Pengantar :
Sulit mencari pengganti tokoh syiah sekelas jalaludin rahmat. Banyak hal yang sudah dihaslilkan. Buku, ceramah-ceramah, yayasan, sekolahan, ormas dll. Jika di Bandung, muncul ormas ANNAS untuk membendung aliran syiah berkembang, maka ketika jalal sudah menghasilkan kader yang tersebar maka sudah menjadi penyakit yang akan menyerang umat yang tidak imun terhadap doktrin sesat syiah. Para pengikutnya akan meneruskan perjuangan sang tokoh syiah asli indonesia.
Ketika alhabsyi meninggalkan YAPI nya sebagai pusat kaderisasi syiah di Jawa Timur, maka di Jawa Barat, jalal akan banyak meniggalkan aset yang akan dijadikan amunisi syiah untuk meneruskan misi perjuangan syiah.
Terlebih semenjak tahun 2014, jalal masuk menjadi anggota DPR di Senayan, sehingga ada beberapa tokoh anti syiah yang keder menghadapi tokoh syiah yang sekarang juga politisi. Kali ini menghadapi pileg 2019, tokoh syiah tersebut juga mencalonkan diri kembali menjadi politis dari PDIP.
Semoga para ulama dan tokoh masyarakat tidak menyurutkan langkah untuk mengedukasi umat dan membentengi mereka dari aliran dan paham sesat syiah, yang sekaang dikemas dengan berbagai kemasan mengingat, jika mereka saklek dengan metode syiah sebelumnya, maka masyarakat akan bangkit dan menolaknya.
>>>>>>>>>>>>>
Tulisan ini coba menguraikan pemikiran Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal), khususnya tentang pemikiran Islam yang dianutnya. Sumber yang digunakan berasal dari sejumlah wawancara, berita, atau artikel-artikel Kang Jalal yang tersebar di media cetak dan online. Tulisan ini merujuk pula pada sejumlah buku-buku karya Kang Jalal dan pengamatan penulis mulai tahun 2002 hingga 2014.[1]
Sejak masa itulah penulis membaca karya Kang Jalal berupa buku dan buletin,[2] dan menghadiri ceramah-ceramahnya.[3] Juga mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan organisasi IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan dinakodai oleh Kang Jalal.
Karena itu, tulisan ini menggunakan penelitian dengan pendekatan insider[4] sehingga lebih banyak mengungkap hasil pengamatan individual ketimbang studi pustaka. Tidak dipungkiri banyak karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan desertasi tentang Kang Jalal yang sudah ditulis. Bahkan ada buku yang khusus membahas Kang Jalal dalam dakwah dengan studi perbandingan dengan tokoh Aa Gym (Abdullah Gymnastiar).[5]
Biografi
Jalaluddin Rakhmat lahir di Bojongsalam, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pada 29 Agustus 1948.[6] Pada usia remaja sudah menguasai bahasa Arab berkat mengaji kepada Kiai Shidik. Saat masih kecil pula Kang Jalal ditinggalkan ayahnya yang bergabung dalam barisan penegak syariat Islam. Meski tidak ada peran ayah, ibunya yang membimbing dan memasukan pada sekolah dan madrasah. Kang Jalal termasuk yang sukses dalam menempuh pendidikan. Studi terakhir yang ditempuh adalah pendidikan doktor desertasi berjudul Asal Usul Sunnah: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri’ di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. Kang Jalal meraih predikat amat baik dalam ujian promosi doktor dengan co-promotor Prof Dr H Moch Qasim Mathar MA, promotor Prof Dr H Ahmad M Sewang MA, dan penguji adalah Prof Dr H Abd Rahim Yunus MA, Prof Dr Arifuddin Ahmad M.Ag, dan Dr Hamzah Harun Al Rasyid, Lc MA.[7]
Berkaitan dengan pendidikan terakhir ini, Kang Jalal sempat diisukan tidak punya ijazah master dan doktor. Pernyataan itu datang dari Said Shamad, pengurus LPPI Makassar, dan ditanggapi pengurus IJABI Makassar.[8] Bukannya beres, malah muncul lagi[9]dan segera Kang Jalal menjawab bahwa pernyataan mereka tidak benar.[10]
Kang Jalal memang beda dengan Abdurrahman Wahid yang berani langsung serang. Kang Jalal tidak demikian. Cukup dijelaskan seadanya dengan media yang sama. Ini mungkin bagian dari karakter sehingga Kang Jalal terlihat santai ketika dihujat dan dicaci dalam media sosial maupun masjid.[11] Tidak aneh karena dalam kehidupan sehari-hari, Kang Jalal adalah pribadi yang ramah dan bersahabat tanpa membedakan agama atau latar belakang. Dalam sebuah media, Kang Jalal mengatakan, “Saya tak terlalu peduli orang ikut mazhab saya atau tidak. Yang penting orang itu berbuat baik bagi sesama dan tak menghalangi orang lain berbuat baik.”[12]
Begitu juga dengan sikap rendah hati Kang Jalal terlihat saat bersalaman jika ada yang mencoba mencium tangan, segera menariknya. Pernah suatu waktu tangannya dicium seorang mahasiswa, dengan cepat mencium kembali tangan mahasiswa tersebut. Sesuatu yang tidak biasa karena berdasar pada sikap rendah hati.
Hal lain yang jarang ditemukan bahwa Kang Jalal tidak mau disebut ulama. Orang yang layak disebut ulama adalah Muhammad Quraish Shihab. Pernyataan ini merupakan sikap handap asor dari orang berilmu. Seperti padi, semakin berisi makin merunduk. Bahkan, dalam sebuah acara keagamaan yang mengundang tamu dari Kedutaan Besar Iran pun masih sempat mengatur acara dan bolak-balik mendatangi pemandu acara serta mengatur jalannya kegiatan. Padahal, posisi Kang Jalal adalah orang penting. Bukan sesuatu yang mustahil kalau dalam setiap kegiatan Islam yang diselenggarakan IJABI ada sentuhan tangan dan percikan nalar Kang Jalal. Tampaknya keterlibatan langsung dalam sejumlah acara IJABI adalah bentuk pendidikan dan motivasi bagi generasi muda Islam.[13]
Karya Tulis
Kang Jalal adalah cendekiawan yang mampu menyampaikan pesan agama dengan baik dan relevan dengan kondisi zaman. Kemampuannya dalam ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat, dan dirasah Islamiyyah tidak kalah hebat dengan cendekiawan luar Indonesia. Terlihat dari ceramah, pengajian, dan seminar yang bernuansa ilmiah. Materi-materi berat seperti filsafat ketika dipaparkan oleh Kang Jalal terasa mudah dipahami ketimbang membaca bukunya langsung yang terkait dengan materi tersebut. Kang Jalal ibarat kran air yang memuaskan dahaga para pencari ilmu.
Kang Jalal pandai memilih bahasa dan rangkaian katanya rapi serta menarik. Pembahasan filsafat dan kajian agama yang dianggap berat pun kalau diuraikan oleh Kang Jalal bisa langsung dipahami. Kang Jalal kadang membuat contoh dengan pengalaman keseharian sehingga terasa menyentuh. Tidak hanya mampu menyampaikan materi di depan orang-orang dewasa. Bahkan, menyampaikan materi agama dan kesehatan otak di depan murid-murid sekolah.[14] Pengakuan kecerdasan Kang Jalal tidak hanya diakui orang Indonesia. Bahkan, ulama dari Iran dalam sebuah seminar di Bandung pernah menyebut Kang Jalal sebagai salah satu tentera terbaik Imam Mahdi as. Juga ulama di Jawa Timur yang memiliki pesantren besar (kini almarhum) menyebut Kang Jalal sebagai seorang doktor yang paham dengan kondisi zaman dan berilmu pengetahuan. Ulama ini menyarankan murid-muridnya agar menimba ilmu kepada Kang Jalal.[15]
Sebagai cendekiawan Muslim, Kang Jalal terlibat dalam urusan masyarakat dan ke-Indonesia-an. Ia pernah diutus Pemerintah Republik Indonesia untuk menyebarkan persatuan Islam kepada ulama Lebanon dan sering diundang untuk konferensi Islam di Iran. Bahkan pernah diminta pidato dihadapan Presiden Iran: Ahmadinejad, berkaitan dengan buku Islam dan dunia.[16]
Sejumlah karya buku yang ditulis Kang Jalal yang diterbitkan adalah Analisis Isi (1983), Metode Penelitian Komunikasi (1984), Psikologi Komunikasi (1985), Islam Alternatif (1986), Islam Aktual (1991), Renungan-Renungan Sufistik (1991), Retorika Moderen (1992), Catatan Kang Jalal (1997), Reformasi Sufistik (1998), Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999), Tafsir Sufi Al-Fatihah (1999), Tafsir Bil Matsur (1994), Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? (1999), Rindu Rasul (2001), Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002), Psikologi Agama (2003), Meraih Kebahagiaan (2004), Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005), Memaknai Kematian (2006), Islam dan Pluralisme (2006), Tafsir Kebahagiaan (2010), Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan (2008), The Road to Allah (2008), The Road to Muhammad (2009), Madrasah Ruhaniah (2005), Jalan Rahmat (2011), Sunah Nabawiyah: Kajian 14 Hadis (2012), SQ for Kids (Mizan Pustaka), Khotbah-khotbah di Amerika (Rosdakarya), Menyinari Relung-relung Ruhani (2002), O’Muhammadku (Muthahhari Press, 2001), Khalifah Ali bin Abi Thalib (Rosdakarya), Rintihan Suci Ahlulbait (1988), (Sayyidah) Fathimah Azzahra (Rosdakarya), (Sayyidah) Zainab Al-Qubra (Rosdakarya), Keluarga Muslim dalam masyarakat Moderen (Rosdakarya), Komunikasi Antar Budaya (Rosdakarya), Shahifah Sajjadiyyah (terjemahan Ustadz Jalal), Doa Bukan Lampu Aladin (Serambi, 2013), Berbinar Cinta (Muthahhari, 2015), Afkar Penghantar (2016) dan Jangan Kau Bakar Taman Surgamu (2017).[17]
Buku tersebut adalah yang terdata oleh penulis. Sedangkan di luar itu mungkin bisa lebih banyak, terutama karya bersama dengan penulis lain dalam bunga rampai buku atau pengantar untuk buku-buku terjemahan.[18]
Sementara karya Kang Jalal berupa artkel dimuat dalam buletin Al-Tanwir dan majalah seperti Ummat, Ulumul Quran, Tempo, dan Prisma. Untuk surat kabar harian antara lain Pikiran Rakyat, Fajar Timur, Detik, Republika, Pikiran Rakyat, Kompas,Galamedia, dan lainnya. Juga dimuat dalam jurnal Al-Hikmah dan Al-Huda.[19] Karya berupa buku Kang Jalal terdiri dari: ada yang ditulis langsung dan ada yang ditulis ulang dari ceramahnya. Antara karya yang ditulis sendiri dengan yang ditulis ulang (transkrips) dari sisi bahasa dan gaya penuturan tidak jauh berbeda. Malah tidak mengurangi kelezatan dan citarasa dari sajian pemikiran Kang Jalal.
Sejumlah buku yang ditulis ulang dari ceramah biasanya dibaca oleh Kang Jalal untuk diperiksa dan diberi pengantar sebelum terbit. Hal ini karena buku merupakan karya intelektual sehingga kalau sudah terbit menjadi tanggungjawab penulis yang tertera. Orang yang membaca akan langsung melihat, menilai, dan memberikan apresiasi terhadap penulis. Bukan pada lembaga yang menerbitkan. Itulah yang kemudian setiap kali akan terbit, Kang Jalal meluangkan waktu untuk memeriksanya.[20]
Kang Jalal mengawali karier dalam menulis ketika masih SMP dengan meraih Juara I lomba menulis yang berjudul "Jika Saya Menjadi Seorang Penerbang."[21]
Memang terbukti sekarang ini Kang Jalal sering terbang ke pelosok daerah di seluruh Indonesia dan mancanegara. Tidak hanya terbang, tetapi juga membagikan ilmu dan berkontribusi dalam merajut ukhuwah Islamiyyah.
Selain buku dan media massa, karya Kang Jalal lainnya berupa rekaman berupa cd audio dan video. Dalam acara IJABI biasanya dijual video kajian atau dialog Kang Jalal bersama narasumber lain. Untuk rekaman audio disebutkan sudah ada sekira seribu file audio dan dibagikan secara gratis kepada jamaah IJABI dan masyarakat umum.[22] Kemudian ada juga media online yang khusus memuat artikel Kang Jalal seperti Majulah IJABI (www.majulah-ijabi.org) dan Misykat (www.misykat.net).[23]
Melihat karya yang tersebar dalam beragam media maka layak diakui bahwa Kang Jalal termasuk cendekiawan yang produktif dalam dakwah dan telah memberikan pencerahan pemikiran keislaman.[24]
Pilihan Kang Jalal dalam menyampaikan pengetahuan Islam melalui karya tulis merupakan hal yang baik. Banyak ulama yang berilmu, tetapi karena tidak menulis sehingga tidak dikenal dan hilang ditelan zaman. Tanpa sebuah karya, pasti tidak akan mengenal Ibnu Sina sebagai pakar filsafat, kedokteran, dan saintis. Juga tokoh Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Mulla Shadra, Miskawaih, Jalaluddin Rumi, Imam Syafii, Al-Bukhari, Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Khaldun, Abdul Qadir Jailani, dan lainnya.
Meski mereka sudah wafat, orang yang hidup sekian ratus abad setelah mereka masih tetap bisa menikmati buah pemikiran ulama dengan membaca karya tulisnya. Kesadaran menuangkan gagasan dalam tulisan ini memang pernah digaungkan Rasulullah saw: ikatlah ilmu dengan menuliskannya.[25]
Pemikiran Islam
Kang Jalal termasuk cendekiawan yang kontroversial. Nasibnya sama dengan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang tidak mudah diterima gagasannya di kalangan fundamentalis Islam Indonesia. Terutama karena Kang Jalal dikenal sebagai tokoh Muslim Syiah Indonesia yang terus mendapatkan serangan dari pihak-pihak anti Syiah.[1]
Tidak hanya disebut sesat, Kang Jalal juga diancam akan dibunuh. Ancaman ini datang ketika Kang Jalal mengerjakan disertasi di Universitas Islam Negeri Makassar. Sejumlah orang datang dan memprotes UIN Makassar meminta agar Kang Jalal dieliminasi dari kandidat doktor. Namun, permintaan mereka ditolak karena UIN Makassar memberikan gelar doktor berdasarkan pertimbangan ilmiah. Karena ditolak, mereka mengeluarkan ancaman dengan menyatakan darah Kang Jalal halal untuk ditumpahkan.[2]
Kang Jalal memang intelektual yang menarik untuk dikaji pemikirannya. Kalau membaca sejumlah buku yang ditulisnya cukup sulit untuk dikategorikan dalam ranah liberal atau fundamental. Hal ini karena dua dimensi itu ada dalam pemikiran Kang Jalal. Liberal terlihat dari keberanian untuk mengkritik pemikiran intelektual maupun politisi yang tidak memihak kaum dhuafa. Tidak anti dengan gagasan dari Barat, bahkan kerap menggunakan istilah dan mengutip pemikiran dari intelektual Barat. Dekat dengan non-Islam dan membela kalangan Islam liberal ketika dikritik kalangan Islam fundamentalis.
Berdasarkan telaah (sementara) terhadap sejumlah buku dan gagasan yang muncul dalam sejumlah forum ilmiah atau seminar, maka dapat dibagi dua.
Pertama adalah Pribumisasi Syiah.[3] Pemikiran ini berkaitan dengan ajaran Islam yang diyakini oleh Kang Jalal, yaitu mazhab Syiah Imamiyah.[4] Kang Jalal mengenal Syiah ketika menghadiri konferensi Islam internasional di Kolombo, Srilangka. Saat itu bersama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin Anshari, Kang Jalal mendapatkan undangan untuk menghadiri konferensi. Sebelum berangkat, ketiganya menemui Mohammad Natsir yang berada di rumah sakit. Natsir berpesan bahwa kalau nanti bertemu dengan ulama Syiah jangan didengarkan dan agar menolak buku-buku yang diberikannya.
Dalam konferensi, Kang Jalal bertemu dengan Ayatullah Ali Taskhiri dari Iran. Terkesan dengan perangai akhlaq, cara berbicara, dan pidato yang membuatnya terkagum-kagum sehingga memberanikan diri berkenalan dengan ulama Syiah. Kang Jalal menerima buku-buku dan melakukan konfirmasi langsung kepada Taskhiri tentang Syiah yang diketahuinya di Indonesia.
Kemudian dalam pertemuan Islam di Arab Saudi bertemu dengan Syaikh Muhammad Tijani Samawi dari Tunisia. Dari sana kemudian melakukan dialog dan membaca kemudian mengkaji Syiah langsung pada sumbernya. Kemampuan mengakses sumber-sumber teks bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, dan Parsi menggerakan Kang Jalal untuk memahami Syiah dengan baik dari sebelumnya.[5] Ditambah interaksi dengan habib-habib yang memiliki kecenderungan pada mazhab Syiah sehingga makin tertarik dengan ajaran Syiah. Apalagi revolusi Islam Iran di bawah pimpinan Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini yang bergelora sampai Asia Tenggara semakin tertarik untuk menggali Syiah dan bersentuhan dengan buku-buku karya intelektual Syiah modern seperti Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, Muhammad Baqir Sadr, dan Muhammad Husein Fadhlullah.
Di antara tokoh Syiah modern yang berpengaruh adalah Muthahhari, yang menginspirasi Kang Jalal untuk mendirikan Yayasan Muthahhari di Bandung bersama Ahmad Tafsir dan Haidar Bagir. Kegiatan Muthahhari memberikan pengajian untuk mahasiswa, mendirikan lembaga pendidikan SMA Plus Muthahhari, menerbitkan jurnal Al-Hikmah dan buletin Al-Tanwir (kini sudah ada bentuk oline yaitu www.altanwir.net).
Menurut Kang Jalal bahwa Muthahhari adalah seorang pemikir Muslim Syiah yang sangat non-sektarian dan yang sangat terbuka dengan berbagai pemikiran. Sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni, tidak menyerang Sunni, dan lebih banyak belajar dari Sunni. Muthahhari juga orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tetapi menerima khazanah pemikiran Barat dengan sikap kritis dan mampu menjembatani dikotomi antara intelektual dengan ulama.[6]
Sebagaimana dinyatakan Kang Jalal dalam wawancara: “Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syiah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.”[7]
Dari Muthahhari ini berdiri SMP Plus Muthahhari di Kabupaten Bandung, yang khusus untuk anak-anak dhuafa dengan menggabungkan kurikulum nasional dan pesantren.[8] Pada tahun 2007 lahir Sekolah Cerdas Muthahhari tingkat dasar dan Bahtera Muthahhari tingkat sekolah menengah tahun 2010 di Kota Bandung.[9]
Setelah berhasil mendirikan sekolah dan membina jamaah di Masjid Al-Munawwarah, pada 1 Juli 2000 Kang Jalal mendirikan organisasi masyarakat agama Islam yang bernama Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Gedung Merdeka, Bandung. Ormas IJABI ini resmi terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat nomor 127 Tahun 2000/D.I. tanggal 11 Agustus 2000. IJABI didirikan untuk memenuhi kebutuhan umat yang haus pencerahan dan pemikiran Islam serta membantu meringankan beban mustadhafin dengan program pemberdayaan masyarakat.[10] Kang Jalal sendiri sejak berdiri hingga sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Syura IJABI. Ormas IJABI ini bersifat nasional, berasas Pancasila, dan memiliki cabang yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah sekira 2,5 juta orang.[11]
Hampir pada setiap kegiatan IJABI yang bersifat nasional dibacakan teks Pancasila secara bersama dengan dipandu salah seorang panitia, menyanyikan lagu Indonesia Raya, membaca ayat suci Al-Quran, dan melantunkan shalawat. Ini tampaknya keharusan sebagai organisasi nasional sehingga identitas Indonesia muncul dalam setiap kegiatan IJABI. Terbantahkan isu yang menyatakan IJABI sebagai organisasi yang berafiliasi pada wilayah faqih Republik Islam Iran.
Berkenaan dengan pemahaman keagamaan Kang Jalal, secara prinsip tidak berbeda dengan kaum Muslimin Syiah yang tersebar di dunia ini. Meyakini lima dasar agama (rukun iman) yang terdiri dari: tauhid, keadilan Ilahi, nubuwwah, imamah, dan al-maad. Juga mendasarkan amalan ibadah berdasarkan rukun Islam: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Menyelenggarakan Maulid dan Haul Rasulullah saw, Ghadir Khum, Asyura, Nisfu Syaban, dan Lailatul Qadr melalui ormas IJABI sebagai penyelenggaranya.
Dalam penyelenggaraan acara-acara IJABI yang berskala nasional, Kang Jalal memasukan unsur budaya Sunda dalam kegiatan Asyura, Maulid, dan Ghadir Khum. Misalnya pada narasi yang mengisahkan wafat Imam Husain, cucu Rasulullah saw, Kang Jalal membuat syair dalam bahasa Sunda.
Imam Husen imam kaum mustadh`afin
Ngocorkeun getihna
Ngajait nasib nu leutik
Ngabela umat tunggara
Tara sepi pamingpin anu munafik
Ngabobodo rayat
Majar Islam nu diaping
Padahal mangeran dunya
Yazid nyebut maneh Amirul mu`minin
Raja nagri Islam
Bari solat bari haji
Kalakuan euwah-euwah
Rayat ceurik balilihan ting jarerit
Hartana dirampas
Jasmanina dinyenyeri
Jaba batin digerihan
Imam Husen sumegruk bari lumengis
Di makam eyangna
Bari ngeprikkeun kasedih
Ngemutan umat nu lara
Islam nu hak kalandih ku Islam batil
Imam ditebihan
Nu ngagem Islam nu asli
Dicempad majarkeun murtad
Imam Ali nu nyangking wasiat Nabi
Pahlawan khaibar
Kakasih Rabbul Izzati
Dila`nat di mimbar-mimbar
Di Karbala poek mongkleng sepi jempling
Panon poe sirna
Murubut hujan ti langit
Hujan getih jeung cimata
Di Karbala ngababatang raga suci
Putrana Fatimah
Deudeuh teuing putu Nabi
Ditandasa ku umatna
Mastaka nu sok diambung Kanjeng Nabi
Kiwari papisah
Ti jasad kakasih Gusti
Ditancebkeun dina tumbak
Di Karbala ngagolontor getih suci
Ti para syuhada
Anu tigin kana jangji
Bumela ka Imam Jaman
Kumaha rek kenging syafaat Jeng Nabi
Umat nu hianat
Ngiclik nuturkeun si iblis
Bahula ka Rasulullah
Kanjeng Rasul, hapunten abdi nu dolim
Nu teu mirosea
Perlaya na putu Gusti
Al-Husen Abu Abdillah [12]
Tidak hanya bentuk narasi yang disesuaikan dengan budaya lokal, peralatan pendukung pagelaran pun khas Sunda seperti kacapi, suling, angklung, dan lainnya. Bahkan, sekarang ini Kang Jalal sendiri mengenakan ikat kepala (ikaet) dan baju kampret khas Sunda. Hampir pada setiap acara raksukan (pakaian) Sunda dilekatkan seakan menjadi khas Kang Jalal.
Berkaitan dengan ajaran Syiah, Kang Jalal memahami perbedaan Sunni dengan Syiah terletak pada hadis. Mazhab Sunni mengambil hadis-hadis dari sahabat Nabi dan Syiah berasal dari keluarga Nabi.[13] Dalam doa merujuk kepada doa-doa yang diajarkan para Imam dari Ahlulbait yang terdapat dalam Sahifah Sajjadiyah dan Mafatihul Jinan.
Dalam syukuran hari kelahirannya, Kang Jalal sempat membagikan Al-Quran dari Iran yang biasa dibaca penganut Syiah. Menurutnya, Al-Quran yang dimiliki Syiah dicetak lebih baik dengan kertas yang bagus dan desain yang bagus dan cara perlakuan Muslim Syiah terhadap Al-Quran sering dicium serta disentuhkan pada kening.[14]
Pemahaman Kang Jalal yang mungkin beda dengan Muslimin Syiah lainnya berkenaan dengan nikah mut’ah. Secara akademis nikah mut’ah termasuk halal karena didasarkan pada Al-Quran surah Annisa ayat 24 dan hadis-hadis shahih dari jalur Ahlusunnah. Namun, dikarenakan kondisi masyarakat Islam Indonesia yang belum memahami perbedaan dan masih ada persepsi buruk dengan istilah mut’ah maka oleh Kang Jalal dinyatakan “haram” untuk masyarakat IJABI. Meski tidak diakui dalam Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi praktiknya dilakukan semua orang yang menikah karena setelah akad nikah biasanya langsung membaca sighat taqliq thalaq.[15] Di dalamnya disebutkan pernikahan terputus dikarenakan ditinggal suami dan tidak dinafkahi selama enam bulan.[16]
Dalam acara musyawarah IJABI Jawa Barat, Kang Jalal menyampaikan Duta Besar Republik Islam Iran dan ulama Iran pernah meminta berbicara khusus berkaitan dengan isu antiwilayah faqih dan tidak mengikuti marja’ taqlid. Tuduhan itu dijawab oleh Kang Jalal dengan menerangkan bahwa penjelasan wilayah faqih berbeda-beda. Misalnya wilayah faqih menurut Imam Khomeini, wilayah faqih menurut Sayid Husein Fadhlullah, wilayah faqih menurut Ayatullah Muntazhiri, wilayah faqih menurut Ayatullah Kazhim Hairi, dan wilayah faqih menurut Baqir Shadr.[17]
Sekadar diketahui bahwa wilayah faqih merupakan gagasan yang mendasarkan pemerintahan atau masyarakat harus dipimpin oleh seorang faqih atau orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam (ulama). Gagasan seperti ini kali pertama disampaikan filsuf Plato yang mengatakan masyarakat akan baik kalau dipimpin seorang filsuf. Gagasan ini masuk dalam filsafat Islam melalui gerakan penerjemahan buku-buku dan dikembangkan oleh Al-Farabi yang menulis buku Al-Madinah Al-Fadhilah, Fushul Al-Madani.
Gagasan ini muncul lagi pada zaman modern oleh Imam Khomeini hingga menjadi sistem pemerintahan Republik Islam Iran. Imam Khomeini pula yang menempati posisi sebagai rahbar dalam wilayah faqih. Karena wilayah faqih menempatkan ulama dalam kedudukan yang tinggi maka Kang Jalal sebagai pucuk pimpinan IJABI menempatkan dewan syura[18]di daerah-daerah tempat bernaungnya organisasi IJABI di mana pun berada.[19]
Dalam urusan ibadah, Kang Jalal menyatakan bahwa Muslim Syiah dianjurkan untuk shalat wajib dan shalat jumat bersama Ahlussunnah. Banyak ustadz IJABI yang menjadi khatib dan menjadi pengurus masjid sehingga dalam menjalankan ibadah menyesuaikan dengan pemahaman agama yang berlaku di masyarakat.[20] Hal ini menandakan Kang Jalal melakukan pribumisasi Islam Syiah di tengah masyarakat Indonesia yang beragam budaya dan agama.
Kedua, Paradigma Akhlak. Pemahaman Kang Jalal tentang agama Islam tidak jumud. Kang Jalal melihat yang relevan sekarang ini berupaya mengurangi benturan pemahaman dengan mendahulukan akhlak. Pemahaman ini diceramahkannya dalam pengajian dan ditulis pula dalam buletin Al-Tanwir. Ada sekira empat edisi, Kang Jalal menulis tentang dahulukan akhlak yang kemudian oleh Ustadz Miftah F. Rakhmat disusun menjadi buku tersendiri yang kali pertama diterbitkan Muthahhari Press pada 2002. Lalu, diterbitkan Mizan pada 2007 setelah mengalami perbaikan dan penambahan materi. Kemudian Muhammad Babul Ulum menerjemahkannya dalam bahasa Arab dengan judul‘Alaykum bi Makarim al-Akhlaq, yang terbit di Irak pada 2011.[1]
Apabila melihat konteksnya, gagasan dahulukan akhlak ini dilatarbelakangi pengalaman Kang Jalal saat di kampung kelahirannya. Sebagaimana dituturkannya dalam sebuah wawancara di Jakarta, sebagai berikut:
“Saya harus mengingat kembali pengalaman hidup saya. Saya dilahirkan dalam keluarga nahdliyin. Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya pada waktu kecil dan bergabung dengan para pecinta syariat. Saya lalu berangkat ke kota untuk belajar, dan bergabung mula-mula dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan masuk kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad atau pemimpin masa depan. Pada saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah dan dididik di Darul Arqam Muhammadiyah serta pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu, saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidah, khurafat, dan tahayul. Tapi sebetulnya, yang saya berantas adalah perbedaan fikih antara fikih Muhammadiyah dengan fikih NU orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain.
“Tapi apa yang kemudian terjadi? Saya bertengkar dengan paman saya yang masih membina pesantren, dan penduduk kampung. Sebab ketika semua orang berdiri untuk shalat qabliyah Jumat, saya duduk secara demonstratif. Saya hampir-hampir dipukuli karena membawa fikih yang baru. Singkat cerita, melalui pengalaman hidup, saya menemukan bahwa fikih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan sunnah. Hanya saja, kemudian berkembang pendapat yang berbeda-beda. Kekeliruan saya waktu itu: berpikir bahwa fikih itu sama dengan Al-Quran dan sunnah. Artinya, kalau orang menentang Al-Quran dan sunnah, jelas dia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Quran dan sunnah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu perbedaan tafsiran saja.
“Karena itulah kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya ada hal yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apa pun mazhabnya. Lalu saya punya pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, saya akan dahulukan akhlak. Kalau datang ke jamaah NU yang qunut subuh, demi ukhuwah dan memelihara akhlak di tengah-tengah saudara saya, saya akan ikut qunut, walau saya misalnya orang Muhammadiyah yang tidak qunut. Tapi, ketika bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah, saya mungkin tidak qunut demi menghargai jamaah sekitar saya. Itu yang saya maksud mendahulukan akhlak di atas fikih.”
Lebih jauh Kang Jalal juga menjelaskan makna akhlak yang menjadi gagasan utama dari paradigma akhlak yang diusungnya:
“Menurut saya, akhlak sebenarnya tidak ada yang sektarian. Saya percaya, tidak ada relativisme moral, termasuk relativisme akhlak. Ada yang mengatakan bahwa akhlak itu relatif. Menurut saya, orang baik yang menurut orang lain bukan orang baik itu tidak ada. Apakah membantu orang lain, menyebar cinta kasih, menolong mereka yang teraniaya, baik menurut mazhab tertentu, tapi buruk menurut mazhab lain? Saya ingin tahu: adakah akhlak yang sektarianistis? Beri saya satu contoh agar saya tidak kebingungan. Katanya, orang bingung membaca buku saya, karena definisi akhlaknya membingungkan. Menurut saya, akhlak tidak usah didefinisikan. Sebab semua orang tahu mana akhlak baik dan mana yang buruk. Yang ingin saya tahu: kira-kira, apa akhlak yang baik menurut satu mazhab tapi buruk menurut mazhab lain?
“Menurut saya, boleh saja orang lain memakai standar berbeda-beda. Tapi, standarnya adalah akhlak yang disepakati bersama. Kalau bicara tentang akhlak, saya bicara tentang sesuatu yang kebaikannya disepakati bersama. Itulah yang disebut nilai-nilai universal, universal values. Dalam setiap agama, termasuk Islam, terdapat nilai-nilai universal itu. Kita bisa berbagi, hatta dengan agama lain dalam soal nilai-nilai universal ini. Kalau dianalogikan dengan hukum, jadinya kira-kira begini. Di hukum itu, sebenarnya ada masalah antara kepastian hukum dan keadilan. Kalau kita berpegang pada aksara, kepada hukum secara letterlijk , akan ada suatu situasi di mana hukum menjadi tidak adil. Di situlah kepastian hukum bertabrakan dengan ketidakadilan. Analogi itu bisa mengibaratkan soal akhlak dan fikih. Akhlak menurut saya adalah sesuatu yang pasti. Semua orang sepakat soal keutamaan akhlak. Yang tidak sepakat adalah tentang fikih. Jadi, daripada berpegang pada fikih yang tidak pasti, lebih baik kita berpegang pada akhlak yang sudah pasti.”[2]
Dari pengalaman hidup dan renungan terhadap pemahaman agama yang berlaku di masyarakat, Kang Jalal mencoba memberikan penyelesaian dengan mengangkat akhlak sebagai paradigma.
Dalam buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, disebutkan paradigma adalah cara memandang atau persepsi manusia terhadap apa-apa yang dipandang. Paradigma menentukan apa yang diyakini kemudian menentukan perilakunya. Untuk menciptakan masyarakat menuju kondisi damai yang penuh persaudaraan (ukhuwah Islamiyyah). Dengan paradigma akhlak ini Kang Jalal berupaya menghadirkan kembali misi Nabi Muhammad saw yang turun untuk menyempurnakan akhlak di tengah masyarakat Indonesia. Banyak ayat Al-Quran dan hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan pentingnya akhlak seperti shalat dapat mencegah perbuatan keji. Dengan menjalankan hidup yang disertai perilaku baik (akhlak) maka tujuan shalat bisa tercapai karena berdampak pada diri. Bila orang Islam ini dalam perilakunya memiliki dampak positif di tengah masyarakat maka tercapai misi agama Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Al-Quran sendiri menyebut pendusta agama kepada mereka yang tidak memperlakukan anak yatim dengan baik dan tidak memberi makan orang yang tidak mampu.[3] Dua hal ini termasuk dalam akhlak yang diajarkan Rasulullah saw.
Dalam upaya menguatkan gagasannya, Kang Jalal memuat dialog Rasulullah saw dengan orang Yahudi yang bertanya tentang agama. Orang tersebut bertanya berkali-kali dengan berpindah-pindah posisi; dari depan, kiri, kanan, dan belakang. Jawaban Nabi tetap: agama itu akhlak yang baik dengan contoh tidak marah. Orang yang tidak marah dan mampu mengendalikan diri serta menjaga dari perbuatan yang keji masuk dalam kategori akhlak. Terlepas dari motivasi seseorang dalam berbuat, tetapi secara lahiriah menunjukkan akhlak.
Dalam buku Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, Kang Jalal merujuk pada Al-Quran bahwa keimanan ditunjukkan dengan akhlak yang baik dan kekafiran juga ditandai dengan akhlak yang buruk seperti tidak setia, pengkhianat, pendusta, keras kepala, dan maksiat. Juga disebutkan Kang Jalal dalam hadis Rasulullah saw bahwa ciri orang yang tidak beriman adalah suka mengganggu tetangga, tidak memperhatikan saudara dan membiarkan tetangganya kelaparan, dan tidak memegang amanah. Rasulullah saw tidak menggunakan ukuran fikih untuk menakar keimanan seseorang. Keimanan diukur dengan akhlak dan kemuliaan seseorang juga didasarkan pada akhlak. Sebagai contoh dalam hadis disebutkan: barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tamu, menghormati tetangga, berbicara yang benar atau diam.[4]
Tidak semua orang setuju dengan gagasan Kang Jalal ini. Melihat dari judul bukunya,Dahulukan Akhlaq di Atas Fiqih, langsung terkesan mengabaikan fiqih. Bahkan seorang ustdaz di Jakarta, pelajar Indonesia di Qom (Iran), dan dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung tidak sepakat dengan paradigma akhlak ini.[5] Kemungkinan mereka ini belum memahaminya secara komprehensif dan tidak melihat perkembangan pemikiran Kang Jalal. Sesuatu yang sah kalau ada yang tidak setuju dengan gagasan seseorang karena pemikiran manusia tidak ada yang sakral meski merujuk pada Al-Quran dan hadis. Namun, dari orang-orang yang tidak setuju atau mengkritik Kang Jala belum ada yang berani menuangkannya dalam bentuk buku atau makalah ilmiah yang terbit dalam jurnal.
Masih berkaitan dengan paradigma akhlak, dalam sebuah facebook Kang Jalal memberikan komentar terhadap orang yang menyerang, khususnya dari kalangan anti Syiah. Kang Jalal menulis sebagai berikut:
“Assalamu alaikum: Maaf, sudah lama saya tidak mengomentari posting saudara-saudaraku. Terima kasih kepada semua pihak yang rajin mengunjungi laman ini. Akhirnya, terpulang kepada yang Mahakasih untuk menilai niyat saudara bergabung bersama saya. Tetapi inilah komentar umum untuk beberapa komen yang tampaknya dipergunakan oleh segelintir orang (untungnya segelintir) untuk menyerang kelompok Islam yang lain tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab.
“Dari komen-komen di tempat ini, saya melihat jelas sekali perbedaan akhlak pembenci Ahlul Bait dengan pecintanya. Akhlak bisa dilihat dari kalimat-kalimat yang ditulis. Kata Imam Ali: Al-Lisaan miizaanul insaan. Lidah itu ukuran kemuliaan manusia. Karena itu, saya biarkan pembenci Syiah menunjukkan akhlaknya di laman ini. Qad tabayyanar rusydu minal ghayy. Sudah jelas sekali kebenaran berbeda dari kesesatan. Para pecinta Ahlulbait, tunjukkan akhlakmu yang mulia!
“Saya tidak memasukkan mereka ke dalam spam atau remove dengan harapan saudara bisa ‘mendidik’ mereka. Atau mereka mendidik diri mereka sendiri. Kita juga bisa belajar tentang akhlak yang buruk dari para pelakunya. Sebagaimana kita tidak enak membacanya, maka jangan biarkan orang lain tidak enak membaca tulisan kita. Inilah yang sekarang disebut sebagai ethics of reciprocity, yang diajarkan oleh seluruh agama. Karena itu, sekarang orang menyebutnya global ethics.
“Do not do unto others what you do not want them to do unto you. Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin orang melakukannya kepadamu. Pada kesempatan lain akan saya kutipkan berbagai kitab suci tentang etika global ini dengan redaksi yang bermacam-macam. Kata orang Jawa, jangan cubit orang kalau kamu tidak mau dicubit. Kalau mau pura-pura menjadi filusuf, inilah salah satu kategori imperatif Immanuel Kant.
“Sekali lagi terima kasih atas posting-posting yang saudara kirimkan dan kita berbagi pengetahuan dan pengalaman yang mencerahkan pemikiran dan menaikkan status ruhaniah kita. Laa yadhurrukum man dhalla idzahtadaytum.”[6]
Khulasah
Kang Jalal merupakan tokoh Islam yang populer hingga ke luar Indonesia. Kang Jalal tidak hanya bergerak dalam ranah teoritis, tetapi juga praktis. Ini membuktikan Kang Jalal bukan seorang intelektual menara gading. Gagasan Kang Jalal berkembang terus. Asalnya seorang modernis yang mengusung Islam puritan, berubah menjadi Syiah, kemudian mengusung ukhuwah Islamiyyah dengan paradigma akhlak. Masih ada gagasan sufisme, kritik historis Nabi, dan Agama Madani yang perlu dikaji tersendiri sehingga akan menampilkan peta pemikiran dan gambaran sosok Jalaluddin Rakhmat secara holistik. Semoga ada yang berkenan untuk melakukan kajian lanjutan. Bahkan, sangat memungkinkan untuk dikritik. Siapa yang berani? (tamat)
PENULIS: Ahmad Sahidin adalah alumni Pascasarjana UIN SGD Bandung. Tulisan ini merupakan makalah yang pernah dipresentasikan saat kuliah di UIN Bandung.
tulisan di atas, kami nukil dari sebuah web syiah ijabi. aslinya adalah 3 tulisan. catatan kaki bagian pertama dan kedua bisa dirujuk di web aslinya.