KETEGANGAN hubungan pengikut antara Syiah dan Sunni di Sampang,
Madura terdengar di seluruh penjuru Indonesia. Namun, fakta itu tak
lantas mengganggu hubungan pengikut Syiah di tempat lain.
Setidaknya itulah yang terlihat di Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri,
Kabupaten Jepara. Di daerah tersebut banyak pengikut Syiah dan Sunni.
Namun, mereka hidup sangat harmonis.
Pengikut Syiah di desa tersebut berkisar antara 100 keluarga hingga
150 keluarga. Dari 12 rukun warga (RW) di Desa Banjaran, pengikut Syiah
paling banyak berada di wilayah RW 1 yang tersebar di RT 2, 3, dan 4.
Adapun pengikut Sunni merupakan mayoritas penduduk di desa tersebut.
Pengikut Sunni maupun Syiah lebih memilih menunjukkan wajah harmonis
dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua belah pihak menyadari ada perbedaan
dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin memperlebar jurang perbedaan
tersebut.
Mereka juga memilih untuk bersama-sama dalam konteks hubungan
kemanusiaan. Misalnya, jika ada warga yang meninggal dengan aliran apa
pun, pengikut Syiah dan Sunni bersama-sama melakukan shalat jenazah
hingga proses pemakaman. Tak hanya itu, mereka juga tetap menjaga
kebersamaan dengan tahlil atau doa bersama bagi jenazah.
Sesepuh alirah Syiah Ahmad Badawi (65), warga RT 3, RW 1 menjelaskan,
Syiah mulai ada di Desa Banjaran pada 1980. Ajaran itu dibawa Sayyid
Abdul Qodir Bafaqih dari kampung Kauman Desa/Kecamatan Bangsri.
’’Awalnya, dari Bafaqih, kemudian terus berkembang hingga sekarang.
Kami shalat berjamaah dan melakukan pengajian di Mushala Al Khusainiyah
ini. Tapi, kalau urusan kemasyarakatan kami gabung jadi satu. Bahkan,
saat ada pembangunan masjid pengikut Sunni dan Syiah saling membantu,’’
ungkap Badawi, kemarin.
Dia menambahkan, setiap warga di Desa Banjaran sudah memahami hal itu.
Bahkan tak jarang dalam satu rumah dan memiliki pertalian darah ada yang
berbeda aliran.
’’Jadi satu rumah itu ada yang
Syiah dan ada yang Sunni. Anak saya yang pertama juga akan menikah
dengan orang Sunni. Bagi saya tidak masalah. Soal ibadah biar Allah yang
menilai,’’ terangnya.
Badawi mengungkapkan, di keluarganya sendiri juga terjadi perbedaan
aliran. Empat saudaranya menjadi pengikut Sunni dan dua orang lainnya
pengikut Syiah.
’’Banyak yang masih memiliki hubungan darah. Saat Lebaran, karena
saya ini termasuk yang tua di sini, baik pengikut Sunni maupun Syiah
datang berkunjung untuk bermaaf-maafan. Semoga kondisi di sini bisa
menjadi contoh yang baik,íí harapnya.
Bagaimana kondisi itu bisa berjalan baik hingga sekarang? Apakah tak ada ketegangan?
Badawi menjelaskan, hal itu sempat terjadi pada awalnya. ’’Setelah
berjalan satu-dua tahun, hubungan dua pengikut semakin cair dan
berlanjut hingga sekarang,’’ jelasnya.
Bentuk Wadah
Hal senada disampaikan Zabidi, tokoh Sunni yang merupakan ketua
Ranting Nahdhatul Ulama (NU) di Desa Banjaran. Dia menegaskan, tidak ada
masalah dalam hal kemasyarakatan.
Dia juga menandaskan, anak-anak muda di desa tersebut sudah paham dengan
kondisi tersebut. ’’Karena sudah turun-temurun tidak ada permasalahan.
Masing-masing pihak sudah saling memahami. Selain itu, juga banyak yang
memiliki ikatan saudara,’’ jelasnya.
Selain memiliki talian darah, kata Zabidi, ada upaya untuk mewujudkan wajah harmonis antara Syiah dan Sunni di desa tersebut.
Wadah yang dibentuk para sesepuh itu adalah Jamiyah Muawanah. Organisasi
itu menampung semua aliran untuk membahas hubungan kemasyarakatan.
’’Kalau pertemuan besar dilakukan setahun sekali dalam momentum
Lebaran. Tapi untuk pertemuan pengurus inti dilakukan sebulan sekali,’’
tutur Zabidi yang juga pengurus Bidang Keagamaan di Jamiyah Muawanah.
Dalam wadah itu tidak ada pembedaan warga, terutama kepentingan bersama.
Untuk mewujudkan keharmonisan dalam berorganisasi dilakukan giliran
ketua, antara Syiah dan Sunni.
Sementara itu, Zaenal Arifin (48), warga RT 5, RW 1 yang juga pegawai
negeri sipil di Kecamatan Bangsri menambahkan, jalinan baik kedua aliran
itu terjaga berkat komunikasi yang baik.
’’Meski ada kabar bentrok di Sampang. Warga di sini, baik-baik saja.
Terlebih, semua masih memiliki hubungan keluarga. Istri saya sendiri
dulu Syiah dan sekarang Sunni, tetapi pihak keluarga istri juga ada yang
Syiah. Hal itu tidak mengganggu hubungan kekeluargaan,’’ katanya.
Dia menambahkan sebagai warga dan juga perangkat pemerintah, dirinya
berharap kondisi tersebut tetap terjaga. Apalagi ada forum yang bisa
digunakan untuk memecahkan persoalan masyarakat, yaitu Jamiyah Muawanah.
’’Intinya soal kemasyarakatan dilakukan bersama-sama, tapi untuk
ibadah dilaksanakan sendiri-sendiri, seperti shalat jumat. Adapun untuk
mengurus kematian, atau kebutuhan hajat yang lain saling membantu,’’
tandasnya.
Di Solo
Hal senada dilakukan pengikut Syiah di Solo yang rutin menggelar
silaturahmi melalui forum Baitul Ummah. KPA Sayyid Muhammad Adinegoro,
salah satu pemuka Syiah di Kota Bengawan mengatakan, forum tersebut
merupakan wadah untuk pertemuan antara penganut Syiah dengan pengikut
ajaran lainnya. Kegiatan itu dihadiri kyai, ustadz, tokoh masyarakat,
ormas Islam, pemerintah, dan warga.
”Ini sudah berlangsung lama. Kami bertatap muka, bersalaman, dan diskusi
untuk kemajuan Indonesia. Kami saling menjaga kerukunan,” kata putra
almarhum Habib Segaf Aljufri (ulama Syiah) itu di kediamannya di Kampung
Mertodanan, RT 01, RW 01, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasarkliwon
yang menjadi pusat pengembangan ajaran Syiah di Solo dan sekitarnya.
Layaknya bertetangga, mereka saling membantu dan menggelar bakti
sosial, seperti pembagian sembako dan donor darah. Bahkan setiap habis
shalat jumat mereka menggelar makan siang bersama kaum duafa. ’’Kami
senantiasa berbagi tanpa ada celah. Jangan sampai perbedaan pendapat dan
pandangan menjadikan kita semua berjarak,’’ jelasnya.
Terpisah, Suyuto, warga setempat mengungkapkan, selama ini tidak pernah
ada perselisihan seperti di Sampang, Madura. Bahkan antara satu dan
lainnya saling berbagi.
’’Semua bertetangga secara baik,’’ jelasnya.
SUMBER : www.suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar