Ust Fahmi Salim
Baru-baru ini seiring pemberitaan
kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam
(OKI) ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri
Presiden SBY, hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan
Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam
tak hanya di Mesir tetapi juga di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi
yang menghangat soal relasi Sunni – Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang.
Dalam sebuah pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Masyikhatul Azhar pada
hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Ahmad
Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar terdahulu pernah
terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Sunni dan
Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting
saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin
memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan
kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu
kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan.
Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat
dan istri Nabi SAW yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah,
yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang
kami tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syiah di tengah masyarakat
Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus
Sunnah di Iran yang menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan
kepada kami kondisi dan hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh
hak-hak warga Negara didiskriminasi dan dikerdilkan seperti yang
disepakati oleh system politik modern dan diatur syariat Islam.”
(Sumber: http://onazhar.com/page2home2.php?page=3&page1=4&page2=2810)
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012)
bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri
Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong persatuan dunia Islam,
mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang
kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di
Negara-negara Islam.
Selain penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni, kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk
legitimasi penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu
menjadi landasan bagi Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan
pembenaran atas penyimpangan akidah.
“Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman
bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah,
yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif,” kata
seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi
Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni
justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat.
“Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan
keyakinan akidah,” ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah Amman 2005 juga tidak mengikat
seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
(Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya
sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid
4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar
kesesatan Syiah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan
akidah antara Ahlus Sunnah dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi
dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman),
tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas
dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah sebagaimana
dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan
Madzhab (Taqrib), saya telah menemukan beberapa poin penting yang
membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan
atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan
sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam.
Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para
sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih
seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para
sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat
mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang
sangat besar.
Kedua, dilarang menyebarkan sebuah
madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau
seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan
istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain). Ketiga,
memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah
madzhab yang sah.
Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan
prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib
(pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya
melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak
memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar
tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa
setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada
di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak akan
menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga)
muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab
dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama,
“Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada
manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]:
187).”
Syeikh Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai
Grand Syeikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan
beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam
pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali
ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang
beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti
dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini
tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa Syaikh
Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan
akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya
mengandung perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah.
Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam,
pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada
yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat (dengan
Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan
bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah
ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani
masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka.
Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para
sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama
mereka.
Di samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang
membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan
jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari
para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan
Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan
fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan
madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal
ini.”
Syeikh Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar
tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya
mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam Islam.
Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat
madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang
empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan
Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah,
Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab
ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai
menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin
(pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau
ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara
Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara
Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang
telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab.
Perbedaan dalam akidah inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya
berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji’ah,
Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan
lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’
lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah)
dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak
memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan
madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab
akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan
mendasar dalam hal pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam
masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa
imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah
mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’
(cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai
akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok
ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan
Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan
Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas
musuh-musuh imam Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah
dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman
kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman.
Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW,
yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali
RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya
dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat,
puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih
ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya
mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu
al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, “Islam itu dibangun di atas
lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah
berkata: Aku bertanya kepadanya: “Manakah di antara semua itu yang
paling utama?” Abu Ja’far menjawab, “Al-wilayah lebih utama, karena
al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2
hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS)
bahwasanya beliau bersabda, “Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan
al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan
menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi
Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan)
kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan
tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di
dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah.
Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan,
melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin
Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya
berpegang kepada masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru
mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya
mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada
Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang
paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) misalkan di dalam
kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, “Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu
Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal
ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, “Sesungguhnya Rabb mereka
adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai
khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan
tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, “Sesungguhnya
tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar
adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).”
Demikian uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca
sekalian mengenai sikap institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar
Al-Syarif melalui berbagai pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh
kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi.
Pandangan kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut
dipertimbangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah,
tokoh-tokoh cendekiawan serta Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan
oleh jajaran Pemerintah Republik Indonesia untuk menyikapi perkembangan
Syiah dan infiltrasinya melalui jalur pendidikan dan beasiswa serta
penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di Indonesia, agar kehidupan
keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI yang islami dan
didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Dipublikasi resmi di hidayatullah.com, 11 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar