“Hai Bung, Selamat Natal. Selamat atas kelahiran Yesus Ruh Tuhan!”
INI SEPENGGAL KISAH penduduk kota asal muasal kerapan sapi dan legenda
carok bermula. Hanya 3 jam-an durasi perjalanan dengan bus umum dari
terminal Bungurasih Surabaya ke Sampang. Hemat saya nyaris memastikan
peradaban di sini tertinggal 30 tahun lebih dari Surabaya. Tak perlu
melakukan penelitian langsung untuk membuktikannya, karena dijamin pasti
meruntuhkan seluruh tehnik analisa data dan model-model survey yang
baku. Anda bisa buktikan dengan datang sendiri ke kota yang mencatat
warganya buta huruf berjumlah nyaris 11.000 jiwa. Lalu rasakan rasakan
sendiri auranya.
Bermula dari 2 kakus tawadhu di dalam Lapangan Tennis Indor, 2 tahun
lalu diresmikan Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf dan Bupati
Sampang kala itu Noer Tjahya. Telah 4 bulan toilet seadanya ini saksi
bungkam antrian 300-an komunitas Syiah yang memfungsikannya. Bu Hamsiyah
satu di antaranya, subuh ini berkerudung handuk menenteng timba kecil,
berbaris untuk buang air dan wudhu. Tentu jangan bayangkan perempuan
renta dan pengantri lainnya itu berbaris setelah semalaman kelelahan
bermain Bulu Tangkis, Tennis, Futsal dan olahraga lainnya. Jangan pula
dibayangkan mereka sempat bersiul-siul di dalam kakus.
Hening Subuh ini ditampar raungan-konser tangis balita-balita
pengidap cacingan. Kegaduhan mereka seinchi lebih keras dari speaker
masjid-masjid pengepung Tennis Indoor Sampang. Shalat Subuh berjamaah
dimulai setelah iqamah. Mereka shalat seluruhnya tak bersedekap. Pada
rakaat kedua sebelum ruku’ membaca qunut. Sama seperti jamaah shalat di
masjid-masjid sekitar, setelah shalat mereka membaca zikir. Lalu 9 orang
membaca surah Yasiin secara bersama-sama berulang-ulang.
Tennis Indor yang kini berubah fungi sebagai barak pengungsi ini
dikelilingi pagar rajutan kawat setinggi 2 meter sebagai pemisah tempat
duduk penonton dengan lapangan olahraga. Sekarang kawat-kawat itu
menjadi sampiran sarung, baju dan lainnya. Di sepanjang pagar utara
tertempel kertas tulisan protes para bocah usia sekolah dasar: “Meskipun
rumah saya dibakar dan saya tidak punya rumah lagi, saya ingin sekolah
lagi dan ingin bermain lagi dengan teman-teman kampung saya.” Itu satu
di antara puluhan tulisan mengantung di pohon sintetis buatan seorang
relawan Jaringan Solidaritas Kemanusian Jawa Timur. Maklum telah empat
bulan hak mereka belajar di bangku Sekolah Dasar Karang Gayam distop.
Pagi ini 25 Desember 2012, Muhlisin duduk dengan tatapan kosong ke
Jalan Raya Wijaya Kusuma Sampang, depan Gor. Umurnya 19 tahun.
Penampilannya rapi, rambut lurus, kulit putih, mata sipit. Sekilas dia
mirip penyanyi tampan Korea Shinee Jonghyun. Remaja tinggi-kurus ini
resmi tak bisa lagi bersekolah di almamaternya SMK Negeri 1 Sampang
setelah rumahnya dibakar masa pertama kali pada 29 Desember 2011.
Bersama kerabat dan tetangga dia bangun lagi rumah tinggal di Bluuran,
desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang yang pada
gilirannya bersama 49 rumah warga Syiah lainnya juga ludes dibakar masa.
Bulu kuduk saya berdiri mendengar tuturnya tentang seekor sapi
kerabatnya dan 30an ekor ayam yang dulu tiap hari memberinya untuk
dijual ke pasar. Dari penghasilan ini dia biayai sekolahnya. “Bahkan
ayam saya yang terkepung dituduh Syiah oleh masa penyerbu. Kasihan
ayamku itu ditangkap dan dilempar ke bara api kandangnya yang dibakar
itu. Sapi saudaraku juga dibakar hidup-hidup,” Muhlisin mengenang masa
beringas yang membumihanguskan rumahnya untuk keduakali pada 26 Agustus
2012.
“Hai bung, selamat natal. Selamat atas kelahiran Yesus Ruh Tuhan!”
Cerita Muhlisin terhenti saat saya menyapa Agus Setiawan, pemuda
Kristen yang sejak meletus tragedi Sampang mengadvokasi dan menjadi
relawan melayani para pengungsi Syiah. Postur tubuh Agus antitesa
perawakan Muhlisin. Setelah berbincang seadanya, Agus masuk GOR itu dan
mulai mengumpulkan pemuda-pemuda Syiah untuk menginventarisir
dokumen-dokumen penting yang ikut terbakar. “Semua ijazah, kartu
keluarga dan ktp penduduk Syiah Sampang telah menjadi abu. Maka itu saya
harus dorong pemuda-pemuda ini untuk mengurusnya secara kolektif,” ujar
Agus sambil menghembus asap rokok kreteknya.
Ratusan Pengungsi Syiah yang tinggal di GOR Sampang ini sempat
memancing iba para pegiat kemanusiaan di Nusantara. Bahkan koran-koran
serta majalah Nasional menjadi naik drastis oplahnya karena sempat
memberitakan mereka. Sumbangan-sumbangan pun sempat deras berdatangan.
Minggu pertama sejak meletus tragedi Sampang yang disebabkan tokoh-tokoh
masyarakat anti-keragaman hingga 2 bulan setelahnya, tersedia puluhan
relawan yang membantu meringankan derita para pengungsi di sini.
“Sekarang hanya tersisa saya dan mas Agus Setiawan yang membantu
mengurusi kebutuhan pengungsi di GOR ini. Ya, mengantar orang yang
mendadak pingsan ke rumah sakit, ya pernah juga mengantar seorang
pengungsi yang melahirkan ke klinik bidan terdekat. Banyak pekerjaan di
sini,” ujar Abdur Rauf 40 tahun. Rauf adalah relawan dari Garda Bhineka
Tunggal Ika, tinggal di Pandaan, Pasuruan. Lelaki ini telah 3 bulan
lebih menjadi penduduk tennis indoor sampang. Jiwanya terpanggil untuk “mbabu”
tanpa gaji di sini. Menariknya, profesi Rauf sehari-hari ialah pedagang
pentol cilok (pentol tajin) keliling di kampung-kampung Pandaan.
Istrinya yang buruh pabrik sepatu di Pasuruan merelakan Rauf tak memberi
uang belanja. Ayah dua orang anak ini mengatur seluruh kebutuhan
logistik para pengungsi Syiah di sini.
Tiada yang bisa menjawab pasti, kapan para pengungsi Syiah ini bisa
bulang ke kampung halamannya. Jangan tanya aparat keamanan, karena
mereka pernah menjawab bahwa tiada yang menjamin keselamatan komunitas
Syiah di Sampang jika kembali ke kampong halamannya. Meski tak salah
alamat, jangan pula tanyakan Sukarwo, karena Gubernur Jawa Timur ini
telah mensahkan Pergub No. 55 Tahun 2012 tentang aliran sesat yang
didasarkan pada kriteria dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
(lihat Pasal 5 poin 2). Dan kita semua tahu Majelis Ulama Indonesia
telah berfatwa Syiah adalah aliran sesat, akibatnya seperti tercandra
nyata sekarang di GOR Tennis Indoor Sampang, akibatnya sekelompok masa
membunuh atas nama agama dan Bhineka Tunggal Ika yang digenggaman
Pancasila terancam lepas dan runtuh. (Adam Muhammad)
sumber : beritaprotes.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar