Selasa, 09 April 2013

Ust Jalal: Di IJABI Wilayah Faqih Bukan Wacana, Tapi Penerapan

Ahsa al-Banduni

Jam 06.30 saya menghidupkan motor. Saya pamit pada istri untuk berangkat menuju Pesantren Al-Mukaromah, Pasirhonje Bandung. Jalan hari itu lumayan sepi dan tidak macet. Maklum hari Selasa, 21 Maret 2013, adalah libur nasional.


Saya pilih jalur yang tidak biasa. Saya pacu motor sampai di jalan Penghulu Haji Hasan Mustapa arah terminal Cicaheum Bandung. Di sana saya tanya tukang ojek. Tukang ojek menunjuk jalan Cimuncang terus ke atas. Benar, jalan yang dituju itu menanjak. Tadinya saya ragu kalau motor legenda (tua) yang dipakai tidak bisa naik. Ternyata dipaksakan bisa juga sampai ke Al-Mukaromah. Setiba di lokasi, seorang aktivis Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) memanggil saya untuk makan pagi. Kebetulan belum sarapan, saya pun langsung mengambil makanan.

Selesai sarapan, langsung ke aula Madrasah Al-Mukaromah. Di sana sudah berkumpul para aktivis dan pengurus IJABI dari masing-masing daerah yang ada di Jawa Barat. Lebih dari empat puluh orang yang hadir.

Pada dinding meja depan tertera Musyawarah Wilayah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia Jawa Barat  (Muswil IJABI Jabar). Di kursi depan duduk tiga orang pengurus IJABI Jabar menyampaikan program-program yang merupakan hasil diskusi peserta muswil semalam. Di antara program yang digagas adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberian modal usaha, kaderisasi ustadz, kajian dan pembekalan ilmu-ilmu Islam untuk generasi muda, silaturahim dengan tokoh masyarakat, dan kegiatan bersama seluruh pengurus IJABI di Jabar.

Selesai pemaparan program, dialog dibuka kembali untuk menajamkan rincian dari setiap program.  Masukan dari setiap daerah bermunculan. Di tengah suasana dialog, saya keluar dari ruangan untuk mengambil kopi. Ketika keluar, muncul dari bawah guru saya: Al-Ustadz Jalaluddin Rakhmat dibarengi pengurus IJABI Jabar. Saya langsung mendatanginya kemudian bersalaman. Guru saya tersenyum. Itulah yang khas dan tidak pernah hilang setiap kali saya bertemu dengan Ustadz Jalal.

Ustadz Jalal yang didampingi pengurus IJABI masuk ke aula. Saya membuat kopi dan segera masuk aula menempati tempat duduk yang ditempati sebelumnya. Di depan, panitia meminta seorang ustadz yang juga pengajar di Al-Mukaromah untuk memandu majelis ilmu bersama Ustadz Jalal.

Ustadz yang memandu mengawali pembicaraannya dengan mengutip hadis tentang pentingnya ilmu. Tangan pemandu yang memegang mikrofon terlihat gemetar. Pemandu pun menyampaikan bahwa dirinya kalau memandu acara di hadapan ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) tidak gemetaran. Namun, saat memandu majelis ilmu bersama Ustadz Jalal gemetaran. Sontak peserta Muswil pun tertawa.

Pesan buat Ijabiyyun

Ustadz Jalal mengawali pembicaraannya dengan menyampaikan informasi buku yang berjudul Al-Washayaa. Sebuah buku yang memuat wasiat-wasiat Rasulullah saw kepada keuarga Nabi dan sahabatnya. Menurutnya, wasiat yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada setiap orang berbeda. Wasiat yang diberikan kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan kepada Abu Dzar berbeda. Disesuaikan dengan tingkat penerimaan dan kemampuan memahami suatu masalah. Rasulullah saw sangat mengetahui siapa saja yang pantas dapat wasiat yang berat, ringan, atau biasa-biasa dalam kandungan nilai dan makna dari perkataan yang disampaikan.

Di tengah ceramah, Ustadz Jalal mengutip hadis dari Imam Ali, “Kalau punya rahasia, titipkanlah pada satu orang. Kalau ingin meminta nasihat atau pendapat, mintalah kepada sebanyak-banyaknya orang.” Kemudian mengutip lagi, “Kalau ada yang menyakiti, carilah seribu alasan dibaliknya.”

Kemudian menyampaikan perbedaan antara orang yang mengetahui kalau dirinya tahu dengan orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Yang terakhir ini harus dijauhi karena termasuk sotoy (ahmaq) dan merasa takjub dengan pendapatnya sendiri serta tidak mau menerima pendapat orang lain.

Karena itu, Ustadz Jalal meminta Ijabiyyun (pengurus, anggota, dan masyarakat IJABI) untuk senantiasa meluangkan waktu mencari ilmu, belajar, dan meningkatkan pengetahuannya. Sedangkan dalam urusan akhlak, Ustadz Jalal berpesan, “akhlak bisa terwujud dengan praktik langsung dalam hidup dan latihlah nanti juga akan terbiasa.”

Wilayah Faqih

Pembicaraan beralih pada perbicangan Ustadz Jalal dengan duta besar Republik Islam Iran. Suatu hari Duta Besar Republik Islam Iran berbincang dengan Ustadz Jalal tentang kejadian di Iran pascarevolusi Islam. Menurut duta besar, kalau ada orang yang disebut anti-revolusi akan ditangkap karena dianggap menghina pemerintah. Di Iran, tidak sedikit orang yang menggunakan istilah anti-revolusi untuk menuduh orang lain yang dianggap sebagai lawannya. Dengan tujuan agar yang menyainginya itu tersingkir dari kancah politik atau urusan pemerintahan.

Perbincangan itu disampaikan setelah ada ulama dari Iran yang berkunjung ke Yayasan Muthahhari. Ulama yang merupakan perwakilan dari Rahbar meminta Ustadz Jalal untuk berbincang khusus. Ulama itu menyampaikan ada orang-orang Indonesia yang menyampaikan bahwa Ustadz Jalal disebut anti-wilayah faqih dan IJABI dianggap tidak mengikuti marja’ taqlid.

Tuduhan yang tidak berdasar itu dijawab oleh Ustadz Jalal, “IJABI berazas Pancasila dan wilayah faqih tidak diwacanakan, tetapi diterapkan dalam organisasi.”

“Penjelasan tentang wilayah faqih itu berbeda-beda. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda. Ada wilayah faqih menurut Imam Khomeini, wilayah faqih menurut Sayid Husein Fadhlullah, wilayah faqih menurut Ayatullah Muntazhiri, wilayah faqih menurut Ayatullah Kazhim Hairi, wilayah faqih menurut Baqir Shadr, dan lainnya,” kata Ustadz Jalal.

Menurut Ustadz Jalal, wilayah faqih merupakan gagasan yang mendasarkan pemerintahan atau masyarakat harus dipimpin oleh seorang faqih atau orang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam (ulama). Gagasan yang model wilayah faqih pertama kali disampaikan oleh filsuf Plato yang mengatakan masyarakat akan baik kalau dipimpin seorang filsuf. Kemudian gagasan itu masuk dalam filsafat Islam melalui gerakan penerjemahan buku-buku dan dikembangkan oleh Al-Farabi yang menulis buku Al-Madinah Al-Fadhilah, Fushul Al-Madani. Gagasan itu muncul lagi yang disuarakan oleh Imam Khomeini dengan penyesuaian dengan konteks modern. Kemudian menjadi sistem pemerintahan Republik Islam Iran dan azas yang berlaku di Iran.

“Karena wilayah faqih menempatkan ulama dalam kedudukan yang tinggi,” kata Ustadz Jalal melanjutkan, “maka IJABI di daerah-daerah harus memiliki ustadz atau dewan syura.”

Kisah Pengkhianat

Ustadz Jalal juga sempat menyampaikan kisah pengkhianatan dari sahabat dan pengikut Imam Ali bin Abu Thalib. Abdurahman bin Muljam yang menebaskan pedang kepada Imam Ali, merupakan pengikutnya. Sejumlah sahabat yang asalnya bergabung dengan Imam Ali karena tergiur harta dan jabatan kemudian berpindah menjadi pengikut Bani Umayyah dan membuat gerakan Khawarij.

Meski banyak yang berkhianat dan melepaskan ketaatan kepada Imam Ali bin Abi Thalib, tetapi masih ada yang setia seperti Hujur bin Adi, Amr bin Hamiq, Ummu Salamah, Bilal bin Rabah Al-Habsyi, Uwais Al-Qarni, dan lainnya.

“Kehadiran para pengkhianat dalam sejarah Islam adalah untuk menguji keimanan dan ketaatan sekaligus menyeleksi seseorang itu setia atau tidak,” ujar Ustadz Jalal.

Di akhir majelis, Ustadz Jalal meminta peserta Muswil IJABI Jabar untuk mendoakan pengurus IJABI yang sudah wafat, orang yang membangun Pesantren Al-Mukaromah, dan kaum muslimin. Kemudian ditutup dengan bersalaman dan Ustadz Jalal berpamitan karena ada tamu dari Universitas Padjajaran yang menantinya di rumah.

Panitia Muswil IJABI Jabar bergerak ke depan. Meminta seorang peserta untuk melantunkan shalawat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya disambug dengan hymne dan mars IJABI. Ditutup dengan doa, bersalaman, dan makan siang.
sumber : situs ijabi indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar