Jumat, 28 Juli 2017

IJABI BONDOWOSO JAWA TIMUR (bag kedua)

lanjutan dari bag pertama: 

Resistensi atas IJABI:

Analisis terhadap berita media massa dan wawancara mengungkapkan bahwa alasan utama penolakan masyarakat terhadap IJABI adalah karena kelompok ini dianggap--- melalui jalur organisasi (IJABI)---telah menyebarluaskan ajaran Syiah secara sistematis kepada masyarakat.

Analisis tersebut kiranya menarik:
Pertama, adanya anggapan masyarakat bahwa IJABI adalah Syiah.
Kedua, bila IJABI dianggap sebagai bentuk terang-terangan penyebarluasan ajaran Syiah, maka berarti, sebetulnya masyarakat sudah tahu di Bondowoso ada komunitas Syiah. Terhadap pernyataan pertama sudah dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini, bahwa merujuk visi dan misi organisasi, IJABI tidak bisa diidentikkan dengan Syi’ah. Hasil penelitian lapangan membuktikan sesungguhnya masyarakat Bondowoso sudah mengetahui ada komunitas Syiah di daerahnya. Namun, perlu dicatat bahwa Syiah yang mereka kenal adalah Syiah yang berada di Kampung Arab, yaitu ajaran yang hanya dipraktikkan secara exclusive oleh mereka yang mengaku kerabat Nabi Muhammad Saw (habaib).


Sejarah Syiah di Bondowoso

Adanya Syiah dibenarkan oleh Muhammad Baqier. Keberadaannya sudah cukup lama, dan tidak bisa dilepaskan dari kedatangan habaib di Bondowoso. Menurut penjelasan Abdul Qadir, Kampung Arab di Bondowoso sudah ada sejak tahun 1900-an. Cikal bakalnya adalah kedatangan Ghasim Baharmi di Bondowoso pada 1800-an. Dia punya tiga anak perempuan, yaitu Aisyah, Nur dan Khadijah. Pada 1830-an Habib Muhsin masuk ke Bondowoso dan meninggal pada 1842-an. Habib Muhsin meninggalkan seorang istri yang tengah mengandung. Pada 1842 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Habib Ahmad. Pada usia 14 tahun Habib Ahmad pergi ke Yaman untuk belajar bahasa Arab. Pada usia 28 tahun Habib Ahmad pulang ke Bondowoso. Saat itu sudah banyak keturunan Arab yang tinggal di Kampung Arab. Begitu pulang Habib Ahmad menikah dengan Ghamar pada 1870. Dia punya anak cukup banyak tetapi yang hidup hanya 3 (tiga), yaitu Hasan, Su`ud, Alwi (ayah dari Habib Abdul Qadir).

Habib Ahmad menjadi guru mengaji di rumah. Dia tidak berkeliling tapi murid-muridnya yang datang ke rumahnya. Selain itu dia juga mengajarkan bahasa Arab dan fiqih Syafi`i, tetapi akidahnya Syiah Zaidiyah---salah satu sekte Syiah yang ajarannya dianhggap dekat dengan ajaran Sunni (Ahlussunnah
waljamaah). Pada 1914 bersama dengan Habib Hasan bin Hafidz bin Syaikh Abu Bakar mendirikan Madrasah Khaeriyah dan berhenti menjadi guru ngaji.

Sekte Syiah Zaidiyah tidak berkembang menjadi ajaran yang dianut habaib di Kampung Arab. Sesudah tahun 1948 banyak anak Kampung Arab menuntut ilmu ke Irak dan pulang membawa ajaran Syiah Imamiyah. Pada saat itulah datang Habib Muhammad al-Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar (w. 1984) dari Hadhramaut yang membawa ajaran Syiah Imamiyah atau Itsna `Asyariyah atau dikenal dengan sebutan Syiah Imam Dua Belas. Beliau seorang penyair. Banyak syi`ir-syi`ir beliau, di antaranya yang mengatakan “khayr al-madzahib madzhab ahl al-bayt”. Pengakuan ini tidak serta merta membuat beliau dan pengikutnya secara furu`iyyah melaksanakan paham Syiah;
mereka bertaqiyah dengan tetap melaksanakan tata cara ibadat menurut Syafi`iyyah, tetapi secara akidah mereka penganut Syiah.

Lalu, pada tahun 1950-an ada Habib Hamzah bin Ali Al-Habsy (paman Muhammad Baqier). Habib Muhammad Muhzhar bin Muhammad bin Muhzhar berkeliling sebagai da`i bersama Habib Hamzah bin Alwi Al-Habsy (w. 2005). Mereka tidak mengajarkan Syiah kepada masyarakat umum tetapi menjelaskan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan untuk kalangan keluarga dari para penghuni Kampung Arab---terutama mereka yang mengaku habaib--- sudah dikenalkan ajaran Syiah, seperti keyakinan bahwa Abu Thalib adalah mukmin; namun, uniknya mereka masih mengamalkan cata ibadat kalangan Sunni, terutama Syafi`iyah. Keyakinan bahwa Abu Thalib mukmin di Kampung Arab cukup kuat, sehingga tidaklah aneh ketika Sayyid Alwi Al-Maliki datang ke Bondowoso dan minta diterjemahkan kitab “Insan Kamil” (Manusia Paripurna) orang Bondowoso tidak mau menerjemah kan, sebab dalam kitab itu disebutkan Abu Thalib itu kafir.

Keberadaan Syiah Bondowoso (termasuk Indonesia pada umumnya) mengalami momentum sejak terjadinya Revolusi Islam yang dimotori para mullah pada 1979. Rentang waktu tidak lama, pada 1980-an, Habib Hamzah terang-terangan mengaku Syiah. Mulailah masyarakat sekitar memperhatikan keberadaan beliau.

Pada kira-kira tahun 1995 dibentuk Yayasan Ash-Shadiq yang dipimpin langsung oleh Habib Hamzah. Habib Hamzah membuka pengajian di rumahnya setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu. Dia mengajarkan gramatikal bahasa Arab (nahwu) pada hari Senin, fiqih pada hari Selasa, dan tafsir pada hari Rabu. Murid-murid beliau adalah anak-anak kiai yang datang dari penjuru Bondowoso, di antaranya sekarang menjadi tokoh masyarakat seperti Kyai Saharie, Kyai Abd. Muis, Kyai Rahbini dari Patemon, Kyai Mushawwir dari Jambesari, dan Ahmad Husein.

Kendati sudah mengaku sebagai Syiah, Habib Hamzah tetap konsisten mengajarkan kitab-kitab dan fiqih Sunni, hanya sekarang ditambah penjelasan dari sudut fiqih Ja`fari (Syiah). Seperti hukum wudhu misalnya, mulai ada penjelasan tentang batas aurat. Bila sebelumnya hanya disebutkan
mabaynahuma” saja, sekarang sudah dijelaskan “bayn al-surur wa al-ruqban”. Karena kebanyakan yang ikut pengajian itu rata-rata kiai atau anak-anak kiai, sehingga tidak menimbulkan gejolak yang berarti di kalangan Ahlussunnah waljamaah. Namun, kondisi tenang rupanya tidak berjalan lama. Rupanya ada pihak-pihak yang mulai tidak senang dengan keberadaan Habib Hamzah dan Syiahnya itu.





Penolakan pada syiah oleh ulama dan masyarakat Bondowoso


IJABI Bondowoso: Syiah Rasional dan Moderat

Posisi Habib Hamzah dalam penyebaran Syiah dan tokoh pemersatu komunitas Syiah di Bondowoso sangat dominan. Pengetahuan keislamannya yang tinggi membuat ia disegani banyak kiai, yang nota bene banyak menimba ilmu darinya, dan kedudukannya sebagai “masih keturunan Nabi (dzurriyat al-nabi)” menambah kewibawaannya. Dalam tradisi masyarakat Ahlussunnah Waljamaah kedudukan habaib sebagai dzurriyat al-nabi sangat dihormati karena dipercaya memiliki kharisma/ keramat yang tidak dimiliki umat Islam pada umumnya. Wafatnya---sebagaimana diakui Muhammad Baqier---membuat posisi Syiah melemah, karena belum ada tokoh Syiah sekaliber beliau yang dapat menjadi pemersatu. Ini membuka peluang pihak-pihak yang tidak senang kepada Syiah untuk melakukan “penyerangan kembali” terhadap Syiah. Apabila sebelumnya segala upaya-upaya untuk menjelek-jelekkan Syiah masih bisa diredam dengan keilmuan dan wibawa Habib Hamzah, sekarang tembok penghalang tidak ada lagi.

Apa yang dituduhkan kelompok anti-Syiah tersebut bukan tanpa sumber rujukan. K.H. Abdul Muis Turmudzi menegaskan bahwa semuanya itu bukan “asal ngomong” tetapi dikutip dari “kitab-kitab induk” yang menjadi pegangan utama kaum Syiah sendiri, seperti Kitab Ushul al- Kafi, Kitab Ma La Yadhuruhu al-Faqih, Kitab al-Tahzib, Kitab al-Istibshar, dan Kitab Bihar al-Anwar.

Menurut beliau, lima kitab tersebut merupakan kitab-kitab yang mempunyai otoritas tinggi dalam tradisi keagamaan Syiah; bisa disetarakan dengan kutubussittah dalam tradisi Sunni. Selain kitab-kitab tersebut masih banyak kitab yang dijadikan rujukan kendati levelnya masih di bawah kelima kitab tersebut Namun, intinya sama, dalam kitab-kitab itulah dijelaskan secara gamblang doktrin-doktrin Syiah yang berlawanan secara diametral dengan doktrin Sunni, bahkan cenderung menjelekkan ajaran lawannya tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka Yayasan Al-Bayyinat Indonesia yang berpusat di Surabaya misalnya, mengeluarkan selebaran yang isinya menyerukan umat Islam agar mengambil sikap tegas terhadap penganut Syiah, yaitu dengan jalan mengucilkan dan memboikot mereka. Caranya adalah dengan:

1.      tidak menyalati dan menguburkan orang Syiah yang mati;
2.      tidak menjadikan orang Syiah sebagai imam;
3.      melarang menikah dengan mereka; \
4.      tidak bergaul (duduk-duduk) dengan mereka (jangan menghadiri undangan mereka); dan
5.      tidak menjenguk orang Syiah yang sedang sakit.

Selebaran itu beredar secara luas di Bondowoso. Intensitas Kiai Muis membentengi masyarakat
terhadap pengaruh Syiah tergolong tinggi. Menurut pengakuannya dan informasi dari pihak lain, setiap ada kesempatan ceramah selalu diselipkan pesan untuk waspada terhadap Syiah. Hanya sayangnya, seperti dituturkan Kiai Abd. Salam, terkadang Kiai Muis suka “melampaui batas”,
dengan mengeluarkan kata-kata yang berpotensi membakar emosi massa, seperti: “apakah bapak-bapak tidak tersinggung bila ibu kita dikatakan pelacur, apalagi itu ditujukan kepada Aisyah ra.,
ibu semua kaum muslimin. Kalau tidak carok, ketok saja “anu”- nya”.

Semasa Habib Hamzah masih hidup, Muhammad Baqier, menyatakan bahwa beliau tidak berusaha membela diri dan membiarkan segala tuduhan pejoratif terhadap Syiah itu berkembang di masyarakat. Diamnya beliau itu disebabkan karena merasa bahwa keyakinan Syiahnya (Imamiyah) tidak sama dengan keyakinan Syiah yang dituduhkan itu. Jadi, tidak ada juga gunanya beliau membela
diri, karena mengganggap mereka yang menuduh tersebut salah alamat karena ketidak tahuan. Beliau baru memberikan penjelasan secara detil apabila ada orang yang datang baikbaik

ke rumahnya untuk klarifikasi, sebagaimana dituturkan Abd. Rozak, Sekretaris Majelis Tarjih PDM Kabupaten Bondowoso. Saat itu, dia menanyakan langsung kepada Habib Hamzah tentang apakah benar kalangan Syiah punya kitab suci selain al-Quran; berdasarkan selebaran yang dia baca. Ketika itu Habib Hamzah menjawab dan mengatakan kalau ada orang yang bisa membuktikan bahwa Syiah punya kitab suci lain, dia bersedia membeli dengan harga Rp 500.000.000,00. Berarti, tidak benar Syiah punya kitab suci selain al-Quran. Penjelasan serupa diterima dari Muhammad Baqier, bahwa ajaran Syiah yang mereka amalkan---mengutip Abubakar Aceh---adalah Syiah yang rasional, dari sekte Syiah Imamiyah, dan bersumber dari Irak (bukan dari Iran).

bersambung .....ke bagian ketiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar