Selasa, 23 April 2013

SYIAH DI JEPARA DAN SOLO JAWA TENGAH

KETEGANGAN hubungan pengikut antara Syiah dan Sunni di Sampang, Madura terdengar di seluruh penjuru Indonesia. Namun, fakta itu tak lantas mengganggu hubungan pengikut Syiah di tempat lain.
Setidaknya itulah yang terlihat di Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara.  Di daerah tersebut banyak pengikut Syiah dan Sunni. Namun, mereka hidup sangat harmonis.
Pengikut Syiah di desa tersebut berkisar antara 100 keluarga hingga 150 keluarga.  Dari 12 rukun warga (RW) di Desa Banjaran, pengikut Syiah paling banyak berada di wilayah RW 1 yang tersebar di RT 2, 3, dan 4.

Adapun pengikut Sunni merupakan mayoritas penduduk di desa tersebut. Pengikut Sunni maupun Syiah lebih memilih menunjukkan wajah harmonis dalam hubungan kemasyarakatan. Kedua belah pihak menyadari ada perbedaan dalam ibadah, tetapi mereka tak ingin memperlebar jurang perbedaan tersebut.
Mereka juga memilih untuk bersama-sama dalam konteks hubungan kemanusiaan. Misalnya, jika ada warga yang meninggal dengan aliran apa pun, pengikut Syiah dan Sunni bersama-sama melakukan shalat jenazah hingga proses pemakaman. Tak hanya itu, mereka juga tetap menjaga kebersamaan dengan tahlil atau doa bersama bagi jenazah.

Sesepuh alirah Syiah Ahmad Badawi (65), warga RT 3, RW 1 menjelaskan, Syiah mulai ada di Desa Banjaran pada 1980. Ajaran itu dibawa Sayyid Abdul Qodir Bafaqih dari kampung Kauman Desa/Kecamatan Bangsri.
’’Awalnya, dari Bafaqih, kemudian terus berkembang hingga sekarang. Kami shalat berjamaah dan melakukan pengajian di Mushala Al Khusainiyah ini. Tapi, kalau urusan kemasyarakatan kami gabung jadi satu. Bahkan, saat ada pembangunan masjid pengikut Sunni dan Syiah saling membantu,’’ ungkap Badawi, kemarin.

Dia menambahkan, setiap warga di Desa Banjaran sudah memahami hal itu. Bahkan tak jarang dalam satu rumah dan memiliki pertalian darah ada yang berbeda aliran.
’’Jadi satu rumah itu ada yang
Syiah dan ada yang Sunni. Anak saya yang pertama juga akan menikah dengan orang Sunni. Bagi saya tidak masalah. Soal ibadah biar Allah yang menilai,’’ terangnya.
Badawi mengungkapkan, di keluarganya sendiri juga terjadi perbedaan aliran. Empat saudaranya menjadi pengikut Sunni dan dua orang lainnya pengikut Syiah.
’’Banyak yang masih memiliki hubungan darah. Saat Lebaran, karena saya ini termasuk yang tua di sini, baik pengikut Sunni maupun Syiah datang berkunjung untuk bermaaf-maafan. Semoga kondisi di sini bisa menjadi contoh yang baik,íí harapnya.

Bagaimana kondisi itu bisa berjalan baik hingga sekarang? Apakah tak ada ketegangan?
Badawi menjelaskan, hal itu sempat terjadi pada awalnya. ’’Setelah berjalan satu-dua tahun, hubungan dua pengikut semakin cair dan berlanjut hingga sekarang,’’ jelasnya.
Bentuk Wadah

Hal senada disampaikan Zabidi, tokoh Sunni yang merupakan ketua Ranting Nahdhatul Ulama (NU) di Desa Banjaran. Dia menegaskan, tidak ada masalah dalam hal kemasyarakatan.
Dia juga menandaskan, anak-anak muda di desa tersebut sudah paham dengan kondisi tersebut. ’’Karena sudah turun-temurun tidak ada permasalahan. Masing-masing pihak sudah saling memahami.  Selain itu, juga banyak yang memiliki ikatan saudara,’’ jelasnya.
Selain memiliki talian darah, kata Zabidi, ada upaya untuk mewujudkan wajah harmonis antara Syiah dan Sunni di desa tersebut.
Wadah yang dibentuk para sesepuh itu adalah Jamiyah Muawanah. Organisasi itu menampung semua aliran untuk membahas hubungan kemasyarakatan.

’’Kalau pertemuan besar dilakukan setahun sekali dalam momentum Lebaran. Tapi untuk pertemuan pengurus inti dilakukan sebulan sekali,’’ tutur Zabidi yang juga pengurus Bidang Keagamaan di Jamiyah Muawanah.

Dalam wadah itu tidak ada pembedaan warga, terutama kepentingan bersama. Untuk mewujudkan keharmonisan dalam berorganisasi dilakukan giliran ketua, antara Syiah dan Sunni.
Sementara itu, Zaenal Arifin (48), warga RT 5, RW 1 yang juga pegawai negeri sipil di Kecamatan Bangsri menambahkan, jalinan baik kedua aliran itu terjaga berkat komunikasi yang baik.
’’Meski ada kabar bentrok di Sampang. Warga di sini, baik-baik saja. Terlebih, semua masih memiliki hubungan keluarga. Istri saya sendiri dulu Syiah dan sekarang Sunni, tetapi pihak keluarga istri juga ada yang Syiah. Hal itu tidak mengganggu hubungan kekeluargaan,’’ katanya.

Dia menambahkan sebagai warga dan juga perangkat pemerintah, dirinya berharap kondisi tersebut tetap terjaga. Apalagi ada forum yang bisa digunakan untuk memecahkan persoalan masyarakat, yaitu Jamiyah Muawanah.
’’Intinya soal kemasyarakatan dilakukan bersama-sama, tapi untuk ibadah dilaksanakan sendiri-sendiri, seperti shalat jumat. Adapun untuk mengurus kematian, atau kebutuhan hajat yang lain saling membantu,’’ tandasnya.

Di Solo
Hal senada dilakukan pengikut Syiah di Solo yang rutin menggelar silaturahmi melalui forum Baitul Ummah. KPA Sayyid Muhammad Adinegoro, salah satu pemuka Syiah di Kota Bengawan mengatakan, forum tersebut merupakan wadah untuk pertemuan antara penganut Syiah dengan pengikut ajaran lainnya. Kegiatan itu dihadiri kyai, ustadz, tokoh masyarakat, ormas Islam, pemerintah, dan warga.
”Ini sudah berlangsung lama. Kami bertatap muka, bersalaman, dan diskusi untuk kemajuan Indonesia. Kami saling menjaga kerukunan,” kata  putra almarhum Habib Segaf Aljufri (ulama Syiah) itu di kediamannya di Kampung Mertodanan, RT 01, RW 01, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasarkliwon yang menjadi pusat pengembangan ajaran Syiah di Solo dan sekitarnya.

Layaknya bertetangga, mereka saling membantu dan menggelar bakti sosial, seperti pembagian sembako dan donor darah. Bahkan setiap habis shalat jumat mereka menggelar makan siang bersama kaum duafa. ’’Kami senantiasa berbagi tanpa ada celah. Jangan sampai perbedaan pendapat dan pandangan menjadikan kita semua berjarak,’’ jelasnya.
Terpisah, Suyuto, warga setempat mengungkapkan, selama ini tidak pernah ada perselisihan seperti di Sampang, Madura. Bahkan antara satu dan lainnya saling berbagi.
’’Semua bertetangga secara baik,’’ jelasnya.
SUMBER : www.suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar