2. Banjarbaru
Banjarbaru berjarak sekitar 27
Km dari Banjarmasin, yang merupakan ibukota baru dari Kalimantan Selatan. Di
sini terdapat Majlis tak bernama yang dipimpin oleh Habib Abdullah al-Habsyi,
selaku Ketua ABI wilayah Kalimantan Selatan. Ia pernah menuntut ilmu di pondok
pesantren YAPI sampai selesai. Ia salah satu Habib dan Ulama terkenal di
Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarbaru yang majlisnya dihadiri
ratusan orang lebih dari Banjarbaru dan Martapura. Ia juga menjadi tempat
bertanya para pengikut Syi‟ah di sana
bahkan dari seluruh daerah Kalimantan Selatan.
Kegiatan majlisnya, selain
pengajian umum yang didatangi berbagai kalangan termasuk dari anggota Syi‟ah sendiri, juga melaksanakan amalan rutin ritual Syi‟ah 2 kali seminggu, malam Rabu dan malam Jum‟at dari jamaah Syi‟ah
Banjarbaru dan Martapura.(19Wawancara
dengan Habib Ali, 20 Maret 2014.)
3. Martapura
Daerah Martapura sekitar 40 Km
dari Banjarmasin, yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah. Disebut Serambi
Mekkah karena daerah ini pernah menjadi pusat keilmuan Islam pada akhir abad
ke-18 sampai awal abad ke 19 bersama-sama Palembang dan Pattani (Thailand
Selatan). Di sini, dari dulu sampai sekarang menjadi basis keagamaan Kaum Tuha
(NU) yang banyak melahirkan ulama-ulama besar. Salah satu pentolan Syi‟ah di daerah ini adalah Habib Ali al-Habsyi SE. Ia
juga termasuk salah satu pengurus ABI wilayah Kalimantan Selatan. Ia dahulu,
pada mulanya bukan penganut Syi‟ah, melainkan
berasal dari penganut Sunni jua. Ia mengaku mulai pertama tertarik dengan Syi‟ah, ketika masih remaja saat menjadi Ketua Remaja
Masjid dari Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Banjarmasin. Ketertarikannya semakin
kuat, tatkala ia menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam dengan membaca banyak
buku-buku Syi‟ah dan para penulis yang apresiatif terhadap Syi‟ah seperti karya-karya Haidar Bagir, Jalaluddin
Rahmat, Ali Syariati, SH. Nasr, Murtada Mutahhari, Thabathaba‟i dan lain-lain. Ketika ia sudah yakin untuk memilih
Syi‟ah sebagai keyakinannya, maka semakin intens saja ia
mempelajari ajaran-ajaran Syi‟ah terutama
seluruh pemikiran Ayatullah Ruhullah Khumaini yang menjadi marja‟nya. Keseriusannya itu tampak pada upayanya untuk
mengakses seluruh buah pikiran Khumaini dalam bentuk apapun, bahkan demi untuk
kedekatan dengan idolanya itu, tampak pada dinding rumahnya di ruang tamu
banyak terpampang tokoh-tokoh Syi‟ah
terutama Khumaini.( Wawancara dengan Habib
Ali 15 Maret 2014.)
Pada
sekitar tahun 2000-an, ia dan kawan-kawan sempat mendirikan Yayasan Ar-Ridha
di Jalan Pendidikan, Sekumpul, Martapura yang sekarang menjadi rumah
kediamannya. Melalui yayasan ini telah dibangun sebuah perpustakaan yang banyak
menyediakan buku-buku bacaan yang berisi ajaran Syi‟ah atas sumbangan kedutaan Iran, Jakarta, Penerbit
Mizan dan Yayasan Mutahhari, Bandung dan perorangan dari anggota Syi‟ah. Perpustakaan ini dulu, banyak dikunjungi oleh para
mahasiwa Unlam Banjarbaru, terdiri dari Fakultas Pertanian, Perikanan,
Kehutanan, Mipa, Matematika, Informatika-Komputer, Komunikasi dan Psikologi,
dan para santri pondok pesantren-pondok pesantren yang ada di seputar
Martapura. Para mahasiswa dan santri tersebut tidak sekadar membaca
literatur-literatur Syi‟ah yang ada, tetapi juga ada yang bertanya dan
mengajak Habib Ali diskusi tentang seluk-beluk ajaran Syi‟ah. Namun sayang, tak berapa lama yayasan ini bubar
dan tak pernah bangkit kembali.
Habib Ali di Martapura bisa
diterima oleh berbagai kalangan sehingga ia bisa masuk kemana-mana dan mudah
bergaul kepada siapapun. Di samping, ia dikenal sebagai intelektual dan aktivis
muda Syi‟ah, ia aktif juga di berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Forlog (Forum Dialog
Antar Agama), Cakrawala Hijau dan LK3 (Lembaga Kajian Keislaman
Kemasyarakatan). Ia sering diminta menjadi narasumber dalam berbagai seminar
terutama ekonomi baik tingkat lokal, nasional maupun regional. Ia juga sering
diminta menjadi fasilitator dalam pelatihan pemberdayaan ekonomi dan koperasi
di beberapa lembaga ekonomi Humaidy dan pondok pesantren. Tidak hanya sampai di situ, pada
tahun 2005 ia dengan niat tulus dan semangat pemberdayaan ekonomi umat,
mendirikan BMT Ahsanu Amala secara sederhana di Jl. A. Yani Km.45
Martapura bersama rekanannya membidik peredaran uang dan membudayakan menabung
bagi masyarakat di sini terutama kaum ibu-ibu majlis ta‟lim. Kini bangunan BMTnya sudah cukup megah dengan omset
mencapai milyaran lebih dari nasabah yang berjumlah ribuan lebih. Sementara di
rumahnya sendiri di Jl. Pendidikan, Sekumpul, Martapura, Habib Ali juga
menampung 30-an lebih anak jalanan untuk dibina dan diberdayakannya. Di depan
rumahnya, ia bangun semacam balai atau pendopo untuk tempat diskusi bebas
anak-anak binaannya untuk merumuskan bersama program-program yang harus
dijalankan sehari-hari. Selain itu, ia juga menyisihkan sebagian rezekinya
setiap bulan dengan memberikan santunan 50-an Syarifah yang berstatus janda dan
sudah tua dengan sembako yang diperkirakan cukup untuk satu bulan. Mungkin dari
sejumlah kerja pemberdayaan itu, dua tahun yang lalu Ma‟arif Institute memberikan penghargaan Ma‟arif Award kepadanya.(Wawancara dengan Habib Ali, 20 Maret 2014.)
4. Rantau
Rantau merupakan ibukota
Kabupaten Tapin yang berjarak sekitar 85 Km dari Banjarmasin. Di sini, dikenal
sebagai kota para Datu, karena demikian banyaknya makam keramat dari para ulama
masa lalu. Syi‟ah bertumbuh juga di sini, bahkan melahirkan tokoh
besarnya yakni Habib Husein al-Habsyi yang sangat berpengaruh dan paling
kharismatis, tidak saja pada tingkat lokal, Rantau, tetapi juga tingkat
provinsial Kalimantan Selatan, bahkan tingkat regional Kalimantan. Tidak
terbatas pada kalangan Syi‟ah, tetapi
juga meliputi kalangan Sunni. Di daerahnya, ia dipanggil sebagai Habib Tuha
(Habib Sepuh) yang sangat disegani dan dihormati oleh masyarakatnya.( Tim Peneliti F. Syari‟ah, Gerakan Syi‟ah di Kalimantan Selatan,
Banjarmasin: Puslit IAIN Antasari, 2001, hlm. 8.
) Karena
di samping ilmu agama, ia hebat juga ilmu batin dan kanuragannya.Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya tamu dari berbagai kalangan dan tempat jauh (seperti
dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat) pula yang datang
berkunjung ke tempatnya di desa Mandarahan, belakang Pasar Rantau lama, di
Rantau yang demikian jauh dari pusat keramaian kota. Meskipun majlisnya hanya
dihadiri sedikit jama‟ah, antara 10-40 an, tetapi dipuji sebagai majlis yang
berkualitas, terutama yang dilaksanakan pada waktu tengah malam. (Wawancara
dengan Nur Effendy, 20 April 2014. 24 Wawancara dengan H. Yusuf Hifni, 21 April 2014. )
23 Karena ia memang tidak dikenal sebagai da‟i kondang yang pintar berpidato, melainkan seorang
yang sangat baik dan merdu dalam membawakan atau membacakan syair-syair Maulid
Nabi Muhammad Saw.24 Ia alumni pondok pesantren YAPI Bangil dan pernah juga
menjadi pengusaha kayu yang sukses. Sekarang ia adalah salah seorang dewan
pembina ABI wilayah Kalimantan Selatan yang sangat menguasai
literatur-literatur Syi‟ah dalam bahasa Arab seperti Tafsir al-Mizan karya
Thabathaba‟i, Ushul Madzhab Syi‟ah al-Imamiyah Itsna „Asyariyah karya al-Qifari,Yawmun Ghadir Khum karya
Abdullah Alaidrus. Ia bisa dikatakan sebagai idelog Syi‟ah yang diikuti pendapatnya, dipatuhi segala nasehatnya
dan ditaati semua kebijaksanaannya bagi kalangan Syi‟ah di Kalimantan Selatan pada umumnya, Rantau pada
khususnya. Hal itu tampak pula, pada atribut-atribut yang ada di dalam rumahnya
yang penuh dengan suasana berbau Syi‟ah,
seperti: Gambar Sayyidina Ali, Imam Khomeini, Silsilah Imam Dua Belas dan
lain-lain. Di samping itu, ia sangat mengidolakan tokoh-tokoh dari kalangan
Ahlul Bait dengan sepenuh jiwa, raga dan keyakinan. Begitulah pendirian Habib
Husein al-Habsyi sebagai ideolog Syi‟ah
Kalimantan Selatan yang sangat berpengaruh bagi penganut Syi‟ah lainnya terutama bagi kalangan mudanya yang masih
membutuhkan bimbingannya. Namun sayang tokoh besar ini beberapa waktu yang lalu
telah meninggal dunia mendahului kita, disaat kita masih membutuhkan segala
nasehat, binaan dan bimbingannya.
5. Amuntai
Amuntai sekitar 300Km dari
Banjarmasin, salah satu daerah santri juga sebagaimana Martapura. Di sini, dahulu
KH. Idcham Chalid (almarhum) bahkan Indonesia, menghabiskan masa kecil dan
remaja bersama keluarganya. Daerah ini, merupakan basis NU kedua sesudah
Martapura yang sangat kuat memegang ke-Sunniannya.
Kemunculan Syi‟ah di sini, berbeda dengan daerah-daerah Kalimantan
Selatan lainnnya. Ia merupakan jaringan Syi‟ah
dari Kalimantan Timur karena dikenalkan oleh perantau-perantau warga Amuntai
dari Balikpapan dan Samarinda ketika mereka mudik hari Raya. Sekitar tahun
1990-an komunitas Syi‟ah terbentuk dan sudah mempunyai majlis untuk
melaksanakan amalan-amalan rutin ritual Syi‟ah
dua kali seminggu, malam Rabu dan malam Jum‟at
yang dipimpin ustadz Abdurrahman. Menurut Wahyudiannoor bahwa Habib Humaidy Ahmad al-Habsyi salah satu pembina ABI Kalimantan
Timur sering berkunjung ke daerah ini untuk melakukan pembinaan.
Suatu waktu, pernah Syi‟ah di Amuntai ini yang tepatnya beralamat di Kampung
Babirik dicurigai MUI (Majelis Ulama Indonesia) cabang Amuntai sebagai kelompok
sesat. Lantas mereka memprakarsai untuk mengadakan dialog terbuka tentang
ajaran Syi‟ah dengan mengundang ulama dari pesantren dan ulama
dari berbagai ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tak terkecuali pihak Syi‟ah sendiri. Kebetulan saat itu, sedang berkunjung
Habib Husin al-Kaff, salah seorang tokoh Syi‟ah
dari Jawa. Dialah kemudian didaulat untuk mewakili Syi‟ah dalam forum dialog MUI Amuntai. Cukup lama
perdebatan terjadi, dari satu ulama ke ulama lainnya dan Habib Husin al-Kaff
yang banyak menjadi sasaran tembak. Habib Husin dengan sabar dan tenang
menjawab satu persatu baik berupa pertanyaan, kritik, gugatan maupun tuduhan
dan hujatan dengan pengetahuannya yang sangat luas. Setelah forum menimbang
sana-sini dari berbagai argumen yang diajukan, pada akhirnya forum menyimpulkan
hasil dialog adalah Syi‟ah tidak termasuk aliran sesat.25 Seusai
pernyataan MUI Amuntai bahwa Syi‟ah
tidak sesat, maka merekapun semakin bebas mengekspresikan ke-Syi‟ahannya pada khalayak umum tanpa ada rasa was-was dan
takut lagi. Namun sayang, kata Wahyudiannoor, saat Syi‟ah makin berkembang, justru pimpinannya, ustadz
Abdurrahman kemudian pindah rumah ke Jawa sehingga tidak terpantau lagi
keberadaannya kini. Apakah mengalami kemajuan ataukah kemunduran ?
BERSAMBUNG
Sumber : sumber tulisan ini
adalah sebuah karangan ilmiah oleh saudara HUMAIDY, seorang mahasiswa di
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin yang dipublikasikan
pada tahun 2014. Dan kami tampilkan secara berseri mengingat tulisan yang
lumayan panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar