didirikan oleh
cendekiawan muslim, Prof. Dr.
Jalaluddin
Rakhmat, M.Sc pada 1 Juli 2000 M/29 Rabiul
Awwal 1421 H di
Bandung. Berasaskan Islam berdasarkan
kecintaan (mahabbah)
kepada ahlul bait Nabi Muhammad Saw.
Visinya
menampilkan gerakan intelektual yang mencerahkan
pemikiran Islam
dan pembelaan terhadap kaum yang
tertindas (mustadh`afin).
Misinya menghimpun semua pencinta
ahlul bait dari
madzhab mana saja mereka berasal. Bersifat
independen dan
non-sektarian.
perayaan syiah oleh IJABI Bondowoso
Tujuannya adalah:
-
Pertama,
membangun diri untuk hidup berjamaah dan berimamah dan mengenalkan serta menyebar
kan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi Muhammad Saw (ahlul
bait).
-
Kedua,
pemberdayaan masyarakat ekonomi kecil dan lemah (mustadh`afin).
-
Ketiga,
mengembang kan kajian-kajian spiritual dan intelektual.
-
Keempat,
menjalin dan memelihara hubungan baik dengan segenap ormas dan keagamaan serta
lembaga kemanusiaan lainnya.
Ada yang menilai
ijabi negatif, dari mulai hanya sekadar
menyayangkan
hingga penolakan yang mengarah pada
pengusiran dan
kekerasan, IJABI dicurigai membawa misi
penyebaran Syi’ah
yang bertentangan dengan paham Sunni
yang dianut
mayoritas muslim di Indonesia.
Pertama,
Organisasi ini hanya sekadar menampung
mereka yang punya
visi sama, yaitu mencintai ahlul bait Nabi
Muhammad Saw
terlepas apa madzhab mereka. Bahwa dalam IJABI, terutama
pada pengurus dan
simpatisannya terdiri dari penganut
Syiah, yang
memang salah satu doktrinnya adalah wajib
mencintai ahlul
bait, hal tersebut mungkin terjadi.
Kedua,
ijabi berpaham Syiah, paham keagamaan Syiah
yang dianut IJABI
Bondowoso menyebabkan masyarakat
merasa terganggu.
Dalam al-Milal wa al-Nihal,
dijelaskan lebih
dari 30 subaliran yang dapat dinisbahkan
kepada Syiah.
Masing-masing sub aliran tersebut mempunyai
konstruksi
teologi, paham, dan organisasi keagamaan sendirisendiri.
Kuantitas
dan Kualitas Resistensi atas IJABI
Resistensi
masyarakat terhadap keberadaan IJABI ternyata tidak hanya pada 23 Desember 2006
saja, namun beberapa kali terjadi dalam bentuk beragam dan intensitas
yang semakin
meningkat. Dalam kerangka teoritik David G.
Bromley (2002),
perkembangan konflik IJABI telah melewati
tiga tahapan,
yaitu: latent tension, nascent conflict,
dan intensified
conflict.
Pada tahapan
pertama, latent tension,
konflik masih dalam bentuk kesalahpah-pahaman antara satu dengan lainnya,
tetapi antara pihak yang bertentangan belum melibatkan dalam konflik. Tahapan
ini bisa disebut juga dengan konflik autistik.
Pada tahapan
kedua, nascent conflict,
konflik mulai
tampak dalam bentuk pertentangan meskipun
belum menyertakan
ungkapan-ungkapan ideologis dan
pemetaan terhadap
pihak lawan secara terorganisasi.
Sedangkan pada
tahapan ketiga, intensified conflict,
konflik
berkembang dalam
bentuk yang terbuka disertai dengan
radikalisasi
gerakan di antara pihak yang saling bertentangan,
dan masuknya
pihak ketiga ke dalam arena konflik.
penolakan muslim bondowoso terhadap syiah
Kasus resistensi
masyarakat terhadap IJABI yang pernah
terjadi selama
ini secara berurutan adalah sebagai berikut:
Pertama,
tanggal 4 Juni 2006, :
Pelantikan Pengurus
Daerah IJABI dilaksanakan di Hotel PALM yang dihadiri oleh Ketua Umum Pengurus
Pusat, Drs. Furqon Bukhori dan Ketua Dewan Syuro, Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat,
M.Sc mendapat penolakan dari sekelompok orang. Mereka melakukan demonstrasi
untuk membubarkan pelantikan tersebut. Alasannya, IJABI beraliran Syiah. Guna
menghindari tindak anarkis, Kapolres Bondowoso saat itu AKBP Indradji, SH dan didampingi
Ketua DPRD Bondowoso, H. Ahmad Dhafir, berusaha menenangkan massa dan
memberikan beberapa penjelasan. Acara pelantikan Pengurus Daerah IJABI Bondowoso
pun berjalan lancar.
Kedua,
pada 5 Juni 2006, :
Para ulama
mendatangi Kantor Dep. Agama Bondowoso untuk menyerahkan surat keberatan
terhadap
keberadaan IJABI. Surat tersebut ditandatangani orang pengasuh pondok pesantren
dan 5 surat yang mengatasnamakan ormas Islam. Kepala Kantor Dep. Agama, Drs.
H.M.
Kholil Syafi`i,
M.Si, pada saat itu menjelaskan bahwa pihaknya belum bisa mengambil langkah
secara langsung atas tuntutan pelarangan berdirinya IJABI, sebab menurutnya organisasi
yang baru tersebut masih belum dipelajari AD/ARTnya. Selain itu, di zaman
sekarang, pemerintah tidak
mudah melarang
serta memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berorganisasi. Selaku
Kepala Dep. Agama, Kholil hanya bisa mengharapkan kepada semua warga khususnya
para ulama Sunni untuk bisa menjaga aqidah dan syariat jemaah masing-masing
agar tidak mudah
terpengaruh
berbagai paham yang mungkin menyimpang. Namun di sisi lain dapat dipahami bahwa
setiap orang harus menjunjung tinggi paham atau pemeluk agama lain.
Ketiga,
tanggal 12 Agustus 2006, :
Terjadi pemukulan
terhadap santri Pesantren Al-Wafa Jambesari yang diasuh Kiai
Mushawwir, hanya
karena berpaham Syiah. Kejadiannya, salah seorang santri Pesantren Al-Wafa bernama
Ghofur beradu mulut dengan Subani. Subani mengatakan bahwa orang Syiah kalau
mati dihadapkan ke timur. Ghofur menolak keras tuduhan tersebut. Keduanya
bertengkar dan diakhiri dengan tamparan Subani terhadap Ghofur.
Keempat,
pada 12 September 2006, : \
Terjadi upaya pembakaran
terhadap rumah Kiai Mushawwir, salah satu tokoh IJABI di Desa Jambesari.
Peristiwanya terjadi pada pukul 02.30 WIB. Untung saja, tuan rumah dan dua
anggota
keluarganya
terbangun dan segera mengetahui kejadian itu. Sebelum menjalar dan
menghanguskan seisi rumah, sumber api langsung mereka matikan. Kerugian relatif
kecil, namun tak pelak lagi, bangku sofa di ruang keluarga dan sebuah pintu
dapur yang terbuat dari bambu sempat hangus dilalap
api. Rupanya asal
api berasal dari dua titik ini. Tidak satupun tersangka tertangkap. Kasus ini
berlalu begitu saja tanpa penyelesaian apapun.
Kelima,
tanggal 23 Desember 2006, :
Sekitar 400 warga
Jambesari, Bondowoso, Jawa Timur, membubarkan acara haul
dan pengajian rutin yang diadakan di salah satu rumah warga pengikut
IJABI. Jelasnya, pada pukul 19.00 WIB, Muhammad Baqier, seorang tokoh IJABI
diundang untuk mengisi acara tahlilan di rumah anggota IJABI yang keluarganya
meninggal. Pengajian berjalan lancar, demikian juga ceramah dwimingguan nya.
Pada pukul 21.30 WIB tiba-tiba datang sekelompok orang (sekitar 400 orang) yang
menamakan diri sebagai penganut ajaran Ahlussunnah waljamaah yang
menolak kehadiran Syiah di Jambesari. Awalnya terjadi pelemparan pasir kepada
jemaah perempuan yang ada di mushalla.
Akhirnya
kesepakatan dibuat secara tertulis dan Ustadz Baqier menyetujui dengan
persyaratan bahwa jemaah IJABI Jambesari tidak diintimidasi oleh pihak manapun.
Polisi dan MUI setuju. Pukul 09.00, perjanjian tertulis resmi dibuat 3 set bermaterai
dibuat oleh Polres Bondowoso yang harus
ditandatangani
oleh Ustadz Baqier tetap bersyarat yaitu jemaah tidak boleh diintimidasi. Pada
pukul 15.00 WIB, PP IJABI dan beberapa pengurus IJABI senior mendatangi Polres untuk
mencari data sebanyak-banyaknya dan berangkat ke TKP. Namun, anggota Polres
melarang mereka dengan alasan
keamanan.
Akhirnya hanya ada pertemuan antara pihak IJABI dan Polres yang dihadiri oleh:
Kepala Polres: AKBP Tri Yudho Irianto, Kasadintel: Susiyanto, S.Sos,
Wakapolres: Totok Heri,
Kabagop: Latif,
dan dari IJABI: Furqon Bukhori (Ketua Umum PP IJABI), Emilia Renita Az
(Wasekjen PP IJABI), Kiai Nurkhatib (IJABI Lumajang), Kiai Makmun (IJABI Turen)
dan
Asep (IJABI Jakarta)
yang isinya adalah alasan pelarangan rombongan ke Jambesari.
Baru pada 25
Desember 2006, Furqon Bukhari dan Asep dapat mengunjungi dan menggali data di
TKP. Data tersebut kemudian digunakan untuk dasar pengambilan langkah
berikutnya oleh PP IJABI Jakarta. Pada saat kajian ini dilaksanakan, ternyata
PP IJABI berkeputusan untuk mengajukan peristiwa kekerasan itu ke meja hijau.
Dari hasil pemantauan di Polres ternyata gugatan itu telah ditindaklanjuti
dengan status P21 dan sudah masuk Kejaksaan dengan surat rencana penuntutan
yang sudah siap
dilimpahkan ke
pengadilan. Data terakhir yang diperoleh, pada tanggal 2 Mei 2007, sidang
pertama kasus kekerasan terhadap IJABI Bondowoso telah dilakukan yang dihadiri
oleh tim advokasi PP IJABI.
Bersambung .ke bag kedua..