lanjutan dari bag pertama:
Resistensi
atas IJABI:
Analisis terhadap
berita media massa dan wawancara mengungkapkan bahwa alasan utama penolakan
masyarakat terhadap IJABI adalah karena kelompok ini dianggap--- melalui jalur
organisasi (IJABI)---telah menyebarluaskan ajaran Syiah secara sistematis
kepada masyarakat.
Analisis tersebut
kiranya menarik:
Pertama,
adanya anggapan masyarakat bahwa IJABI adalah Syiah.
Kedua,
bila IJABI dianggap sebagai bentuk terang-terangan penyebarluasan ajaran Syiah,
maka berarti, sebetulnya masyarakat sudah tahu di Bondowoso ada komunitas
Syiah. Terhadap pernyataan pertama sudah dijelaskan pada pendahuluan tulisan
ini, bahwa merujuk visi dan misi organisasi, IJABI tidak bisa diidentikkan
dengan Syi’ah. Hasil penelitian lapangan membuktikan sesungguhnya masyarakat Bondowoso
sudah mengetahui ada komunitas Syiah di daerahnya. Namun, perlu dicatat bahwa
Syiah yang mereka kenal adalah Syiah yang berada di Kampung Arab, yaitu ajaran
yang hanya dipraktikkan secara exclusive oleh
mereka yang mengaku kerabat Nabi Muhammad Saw (habaib).
Sejarah
Syiah di Bondowoso
Adanya Syiah
dibenarkan oleh Muhammad Baqier. Keberadaannya sudah cukup lama, dan tidak bisa
dilepaskan dari kedatangan habaib di Bondowoso.
Menurut penjelasan Abdul Qadir, Kampung Arab di Bondowoso sudah ada sejak tahun
1900-an. Cikal bakalnya adalah kedatangan Ghasim Baharmi di Bondowoso pada
1800-an. Dia punya tiga anak perempuan, yaitu Aisyah, Nur dan Khadijah. Pada
1830-an Habib Muhsin masuk ke Bondowoso dan meninggal pada 1842-an. Habib
Muhsin meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung. Pada 1842 lahir
seorang anak laki-laki yang diberi nama
Habib Ahmad. Pada usia 14 tahun Habib Ahmad pergi ke Yaman untuk belajar bahasa
Arab. Pada usia 28 tahun Habib Ahmad pulang ke Bondowoso. Saat itu sudah banyak
keturunan Arab yang tinggal di Kampung Arab. Begitu pulang Habib Ahmad menikah
dengan Ghamar pada 1870. Dia punya anak cukup banyak tetapi yang hidup hanya 3
(tiga), yaitu Hasan, Su`ud, Alwi (ayah dari Habib Abdul Qadir).
Habib Ahmad
menjadi guru mengaji di rumah. Dia tidak berkeliling tapi murid-muridnya yang
datang ke rumahnya. Selain itu dia juga mengajarkan bahasa Arab dan fiqih
Syafi`i, tetapi akidahnya Syiah Zaidiyah---salah satu sekte Syiah yang ajarannya
dianhggap dekat dengan ajaran Sunni (Ahlussunnah
waljamaah).
Pada 1914 bersama dengan Habib Hasan bin Hafidz bin Syaikh Abu Bakar mendirikan
Madrasah Khaeriyah dan berhenti menjadi guru ngaji.
Sekte Syiah Zaidiyah
tidak berkembang menjadi ajaran yang dianut habaib di
Kampung Arab. Sesudah tahun 1948 banyak anak Kampung Arab menuntut ilmu ke Irak
dan pulang membawa ajaran Syiah Imamiyah. Pada saat itulah datang Habib
Muhammad al-Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar (w. 1984) dari Hadhramaut yang
membawa ajaran Syiah Imamiyah atau Itsna `Asyariyah atau
dikenal dengan sebutan Syiah Imam Dua Belas. Beliau seorang penyair. Banyak
syi`ir-syi`ir beliau, di antaranya yang mengatakan “khayr
al-madzahib madzhab ahl al-bayt”. Pengakuan ini tidak serta merta membuat
beliau dan pengikutnya secara furu`iyyah melaksanakan
paham Syiah;
mereka bertaqiyah
dengan tetap melaksanakan tata cara ibadat menurut Syafi`iyyah,
tetapi secara akidah mereka penganut Syiah.
Lalu, pada tahun
1950-an ada Habib Hamzah bin Ali Al-Habsy (paman Muhammad Baqier). Habib
Muhammad Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar berkeliling sebagai da`i bersama
Habib Hamzah bin Alwi Al-Habsy (w. 2005). Mereka tidak mengajarkan Syiah kepada
masyarakat umum tetapi menjelaskan ukhuwah Islamiyah.
Sedangkan untuk kalangan keluarga dari para penghuni Kampung Arab---terutama
mereka yang mengaku habaib--- sudah
dikenalkan ajaran Syiah, seperti keyakinan bahwa Abu Thalib adalah mukmin;
namun, uniknya mereka masih mengamalkan cata ibadat kalangan Sunni, terutama Syafi`iyah.
Keyakinan bahwa Abu Thalib mukmin di Kampung Arab cukup kuat, sehingga tidaklah
aneh ketika Sayyid Alwi Al-Maliki datang ke Bondowoso dan minta diterjemahkan
kitab “Insan Kamil” (Manusia Paripurna) orang Bondowoso
tidak mau menerjemah kan, sebab dalam kitab itu disebutkan Abu Thalib itu
kafir.
Keberadaan Syiah
Bondowoso (termasuk Indonesia pada umumnya) mengalami momentum sejak terjadinya
Revolusi Islam yang dimotori para mullah pada 1979.
Rentang waktu tidak lama, pada 1980-an, Habib Hamzah terang-terangan mengaku
Syiah. Mulailah masyarakat sekitar memperhatikan keberadaan beliau.
Pada kira-kira
tahun 1995 dibentuk Yayasan Ash-Shadiq yang dipimpin langsung oleh Habib Hamzah.
Habib Hamzah membuka pengajian di rumahnya setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu.
Dia mengajarkan gramatikal bahasa Arab (nahwu)
pada hari Senin, fiqih pada hari Selasa, dan tafsir pada hari Rabu. Murid-murid
beliau adalah anak-anak kiai yang datang dari penjuru Bondowoso, di antaranya
sekarang menjadi tokoh masyarakat seperti Kyai Saharie, Kyai Abd. Muis, Kyai
Rahbini dari Patemon, Kyai Mushawwir dari Jambesari, dan Ahmad Husein.
Kendati sudah
mengaku sebagai Syiah, Habib Hamzah tetap konsisten mengajarkan kitab-kitab dan
fiqih Sunni, hanya sekarang ditambah penjelasan dari sudut fiqih Ja`fari (Syiah).
Seperti hukum wudhu misalnya, mulai ada penjelasan tentang batas aurat. Bila
sebelumnya hanya disebutkan
“mabaynahuma”
saja, sekarang sudah dijelaskan “bayn al-surur wa al-ruqban”.
Karena kebanyakan yang ikut pengajian itu rata-rata kiai atau anak-anak kiai,
sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti di kalangan Ahlussunnah
waljamaah. Namun, kondisi tenang rupanya tidak
berjalan lama. Rupanya ada pihak-pihak yang mulai tidak senang dengan
keberadaan Habib Hamzah dan Syiahnya itu.
Penolakan pada syiah oleh ulama dan masyarakat Bondowoso
IJABI
Bondowoso: Syiah Rasional dan Moderat
Posisi Habib
Hamzah dalam penyebaran Syiah dan tokoh pemersatu komunitas Syiah di Bondowoso
sangat dominan. Pengetahuan keislamannya yang tinggi membuat ia disegani banyak
kiai, yang nota bene banyak
menimba ilmu darinya, dan kedudukannya sebagai “masih keturunan Nabi (dzurriyat
al-nabi)” menambah kewibawaannya. Dalam tradisi masyarakat Ahlussunnah
Waljamaah kedudukan habaib
sebagai dzurriyat al-nabi sangat
dihormati karena dipercaya memiliki kharisma/ keramat yang tidak dimiliki umat
Islam pada umumnya. Wafatnya---sebagaimana diakui Muhammad Baqier---membuat
posisi Syiah melemah, karena belum ada tokoh Syiah sekaliber beliau yang dapat
menjadi pemersatu. Ini membuka peluang pihak-pihak yang tidak senang kepada Syiah
untuk melakukan “penyerangan kembali” terhadap Syiah. Apabila sebelumnya segala
upaya-upaya untuk menjelek-jelekkan Syiah masih bisa diredam dengan keilmuan dan
wibawa Habib Hamzah, sekarang tembok penghalang tidak ada lagi.
Apa yang
dituduhkan kelompok anti-Syiah tersebut bukan tanpa sumber rujukan. K.H. Abdul
Muis Turmudzi menegaskan bahwa semuanya itu bukan “asal ngomong” tetapi dikutip
dari “kitab-kitab induk” yang menjadi pegangan utama kaum Syiah sendiri,
seperti Kitab Ushul al- Kafi,
Kitab Ma La Yadhuruhu al-Faqih,
Kitab al-Tahzib, Kitab al-Istibshar,
dan Kitab Bihar al-Anwar.
Menurut beliau,
lima kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang mempunyai otoritas tinggi dalam
tradisi keagamaan Syiah; bisa disetarakan dengan kutubussittah
dalam tradisi Sunni. Selain kitab-kitab tersebut masih banyak
kitab yang dijadikan rujukan kendati levelnya masih di bawah kelima kitab
tersebut Namun, intinya sama, dalam kitab-kitab itulah dijelaskan secara gamblang
doktrin-doktrin Syiah yang berlawanan secara diametral dengan doktrin Sunni,
bahkan cenderung menjelekkan ajaran lawannya tersebut.
Berdasarkan hal
tersebut, maka Yayasan Al-Bayyinat Indonesia yang
berpusat di Surabaya misalnya, mengeluarkan selebaran yang isinya menyerukan
umat Islam agar mengambil sikap tegas terhadap penganut Syiah, yaitu dengan
jalan mengucilkan dan memboikot mereka. Caranya adalah dengan:
1.
tidak menyalati
dan menguburkan orang Syiah yang mati;
2.
tidak menjadikan
orang Syiah sebagai imam;
3.
melarang menikah
dengan mereka; \
4.
tidak bergaul (duduk-duduk)
dengan mereka (jangan menghadiri undangan mereka); dan
5.
tidak menjenguk
orang Syiah yang sedang sakit.
Selebaran itu
beredar secara luas di Bondowoso. Intensitas Kiai Muis membentengi masyarakat
terhadap pengaruh
Syiah tergolong tinggi. Menurut pengakuannya dan informasi dari pihak lain,
setiap ada kesempatan ceramah selalu diselipkan pesan untuk waspada terhadap
Syiah. Hanya sayangnya, seperti dituturkan Kiai Abd. Salam, terkadang Kiai Muis
suka “melampaui batas”,
dengan
mengeluarkan kata-kata yang berpotensi membakar emosi massa, seperti: “apakah
bapak-bapak tidak tersinggung bila ibu kita dikatakan pelacur, apalagi itu
ditujukan kepada Aisyah ra.,
ibu
semua kaum muslimin. Kalau tidak carok, ketok saja “anu”- nya”.
Semasa Habib
Hamzah masih hidup, Muhammad Baqier, menyatakan bahwa beliau tidak berusaha membela
diri dan membiarkan segala tuduhan pejoratif terhadap
Syiah itu berkembang di masyarakat. Diamnya beliau itu disebabkan karena merasa
bahwa keyakinan Syiahnya (Imamiyah) tidak sama dengan keyakinan Syiah yang dituduhkan
itu. Jadi, tidak ada juga gunanya beliau membela
diri, karena
mengganggap mereka yang menuduh tersebut salah alamat karena ketidak tahuan.
Beliau baru memberikan penjelasan secara detil apabila ada orang yang datang
baikbaik
ke rumahnya untuk
klarifikasi, sebagaimana dituturkan Abd. Rozak, Sekretaris Majelis Tarjih PDM
Kabupaten Bondowoso. Saat itu, dia menanyakan langsung kepada Habib Hamzah
tentang apakah benar kalangan Syiah punya kitab suci selain al-Quran;
berdasarkan selebaran yang dia baca. Ketika itu Habib Hamzah menjawab dan
mengatakan kalau ada orang yang bisa membuktikan bahwa Syiah punya kitab suci
lain, dia bersedia membeli dengan harga Rp 500.000.000,00. Berarti, tidak benar
Syiah punya kitab suci selain al-Quran. Penjelasan serupa diterima dari
Muhammad Baqier, bahwa ajaran Syiah yang mereka amalkan---mengutip Abubakar
Aceh---adalah Syiah yang rasional, dari sekte Syiah Imamiyah, dan bersumber
dari Irak (bukan dari Iran).
bersambung .....ke bagian ketiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar