Kamis, 09 Oktober 2014

Debat Sunni-Syi’ah Pada Hari Raya Ghadir Khum



Sekitar tahun 2007 yang lalu saya diundang teman saya, Abdullah Siradj, laki-laki keturunan Pakistan, sebagai pembicara dalam acara pernikahan adik sepupunya. Kebetulan acaranya tanggal 11 Dzul Hijjah, tahun 1427 Hijriah. Setelah sampai di tempat acara, ternyata acara itu dihadiri oleh beberapa ulama setempat, di antaranya Rois Syuriyah PCNU Kencong, KH. Khoiruz Zad Maddah, al-Marhum KH. Abdusshomad Djalil, KH. Rusydi dan lain-lain.

Setelah semua undangan berkumpul, acara pun segera dimulai. Acara itu dipimpin oleh Ustadz yang berinisial FK sebagai pembawa acara, yang juga keturunan Pakistan dan masih kerabat mempelai. Ternyata FK tersebut mengikuti aliran Syi’ah, alumni salah satu pesantren penyebar Syiah di Bangil Pasuruan. Terbukti sejak dari awal mukaddimahnya, ia menggunakan sholawat yang populer di kalangan Syi’ah. Dan setelah itu, ia menyebut-nyebut keutamaan hari raya Ghadir Khum, satu-satunya hari Raya bid’ah sayyi’ah yang dimiliki aliran Syi’ah.

Akhirnya, mendengar penjelasan FK (Syiah) yang menyinggung-nyinggung ajaran Syiah yang dipromosikannya, KH. Khoiruz Zad, berbisik ke telinga saya, “Sepertinya laki-laki ini berpaham Syi’ah.” Kata beliau.

Setelah sampai pada bagian saya sebagai pembicara dalam acara tersebut. Akhirnya saya banyak berbicara tentang hubungan pernikahan para sahabat dengan Ahlul Bayt (keluarga) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kebetulan sepupu teman saya yang menikah itu bernama Nafisah. Akhirnya saya menyampaikan cerita dalam ceramah saya, berangkat dari nama Nafisah. Seorang perempuan yang sangat berjasa dalam terjadinya tiga pernikahan paling ideal dalam sejarah awal Islam. Sebagaimana dimaklumi, dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Khadijah, saudagar kaya dan bangsawan terhormat di kota Mekkah, mempunyai keinginan agar dinikahi oleh Muhammad, pemuda paling jujur dan tampan, keturunan bangsawan Quraisy dari Bani Hasyim di kota Mekkah, Khadijah meminta tolong kepada Nafisah agar menyampaikan keinginan itu. Akhirnya melalui perantara Nafisah inilah, Khadijah dapat menikah dengan lelaki pujaannya, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari pernikahan ideal inilah, Khadijah memiliki beberapa putra dan putri. Antara lain Sayyidatina Ruqayyah dan Sayyidatina Ummu Kultsum yang kelak menjadi istri Sayyidina ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum. Juga Sayyidah Fathimah al-Zahra’ radhiyallahu ‘anha yang kemudian menjadi istri Sayyidina ‘Ali karramallahu wajhah.

Kemudian saya membicarakan pernikahan Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali dengan agak detil, sehingga pernikahan beliau bisa dikatakan sebagai pernikahan ideal kedua dalam Islam. Dari pernikahan ideal antara Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikaruniai beberapa cucu, yaitu Hasan, Husain, Zainab dan Ummu Kultsum radhiyallahu ‘anhum.

Pada kemudian hari Sayyidah Ummu Kultsum ini menikah dengan Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Pernikahan Sayyidah Ummu Kultsum dengan Sayyidina ‘Umar ini dapat dikatakan sebagai pernikahan ideal ketiga dalam Islam. Saya menjelaskannya dalam ceramah saya agak panjang lebar.

Sesudah ceramah saya selesai, ternyata FK agak gerogi dalam bicaranya. Mukanya agak pucat, mendengar ceramah saya yang mengisahkan hubungan kekeluargaam Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman yang dibenci oleh Syi’ah dengan Ahlul Bayt Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah acara walimah itu selesai, dan para undangan pulang satu demi satu, akhirnya FK mendatangi saya. Pada waktu itu saya masih ditemani oleh KH. Khoiruz Zad, KH. Abdusshomad Djalil dan beberapa kiai lain yang belum pulang. Singkat cerita, terjadilah dialog sebagai berikut:
SYIAH (FK): “Ustadz, saya merasa janggal dengan kisah Anda tentang pernikahan Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab dengan Sayyidah Ummu Kultsum.”

SUNNI (Saya): “Apa yang membuat Anda merasa janggal dengan kisah itu?”

SYIAH:  ”Jangan-jangan riwayat tentang pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum itu riwayat yang lemah dan bahkan riwayat yang palsu.”

SUNNI: “Siapa yang mengatakan riwayat tersebut lemah atau palsu? Bukankah riwayat pernikahan Ummu Kultsum dan Umar itu mutawatir. Hampir semua kitab-kitab sejarah, baik yang beraliran Sunni maupun yang beraliran Syi’i seperti al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab dan bahkan al-Kulaini dalam al-Kafi menyebutkan riwayat pernikahan mereka? Bahkan dalam catatan sejarah, pernikahan mereka membuahkan anak yaitu Zaid bin Umar. Semua sejarawan mengatakan bahwa ibu Zaid adalah Ummu Kultsum putri Ali dan Fathimah.”

SYIAH:  ”Tetapi secara rasional, apa mungkin Umar itu menikah dengan Ummu Kultsum?”

SUNNI: “Maksudnya bagaimana?”

SYIAH: “Berapa sih usia Ummu Kultsum pada waktu itu sehingga layak menjadi istri Umar? Bukankah Umar itu sudah sangat sepuh? Orang menikah itu kan harus melihat usia.”

SUNNI: “Dari segi usia tidak ada masalah dan sangat memungkinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Aisyah ketika Aisyah berusia tujuh tahun dan berkumpul dalam rumah tangga sesudah Aisyah berusia sembilan tahun. Bukankah begitu dalam sejarah?

Kalau kita kalkulasi, Abu Bakar menjadi Khalifah selama dua tahun setengah. Sedangkan Sayyidah Fathimah wafat enam bulan sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah Abu Bakar wafat, beliau diganti oleh Sayyidina Umar. Dengan demikian, ketika Umar menjadi khalifah, usia Ummu Kultsum setidaknya dua tahun. Ini kalau kita perkirakan Ummu Kultsum itu lahir menjelang wafatnya Sayyidah Fathimah. Padahal dalam catatan sejarah, Ummu Kultsum lahir ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Dan Sayyidina Umar itu lama sekali menjadi khalifah. Bisa jadi Umar menikahi Ummu Kultsum pada pertengahan atau akhir masa pemerintahannya.”

Akhirnya FK (SYIAH) berkata, dan perkataannya keliru, sehingga menjadi senjata yang makan tuan. Dia bilang begini: “Ya memang betul, Umar itu menjadi khalifah lama sekali, selama dua puluh dua tahun.” Demikian kata FK yang sangat keliru. Padahal Umar itu menjadi Khalifah selama sepuluh tahun.

Mendengar pernyataan FK yang sangat keliru, akhirnya saya berkata kepada dia, “Oh, kalau Umar itu menjadi Khalifah selama 22 tahun, berarti sangat rasional sekali, Ummu Kultsum menikah dengan Umar. Seandainya Umar menikahinya di pertengahan pemerintahannya, diperkirakan Ummu Kultsum berusia 13 tahun. Apalagi kalau Umar menikahinya pada akhir masa-masa pemerintahannya, berarti usia Ummu Kultsum sekitar 22 tahun.” Akhirnya, dengan pernyataan saya, FK tidak bisa menjawab, sebagai akibat pembicaraannya sendiri yang keliru.

Sebulan kemudian FK datang ke rumah saya dan berdebat tentang ayat tathhir. Insya Allah akan kami posting juga. Wallahu a’lam.

Wassalam

Muhammad Idrus Ramli
SUMBER : http://www.idrusramli.com/2013/debat-sunni-syiah-pada-hari-raya-ghadir-khum/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar