Minggu, 02 Desember 2012

BERITA SYIAH: Sampang, Lupakan Saja

DUA HARI LALU, di sebuah pesantren di Jawa Timur saya bertemu seorang guru agama (ustadz). Dia bertanya,”kenapa berita tentang pengungsi Sampang sekarang sepi?”

Memang begitulah nasib pengungsi di negeri ini. Kaum pengikut Ahmadiyah bertahun-tahun hidup dalam pengungsian di Transito Transmigrasi di Nusa Tenggara Barat, tak ada jalan keluar dan solusinya. Kini terjadi di Sampang, setelah heboh dengan kekerasan 26 Agustus 2012, Presiden SBY menyatakan prihatin dan agar diambil tindakan. Lalu sehari kemudian berduyun-duyun sejumlah petinggi seperti Kapolri, Menteri Agama, Panglima TNI, dan Kepala Badan Intelejen (BIN). Tapi apa hasilnya?

Pengungsi dibiarkan hidup berlarut-larut, bahkan belakangan tak lagi diberi makan dan diperhatikan. Bahkan keperluan utama seperti air distop. Disana hidup anak-anak, perempuan, orang tua dan juga orang lain. Anak-anak terlantar tidak bersekolah, lalu bagaimana masa depan mereka? Siapa yang bertanggung jawab? Menteri Pendidikan tak ada suaranya, padahal dia cendikiawan yang berasal dari Jawa Timur. Sudah jelas, Gubernur dan jajarannya lebih sibuk ngurusi politik, apalagi Bupati Sampang dan jajarannya, takut kehilangan konstituen, lalu mengabaikan kemanusiaan.

Siapa pengungsi di GOR Sampang itu? Apa mereka orang asing, atau alien dari planet lain? Apa Bupati Sampang dan jajarannya, Gubernur Jawa Timur dan jajarann bahkan Presiden dan jajarannya menganggap para pengungsi itu bukan warga negaranya, atau malah menganggap mereka itu (pengungsi) bukan manusia? Anjing, kucing dan binatang-binatang baik yang berkeliaran maupun yang tinggal di Kebun Binatang saja diberikan makan. Saya tak habis pikir dengan mereka para penguasa itu.

Para pengungsi bukan peminta-minta, bahkan tak minta-minta diurusi. Mereka punya tanah di kampung halaman mereka di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan warga Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Bahkan mereka bisa hidup disana, di tempat asalnya. Masalahnya kini, aparat keamanan dan pemerintah daerah, takut dengan sekelompok orang yang mengaku ulama atau kiai di kampung Madura, yang mengancam akan membakar dan berbuat kekerasan jika para pengungsi itu kembali. Para pengungsi sebenarnya tidak takut apa yang terjadi terhadap mereka, jika kembali ke tanah kelahirannya dan tempat mereka berkehidupan.

Namun, mereka menghormati orang-orang yang mengurus negara. Mereka pergi ke lembaga-lembaga negara yang dianggap bisa ikut serta menyumbangkan pikiran dan tenaganya agar mereka bisa kembali ke tanahnya. Bersama-sama organisasi dan lembaga swadaya masyarakat yang selama ini konsern terhadap pengungsi mereka datangi lembaga-lembaga itu, mulai dari Komnas HAM dan terakhir Iklil Al- Milal salah satu korban dan juga adik Ustad Tajul Muluk pada 22 November lalu mendatangi Komisi III DPR di Senayan, Jakarta. Itu terakhir berita yang dimuat Harian Kompas, entah saya tak memperhatikan apakah TEMPO juga memuat berita-berita terbaru tentang Sampang. Sesekali saya melihat running teks di Metro TV tentang nasib pengungsi.

Dulu saat mengungsi, masih ada 274 jiwa tinggal di GOR, kini memang hanya 170 morang yang masih tinggal disana. Ada anak-anak yang kembali ke sekolahnya di berbagai daerah, ada tinggal di tempat keluarganya, bahkan ada yang diam-diam tinggal di sekitaran kampung halaman mereka.

Iklil saat di Jakarta mengatakan selama ada di pengungsian, dibantu dan sumbangan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Bahkan, menurut Iklil, sumbangan itu juga berasal dari warga Sunni yang dulu bertetangga dengan warga Syiah.”Mereka (Sunni) kan dulu tetangga kami, mereka masih suka datang ke GOR pengungsian untuk memberikan bantuan atau dukungan moral bagi kami. Kami sendiri sebenarnya tidak masalah dengan mereka, kami baik-baik saja,”katanya.

Harapan mereka kini cuma kembali ke kampung halaman mereka dan hidup dalam damai. Tak peduli jika bupati, gubernur, menteri, presiden, aktivis kemanusiaan dan media massa melupakan mereka. Toh, bagi banyak pihak mereka para pengungsi cuma angka-angka dari cacah jiwa. Apakah kita yang punya hati nurani, juga akan membiarkan mereka para pengungsi, dan merasa mereka “bukan” dari bagian kita? Saya tidak bisa seperti itu, entah anda. Saya tak bisa menjawab pertanyaan ustad di atas, hanya tertawa getir, dengan hati teriris.

SUMBER : IslamTimes.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar