Selasa, 09 April 2013

SEPUTAR BABUL ULUM, TOKOH IJABI NAS: Antara Al-Musawi, Ulum dan Ihsan Ilahy Dzahir

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
KETIKA kita mempertanyakan siapakah sesungguhnya kelompok yang menamakan diri sebagai Syiah, tentu satu-satunya jawaban adalah menelusuri sejarahnya. Sejarah memang berfungsi salah satunya untuk memperjelas dan memberi identitas. Oleh sebab itu, baik dari kalangan Syiah sendiri maupun dari yang bukan Syiah ingin mencoba menunjukkan identitasnya melalui analisis kesejarahan. Kedua-dua kelompok ini ingin mencoba menunjukkan siapa sebenarnya Syiah itu.

Pihak Syiah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang sah, bahkan lebih sah dari kelompok yang mengaku Islam lainnya. Mereka tunjukkan itu dengan catatan-catatan sejarah yang mereka konstruksi sehingga lahir kesimpulan bahwa Syiah telah ada sejak zaman Nabi Saw. dan Nabi Saw merekomendasikan agar umat Islam memilih Syiah. Sementara itu, yang mengkritik Syiah justru dengan segudang bukti menunjukkan bahwa Syiah tidak pernah ada kecuali setelah masa Usman ibn Affan dan pada perkembangannya disusupi oleh Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yaitu Abdullah ibn Saba’.

Kedua pendapat ini tentu saja di kalangan awam cukup membingungkan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya apatis dan tidak tertarik untuk menelisik lebih dalam mengenai kebenaran keduanya. Inilah yang akhirnya mengaburkan usaha untuk mengungkap siapa sesungguhnya Syiah.
Tulisan ini bukan bermaksud menelusuri persoalan sejaran Syiah ini dari sumber-sumber utamanya untuk melahirkan suatu historiografi tentang Syiah yang dianggap kuat. Tulisan ini hanya akan membandingkan tulisan-tulisan mengenai sejarah Syiah yang ditulis oleh orang Syiah dan penentangnya. Buku yang ditulis Syiah yang akan direview adalah tulisan Hashim Al-Musawi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul The Shia: Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya dan buku yang ditulis salah satu intelektual IJABI Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah. Sementara buku yang memuat versi lain tentang sejarah Syiah adalah buku Ihsan Ilahy Zhahir, Al-Syi’ah wa Al-Tasyayyu’: Firaq wa Tarikh.

Tujuan pembandingan sumber-sumber di atas adalah untuk mengetahui bagaimana masing-masing pihak melakukan rekonstruksi terhadap sejarah Syiah, argumen yang dibangun, dan sikapnya terhadap penulis lain yang berseberangan pendapat. Dengan cara ini, kita sebagai pembaca awam mudah-mudahan dapat secara objektif menentukan bacaan yang lebih baik kita jadikan pegangan.

Sejarah Syiah dalam buku Al-Musawi dan Babul Ulum
Baik buku Al-Musawi maupun Babul Ulum, keduanya merupakan buku pengantar untuk mengenal sekte Syiah. Al-Musawi adalah penulis Syiah asal Libanon dan buku aslinya dalam bahasa Inggris diterbitakan oleh Ghadir Center for Islamic Studies Beirut. Buku ini berisi penjelasan mengenai siapa sesungguhnya Syiah yang dijelaskannya dengan mengupas sejarah Syiah; juga dijelaskan apa saja ajaran-ajaran pokok Syiah secara lengkap, terutama menyangkut keimanan dalam pandangan Syiah.


Sementara itu, Babul Ulum adalah seorang aktivis Syiah militan dari Indonesia yang kini tinggal di Bandung. Ia bergabung dengan ormas Syiah bentukan Jalaludin rahmat, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul-Bait Nabi) dan menjadi salah seorang pejabat terasnya di ormas ini. Buku yang ditulisnya pun menggunakan pendekatan sejarah untuk menunjukkan identitas Syiah. Selebihnya ia menjelaskan tentang prinsip-prinsip ushul Syiah dalam menetapkan hukum. Buku ini dengan buku Al-Musawi dapat saling melengkapi tentang ajaran dasar Syiah dalam hal aqidah dan hukum, namun masih belum terlalu mendalam dan lengkap.

Mengenai sejarah Syiah, kedua-duanya terlihat ingin mendelegitimasi rekonstruksi sejarah Syiah yang ditulis oleh Ihsan Ilahy Zhahir. Hanya saja, Al-Musawi tidak menyebut nama sedangkan Ulum secara tegas menyebut nama penulis asal Pakistan itu. Al-Musawi menulis,“Banyak penulis tidak objektif ketika menyebut asal-muasal Syiah. Mereka menyebarkan pernyataan tanpa bukti bahwa mazhab Syiah dibentuk oleh seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba. Yang lain menyatakan bahwa mazhab Syiah lahir setelah nabi Saw. wafat ketika sekelompok sahabat bertemu di rumah Ali dan mendapat dukungan dari istri Ali, Fatimah, dan paman Ali al-Abbas, atau bahwa mazhab Syiah lahir bertahun-tahun kemudian pada masa pemerintahan Imam Ali sebagai Khalifah.” ( The Shia: Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya, hal. 20)

Al-Musawi tidak menyebut siapa penulis yang disebutnya “tidak objektif” dan juga tidak menjelaskan apa ketidakobjektifan yang dilakukannya. Akan tetapi, mereka yang mendalami sejarah Syiah pasti akan segera mengingat Ihsan Ilahy Zhahir yang populer dengan tulisannya mengenai masalah ini dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia tentang sejarah Syiah. Sementara itu, Ulum dengan tegas menyebut siapa penulis yang tidak disebut oleh Al-Musawi di atas. Berikut tulisannya, "Ihsan Ilahy Dzahir, salah seorang penulis bayaran berpaham Nashibi dari Pakistan, membatasi munculnya Syiah pada masa kepemimpinan Utsman yang kemudian meluas di kala pecah konflik antara Ali dan Muawiyah. Penggunaan istilah Syiah menurutnya, hanya untuk dua kelompok politik dan golongan yang saling bertentangan dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan dan pemerintahan….

Dengan demikian, pendapat yang menisbahkan ajaran Syiah kepada Abdullah bin Saba’, seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam hanya untuk merusak ajarannya dan sangat benci terhadap Islam, secara otomatis tertolak, baik menurut logika akal sehat maupun dalil agama. ( Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah,hal. 43 dan 47)


Kedua penulis ini tidak menjelaskan secara rinci argumen-argumen yang ditulis oleh Zhahir sehingga siapa saja yang membacanya tidak bisa menghindari kesan bahwa kadua penulis ini hanya menyebarkan fitnah tentang Ihsan Ilahy Zhahir dan penulis-penulis yang sependapat dengannya. Ulum memang menyebutkan alasannya menolak pendapat Zhahir, yaitu bahwa Zhahir menolak hadis tentang peristiwa indzâr karena tidak diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori. Kemudian secara tidak nyambung Ulum berargumen bahwa Shahih Bukhori memuat banyak hadis dhaif sehingga argumen Zhahir tertolak karena ini. (Selengkapnya lihat, Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah, hal. 44-47)

Yang dimaksud peristiwa Indzâr adalah peristiwa ketika turun ayat وأنذر عشيرتك الأقربين (QS Al-Syu’ara: 214). Ulum mengutip pendapat Kasyif Githa’ bahwa ayat ini berkaitan dengan isyarat Nabi tentang adanya kelompok pendukung Ali (Syiah Ali). Menurutnya Nabi Muhammad Saw. mengumpulkan kerabat dekatnya (Bani Hasyim). Para ahli sejarah berselisih pendapat tentang jumlah mereka waktu itu. Ada yang berpendapat tiga puluh orang, ada pula yang mengatakan kurang lebih empat puluh orang termasuk para paman beliau, termasuk para paman beliau, Abu Thalib, Hamzah, dan Abu Lahab. Setelah kerabat Nabi berkumpul, beliau memperingatkan mereka sebagaimana perintah ayat tersebut, dan berkata, “Siapa di antara kalian yang menolongku untuk menjadi saudaraku, pewarisku, pengemban wasiatku, wazirku, penggantiku untuk memimpin kalian sepeninggalku?” Tidak ada seorang pun yang hadir menjawab seruan beliau selain Ali bin Abi Thalib. Seraya berdiri, Ali—yang terkucil di antara mereka yang hadir—berkata, “Aku, wahai Nabiyullah. Aku bersedia menjadi pembantumu.” Kemudian Rasulullah memangkunya seraya berkata, “Dengarlah dia dan taatilah ia.” Yang hadir pada waktu itu pun berdiri sambil tertawa mengejek Abu Thalib, seraya berkata, “Lihatlah, dia telah menyuruhmu untuk mendengarkan dan taat kepada anakmu.” ( Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah,hal. 42 dan 43)

Peristiwa inilah yang dianggap oleh Ulum sebagai cikal bakal lahirnya Syiah. Sementara itu, untuk menunjukkan bahwa Syiah telah ada sejak zaman Rasul, Al-Musawi menyebutkan bahwa istilah Syiah (Ali) ini pada zaman Rasulullah Saw. digunakan untuk menyebut empat sahabat pengikut setia Ali, yaitu: Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Al-Miqdad, dan Ammar ibn Yasir. Kesimpulan ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Askar dari Jabir bin Abdillah yang menyebut nama keempat sahabat itu saat menafsirkan ayat, “Mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 7). Dalam riwayat itu disebutkan, “Saat itu kami tengah bersama Nabi. Lalu datang kepada kami Ali. Nabi berkata, “Demi Dia yang hidupku di tangan-Nya, dia (maksudnya Ali) beserta pengikut dan pendukung setianya akan menjadi orang-orang yang menang pada Hari Kebangkitan.” Yang dimaksud pendukung Ali adalah keempat sahabat di atas. (The Shia: Mazhab Syiah Asal-Usul dan Keyakinannya, hal. 21)


Jadi, menurut kedua buku ini Syiah ini telah terbentuk sejak zaman Nabi Saw. Mereka dipelopori oleh empat sahabat pendukung setianya, yaitu Salman, Miqdad, Abu Dzar, dan Ammar. Bila kemudian semakin terfragmentasi kelompok Ali dan Bani Umawiyah sepeninggal Usman ibn Affan, mereka menganggapnya sebagai suatu perkembangan yang wajar dari cikal bakal yang sudah tumbuh sejak zaman Nabi Saw. yang setelah itu kemudian berkembang sampai menjadi mengeras saat terjadi pertentangan sengit antara kelompok Ali dan Bani Umayah pada masa kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib. Sejak saat itu, kelompok ini menjadi semakin tampak bentuknya dan memiliki doktrin sendiri di tangan Ja’far Al-Shadiq setelah peristiwa Karbala. (Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah, hal. 61-65)

Akan tetapi, doktrin ini menurut kedua buku ini hanyalah suatu mazhab fikih Ja’fariyah yang sebanding dengan mazhab-mazhab lain yang juga sama-sama berkembang di dalam Islam. Bersambung...
Penulis buku-buku Sejarah Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar