atas Nama Allah, Rasul dan para Imam as. Dan melakukan istimna.
(Risalah Nuwin jilid 1 hal. 181)
2. Secara sengaja menenggelamkan seluruh bagian kepala
secara sekaligus ke dalam air dan memasukkan cairan ke dalam tubuh melalui
dubur, baik untuk pengobatan atau sebagai pengganti makanan. ( Risalah Nuwin
jilid 1 hal. 181; Taudhih al-Masail, masalah 1658).
3. Terdapat sesuatu yang keluar dari kerongkongan sampai ke
mulutnya ketika bersendawa, kemudian dengan sengaja sesuatu itu ditelannya
kembali. ( Taudhih al-Masail, masalah 1671).
4. Berbuka puasa berdasarkan kabar yang diterimanya dari
orang yang tidak adil bahwa waktu maghrib sudah masuk, tetapi sebetulnya waktu
maghrib belum masuk, sementara ia mampu meneliti kebenaran kabar tersebut. (
Taudhih al-Masail, masalah 1673).
Apabila seseorang karena tidak tahu masalah, melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa:
1. Jika mampu mempelajari masalah tersebut, maka menurut
ihtiyat wajib, wajib atasnya membayar kafarat.
2. Jika tidak mampu mempelajari masalah tersebut atau sama
sekali tidak terpikir olehnya, atau ia yakin bahwa hal itu tidak membatalkan
puasa, maka kafarat tidak wajib atasnya. ( Taudhih al- Masail, masalah 1659).
Kafarat Puasa Wajib:
1. Membebaskan seorang budak.
2. Melakukan puasa dua bulan secara berturut-turut (dengan
syarat sebanyak 31 hari puasa dilakukan secara berturut-turut, sisanya bisa
dilakukan kapan saja / tidak usah berurutan ).
3. Memberi makan kepada 60 orang fakir dengan cara
memberikan 1 (satu) mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau
sejenisnya kepada setiap orang. Jika tidak mungkin memberikan sebanyak itu, di
bolehkan memberi semampunya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1660)
Jenis Kewajiban Kafarat:
* Kafarat Jama’
1. Seseorang membatalkan puasa dengan hal-hal yang haram,
menurut ihtiyat wajib, ia wajib melakukan ke tiga kafarat tersebut (membebaskan
seorang budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan kepada sebanyak
60 orang fakir). (Taudhih al-Masail, masalah 1665 ).
2. Seseorang berdusta atas Nama Allah, Rasulullah saww. dan
para Imam as. ( Taudhih al-Masail, masalah 1666).
3. Seseorang pada siang hari Ramadhan melakukan jima’ yang
haram. (Taudhih al-Masail, masalah 1667).
4. Seseorang melakukan jima’ yang haram yang dilanjutkan
dengan jima’ bersama istrinya. (Taudhih al-Masail, masalah 1669)
5. Seseorang bersendawa dan keluar darah atau makanan yang
telah keluar dari kategori / bentuk makanan, kemudian sengaja ditelannya
kembali secara sengaja. (Taudhih al-Masail, masalah 1671).
* Satu Kafarat:
1. Pada bulan Ramadhan berulang kali melakukan sesuatu yang
membatalkan puasa, termasuk berjima’ dengan istrinya (Taudhih al-Masail,
masalah 1668).
2. Membatalkan puasa dengan melakukan sesuatu yang halal
(misalnya minum air), dan dilanjutkan dengan sesuatu yang haram (misalkan makan
daging babi).(Taudhih al-Masail, masalah 1670).
3. Bernadzar akan berpuasa pada hari tertentu, kemudian pada
hari yang telah ditentukan tersebut secara sengaja ia membatalkan
puasanya.(Taudhih al-Masail, masalah 1672)
Sepuluh hal yang mewajibkan Qadha Puasa.
1. Sengaja muntah.
2. Tidur dalam keadaan junub pada malam Ramadhan, kemudian
bangun dan ia mengetahui adanya kemungkinan dapat bangun kembali sebelum subuh
apabila ia tidur lagi dan telah berniat mandi wajib setelah ia bangun, lalu ia
tidur lagi. Ternyata ia tidak bangun hingga subuh. Begitu pula jika ia bangun
dari tidur yang kedua, lalu ia tidur lagi hingga subuh .
3. Tidak berniat puasa, puasa karena riya dan beranggapan
bahwa tidak ada kewajiban berpuasa, walaupun sepanjang hari ia tidak melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa.
4. Seseorang yang lupa mandi janabat kemudian sehari atau
beberapa hari melakukan puasa dalam keadaan junub
5. Seseorang, yang tidak meneliti terlebih dulu apakah sudah
masuk waktu subuh atau belum, melakukan hal yang membatalkan puasa, lalu ia
tahu ketika melakukannya ternyata masuk waktu subuh.
6. Ada seseorang mengatakan pada orang lain bahwa waktu
subuh belum masuk. Karena perkataan tersebut orang itu melakukan perbuatan yang
membatalkan puasa, kemudian ia tahu bahwa sebenarnya waktu subuh sudah masuk.
7. Ada seseorang mengatakan kepada orang lain bahwa waktu
subuh sudah masuk, tetapi orang itu sendiri tidak yakin dengan perkataan orang
tersebut atau mengganggapnya bercanda. Kemudian ia melakukan perbuatan yang
membatalkan puasa, dan akhirnya ia tahu bahwa bahwa waktu subuh telah masuk.
8. Seseorang yang buta atau sejenisnya, karena mendengar
perkataan orang lain (yang mengatakan bahwa maghrib telah tiba) ia berbuka,
setelah itu ia baru tahu bahwa maghrib belum tiba.
9. Dalam keadaan cerah, karena suasana gelap seseorang
merasa yakin bahwa waktu maghrib telah tiba kemudian ia berbuka. Setelah itu
diketahuinya bahwa sebenarnya waktu maghrib belum tiba.
10. Seseorang berkumur-kumur dengan maksud berwudhu atau
tanpa alasan tertentu lalu tanpa sengaja air tersebut tertelan .
Catatan:
Bila seseorang lupa bahwa dia sedang berpuasa, kemudian
meminum air atau dengan maksud berwudhu ia berkumur-kumur dan tanpa sengaja
airnya tertelan, maka ia tidak wajib mengqadha puasanya.
Hukum tentang Puasa Qadha.
1. Jika seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan lantaran
sakit dan penyakitnya terus berlangsung hingga Ramadhan tahun berikutnya maka
ia tidak wajib mengqadha puasa tersebut. Sebagai gantinya, ia harus memberikan
satu mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang
fakir sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya. Namun jika ia tidak berpuasa
disebabkan halangan lain (seperti bepergian) dan halangan tersebut berlangsung
hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus mengqadha puasa yang
ditinggalkannya, dan ihtiyat mustahab ia (dianjurkan) memberikan satu mud
makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang fakir. (Taudhih al-Masail, masalah
1702).
2. Jika seseorang menangguhkan pelaksanaan puasa qadha
Ramadhan hingga lewat beberapa tahun, maka selain ia harus mengqadha puasanya
juga diharuskan memberikan satu mud makanan kepada fakir miskin sesuai jumlah
hari puasa yang ditinggalkannya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1709).
3. Anak laki-laki sulung harus mengqadhakan shalat dan puasa
ayahnya yang sudah meninggal (yang ditinggalkan ayahnya ketika masih hidup.(
Taudhih al- Masail, masalah 1712).
Hukum berkaitan dengan puasa Musafir (orang yang bepergian).
* Waktu berangkat
1. Jika seseorang berangkat safar (bepergian) sebelum waktu
dzuhur, maka ketika sampai di batas kota/daerah, yang mana dinding kota /
daerah itu tidak terlihat atau suara adzan di daerah itu tidak terdengar lagi,
maka ia harus membatalkan puasanya. Tetapi jika ia sudah berbuka sebelum sampai
batas kota/daerah itu, maka menurut ihtiyat wajib wajib ia harus membayar
kafarat dan mengqadha puasanya. (Taudhih al-Masail, masalah 1721).
2. Jika seseorang berangkat safar setelah lewat dzuhur, maka
ia harus melanjutkan puasanya. (Taudhih al- Masail, masalah 1714).
* Kembali dari safar
1. Jika seseorang musafir sebelum masuk waktu dzuhur sudah
tiba kembali di kampung halamannya atau tempat yang ditinggalinya selama
sepuluh hari, maka:
* Jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa, ia harus
meneruskan puasanya.
* Jika telah melakukan hal yang membatalkan puasa, ia tidak
wajib puasa pada hari tersebut. (Taudhih al-Masail, masalah 1722).
2. Jika seseorang musafir tiba kembali di kampung halamannya
setelah waktu dzuhur, maka ia tidak boleh meneruskan puasa. (Taudhih al-Masail,
masalah 1723).
_____________________________
[Fatwa Ruhullah Khomeini, Al jawad]
sumber : salahsatu blog pengikut syiah di Indonesia