Jumat, 23 September 2016

SYIAH DI BANJARBARU, MARTAPURA, RANTAU DAN AMUNTAI KALIMANTAN SELATAN (LANJUTAN BAG 2)



2. Banjarbaru

Banjarbaru berjarak sekitar 27 Km dari Banjarmasin, yang merupakan ibukota baru dari Kalimantan Selatan. Di sini terdapat Majlis tak bernama yang dipimpin oleh Habib Abdullah al-Habsyi, selaku Ketua ABI wilayah Kalimantan Selatan. Ia pernah menuntut ilmu di pondok pesantren YAPI sampai selesai. Ia salah satu Habib dan Ulama terkenal di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarbaru yang majlisnya dihadiri ratusan orang lebih dari Banjarbaru dan Martapura. Ia juga menjadi tempat bertanya para pengikut Syiah di sana bahkan dari seluruh daerah Kalimantan Selatan.
Kegiatan majlisnya, selain pengajian umum yang didatangi berbagai kalangan termasuk dari anggota Syiah sendiri, juga melaksanakan amalan rutin ritual Syiah 2 kali seminggu, malam Rabu dan malam Jumat dari jamaah Syiah Banjarbaru dan Martapura.(19Wawancara dengan Habib Ali, 20 Maret 2014.)



3. Martapura

Daerah Martapura sekitar 40 Km dari Banjarmasin, yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah. Disebut Serambi Mekkah karena daerah ini pernah menjadi pusat keilmuan Islam pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke 19 bersama-sama Palembang dan Pattani (Thailand Selatan). Di sini, dari dulu sampai sekarang menjadi basis keagamaan Kaum Tuha (NU) yang banyak melahirkan ulama-ulama besar. Salah satu pentolan Syiah di daerah ini adalah Habib Ali al-Habsyi SE. Ia juga termasuk salah satu pengurus ABI wilayah Kalimantan Selatan. Ia dahulu, pada mulanya bukan penganut Syiah, melainkan berasal dari penganut Sunni jua. Ia mengaku mulai pertama tertarik dengan Syiah, ketika masih remaja saat menjadi Ketua Remaja Masjid dari Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin. Ketertarikannya semakin kuat, tatkala ia menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam dengan membaca banyak buku-buku Syiah dan para penulis yang apresiatif terhadap Syiah seperti karya-karya Haidar Bagir, Jalaluddin Rahmat, Ali Syariati, SH. Nasr, Murtada Mutahhari, Thabathabai dan lain-lain. Ketika ia sudah yakin untuk memilih Syiah sebagai keyakinannya, maka semakin intens saja ia mempelajari ajaran-ajaran Syiah terutama seluruh pemikiran Ayatullah Ruhullah Khumaini yang menjadi marjanya. Keseriusannya itu tampak pada upayanya untuk mengakses seluruh buah pikiran Khumaini dalam bentuk apapun, bahkan demi untuk kedekatan dengan idolanya itu, tampak pada dinding rumahnya di ruang tamu banyak terpampang tokoh-tokoh Syiah terutama Khumaini.( Wawancara dengan Habib Ali 15 Maret 2014.)
 Pada sekitar tahun 2000-an, ia dan kawan-kawan sempat mendirikan Yayasan Ar-Ridha di Jalan Pendidikan, Sekumpul, Martapura yang sekarang menjadi rumah kediamannya. Melalui yayasan ini telah dibangun sebuah perpustakaan yang banyak menyediakan buku-buku bacaan yang berisi ajaran Syiah atas sumbangan kedutaan Iran, Jakarta, Penerbit Mizan dan Yayasan Mutahhari, Bandung dan perorangan dari anggota Syiah. Perpustakaan ini dulu, banyak dikunjungi oleh para mahasiwa Unlam Banjarbaru, terdiri dari Fakultas Pertanian, Perikanan, Kehutanan, Mipa, Matematika, Informatika-Komputer, Komunikasi dan Psikologi, dan para santri pondok pesantren-pondok pesantren yang ada di seputar Martapura. Para mahasiswa dan santri tersebut tidak sekadar membaca literatur-literatur Syiah yang ada, tetapi juga ada yang bertanya dan mengajak Habib Ali diskusi tentang seluk-beluk ajaran Syiah. Namun sayang, tak berapa lama yayasan ini bubar dan tak pernah bangkit kembali.

Habib Ali di Martapura bisa diterima oleh berbagai kalangan sehingga ia bisa masuk kemana-mana dan mudah bergaul kepada siapapun. Di samping, ia dikenal sebagai intelektual dan aktivis muda Syiah, ia aktif juga di berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Forlog (Forum Dialog Antar Agama), Cakrawala Hijau dan LK3 (Lembaga Kajian Keislaman Kemasyarakatan). Ia sering diminta menjadi narasumber dalam berbagai seminar terutama ekonomi baik tingkat lokal, nasional maupun regional. Ia juga sering diminta menjadi fasilitator dalam pelatihan pemberdayaan ekonomi dan koperasi di beberapa lembaga ekonomi Humaidy dan pondok pesantren. Tidak hanya sampai di situ, pada tahun 2005 ia dengan niat tulus dan semangat pemberdayaan ekonomi umat, mendirikan BMT Ahsanu Amala secara sederhana di Jl. A. Yani Km.45 Martapura bersama rekanannya membidik peredaran uang dan membudayakan menabung bagi masyarakat di sini terutama kaum ibu-ibu majlis talim. Kini bangunan BMTnya sudah cukup megah dengan omset mencapai milyaran lebih dari nasabah yang berjumlah ribuan lebih. Sementara di rumahnya sendiri di Jl. Pendidikan, Sekumpul, Martapura, Habib Ali juga menampung 30-an lebih anak jalanan untuk dibina dan diberdayakannya. Di depan rumahnya, ia bangun semacam balai atau pendopo untuk tempat diskusi bebas anak-anak binaannya untuk merumuskan bersama program-program yang harus dijalankan sehari-hari. Selain itu, ia juga menyisihkan sebagian rezekinya setiap bulan dengan memberikan santunan 50-an Syarifah yang berstatus janda dan sudah tua dengan sembako yang diperkirakan cukup untuk satu bulan. Mungkin dari sejumlah kerja pemberdayaan itu, dua tahun yang lalu Maarif Institute memberikan penghargaan Maarif Award kepadanya.(Wawancara dengan Habib Ali, 20 Maret 2014.)

4. Rantau

Rantau merupakan ibukota Kabupaten Tapin yang berjarak sekitar 85 Km dari Banjarmasin. Di sini, dikenal sebagai kota para Datu, karena demikian banyaknya makam keramat dari para ulama masa lalu. Syiah bertumbuh juga di sini, bahkan melahirkan tokoh besarnya yakni Habib Husein al-Habsyi yang sangat berpengaruh dan paling kharismatis, tidak saja pada tingkat lokal, Rantau, tetapi juga tingkat provinsial Kalimantan Selatan, bahkan tingkat regional Kalimantan. Tidak terbatas pada kalangan Syiah, tetapi juga meliputi kalangan Sunni. Di daerahnya, ia dipanggil sebagai Habib Tuha (Habib Sepuh) yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakatnya.( Tim Peneliti F. Syariah, Gerakan Syiah di Kalimantan Selatan, Banjarmasin: Puslit IAIN Antasari, 2001, hlm. 8.
)  Karena di samping ilmu agama, ia hebat juga ilmu batin dan kanuragannya.Hal ini bisa dilihat dari banyaknya tamu dari berbagai kalangan dan tempat jauh (seperti dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat) pula yang datang berkunjung ke tempatnya di desa Mandarahan, belakang Pasar Rantau lama, di Rantau yang demikian jauh dari pusat keramaian kota. Meskipun majlisnya hanya dihadiri sedikit jamaah, antara 10-40 an, tetapi dipuji sebagai majlis yang berkualitas, terutama yang dilaksanakan pada waktu tengah malam. (Wawancara dengan Nur Effendy, 20 April 2014. 24 Wawancara dengan H. Yusuf Hifni, 21 April 2014. )
23 Karena ia memang tidak dikenal sebagai dai kondang yang pintar berpidato, melainkan seorang yang sangat baik dan merdu dalam membawakan atau membacakan syair-syair Maulid Nabi Muhammad Saw.24 Ia alumni pondok pesantren YAPI Bangil dan pernah juga menjadi pengusaha kayu yang sukses. Sekarang ia adalah salah seorang dewan pembina ABI wilayah Kalimantan Selatan yang sangat menguasai literatur-literatur Syiah dalam bahasa Arab seperti Tafsir al-Mizan karya Thabathabai, Ushul Madzhab Syiah al-Imamiyah Itsna „Asyariyah karya al-Qifari,Yawmun Ghadir Khum karya Abdullah Alaidrus. Ia bisa dikatakan sebagai idelog Syiah yang diikuti pendapatnya, dipatuhi segala nasehatnya dan ditaati semua kebijaksanaannya bagi kalangan Syiah di Kalimantan Selatan pada umumnya, Rantau pada khususnya. Hal itu tampak pula, pada atribut-atribut yang ada di dalam rumahnya yang penuh dengan suasana berbau Syiah, seperti: Gambar Sayyidina Ali, Imam Khomeini, Silsilah Imam Dua Belas dan lain-lain. Di samping itu, ia sangat mengidolakan tokoh-tokoh dari kalangan Ahlul Bait dengan sepenuh jiwa, raga dan keyakinan. Begitulah pendirian Habib Husein al-Habsyi sebagai ideolog Syiah Kalimantan Selatan yang sangat berpengaruh bagi penganut Syiah lainnya terutama bagi kalangan mudanya yang masih membutuhkan bimbingannya. Namun sayang tokoh besar ini beberapa waktu yang lalu telah meninggal dunia mendahului kita, disaat kita masih membutuhkan segala nasehat, binaan dan bimbingannya.




5. Amuntai

Amuntai sekitar 300Km dari Banjarmasin, salah satu daerah santri juga sebagaimana Martapura. Di sini, dahulu KH. Idcham Chalid (almarhum) bahkan Indonesia, menghabiskan masa kecil dan remaja bersama keluarganya. Daerah ini, merupakan basis NU kedua sesudah Martapura yang sangat kuat memegang ke-Sunniannya.
Kemunculan Syiah di sini, berbeda dengan daerah-daerah Kalimantan Selatan lainnnya. Ia merupakan jaringan Syiah dari Kalimantan Timur karena dikenalkan oleh perantau-perantau warga Amuntai dari Balikpapan dan Samarinda ketika mereka mudik hari Raya. Sekitar tahun 1990-an komunitas Syiah terbentuk dan sudah mempunyai majlis untuk melaksanakan amalan-amalan rutin ritual Syiah dua kali seminggu, malam Rabu dan malam Jumat yang dipimpin ustadz Abdurrahman. Menurut Wahyudiannoor bahwa Habib Humaidy  Ahmad al-Habsyi salah satu pembina ABI Kalimantan Timur sering berkunjung ke daerah ini untuk melakukan pembinaan.
Suatu waktu, pernah Syiah di Amuntai ini yang tepatnya beralamat di Kampung Babirik dicurigai MUI (Majelis Ulama Indonesia) cabang Amuntai sebagai kelompok sesat. Lantas mereka memprakarsai untuk mengadakan dialog terbuka tentang ajaran Syiah dengan mengundang ulama dari pesantren dan ulama dari berbagai ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tak terkecuali pihak Syiah sendiri. Kebetulan saat itu, sedang berkunjung Habib Husin al-Kaff, salah seorang tokoh Syiah dari Jawa. Dialah kemudian didaulat untuk mewakili Syiah dalam forum dialog MUI Amuntai. Cukup lama perdebatan terjadi, dari satu ulama ke ulama lainnya dan Habib Husin al-Kaff yang banyak menjadi sasaran tembak. Habib Husin dengan sabar dan tenang menjawab satu persatu baik berupa pertanyaan, kritik, gugatan maupun tuduhan dan hujatan dengan pengetahuannya yang sangat luas. Setelah forum menimbang sana-sini dari berbagai argumen yang diajukan, pada akhirnya forum menyimpulkan hasil dialog adalah Syiah tidak termasuk aliran sesat.25 Seusai pernyataan MUI Amuntai bahwa Syiah tidak sesat, maka merekapun semakin bebas mengekspresikan ke-Syiahannya pada khalayak umum tanpa ada rasa was-was dan takut lagi. Namun sayang, kata Wahyudiannoor, saat Syiah makin berkembang, justru pimpinannya, ustadz Abdurrahman kemudian pindah rumah ke Jawa sehingga tidak terpantau lagi keberadaannya kini. Apakah mengalami kemajuan ataukah kemunduran ?

BERSAMBUNG

Sumber : sumber tulisan ini adalah sebuah karangan ilmiah oleh saudara HUMAIDY, seorang mahasiswa di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin yang dipublikasikan pada tahun 2014. Dan kami tampilkan secara berseri mengingat tulisan yang lumayan panjang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar