Sejarah Syi’ah di Kalimantan
Selatan
Menurut Habib Ali, Syi‟ah secara kultural datang ke Kalimantan Selatan
beriringan dengan masuknya Islam di kawasan ini. Di Kalimantan Selatan, Islam
datang pada masa jauh lebih belakangan daripada Sumatera dan Jawa. Diperkirakan
telah ada sejumlah muslim di wilayah ini sekitar pertengahan abad ke-15,
tepatnya 1475-1500 M. Oleh karenanya, Hafiz menjelaskan kemungkinan Islam telah
masuk ke sini di masa itu melalui putera Raja Dipa, Raden Sekar Sungsang. Dia
melarikan diri ke Jawa setelah dipukul ibunya, Puteri Kabuwaringin yang dikenal
pula dengan nama Puteri Kalungsu. Sekar Sungsang kemudian menikah dengan anak
Juragan Petinggi yang telah mengasuhnya dan mempunyai putera yang diberi nama
Raden Panji Sekar. Anaknya itulah yang kemudian menjadi murid sekaligus diambil
menantu oleh Sunan Giri dan diberi gelar Sunan Serabut. Beberapa tahun
kemudian, Raden Sekar Sungsang pulang ke Negara Dipa dan diangkat menjadi raja
dengan gelar Sari Kaburangan.12
Warga Syiah Banjarmasin merayakan Asyuro pada tahun 2011 di wisma Antasari Banjarmasin
Salah satu agenda syiah, merangkul MUI setempat dan menggandeng Muhammadiyah, ini dilakukan di Banjarmasin Kalsel
Tampaknya, anak Sekar Sungsang
yang berguru dan sekaligus menantu Sunan Giri dapat dijadikan bukti bahwa Sekar
Sungsang sebagai besan Sunan Giri telah menjadi muslim sebelum ia kembali ke
Negara Dipa. Selain itu, Hafiz juga mensinyalir bahwa Islam telah masuk ke
Negara Dipa melalui saudagar Arab, Keling, Gujarat, Persia, Cina, Melayu dan
Bugis. Namun, Islam mencapai kemajuan pesat setelah berdirinya Kesultanan
Banjar. Hal tersebut tidak terlepas dari bantuan Kesultanan Demak kepada
Pangeran Samudera dalam perjuangan melawan pamannya sendiri Pangeran barunya
Sultan Suriansyah atau Raja Suryanullah atau Pangeran Maruhum pada sekitar
tahun 1526M dan diangkat sebagai sultan pertama di Kerajaan Banjar.13 Oleh karena
itu, dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Kerajaan Demak di Jawa adalah pihak
yang berperan besar dalam mengislamkan daerah Banjar.14 yang mempunyai
wilayah kekuasaan meliputi Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap,
Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pambuang, di
mana bertakluk pula Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan,
Kotawaringin, Paser, Kutai dan Berau. Kesemuanya ini meliputi sebagian daerah
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dengan pusat
pemerintahannya berada di Kalimantan Selatan.
Dalam catatan sejarah Banjar,
ajaran tasawuf wujudiyah yang pertama kali tersebar bahkan sempat menjadi
ajaran resmi Kerajaan Banjar. Ini dibuktikan dengan adanya cap kerajaan yang
berbentuk segi empat, di tengah-tengah tersusun angka Arab (angka-angka ini
dianggap mempunyai kekuatan gaib, sebagaimana cap kerajaan di Persia). Di
samping bawah cap tertulis kalimat La Ilaha Illallah, Allah Mawjud.
Kalimat tersebut biasanya dipergunakan oleh sebagian pengikut aliran tasawuf
wujudiyah.15 Diperkirakan aliran ini tersebar karena adanya sebuah
risalah yang sangat populer yakni al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya
Fadlullah al-Burhanpuri di kalangan pelajar dan masyarakat pada umumnya sebagai
pelajaran dasar di kawasan Nusantara termasuk Kalimantan Selatan.16 Di samping
itu, karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Singkel
(terkenal sebagai Syi‟ah Kuala) dari Aceh yang ajarannya kental dengan
nuansa wujudiyah banyak juga dibaca dan dihayati oleh masyarakat Banjar. Oleh
karena pada waktu itu hubungan Kerajaan Banjar dengan Kesultanan Aceh sangat
erat terutama dalam konteks hubungan intelektual dan kultural. Lebih dari itu,
Idwar Saleh mengatakan, konon ada seorang ulama yang hidup dalam Kerajaan
Banjar, telah menyusun sebuah buku tasawuf yang bernuansa wujudiyah, berbicara
tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang sangat dipengaruhi ajaran
Wihdatul Wujud Ibnu Arabi.17Zafri Zamzam menyebut pengarang buku tersebut adalah Syekh
Syamsuddin al-Banjari yang ditulis sekitar tahun 1668M, untuk
dipersembahkan kepada Sultanat Tajul Alam Syafiatuddin yang memerintah
Kesultanan Aceh (1641-1675M), seorang Ratu yang sangat loyal terhadap ajaran
tasawuf Wujudiyah.18
salah satu ritual syiah di kalsel yang sudah berjalan
salah iedul fitri komunitas syiah Banjarmasin
pengikut syiah Banjarmasin melakukan demo qudsa day 2016
Dalam tengarai Habib Ali
al-Habsyi, tasawuf yang bernuansa wujudiyah ini ada kesamaan dengan konsep Irfan
dalam Syi‟ah. Apalagi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam
mengajarkan doktrin ini seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan
Abdurrauf Singkel (Syi‟ah Kuala) memang menurut Ali Hasymi sebagai
tokoh-tokoh dari aliran Syi‟ah. Namun,
Syi‟ah yang tadinya cukup besar, mengalami kemunduran
ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) kembali ke kampung halaman
dari di Haramain, setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di sana. Hal ini
terjadi karena Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sangat gencar mengajarkan Islam
dari aliran Sunni. Meskipun begitu, masih banyak kultur-kultur Syi‟ah yang merasuk ke dalam kultur Sunni yang menjadi
anutan kebanyakan masyarakat Banjar. Tentu saja sudah bukan bentuk asli,
melainkan sudah mengalami modikasi, seperti peringatan hari 10 Muharram
(Asyura), bacaan Tulak Bala, Tawassul, Ziarah Kubur, Maulid Nabi dan Arba
Mustamir. Syi‟ah mulai menggeliat lagi di Kalimantan Selatan menurut
Habib Ali sejak pasca revolusi Iran tahun 1979. Lewat berita-berita yang
dipublikasikan baik oleh media cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid dll) maupun
elektronik (Radio dan Televisi) tentang kemenangan Ayatullah Ruhullah Khumaini
atas raja Shah Reza Pahlevi yang didukung oleh Amerika Serikat, jelas merupakan
api semangat bagi sebuah kebangkitan kembali. Syi‟ah menjadi perhatian dunia Islam pada umumnya dan umat Islam Indonesia
pada khususnya, untuk mempelajari ajarannya, termasuk anak muda Kalimantan
Selatan. Habib Ali menceriterakan pola penyebaran Syi‟ah ini di Kalimantan Selatan sebagai berikut : (bersambung)
Footnote :
12.
A. Hafiz Anshary, Islam di Selatan Borneo sebelum
Kerajaan Banjar, Orasi Ilmiah, Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002, hlm. 15.
13.
Azyumardi Azra,, Jaringan Ulama Nusantara,
Bandung: Mizan, 1994, hlm. 251.
14.
J.J. Ras, Hikajat Bandjar; A Study in Malay
Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968, hlm. 107-109.
15.
Ahmadi Isa,”Perkembangan Tasawuf di Kalimantan
Selatan”, tabloid Serambi Ummah No.045, 8-14 September 2000, hlm. 10.
16.
Azyumardi Azra,,”Interaksi dan Akomadasi Islam dengan
Budaya Melayu Kalimantan”, makalah Simposium Nasional, 1996, hlm. 120.
17.
Idwar Saleh, Bandjarmasin, Banjarbaru: Unlam,
1982, hlm. 30.
18.
Gazali Usman, Kerajaan Banjar, Sejarah Perkembangan
Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama, Banjarbaru: Unlam Press, 1998,
hlm. 130.
Sumber : sumber tulisan ini
adalah sebuah karangan ilmiah oleh saudara HUMAIDY, seorang mahasiswa di
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin yang dipublikasikan
pada tahun 2014. Dan kami tampilkan secara berseri mengingat tulisan yang
lumayan panjang. ( AHMAD HASYIM,SEP 16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar