PENYEBARAN
SYIAH DI SUMATRA UTARA
1.
Di Sumatera
Utara, mazhab Ahlul Bayt mulai berkembang sejak tahun 1990-an.
2.
Dimulai dari
kegiatan-kegiatan diskusi dan seminar di kampus-kampus, kelompok ini secara
perlahan kini menjadi sebuah komunitas tersendiri dengan paham keagamaan yang sedikit
berbeda dari kelompok Muslim lainnya.
3.
Publikasi-publikasi
mereka mulai berkembang dengan meningkatnya jumlah buku yang beredar di pasar.
4.
Pengajian-pengajian
pun dilakukan dengan terbuka. Tidak hanya itu lembaga-lembaga khusus yang
merupakan wadah bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan mereka juga didirikan.
PERAYAAN ASYURO KOMUNITAS SYIAH MEDAN
Asyura.
Hari ini peringatan hari asyura di Medan
berjalan lancar seperti tahun tahun sebelumnya. Walaupun ada yang berbeda
ketika saya sampai, ada beberapa orang bapak dan ibu polisi duduk di gerbang.
Cari info katanya ada isu beberapa ormas akan turun untuk coba membubarkan,
ternyata tidak ada. (Sayang, kalau ada bakal seru :) ).
BTW terima kasih kepada bapak polisi
yang sudah capek menungguin sampai acara selesai.
Penyebaran
mazhab Ahlul Bayt di Sumatera Utara, sudah dimulai sejak tahun 1990-an,
namun perkembangannya baru terasa signifikan setelah tahun 2000. Perkembangan
ini terlihat selain dari meningkatnya jumlah buku yang beredar di pasar, juga
meningkatnya aktifitas-aktifitas pengajian dan diskusi-diskusi yang dilakukan
kelompok tersebut, dengan
menghadirkan
ustadz-uztadz alumni Qum Iran. Perkembangan penting adalah berdirinya
Yayasan Amali dan Yayasan Islam Abu Thalib yang menjadi pusat-pusat kegiatan
keagamaan dan kajian mazhab Ahlul Bayt. Secara kuantitatif, jumlah
penganut Ahlul Bayt di Sumatera Utara mencapai lebih kurang 500 orang.
Perkembangan
Ahlul Bayt di Sumatera Utara secara signifikan terjadi di kota Medan. Paham
keagamaan yang dianut oleh kelompok Ahlul Bayt adalah paham Syi’ah
Imamiyah. Paham keagamaan ini dalam beberapa dimensi tidak jauh berbeda dengan
paham keagamaan yang dianut oleh kaum Muslim pada umumnya, meski dalam beberapa
hal lain terdapat perbedaan yang mendasar.
Diakui
bahwa sisi-sisi perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan ini kerap dijadikan
alasan sebagai munculnya dikotomi-dikotomi antara kelompok Sunni dan Syi’i yang
sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pada
kenyataannya, kehadiran kelompok-kelompok Syi’i di Sumatera khususnya di kota
Medan selalu mendatangkan tantangan yang tidak kecil. Tantangan-tantangan
tersebut sesungguhnya sangat berhubungan dengan situasi kondisi sosial budaya
dan keberagamaan bangsa Indonesia secara umum, seperti fanatisme terhadap
mazhab atau aliran tertentu, tradisi masyarakat yang selalu menolak hal-hal
yang baru, pola keberagamaan masyarakat Indonesia, dan juga terkait dengan keterbelakangan,
kemiskinan, dan kebodohan yang masih dialami oleh bangsa Indonesia.
Sumber
: Zainul Fuad: Perkembangan Komunitas Ahlul Bayt di Sumatera Utara
PENJELASAN :
PERTUMBUHAN
KOMUNITAS AHLUL BAYT DI SUMATERA UTARA
Kelompok
Ahlul Bayt di Sumatera Utara mulai berkembang sejak tahun 1990-an.
Masuknya mazhab Ahlul Bayt di Sumatera Utara ini pertama-pertama tidak
bisa dilepaskan dari peran para haba’ib dan syarifah, yakni
komunitas turunan Arab yang mengklaim diri mereka memiliki garis keturunan dari
Nabi Muhammad s.a.w. Memang, sangat sulit untuk menelusuri secara akurat
bentuk-bentuk aktifitas dan ritual yang dilaksanakan oleh komunitas ini pada
masa-masa awal ini.
Hingga
tahun 2000 ditemukan hanya beberapa diskusi dan kajian saja yang dilakukan oleh
pengikut mazhab tersebut di kampus-kampus seperti USU, UMA, IAIN yang umumnya
dihadiri mahasiswa dan akademisi. Namun setelah tahun 2000 penyebaran mazhab Ahlul
Bayt di Sumatera Utara, mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini
terlihat selain dari meningkatnya jumlah buku yang beredar di pasar, juga
adanya berbagai pengajian yang dilakukan dengan menghadirkan ustadz-uztadz alumni
Qum Iran. (Di antara ustadz yang pernah memberikan pengajian dan seminar
tentang mazhab Syi`ah ini antara lain ustadz Anwar, Abdullah Sum, Abdurrahman,
Abu Mahdi) Lebih jauh, berbagai
ritual seperti peringatan Asyura dan beberapa momentum lainnya juga
telah secara terang-terangan dilaksanakan.
YAYASAN
AMALI DAN YAYASAN ISLAM ABU THALIB
YAYASAN
AMALI
Perkembangan
ini tampak lebih kentara dengan didirikannya Yayasan Amali dan Yayasan Islam
Abu Thalib, yang merupakan wadah pengkajian dan penyebaran mazhab ini.
Yayasan
Amali didirikan pada tahun 1998 oleh seorang penganut setia mazhab bernama
Sayyid Saiful Wathan al-Mahdalei, seorang pengusaha yang banyak mengorbankan kekayaannya
demi pengembangan dakwah Ahlul Bayt di Sumatera Utara. Yayasan Amali
didirikan atas dasar keprihatinan terhadap persoalan sosial, keagamaan, dan
pendidikan. Yayasan ini berupaya memberikan berbagai solusi terhadap sejumlah
persoalan yang dihadapi masyarakat baik menyangkut kehidupan sosial, ekonomi,
pendidikan, dan terkhususmenyangkut
keagamaan. Yayasan Amali telah memprakarsai pelatihan-pelatihan dasar keagamaan
bagi generasi muda yang terdiri dari para pelajar dan mahasiswa. Pelatihan
tersebut dilakukan secara berkala dengan menghadirkan ustadz-ustadz yang
membahas seputar persoalan keagamaan yang ditampilkan secara dinamis dan
dialogis yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelajar dan mahasiswa.
Melalui kegiatan ini penyebaran ajaran Ahlul Bayt dapat berjalan lebih
cepat khususnya bagi kalangan mahasiswa. Bahkan pada puncaknya sempat berhasil mengirimkan
kader-kader pelatihan untuk melanjutkan studi ke Qum Iran.3 Pelatihan
yang dilakukan melibatkan berbagai elemen mahasiswa baik yang berasal dari
organisasi ekstra maupun intra kampus. Hal ini membuat informasi seputar ajaran
Ahlul Bayt dapat beredar pada berbagai lembaga kemahasiswaan, bahkan
lembaga keagamaan lainnya yang berada di Sumatera Utara.
YAYASAN
ISLAM ABU THALIB
Yayasan
Islam Abu Thalib didirikan pada tahun 2006 oleh Ahmad Farwez, seorang pedagang
keturunan Pakistan yang memiliki komitmen tinggi terhadap mazhab Ahlul Bayt.
Yayasan ini bergerak di bidang perpustakaan, majelis ta’lim dan kegiatan
sosial. Perpustakaan dianggap memiliki nilai strategis dalam pengembangan
dakwah mazhab Ahlul Bayt, selain karena minat baca masyarakat Sumatera
Utara yang semakin berkembang juga karena literatur-literatur yang ditampilkan
oleh penerbit beraliansi Ahlul Bayt memiliki daya tarik dan daya saing
pasar yang cukup kompetitif. Majelis ta’lim berlangsung dalam bentuk
pengajian, pelatihan, dialog, dan seminar. Kegiatan ini kerap dilakukan dalam
bentuk kerjasama dengan berbagai lembaga lain seperti BKM di sekitar yayasan,
lembagalembaga keagamaan, dan sejumlah perguruan tinggi yang ada di Sumatera Utara.
Sumber
:
-
Ali Idrus, Ali
al-Attas, dan Ustazd Abu Omar. Wawancara 5 Juli 2006 dengan pengurus
Yayasan Abu Thalib Medan, Sumatera Utara.
-
Wawancara 4
Juli 2006 dengan Mantan Pengurus Yayasan Amali Medan,
Sumatera Utara.
MAYORITAS
MASYARAKAT MEDAN MENOLAK SYIAH
Di
Sumatera Utara, ajaran mazhab Ahlul Bayt nampaknya lebih dikembangkan
dengan kemasan “pemikiran rasional”, dan ini pula yang menjadi sebab terjadinya
berbagai tingkat penerimaan terhadap ajaran mazhab ini. Diakui bahwa hingga
saat ini masih sebagian kecil saja dari masyarakat Sumatera Utara yang dapat
menerima ajaran mazhab ini, sebab mayoritas masih menolaknya. Bahkan, sebagian
masyarakat masih berkeyakinan bahwa mazhab tersebut berada dalam kesesatan.
Dengan
karakter intelekualnya inilah, karenanya, hampir 90 persen penganut mazhab Ahlul
Bayt di Sumatera berasal dari mahasiswa, pelajar, serta beberapa orang yang
masih tergolong muda dan memiliki daya jelajah intelektual yang tinggi. Hingga
tahun 2000 pengikut mazhab ini belum menyebar secara merata pada daerah-daerah
di Sumatera Utara, mayoritas mereka masih terkonsentrasi di kota Medan dan
sekitarnya. Situasi ini tampak sangat beralasan mengingat suasana kota Medan
yang sangat dinamis dan terbuka untuk menerima setiap bentuk akulturasi serta
memiliki kemampuan adaptasi yang cepat terhadap berbagai corak baru baik dalam
pemikiran maupun dalam tradisi. Kota Medan dengan penduduknya yang heterogen
ternyata memiliki daya interaksi yang tinggi sehingga penyebaran mazhab di kota
ini jauh lebih cepat dibandingkan kota lain di Sumatera Utara.
Terhitung
hingga awal tahun 2006 telah tercatat sekitar 500 orang lebih penganut mazhab Ahlul
Bayt yang berkonsentrasi di Kota Medan dan sebagiannya merupakan penduduk
imigran dari pulau Jawa.(Wawancara 5 Juli 2006 dengan pengurus Yayasan Islam
Abu Thalib Medan, Sumatera Utara) Dari
jumlah 500 jama`ah, hanya sekitar 45 persen saja dari mereka yang sudah mampu
menerima ajaran tersebut dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan
seharihari. Sementara 55 persen lainnya hanya menerima ajaran mazhab, namun belum
berkenan mengaplikasikannya.
DI
LUAR MEDAN ALIRAN SYIAH TIDAK BERKEMBANG
Perkembangan
mazhab Ahlul Bayt di luar kota Medan menurut kelompok ini memang
mengalami sedikit hambatan. Disebutkan bahwa baru sekitar 50 orang jumlah
anggota yang menyebar di beberapa daerah seperti Binjai, Tanjung Morawa, Deli
Serdang, Asahan dan Padang Sidempuan. Kendatipun, mereka tetap berupaya
mensosialisasikan ajaran mazhab secara individu pada daerahnya masing-masing.
Alasan
kurang berkembangnya mazhab ini di daerah, menurut mereka adalah selain
menyangkut masalah sistem, adalah adanya kecenderungan daerah untuk bersikukuh
mempertahankan satu paham yang sudah “established”, dalam hal ini Sunni,
dan menentang paham selainnya. Penentangan tersebut tidak hanya didasarkan pada
tingkat pemahaman dan fanatisme terhadap suatu mazhab tetapi juga dibingkai oleh
sebuah tradisi untuk menolak hal-hal baru dalam beragama.
PENYEBARAN
SYIAH DI SUMATRA UTARA MELALUI SISTEM JARINGAN
Mazhab
Ahlul Bayt ini dibangun di atas kesetiaan dan kecintaan kepada Nabi
Muhammad s.a.w. beserta keluarganya. Mazhab ini mengedepankan kecintaan kepada
Rasulullah dan berdasarkan itulah semua pengikutnya dituntut mengikuti
ajarannya secara utuh. Karena dasar ajaran ini adalah kecintaan dan kesetiaan
kepada Rasulullah dan para Imam ma`sum yang suci, maka penyebaran ajaran
ini pun didasarkan kepada kecintaan, kekeluargaan, dan ukhuwah yang kokoh.
Di
Sumatera Utara, para generasi pertama pengikut Ahlul Bayt yang dianggap
masih memiliki garis keturunan kepada Rasulullah mengupayakan keberlangsungan
keturunan melalui pernikahan sesama mereka. Seorang habib keturunan Arab
yang sudah mengikuti mazhabAhlul Bayt dianjurkan, bahkan diharuskan,
untuk mencari jodoh dari golongan syarifah keturunan Arab dengan
keyakinan bahwa cara ini dapat memelihara kemurnian nasab dan semangat
mencintai Rasulullah dan Ahlul Bayt.
Pada
satu sisi, sistem pernikahan seperti ini memang dapat membuat kontinuitas
komunitas Ahlul Bayt dapat terpelihara dan terkontrol secara mudah
disebabkan eratnya hubungan satu sama lain. Namun di sisi lain, sistem ini
dapat pula dianggap merugikan mereka sendiri, sebab tradisi tersebut telah
memposisikan mereka sebagai komunitas eksklusif dan tertutup.
Hal
ini dapat menghambat atau setidaknya memperlambat lajunya dakwah dan penyebaran
ajaran mazhab tersebut. Belakangan, tradisi ini mulai mengendur, sebab banyak
ditemukan pengikut mazhab yang sama sekali tidak memiliki hubungan nasab dengan
Rasulullah atau bahkan dengan bangsa Arab. Pada kenyataannya, memang ada
upaya-upaya untuk merubah tradisi tersebut. Demi pengembangan jaringan dakwah,
para anggota dianjurkan untuk menikahi wanita-wanita yang sama sekali belum
mengenal ajaran Ahlul Bayt yang ada di luar komunitas.( Wawancara
20 Juni 2006 dengan jama`ah Ahlul Bayt di Yayasan Islam Abu Thalib
Medan, Sumatera Utara. )
Mengandalkan
jaringan perkawinan saat ini tampaknya sudah tidak relevan, sebab di samping
kemestian menikahi wanita-wanita nonpengikut mazhab ada pula keharusan
menikahkan wanita penganut mazhab dengan ikhwan yang sudah menganut mazhab Ahlul
Bayt. Hal itu dilakukan karena masyarakat Sumatera Utara yang masih
menganut paham patrilinialisme tentu mengharuskan seorang wanita untuk
mengikuti mazhab suaminya.
Selain
melalui jalur perkawinan, jaringan pengikut Ahlul Bayt juga dikembangkan
melalui hubungan bisnis dan perniagaan. Hal ini dimungkinkan oleh kenyataan
bahwa sebagian besar pengikut mazhab ini berprofesi sebagai pengusaha,
pedagang, dan wiraswastawan. Dunia bisnis atau perniagaan merupakan salah satu
aktifitas yang melibatkan banyak manusia baik internal penduduk suatu daerah
maupun dengan penduduk daerah lainnya. Lebih jauh dunia bisnis mengikat manusia
dalam satu kebutuhan lebih yang bersifat objektif, sehingga dapat diminati
siapapun tanpa adanya hubungan emosional atau nasab. Meskipun pada awalnya tidak
banyak memberikan pengaruh, namun belakangan kesamaan kebutuhan material ini
dapat berkembang menjadi kesamaan kebutuhan spiritual. Setelah memanfaatkan
relasi bisnis dan perniagaan, penyebaran jaringan juga dilakukan pula melalui
hubungan antara lembaga. Jalur kelembagaan diangap memiliki nilai yang lebih
strategis dari pernikahan dan perniagaan, sebab kelembagaan memiliki cakupan
yang lebih heterogen baik dari sisi daerah maupun profesi.
Yayasan
Ahlul Bayt di Sumatera Utara berupaya menjalin hubungan dengan berbagai
lembaga di luar Sumatera seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bogor. Bahkan belakangan
ini, yayasan telah berupaya menembus komunikasi secara langsung dengan
lembaga-lembaga yang ada di Qum Iran. Tentu saja terobosan ini akan sangat
membantu dan memperkuat eksistensi yayasan tersebut sebagai wadah dan sekaligus
corong dakwah mazhab Ahlul Bayt di Sumatera Utara.
Penting
dicatat bahwa sejumlah besar penganut mazhab Ahlul Bayt kini tersebar
dalam berbagai lembaga yang ada di Sumatera Utara, baik lembaga pemerintahan
maupun swasta bahkan pada lembaga-lembaga politik. Secara tidak langsung hal
ini akan sangat membantu melancarkan proses sosialisasi ajaran mazhab ke semua
lapisan masyarakat yang ada di Sumatera Utara.
PENYEBARAN
SYIAH DI SUMATRA UTARA AKTIFITAS SOSIAL
Secara
umum jama`ah pengikut mazhab Ahlul Bayt yang ada di Sumatera Utara
berprofesi sebagai pengusaha, pedagang, wiraswasta, karyawan swasta, akademisi,
dan mahasiswa. Para pengusaha dan pedagang terdorong mengikuti ajaran mazhab
ini didasarkan pada kenyataan sejumlah besar haba’ib yang ada di
Indonesia khususnya di Pulau Jawa berprofesi sebagai pengusaha dan pedagang.
Hubungan dagang ini secara perlahan berkembang menjadi hubungan psikologis dan teologis.
Inilah yang banyak dirasakan oleh sejumlah penganut mazhab Ahlul Bayt yang
ada di Sumatera Utara. (Wawancara 24 Juni 2006 dengan 3 orang jama`ah Ahlul
Bayt yang ada di kota Medan dengan profesi sebagai pedagang.)
Dari
segi sosial keagamaan, pengikut Ahlul Bayt juga melaksanakan berbagai
aktifitas sosial seperti membangun silaturrahmi dengan para ulama dan
cendikiawan yang ada di Sumatera Utara, lembaga-lembaga Islam serta lembaga
lainnya untuk mempererat ukhuwah serta melaksanakan beberapa aktifitas teknis
lainnya seperti memberi makan anak yatim, membagikan berbagai bingkisan
menyambut hari lebaran, melaksanakan sunatan massal bagi anak-anak yang kurang
mampu, bahkan merencanakan pelaksanaan nikah massal bagi pasangan yang belum memiliki
kemampuan.
AKTIFITAS
INTELEKTUAL KOMUNITAS SYIAH SUMATRA UTARA
Keberadaan
sejumlah alumni ITB dan UNPAD dengan berbagai profesi yang digelutinya baik
sebagai pengusaha, pengelola lembaga pendidikan, maupun sebagai tenaga medis
memberikan peran yang cukup berarti bagi pengembangan ajaran Ahlul Bayt di
Sumatera Utara khususnya dari sisi intelektual.
Hubungan
yang telah dibangun sejak mengikuti “pengajian” Jalaluddin Rakhmat di Yayasan
Muthahari Bandung ternyata dapat dilestarikan atau bahkan dikembangkan setelah
mereka berada di Sumatera Utara. Sebagai akademisi para ulumnus ITB dan UNPAD
yang ada di Sumatera Utara juga berupaya mengembangkan ajaran mazhab Ahlul
Bayt tersebut khususnya di tempat mereka bekerja.
Di
dunia akademik sendiri, keberadaan mazhab Ahlul Bayt memiliki memiliki
peran yang amat penting, sebab ajaran mazhab ditampilkan dalam kemasan
“pemikiran rasional” yang khas di mana dalam memahaminya dibutuhkan perenungan
intelektual secara serius. Karena itu,
jaringan akademisi merupakan jalur yang amat menentukan penyebaran mazhab ini
di Sumatera Utara. Sejumlah ajaran yang ditampilkan mazhab Ahlul Bayt yang
terkesan baru atau bahkan menantang intelektual masyarakat menyebabkan
kehadiran mazhab seolah memberikan nuansa baru bagi kehidupan intelektual
masyarakat Sumatera Utara. Situasi ini sangat menguntungkan bagi penganut
mazhab Ahlul Bayt, sebab selain menjadikan mazhab ini dapat diakses
secara lebih luas juga karena jalur intelektual ini dinilai dapat memberikan
hasil yang lebih riil yang secara langsung dapat menyentuh seluruh lapisan
masyarakat.
Atas
dasar itulah kehidupan mazhab yang cinta ilmu pengetahuan ini tidak pernah
kering dari tradisi pengikut mazhab ini. Kegiatan keilmuan dilakukan dalam
berbagai cara seperti mengadakan majelis taklim dengan menghadirkan ustadz dari
Jakarta dan Jawa ataupun dengan memanfaatkan ustadz-ustadz lokal
yang ada di Sumatera Utara. Majelis taklim dihadiri oleh hampir seluruh jam`ah
dan biasanya dilakukan mingguan dan bulalan. Pengajian mingguan diisi oleh ustadz-ustadz
lokal sementara bulanan diisi oleh ustadz-ustadz dari luar
Sumatera Utara. Selain majelis ta’lim, kegiatan ilmiah dapat pula
dilakukan melalui jalur akademik seperti seminar, dialog, pengkaderan, bedah
buku, dan sebagainya. Selain itu aktifitas keilmuan telah diwujudkan dalam
bentuk tulisan baik yang dipublikasikan melalui website internet, bulletin
maupun pembuatan buku-buku saku dan tuntunan praktis.
Dalam
bentuk seminar telah diadakan beberapa kali khususnya di
universitas-universitas yang ada di Sumatera Utara, seperti USU, UMA dan IAIN.
Adapun yang bersifat dialog dan pengkaderan biasanya dilaksanakan di yayasan,
rumah jama`ah serta di berbagai universitas. Hingga tahun 2006 kegiatan dialog
dan pengkaderan telah dilakukan di USU, UMA, IAIN, Yayasan Amali dan Yayasan
Islam Abu Thalib
RITUAL
SYIAH SUMATRA UTARA
Sebagai
sebuah mazhab teologi dan sekaligus mazhab fikih tentu saja Ahlul Bayt yang
ada di Sumatera Utara sebagaimana di daerah lainnya memiliki berbagai aktifitas
keberagamaan baik yang bersifat individual maupun jama`ah. Untuk ibadah yang
bersifat individual, pengikut mazhab ini hampir tidak memiliki perbedaan dengan
penganut mazhab lainnya yang beragama Islam, kecuali dalam beberapa hal yang
sifatnya sangat ijtihadi.
Pengikut
madzhab Ahlul Bayt melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam, puasa
di bulan Ramadhan, menunaikan zakat dan melaksanakan ibadah haji sebagai ibadah
mahdhah. Selain itu dianjurkan pula bershadaqah, berpuasa sunnah,
membaca al-Qur`an dan beberapa ibadah sunnah lainnya sebagaimana yang juga
dianjurkan pada mazhab lain. Sementara itu, terdapat pula aktifitas
keberagamaan yang dilakukan secara berjam`ah seperti shalat jum`at, shalat `id,
shalat jenazah, memperingati hari asyura, membaca do`a kumayl secara bersama.
Sejumlah
aktifitas yang dilakukan pengikut mazhab Ahlul Baytseperti ibadah shalat
baru dapat didirikan secara berjama`ah di rumah-rumah jama`ah karena hingga
saat ini belum ada mesjid yang secara khusus dibangun oleh komunitas ini di
Sumatera Utara. Namun hal tersebut tentu tidak mengharuskan mereka menghindari
shalat berjama`ah yang dilaksanakan oleh kaum Muslimin lainnya, sebab dalam
aktualisasi ajaran ditekankan perlunya menjaga ukhuwah dan persatuan umat.
Sumber : Perkembangan Komunitas Ahlul Bayt Di Sumatera Utara, Oleh
Zainul Fuad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar