Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
KETIKA kita mempertanyakan siapakah sesungguhnya kelompok yang
menamakan diri sebagai Syiah, tentu satu-satunya jawaban adalah
menelusuri sejarahnya. Sejarah memang berfungsi salah satunya untuk
memperjelas dan memberi identitas. Oleh sebab itu, baik dari kalangan
Syiah sendiri maupun dari yang bukan Syiah ingin mencoba menunjukkan
identitasnya melalui analisis kesejarahan. Kedua-dua kelompok ini ingin
mencoba menunjukkan siapa sebenarnya Syiah itu.
Pihak Syiah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang sah,
bahkan lebih sah dari kelompok yang mengaku Islam lainnya. Mereka
tunjukkan itu dengan catatan-catatan sejarah yang mereka konstruksi
sehingga lahir kesimpulan bahwa Syiah telah ada sejak zaman Nabi Saw.
dan Nabi Saw merekomendasikan agar umat Islam memilih Syiah. Sementara
itu, yang mengkritik Syiah justru dengan segudang bukti menunjukkan
bahwa Syiah tidak pernah ada kecuali setelah masa Usman ibn Affan dan
pada perkembangannya disusupi oleh Yahudi yang berpura-pura masuk Islam,
yaitu Abdullah ibn Saba’.
Kedua pendapat ini tentu saja di kalangan awam cukup membingungkan.
Bahkan tidak sedikit yang akhirnya apatis dan tidak tertarik untuk
menelisik lebih dalam mengenai kebenaran keduanya. Inilah yang akhirnya
mengaburkan usaha untuk mengungkap siapa sesungguhnya Syiah.
Tulisan ini bukan bermaksud menelusuri persoalan sejaran Syiah ini
dari sumber-sumber utamanya untuk melahirkan suatu historiografi tentang
Syiah yang dianggap kuat. Tulisan ini hanya akan membandingkan
tulisan-tulisan mengenai sejarah Syiah yang ditulis oleh orang Syiah dan
penentangnya. Buku yang ditulis Syiah yang akan direview adalah tulisan
Hashim Al-Musawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berjudul The Shia: Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya dan buku yang
ditulis salah satu intelektual IJABI Muhammad Babul Ulum, Merajut
Ukhuwah Memahami Syi’ah. Sementara buku yang memuat versi lain tentang
sejarah Syiah adalah buku Ihsan Ilahy Zhahir, Al-Syi’ah wa Al-Tasyayyu’:
Firaq wa Tarikh.
Tujuan pembandingan sumber-sumber di atas adalah untuk mengetahui
bagaimana masing-masing pihak melakukan rekonstruksi terhadap sejarah
Syiah, argumen yang dibangun, dan sikapnya terhadap penulis lain yang
berseberangan pendapat. Dengan cara ini, kita sebagai pembaca awam
mudah-mudahan dapat secara objektif menentukan bacaan yang lebih baik
kita jadikan pegangan.
Sejarah Syiah dalam buku Al-Musawi dan Babul Ulum
Baik
buku Al-Musawi maupun Babul Ulum, keduanya merupakan buku pengantar
untuk mengenal sekte Syiah. Al-Musawi adalah penulis Syiah asal Libanon
dan buku aslinya dalam bahasa Inggris diterbitakan oleh Ghadir Center
for Islamic Studies Beirut. Buku ini berisi penjelasan mengenai siapa
sesungguhnya Syiah yang dijelaskannya dengan mengupas sejarah Syiah;
juga dijelaskan apa saja ajaran-ajaran pokok Syiah secara lengkap,
terutama menyangkut keimanan dalam pandangan Syiah.
Sementara itu, Babul Ulum adalah seorang aktivis Syiah militan dari
Indonesia yang kini tinggal di Bandung. Ia bergabung dengan ormas Syiah
bentukan Jalaludin rahmat, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul-Bait Nabi) dan
menjadi salah seorang pejabat terasnya di ormas ini. Buku yang
ditulisnya pun menggunakan pendekatan sejarah untuk menunjukkan
identitas Syiah. Selebihnya ia menjelaskan tentang prinsip-prinsip ushul
Syiah dalam menetapkan hukum. Buku ini dengan buku Al-Musawi dapat
saling melengkapi tentang ajaran dasar Syiah dalam hal aqidah dan hukum,
namun masih belum terlalu mendalam dan lengkap.
Mengenai sejarah Syiah, kedua-duanya terlihat ingin mendelegitimasi
rekonstruksi sejarah Syiah yang ditulis oleh Ihsan Ilahy Zhahir. Hanya
saja, Al-Musawi tidak menyebut nama sedangkan Ulum secara tegas
menyebut nama penulis asal Pakistan itu. Al-Musawi menulis,“Banyak
penulis tidak objektif ketika menyebut asal-muasal Syiah. Mereka
menyebarkan pernyataan tanpa bukti bahwa mazhab Syiah dibentuk oleh
seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba. Yang lain menyatakan bahwa
mazhab Syiah lahir setelah nabi Saw. wafat ketika sekelompok sahabat
bertemu di rumah Ali dan mendapat dukungan dari istri Ali, Fatimah, dan
paman Ali al-Abbas, atau bahwa mazhab Syiah lahir bertahun-tahun
kemudian pada masa pemerintahan Imam Ali sebagai Khalifah.” ( The Shia:
Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya, hal. 20)
Al-Musawi tidak menyebut siapa penulis yang disebutnya “tidak
objektif” dan juga tidak menjelaskan apa ketidakobjektifan yang
dilakukannya. Akan tetapi, mereka yang mendalami sejarah Syiah pasti
akan segera mengingat Ihsan Ilahy Zhahir yang populer dengan tulisannya
mengenai masalah ini dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia
tentang sejarah Syiah. Sementara itu, Ulum dengan tegas menyebut siapa
penulis yang tidak disebut oleh Al-Musawi di atas. Berikut tulisannya,
"Ihsan Ilahy Dzahir, salah seorang penulis bayaran berpaham Nashibi dari
Pakistan, membatasi munculnya Syiah pada masa kepemimpinan Utsman yang
kemudian meluas di kala pecah konflik antara Ali dan Muawiyah.
Penggunaan istilah Syiah menurutnya, hanya untuk dua kelompok politik
dan golongan yang saling bertentangan dalam urusan yang berkaitan dengan
kekuasaan dan pemerintahan….
Dengan demikian, pendapat yang
menisbahkan ajaran Syiah kepada Abdullah bin Saba’, seorang pendeta
Yahudi yang masuk Islam hanya untuk merusak ajarannya dan sangat benci
terhadap Islam, secara otomatis tertolak, baik menurut logika akal sehat
maupun dalil agama. ( Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah,hal. 43 dan 47)
Kedua penulis ini tidak menjelaskan secara rinci argumen-argumen yang
ditulis oleh Zhahir sehingga siapa saja yang membacanya tidak bisa
menghindari kesan bahwa kadua penulis ini hanya menyebarkan fitnah
tentang Ihsan Ilahy Zhahir dan penulis-penulis yang sependapat
dengannya. Ulum memang menyebutkan alasannya menolak pendapat Zhahir,
yaitu bahwa Zhahir menolak hadis tentang peristiwa indzâr karena tidak
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori. Kemudian secara tidak nyambung Ulum
berargumen bahwa Shahih Bukhori memuat banyak hadis dhaif sehingga
argumen Zhahir tertolak karena ini. (Selengkapnya lihat, Merajut
Ukhuwah Memahami Syi’ah, hal. 44-47)
Yang dimaksud peristiwa Indzâr adalah peristiwa ketika turun ayat
وأنذر عشيرتك الأقربين (QS Al-Syu’ara: 214). Ulum mengutip pendapat
Kasyif Githa’ bahwa ayat ini berkaitan dengan isyarat Nabi tentang
adanya kelompok pendukung Ali (Syiah Ali). Menurutnya Nabi Muhammad Saw.
mengumpulkan kerabat dekatnya (Bani Hasyim). Para ahli sejarah
berselisih pendapat tentang jumlah mereka waktu itu. Ada yang
berpendapat tiga puluh orang, ada pula yang mengatakan kurang lebih
empat puluh orang termasuk para paman beliau, termasuk para paman
beliau, Abu Thalib, Hamzah, dan Abu Lahab. Setelah kerabat Nabi
berkumpul, beliau memperingatkan mereka sebagaimana perintah ayat
tersebut, dan berkata, “Siapa di antara kalian yang menolongku untuk
menjadi saudaraku, pewarisku, pengemban wasiatku, wazirku, penggantiku
untuk memimpin kalian sepeninggalku?” Tidak ada seorang pun yang hadir
menjawab seruan beliau selain Ali bin Abi Thalib. Seraya berdiri,
Ali—yang terkucil di antara mereka yang hadir—berkata, “Aku, wahai
Nabiyullah. Aku bersedia menjadi pembantumu.” Kemudian Rasulullah
memangkunya seraya berkata, “Dengarlah dia dan taatilah ia.” Yang hadir
pada waktu itu pun berdiri sambil tertawa mengejek Abu Thalib, seraya
berkata, “Lihatlah, dia telah menyuruhmu untuk mendengarkan dan taat
kepada anakmu.” ( Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah,hal. 42 dan 43)
Peristiwa
inilah yang dianggap oleh Ulum sebagai cikal bakal lahirnya Syiah.
Sementara itu, untuk menunjukkan bahwa Syiah telah ada sejak zaman
Rasul, Al-Musawi menyebutkan bahwa istilah Syiah (Ali) ini pada zaman
Rasulullah Saw. digunakan untuk menyebut empat sahabat pengikut setia
Ali, yaitu: Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Al-Miqdad, dan Ammar
ibn Yasir. Kesimpulan ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Askar dari
Jabir bin Abdillah yang menyebut nama keempat sahabat itu saat
menafsirkan ayat, “Mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk.” (QS
Al-Bayyinah: 7). Dalam riwayat itu disebutkan, “Saat itu kami tengah
bersama Nabi. Lalu datang kepada kami Ali. Nabi berkata, “Demi Dia yang
hidupku di tangan-Nya, dia (maksudnya Ali) beserta pengikut dan
pendukung setianya akan menjadi orang-orang yang menang pada Hari
Kebangkitan.” Yang dimaksud pendukung Ali adalah keempat sahabat di
atas. (The Shia: Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya, hal. 21)
Jadi, menurut kedua buku ini Syiah ini telah terbentuk sejak zaman
Nabi Saw. Mereka dipelopori oleh empat sahabat pendukung setianya, yaitu
Salman, Miqdad, Abu Dzar, dan Ammar. Bila kemudian semakin
terfragmentasi kelompok Ali dan Bani Umawiyah sepeninggal Usman ibn
Affan, mereka menganggapnya sebagai suatu perkembangan yang wajar dari
cikal bakal yang sudah tumbuh sejak zaman Nabi Saw. yang setelah itu
kemudian berkembang sampai menjadi mengeras saat terjadi pertentangan
sengit antara kelompok Ali dan Bani Umayah pada masa kepemimpinan Ali
ibn Abi Thalib. Sejak saat itu, kelompok ini menjadi semakin tampak
bentuknya dan memiliki doktrin sendiri di tangan Ja’far Al-Shadiq
setelah peristiwa Karbala. (Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah, hal. 61-65)
Akan tetapi, doktrin ini menurut kedua buku ini hanyalah suatu mazhab
fikih Ja’fariyah yang sebanding dengan mazhab-mazhab lain yang juga
sama-sama berkembang di dalam Islam. Bersambung...
Penulis buku-buku Sejarah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar