Selasa, 16 Juni 2015

Puasa Menurut Syiah........(BUKAN UNTUK DIIKUTI)




Puasa atau Tidak Saat Perjalanan?

Dalam sebuah diskusi (tidak ilmiah) dengan seorang teman di masjid sebelum memasuki bulan Ramadhan, teman saya mengatakan bahwa ketika melakukan perjalanan (safar) seperti pada zaman sekarang ini, maka seseorang tetap harus berpuasa. Alasan yang dikemukakan adalah pada zaman sekarang ini, sebuah perjalanan—dengan pesawat terbang, misalnya—dapat ditempuh dalam waktu singkat dan “nyaman”. Maka hukum membatalkan puasa saat perjalanan sudah tidak relevan.


Pengikut Syiah di Jepara
 
Selain alasan-alasan tersebut, teman saya juga berdalil dengan ayat Al-Quran. Lebih tepatnya, berdalil dengan terjemahan ayat Al-Quran Departemen Agama RI. Ayat yang dimaksud adalah: Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) di hari yang lain… dan puasa kalian lebih baik bagi jika kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 184). Kalimat terakhir dari ayat tersebut menjadi dalil baginya bahwa jika kita tetap berpuasa saat melakukan perjalanan maka itu lebih baik. Apakah demikian?

Saya tidak tahu persis bagaimana fikih kontemporer Ahlus Sunnah menilai apakah perjalanan pada zaman sekarang yang “cepat dan nyaman” itu menggugurkan hukum keringanan untuk tidak berpuasa? Tapi yang jelas, dalam mazhab Syiah Ahlul Bait (Ja’fariah) sebuah perjalanan yang telah sesuai dengan ketentuan syar’i, terlepas dari “cepat dan nyaman”, maka wajib untuk tidak puasa. Sebagaimana ayat di atas berbunyi: Maka barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) di hari yang lain…

Lalu bagaimana dengan potongan ayat terakhir di atas: …dan puasa kalian lebih baik bagi jika kalian mengetahui? Itu adalah terjemahan Depag dari ayat wa an tashûmû khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. Jadi dari ayat itu mereka tafsirkan bahwa ketika sakit atau perjalanan, boleh tidak puasa. Tapi kalau puasa, maka itu lebih baik.

Namun, mazhab Ahlul Bait tetap tidak menafsirkan seperti demikian. “Keringanan” untuk tidak puasa adalah dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah dan Ahlul Baitnya dengan masyhur meriwayatkan, “Bukanlah suatu ibadah (perbuatan baik) puasa dalam berpergian.” Lalu bagaimana dengan ayat tersebut? Wa an tashûmû ditafsirkan sebagai mashdar dengan jumlah, sehingga memiliki makna shiyâmukum khayrul lakum (puasa itu kebaikan bagi kalian). Kebaikan apa? La’alakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Kebaikan yang dimaksud adalah puasa menjadi salah satu timbulnya ketakwaan. Shiyâm (puasa) itu adalah khayr, khayr yang diartikan sebagai “kebaikan”.

Ayat lain yang senada adalah: Dzâlikum khayrul lakum in kuntum ta’lamûn (QS. Ash-Shaff [61]: 11). Ayat tersebut berbicara tentang jihad. Jika diterjemahkan: Itulah (jihad) yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui, maka boleh jihad boleh juga tidak jihad. Tentu ini bertentangan.

Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Dzâlikum khayrul lakum in kuntum ta’lamûn. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 9) Departemen Agama tetap menerjemahkannya: Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Jika demikian maka shalat Jumat itu lebih baik. Shalat Jumat boleh, tidak pun juga tidak apa-apa. Meninggalkan shalat Jumat baik, tapi shalat Jumat lebih baik. Tentu tidak demikian. Karena itu seharusnya Depag dapat lebih tepat menerjemahkan menjadi: Yang demikian itu merupakan kebaikan bagimu jika kamu mengetahui. Karena seluruh ibadah yang Allah tetapkan khayrul lakum (kebaikan bagi kalian). Wallâhua’lam.
Sempurnakan Puasa Hingga Malam

Dengan judul seperti di atas, saya tidak hendak mengatakan atau menyatakan batalnya puasa saudara-saudara ahlusunah. Karena masing-masing punya alasan fikihnya sendiri dalam menentukan waktu berbuka puasa. Tapi terkadang kesalahpahaman membuat orang berpikiran salah mengenai mazhab Syiah ahlulbait yang memiliki waktu berbuka puasa lebih lama dari muslim umumnya.

Misalkan saja sebuah forum diskusi ini (Al-Fikrah.net). Karena ketidaktahuan dikatakan bahwa Syiah berbuka puasa pada waktu Isya atau munculnya bintang. Lebih jauh, ketika saya berbuka puasa dengan teman-teman ahlusunah saya dianggap tidak mengikut sunah. Seorang teman mengatakan, “Padahal sunahnya kita disuruh bersegera.” Ya, perkataan itu sekilas memang benar. Tapi maksud hadis itu kita dilarang menunda kalau waktunya sudah masuk. Nah, kalau belum masuk waktu berbuka, apa artinya bersegera?

Tentu hal seperti itu bukan cuma saya saja yang mengalami. Teman-teman bermazhab ahlulbait mungkin juga pernah mengalami dilema yang sama ketika mendapat undangan buka puasa bersama dengan ikhwan ahlusunah. Buka puasa mengikuti yang lain berdasar azan magrib tentu batal karena belum masuk waktunya buka; atau memilih menunda tapi dengan perasaan “tidak enak”.

    Fatwa Ayatullah Ali Khamenei

    SOAL: Bolehkah mengikuti muslim ahlusunah berkenaan dengan waktu ifthâr (buka puasa) dalam pertemuan-pertemuan umum, forum-forum resmi, dan lainnya? Apa yang wajib dilakukan mukalaf bila ia menganggap hal itu bukan sebagai taqiyah dan tidak ada alasan syar’i untuk menerapkannya?

    JAWAB: Mukalaf tidak diperbolehkan mengikuti selain dirinya tanpa memastikan masuknya waktu berbuka puasa (ifthâr). Bila berbuka sebelum waktu Magrib yang diyakininya termasuk dalam situasi taqiyah, maka dia diperbolehkan berbuka tapi wajib mengadanya [qadha]. Ia juga tidak diperbolehkan berbuka puasa atas kehendak sendiri (sesuka hati), kecuali setelah memastikan tibanya waktu malam dan berakhirnya siang dengan menyaksikan sendiri atau berdasarkan bukti syar’i (hujjah syar’iah).

Judul tulisan ini sebenarnya merupakan potongan ayat 187 dari surah Al-Baqarah: ثم أتموا الصيام إلى الليل (Kemudian sempurnakanlah puasa kalian hingga malam). Ayat tersebut dengan jelas menggunakan kata al-lail (malam). Apakah memang mayoritas umat Islam menganggap lail sama dengan ghurub (terbenam) atau ada perbedaan memahami ghurub?
Mega Merah Langit yang Masih Nampak

Rasulullah saw. bersabda, “Bila malam (al-lail) telah datang dari arah sini (timur) dan siang telah pergi dari arah sini (barat) dan telah tenggelam (gharabati) matahari, maka sungguh orang puasa telah berbuka.” (HR. Bukhari). Artinya, matahari harus benar-benar tenggelam dengan sempurna hingga disebut sebagai malam. Tapi apa yang terjadi sekarang, banyak yang sudah berbuka ketika langit masih cerah.

Sedangkan pemahaman ahlulbait dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far, Imam Ash-Shadiq as. berkata, “Waktu Magrib adalah bila mega merah telah hilang dari ufuk timur… hal itu karena ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat.” Imam, sambil mengangkat tangan kanannya di atas tangan kirinya, berkata, “Apabila matahari terbenam di sebelah sana maka hilanglah mega merah di sebelah sini.”

Dengan terbenamnya matahari, benar Magrib sudah masuk. Tapi, keterbenaman ini tidak dapat diketahui hanya dengan hilangnya bola matahari dari pandangan mata, melainkan dengan naiknya mega merah di ufuk timur, karena ufuk timur lebih tinggi daripada ufuk barat. Mega merah di ufuk timur itu sebenarnya merupakan bias cahaya matahari. Semakin dalam terbenam, semakin hilang bias itu.

Tentang tuduhan bahwa Syiah menunda Magrib sampai bintang-bintang bermunculan adalah fitnah semata, sebagaimana ribuan fitnah lain telah menimpa Syiah. Imam Shadiq as. pernah diberitahu bahwa penduduk Irak menunda Magrib sampai bintang-bintang bertebaran. Imam as berkata, “Ini adalah perbuatan musuh Allah, Abul Khattab.” Wallahualam.


Niat
1. Seseorang tidak harus menuturkan niat puasa dengan lisannya seperti dengan mengatakan, “Besok saya akan berpuasa.” Cukup saja ia bermaksud puasa (dalam hatinya) untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan tidak akan melakukan hal-hal yang akan membatalkannya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Tetapi untuk meyakinkan bahwa sepanjang hari itu ia berpuasa, hendaklah ia menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya sejak dari sesaat menjelang subuh hingga sesaat menjelang maghrib. (Taudhih al-Masail, masalah 1550).2. Jika seseorang hendak berpuasa selain puasa Ramadhan, hendaklah (dalam niatnya) ia menentukan jenis puasanya, seperti “saya hendak puasa qadha atau nazar.” Tetapi pada bulan Ramadhan seseorang tidak wajib menyebutkan puasa Ramadhan (dalam niatnya). Bahkan bila ia tidak tahu atau lupa bahwa saat itu adalah bulan Ramadhan, kemudian ia berniat puasa yang lain, puasanya tetap dihitung sebagai puasa Ramadhan. (Taudhih al-Masail, masalah 1555).

3. Apabila seseorang berniat puasa untuk hari pertama Ramadhan, lalu ia tahu bahwa hari tersebut adalah hari kedua atau ketiga misalnya, puasanya tetap sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1557).

4. Jika pada bulan Ramadhan seseorang berniat puasa sebelum masuk waktu subuh, lalu ia tidur dan bangun kembali ketika waktu sudah maghrib, maka puasanya sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1560).

5. Seseorang tidak diwajibkan berpuasa pada hari syak (yaitu hari yang meragukan apakah hari terakhir Sya’ban atau awal Ramadhan). (Taudhih al Masail, masalah 1568).

6. Pada puasa wajib (seperti puasa Ramadhan), jika seseorang berpaling dari niatnya semula, maka puasanya batal. Tetapi bila ia berniat melakukan suatu perbuatan yang dapat membatalkan puasa tersebut, kemudian ia tidak jadi melakukannya, maka puasanya tidak batal. (Taudih al-Masail, masalah 1570).

Hal-hal yang berkaitan dengan orang sakit

1. Jika seseorang sembuh dari sakitnya sebelum waktu dzuhur dan sejak adzan subuh hingga saat sembuh ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka wajib baginya berniat puasa pada hari itu.

2. Jika ia sembuh setelah dzuhur, maka tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu. (Taudhih al-Masail, masalah 1570).

Waktu Niat

1. Seseorang dapat berniat puasa pada tiap-tiap malamnya, atau dapat pula ia berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk sebulan penuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1551)

2. Seseorang boleh berniat puasa kapan saja sejak awal malam hingga adzan subuh. (Taudhih al-Masail, masalah 1568)

3. Seseorang yang tidur sebelum adzan subuh (dalam keadaan) belum berniat puasa, maka :

* Jika bangun sebelum dzuhur lalu ia berniat puasa, maka puasanya sah, baik puasa wajib maupun sunah.
* Jika ia bangun setelah dzuhur, maka puasanya dianggap tidak sah. (Taudhih al-Masail, masalah 1554)

Membatalkan Puasa

Terdapat 9 (sembilan) macam hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu :
1. Makan.
2. Minum.
3. Jima’ (hubungan suami isteri).
4. Sengaja melakukan istimna’ (perbuatan yang menyebabkan mani keluar).
5. Berdusta atas nama Allah SWT, Rasul dan para Imam Ma’shum as.
6. Memasukkan seluruh bagian kepala sekaligus ke dalam air.
7. Tetap berada dalam keadaan junub, haid, dan nifas hingga adzan subuh.
8. Memasukkan sesuatu berupa cairan ke dalam tubuh melalui dubur.
9. Muntah (secara sengaja).

Qadha Puasa dan Kafarat

1. Secara sengaja membatalkan puasa dengan makan dan minum, jima, tetap berada dalam keadaan junub hingga masuk waktu subuh, menelan debu pekat, berdusta atas Nama Allah, Rasul dan para Imam as. Dan melakukan istimna. (Risalah Nuwin jilid 1 hal. 181)

2. Secara sengaja menenggelamkan seluruh bagian kepala secara sekaligus ke dalam air dan memasukkan cairan ke dalam tubuh melalui dubur, baik untuk pengobatan atau sebagai pengganti makanan. ( Risalah Nuwin jilid 1 hal. 181; Taudhih al-Masail, masalah 1658).

3. Terdapat sesuatu yang keluar dari kerongkongan sampai ke mulutnya ketika bersendawa, kemudian dengan sengaja sesuatu itu ditelannya kembali. ( Taudhih al-Masail, masalah 1671).

4. Berbuka puasa berdasarkan kabar yang diterimanya dari orang yang tidak adil bahwa waktu maghrib sudah masuk, tetapi sebetulnya waktu maghrib belum masuk, sementara ia mampu meneliti kebenaran kabar tersebut. ( Taudhih al-Masail, masalah 1673).

Apabila seseorang karena tidak tahu masalah, melakukan hal-hal yang membatalkan puasa:

1. Jika mampu mempelajari masalah tersebut, maka menurut ihtiyat wajib, wajib atasnya membayar kafarat.

2. Jika tidak mampu mempelajari masalah tersebut atau sama sekali tidak terpikir olehnya, atau ia yakin bahwa hal itu tidak membatalkan puasa, maka kafarat tidak wajib atasnya. ( Taudhih al- Masail, masalah 1659).

Kafarat Puasa Wajib:

1. Membebaskan seorang budak.
2. Melakukan puasa dua bulan secara berturut-turut (dengan syarat sebanyak 31 hari puasa dilakukan secara berturut-turut, sisanya bisa dilakukan kapan saja / tidak usah berurutan ).
3. Memberi makan kepada 60 orang fakir dengan cara memberikan 1 (satu) mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada setiap orang. Jika tidak mungkin memberikan sebanyak itu, di bolehkan memberi semampunya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1660)

Jenis Kewajiban Kafarat:

* Kafarat Jama’

1. Seseorang membatalkan puasa dengan hal-hal yang haram, menurut ihtiyat wajib, ia wajib melakukan ke tiga kafarat tersebut (membebaskan seorang budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan kepada sebanyak 60 orang fakir). (Taudhih al-Masail, masalah 1665 ).

2. Seseorang berdusta atas Nama Allah, Rasulullah saww. dan para Imam as. ( Taudhih al-Masail, masalah 1666).

3. Seseorang pada siang hari Ramadhan melakukan jima’ yang haram. (Taudhih al-Masail, masalah 1667).

4. Seseorang melakukan jima’ yang haram yang dilanjutkan dengan jima’ bersama istrinya. (Taudhih al-Masail, masalah 1669)

5. Seseorang bersendawa dan keluar darah atau makanan yang telah keluar dari kategori / bentuk makanan, kemudian sengaja ditelannya kembali secara sengaja. (Taudhih al-Masail, masalah 1671).

* Satu Kafarat:

1. Pada bulan Ramadhan berulang kali melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, termasuk berjima’ dengan istrinya (Taudhih al-Masail, masalah 1668).

2. Membatalkan puasa dengan melakukan sesuatu yang halal (misalnya minum air), dan dilanjutkan dengan sesuatu yang haram (misalkan makan daging babi).(Taudhih al-Masail, masalah 1670).

3. Bernadzar akan berpuasa pada hari tertentu, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut secara sengaja ia membatalkan puasanya.(Taudhih al-Masail, masalah 1672)

Sepuluh hal yang mewajibkan Qadha Puasa.

1. Sengaja muntah.
2. Tidur dalam keadaan junub pada malam Ramadhan, kemudian bangun dan ia mengetahui adanya kemungkinan dapat bangun kembali sebelum subuh apabila ia tidur lagi dan telah berniat mandi wajib setelah ia bangun, lalu ia tidur lagi. Ternyata ia tidak bangun hingga subuh. Begitu pula jika ia bangun dari tidur yang kedua, lalu ia tidur lagi hingga subuh .

3. Tidak berniat puasa, puasa karena riya dan beranggapan bahwa tidak ada kewajiban berpuasa, walaupun sepanjang hari ia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

4. Seseorang yang lupa mandi janabat kemudian sehari atau beberapa hari melakukan puasa dalam keadaan junub

5. Seseorang, yang tidak meneliti terlebih dulu apakah sudah masuk waktu subuh atau belum, melakukan hal yang membatalkan puasa, lalu ia tahu ketika melakukannya ternyata masuk waktu subuh.

6. Ada seseorang mengatakan pada orang lain bahwa waktu subuh belum masuk. Karena perkataan tersebut orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan puasa, kemudian ia tahu bahwa sebenarnya waktu subuh sudah masuk.

7. Ada seseorang mengatakan kepada orang lain bahwa waktu subuh sudah masuk, tetapi orang itu sendiri tidak yakin dengan perkataan orang tersebut atau mengganggapnya bercanda. Kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa, dan akhirnya ia tahu bahwa bahwa waktu subuh telah masuk.

8. Seseorang yang buta atau sejenisnya, karena mendengar perkataan orang lain (yang mengatakan bahwa maghrib telah tiba) ia berbuka, setelah itu ia baru tahu bahwa maghrib belum tiba.

9. Dalam keadaan cerah, karena suasana gelap seseorang merasa yakin bahwa waktu maghrib telah tiba kemudian ia berbuka. Setelah itu diketahuinya bahwa sebenarnya waktu maghrib belum tiba.

10. Seseorang berkumur-kumur dengan maksud berwudhu atau tanpa alasan tertentu lalu tanpa sengaja air tersebut tertelan .

Catatan:
Bila seseorang lupa bahwa dia sedang berpuasa, kemudian meminum air atau dengan maksud berwudhu ia berkumur-kumur dan tanpa sengaja airnya tertelan, maka ia tidak wajib mengqadha puasanya.

Hukum tentang Puasa Qadha.

1. Jika seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan lantaran sakit dan penyakitnya terus berlangsung hingga Ramadhan tahun berikutnya maka ia tidak wajib mengqadha puasa tersebut. Sebagai gantinya, ia harus memberikan satu mud (sekitar 750 gram) makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang fakir sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya. Namun jika ia tidak berpuasa disebabkan halangan lain (seperti bepergian) dan halangan tersebut berlangsung hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya, dan ihtiyat mustahab ia (dianjurkan) memberikan satu mud makanan berupa gandum atau sejenisnya kepada orang fakir. (Taudhih al-Masail, masalah 1702).

2. Jika seseorang menangguhkan pelaksanaan puasa qadha Ramadhan hingga lewat beberapa tahun, maka selain ia harus mengqadha puasanya juga diharuskan memberikan satu mud makanan kepada fakir miskin sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkannya. ( Taudhih al-Masail, masalah 1709).

3. Anak laki-laki sulung harus mengqadhakan shalat dan puasa ayahnya yang sudah meninggal (yang ditinggalkan ayahnya ketika masih hidup.( Taudhih al- Masail, masalah 1712).

Hukum berkaitan dengan puasa Musafir (orang yang bepergian).

* Waktu berangkat

1. Jika seseorang berangkat safar (bepergian) sebelum waktu dzuhur, maka ketika sampai di batas kota/daerah, yang mana dinding kota / daerah itu tidak terlihat atau suara adzan di daerah itu tidak terdengar lagi, maka ia harus membatalkan puasanya. Tetapi jika ia sudah berbuka sebelum sampai batas kota/daerah itu, maka menurut ihtiyat wajib wajib ia harus membayar kafarat dan mengqadha puasanya. (Taudhih al-Masail, masalah 1721).

2. Jika seseorang berangkat safar setelah lewat dzuhur, maka ia harus melanjutkan puasanya. (Taudhih al- Masail, masalah 1714).

* Kembali dari safar

1. Jika seseorang musafir sebelum masuk waktu dzuhur sudah tiba kembali di kampung halamannya atau tempat yang ditinggalinya selama sepuluh hari, maka:

* Jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa, ia harus meneruskan puasanya.
* Jika telah melakukan hal yang membatalkan puasa, ia tidak wajib puasa pada hari tersebut. (Taudhih al-Masail, masalah 1722).

2. Jika seseorang musafir tiba kembali di kampung halamannya setelah waktu dzuhur, maka ia tidak boleh meneruskan puasa. (Taudhih al-Masail, masalah 1723).
_____________________________
[Fatwa Ruhullah Khomeini, Al jawad]



sumber : salahsatu blog pengikut syiah di Indonesia

1 komentar:

  1. terimakasih banyak artikelnya mas, mantab deh..

    http://www.tokoobatku.com/obat-tekanan-darah-tinggi-herbal/

    BalasHapus