Rabu, 07 September 2016

PETA GERAKAN SYIAH DI KALIMANTAN SELATAN ( MUQADDIMAH )



Sejarah Syi’ah di Kalimantan Selatan 

Menurut Habib Ali, Syiah secara kultural datang ke Kalimantan Selatan beriringan dengan masuknya Islam di kawasan ini. Di Kalimantan Selatan, Islam datang pada masa jauh lebih belakangan daripada Sumatera dan Jawa. Diperkirakan telah ada sejumlah muslim di wilayah ini sekitar pertengahan abad ke-15, tepatnya 1475-1500 M. Oleh karenanya, Hafiz menjelaskan kemungkinan Islam telah masuk ke sini di masa itu melalui putera Raja Dipa, Raden Sekar Sungsang. Dia melarikan diri ke Jawa setelah dipukul ibunya, Puteri Kabuwaringin yang dikenal pula dengan nama Puteri Kalungsu. Sekar Sungsang kemudian menikah dengan anak Juragan Petinggi yang telah mengasuhnya dan mempunyai putera yang diberi nama Raden Panji Sekar. Anaknya itulah yang kemudian menjadi murid sekaligus diambil menantu oleh Sunan Giri dan diberi gelar Sunan Serabut. Beberapa tahun kemudian, Raden Sekar Sungsang pulang ke Negara Dipa dan diangkat menjadi raja dengan gelar Sari Kaburangan.12 




Warga Syiah Banjarmasin merayakan Asyuro pada tahun 2011 di wisma Antasari Banjarmasin
 

Salah satu agenda syiah, merangkul MUI setempat dan menggandeng Muhammadiyah, ini dilakukan di Banjarmasin Kalsel

Tampaknya, anak Sekar Sungsang yang berguru dan sekaligus menantu Sunan Giri dapat dijadikan bukti bahwa Sekar Sungsang sebagai besan Sunan Giri telah menjadi muslim sebelum ia kembali ke Negara Dipa. Selain itu, Hafiz juga mensinyalir bahwa Islam telah masuk ke Negara Dipa melalui saudagar Arab, Keling, Gujarat, Persia, Cina, Melayu dan Bugis. Namun, Islam mencapai kemajuan pesat setelah berdirinya Kesultanan Banjar. Hal tersebut tidak terlepas dari bantuan Kesultanan Demak kepada Pangeran Samudera dalam perjuangan melawan pamannya sendiri Pangeran barunya Sultan Suriansyah atau Raja Suryanullah atau Pangeran Maruhum pada sekitar tahun 1526M dan diangkat sebagai sultan pertama di Kerajaan Banjar.13 Oleh karena itu, dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Kerajaan Demak di Jawa adalah pihak yang berperan besar dalam mengislamkan daerah Banjar.14 yang mempunyai wilayah kekuasaan meliputi Tabalong, Barito, Alai, Hamandit, Balangan, Kintap, Biaju Besar, Biaju Kecil, Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pambuang, di mana bertakluk pula Sukadana, Sanggau, Sambas, Batang Luwai, Karasikan, Kotawaringin, Paser, Kutai dan Berau. Kesemuanya ini meliputi sebagian daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dengan pusat pemerintahannya berada di Kalimantan Selatan.
Dalam catatan sejarah Banjar, ajaran tasawuf wujudiyah yang pertama kali tersebar bahkan sempat menjadi ajaran resmi Kerajaan Banjar. Ini dibuktikan dengan adanya cap kerajaan yang berbentuk segi empat, di tengah-tengah tersusun angka Arab (angka-angka ini dianggap mempunyai kekuatan gaib, sebagaimana cap kerajaan di Persia). Di samping bawah cap tertulis kalimat La Ilaha Illallah, Allah Mawjud. Kalimat tersebut biasanya dipergunakan oleh sebagian pengikut aliran tasawuf wujudiyah.15 Diperkirakan aliran ini tersebar karena adanya sebuah risalah yang sangat populer yakni al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Fadlullah al-Burhanpuri di kalangan pelajar dan masyarakat pada umumnya sebagai pelajaran dasar di kawasan Nusantara termasuk Kalimantan Selatan.16 Di samping itu, karya-karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Singkel (terkenal sebagai Syiah Kuala) dari Aceh yang ajarannya kental dengan nuansa wujudiyah banyak juga dibaca dan dihayati oleh masyarakat Banjar. Oleh karena pada waktu itu hubungan Kerajaan Banjar dengan Kesultanan Aceh sangat erat terutama dalam konteks hubungan intelektual dan kultural. Lebih dari itu, Idwar Saleh mengatakan, konon ada seorang ulama yang hidup dalam Kerajaan Banjar, telah menyusun sebuah buku tasawuf yang bernuansa wujudiyah, berbicara tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang sangat dipengaruhi ajaran Wihdatul Wujud Ibnu Arabi.17Zafri Zamzam menyebut pengarang buku tersebut adalah Syekh Syamsuddin al-Banjari yang ditulis sekitar tahun 1668M, untuk dipersembahkan kepada Sultanat Tajul Alam Syafiatuddin yang memerintah Kesultanan Aceh (1641-1675M), seorang Ratu yang sangat loyal terhadap ajaran tasawuf Wujudiyah.18 

salah satu ritual syiah di kalsel yang sudah berjalan

salah iedul fitri komunitas syiah Banjarmasin

pengikut syiah Banjarmasin melakukan demo qudsa day 2016


Dalam tengarai Habib Ali al-Habsyi, tasawuf yang bernuansa wujudiyah ini ada kesamaan dengan konsep Irfan dalam Syiah. Apalagi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam mengajarkan doktrin ini seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Singkel (Syiah Kuala) memang menurut Ali Hasymi sebagai tokoh-tokoh dari aliran Syiah. Namun, Syiah yang tadinya cukup besar, mengalami kemunduran ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812M) kembali ke kampung halaman dari di Haramain, setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di sana. Hal ini terjadi karena Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sangat gencar mengajarkan Islam dari aliran Sunni. Meskipun begitu, masih banyak kultur-kultur Syiah yang merasuk ke dalam kultur Sunni yang menjadi anutan kebanyakan masyarakat Banjar. Tentu saja sudah bukan bentuk asli, melainkan sudah mengalami modikasi, seperti peringatan hari 10 Muharram (Asyura), bacaan Tulak Bala, Tawassul, Ziarah Kubur, Maulid Nabi dan Arba Mustamir. Syiah mulai menggeliat lagi di Kalimantan Selatan menurut Habib Ali sejak pasca revolusi Iran tahun 1979. Lewat berita-berita yang dipublikasikan baik oleh media cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid dll) maupun elektronik (Radio dan Televisi) tentang kemenangan Ayatullah Ruhullah Khumaini atas raja Shah Reza Pahlevi yang didukung oleh Amerika Serikat, jelas merupakan api semangat bagi sebuah kebangkitan kembali. Syiah menjadi perhatian dunia Islam pada umumnya dan umat Islam Indonesia pada khususnya, untuk mempelajari ajarannya, termasuk anak muda Kalimantan Selatan. Habib Ali menceriterakan pola penyebaran Syiah ini di Kalimantan Selatan sebagai berikut : (bersambung)

Footnote :
12.     A. Hafiz Anshary, Islam di Selatan Borneo sebelum Kerajaan Banjar, Orasi Ilmiah, Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002, hlm. 15.
13.     Azyumardi Azra,, Jaringan Ulama Nusantara, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 251.
14.     J.J. Ras, Hikajat Bandjar; A Study in Malay Historiography, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968, hlm. 107-109.
15.     Ahmadi Isa,”Perkembangan Tasawuf di Kalimantan Selatan”, tabloid Serambi Ummah No.045, 8-14 September 2000, hlm. 10.
16.     Azyumardi Azra,,”Interaksi dan Akomadasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan”, makalah Simposium Nasional, 1996, hlm. 120.
17.     Idwar Saleh, Bandjarmasin, Banjarbaru: Unlam, 1982, hlm. 30.
18.     Gazali Usman, Kerajaan Banjar, Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama, Banjarbaru: Unlam Press, 1998, hlm. 130.

Sumber : sumber tulisan ini adalah sebuah karangan ilmiah oleh saudara HUMAIDY, seorang mahasiswa di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin yang dipublikasikan pada tahun 2014. Dan kami tampilkan secara berseri mengingat tulisan yang lumayan panjang. ( AHMAD HASYIM,SEP 16)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar