Sekitar tahun 2007 yang lalu saya diundang teman saya, Abdullah
Siradj, laki-laki keturunan Pakistan, sebagai pembicara dalam acara pernikahan
adik sepupunya. Kebetulan acaranya tanggal 11 Dzul Hijjah, tahun 1427 Hijriah.
Setelah sampai di tempat acara, ternyata acara itu dihadiri oleh beberapa ulama
setempat, di antaranya Rois Syuriyah PCNU Kencong, KH. Khoiruz Zad Maddah,
al-Marhum KH. Abdusshomad Djalil, KH. Rusydi dan lain-lain.
Setelah semua undangan berkumpul, acara pun segera dimulai. Acara
itu dipimpin oleh Ustadz yang berinisial FK sebagai pembawa acara, yang juga
keturunan Pakistan dan masih kerabat mempelai. Ternyata FK tersebut mengikuti
aliran Syi’ah, alumni salah satu pesantren penyebar Syiah di Bangil Pasuruan.
Terbukti sejak dari awal mukaddimahnya, ia menggunakan sholawat yang populer di
kalangan Syi’ah. Dan setelah itu, ia menyebut-nyebut keutamaan hari raya Ghadir
Khum, satu-satunya hari Raya bid’ah sayyi’ah yang dimiliki aliran Syi’ah.
Akhirnya, mendengar penjelasan FK (Syiah) yang
menyinggung-nyinggung ajaran Syiah yang dipromosikannya, KH. Khoiruz Zad,
berbisik ke telinga saya, “Sepertinya laki-laki ini berpaham Syi’ah.” Kata
beliau.
Setelah sampai pada bagian saya sebagai pembicara dalam acara
tersebut. Akhirnya saya banyak berbicara tentang hubungan pernikahan para
sahabat dengan Ahlul Bayt (keluarga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan kebetulan sepupu teman saya yang menikah itu bernama Nafisah. Akhirnya saya
menyampaikan cerita dalam ceramah saya, berangkat dari nama Nafisah. Seorang
perempuan yang sangat berjasa dalam terjadinya tiga pernikahan paling ideal
dalam sejarah awal Islam. Sebagaimana dimaklumi, dalam sejarah disebutkan bahwa
ketika Khadijah, saudagar kaya dan bangsawan terhormat di kota Mekkah,
mempunyai keinginan agar dinikahi oleh Muhammad, pemuda paling jujur dan
tampan, keturunan bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim di kota Mekkah, Khadijah
meminta tolong kepada Nafisah agar menyampaikan keinginan itu. Akhirnya melalui
perantara Nafisah inilah, Khadijah dapat menikah dengan lelaki pujaannya, yaitu
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari pernikahan ideal inilah, Khadijah memiliki beberapa putra dan
putri. Antara lain Sayyidatina Ruqayyah dan Sayyidatina Ummu Kultsum yang kelak
menjadi istri Sayyidina ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Juga Sayyidah
Fathimah al-Zahra’ radhiyallahu ‘anha yang kemudian menjadi istri Sayyidina
‘Ali karramallahu wajhah.
Kemudian saya membicarakan pernikahan Sayyidah Fathimah dengan
Sayyidina Ali dengan agak detil, sehingga pernikahan beliau bisa dikatakan
sebagai pernikahan ideal kedua dalam Islam. Dari pernikahan ideal antara
Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dikaruniai beberapa cucu, yaitu Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum
radhiyallahu ‘anhum.
Pada kemudian hari Sayyidah Ummu Kultsum ini menikah dengan
Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Pernikahan Sayyidah Ummu
Kultsum dengan Sayyidina ‘Umar ini dapat dikatakan sebagai pernikahan ideal
ketiga dalam Islam. Saya menjelaskannya dalam ceramah saya agak panjang lebar.
Sesudah ceramah saya selesai, ternyata FK agak gerogi dalam
bicaranya. Mukanya agak pucat, mendengar ceramah saya yang mengisahkan hubungan
kekeluargaam Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman yang dibenci oleh Syi’ah
dengan Ahlul Bayt Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah acara walimah itu selesai, dan para undangan pulang satu
demi satu, akhirnya FK mendatangi saya. Pada waktu itu saya masih ditemani oleh
KH. Khoiruz Zad, KH. Abdusshomad Djalil dan beberapa kiai lain yang belum
pulang. Singkat cerita, terjadilah dialog sebagai berikut:
SYIAH (FK): “Ustadz, saya merasa janggal dengan kisah Anda tentang
pernikahan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab dengan Sayyidah Ummu Kultsum.”
SUNNI (Saya): “Apa yang membuat Anda merasa janggal dengan kisah
itu?”
SYIAH: ”Jangan-jangan
riwayat tentang pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum itu riwayat yang lemah dan
bahkan riwayat yang palsu.”
SUNNI: “Siapa yang mengatakan riwayat tersebut lemah atau palsu?
Bukankah riwayat pernikahan Ummu Kultsum dan Umar itu mutawatir. Hampir semua
kitab-kitab sejarah, baik yang beraliran Sunni maupun yang beraliran Syi’i
seperti al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab dan bahkan al-Kulaini dalam al-Kafi
menyebutkan riwayat pernikahan mereka? Bahkan dalam catatan sejarah, pernikahan
mereka membuahkan anak yaitu Zaid bin Umar. Semua sejarawan mengatakan bahwa
ibu Zaid adalah Ummu Kultsum putri Ali dan Fathimah.”
SYIAH: ”Tetapi secara
rasional, apa mungkin Umar itu menikah dengan Ummu Kultsum?”
SUNNI: “Maksudnya bagaimana?”
SYIAH: “Berapa sih usia Ummu Kultsum pada waktu itu sehingga layak
menjadi istri Umar? Bukankah Umar itu sudah sangat sepuh? Orang menikah itu kan
harus melihat usia.”
SUNNI: “Dari segi usia tidak ada masalah dan sangat memungkinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Aisyah ketika Aisyah berusia
tujuh tahun dan berkumpul dalam rumah tangga sesudah Aisyah berusia sembilan
tahun. Bukankah begitu dalam sejarah?
Kalau kita kalkulasi, Abu Bakar menjadi Khalifah selama dua tahun
setengah. Sedangkan Sayyidah Fathimah wafat enam bulan sesudah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah Abu Bakar wafat, beliau
diganti oleh Sayyidina Umar. Dengan demikian, ketika Umar menjadi khalifah,
usia Ummu Kultsum setidaknya dua tahun. Ini kalau kita perkirakan Ummu Kultsum
itu lahir menjelang wafatnya Sayyidah Fathimah. Padahal dalam catatan sejarah,
Ummu Kultsum lahir ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.
Dan Sayyidina Umar itu lama sekali menjadi khalifah. Bisa jadi Umar menikahi
Ummu Kultsum pada pertengahan atau akhir masa pemerintahannya.”
Akhirnya FK (SYIAH) berkata, dan perkataannya keliru, sehingga
menjadi senjata yang makan tuan. Dia bilang begini: “Ya memang betul, Umar itu
menjadi khalifah lama sekali, selama dua puluh dua tahun.” Demikian kata FK
yang sangat keliru. Padahal Umar itu menjadi Khalifah selama sepuluh tahun.
Mendengar pernyataan FK yang sangat keliru, akhirnya saya berkata
kepada dia, “Oh, kalau Umar itu menjadi Khalifah selama 22 tahun, berarti
sangat rasional sekali, Ummu Kultsum menikah dengan Umar. Seandainya Umar
menikahinya di pertengahan pemerintahannya, diperkirakan Ummu Kultsum berusia
13 tahun. Apalagi kalau Umar menikahinya pada akhir masa-masa pemerintahannya,
berarti usia Ummu Kultsum sekitar 22 tahun.” Akhirnya, dengan pernyataan saya,
FK tidak bisa menjawab, sebagai akibat pembicaraannya sendiri yang keliru.
Sebulan kemudian FK datang ke rumah saya dan berdebat tentang ayat
tathhir. Insya Allah akan kami posting juga. Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
SUMBER :
http://www.idrusramli.com/2013/debat-sunni-syiah-pada-hari-raya-ghadir-khum/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar