Oleh: Adian Husaini
JAKARTA -Kelompok Syi’ah di Indonesia semakin terbuka aktivitasnya
dalam memecah belah umat Islam, melalui
pelestarian dan perayaan kebencian dan dendam terhadap para sahabat Nabi
Muhammad saw terkemuka, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan
Utsman bin Affan r.a. Hari Sabtu (26/10/2013), di Gedung Smesco Jln Gatot Subroto,
Jakarta Selatan, kaum Syiah akan merayakan Hari Raya terbesar dalam agama
mereka, yaitu “Idul Ghadir”.
Perayaan Hari Raya Idul Ghadir ini semakin membuktikan bahwa Syiah
memang satu aliran yang secara mendasar berbeda dengan kaum Muslim lainnya. Penolakan
dan penistaan kepada para sahabat Nabi yang utama justru dirayakan sebagai
ibadah yang agung menjadi Hari Raya tersendiri. Mereka menganggap Idul Ghadir
adalah hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.
‘Idul Ghadir adalah sebuah perayaan atas anggapan mereka mengenai pengangkatan
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Menurut pemuka Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi saw
menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah penerus kepemimpinan umat setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Yang kata mereka Jibril turun menyampaikan wahyu
kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul Ghadir menurut mereka adalah
Hari Raya terbesar. (Lihat Idul Ghadir A’zhamul A’yad fil Islam/ Idul Ghadir
Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan Sayyid Muhammad Husain Al-Syirazi,
hal. 12).
Salah satu situs Syiah di Indonesia menulis, “Hari ke 18 bulan
Dzulhijjah merupakan hari Ghadir Khum, Ied al-Akbar (hari raya besar), hari
raya keluarga Muhammad Saw dan termasuk hari raya yang paling besar. Allah SWT
tidak mengutus seorang nabi kecuali merayakan hari raya ini dan menjaga
kehormatannya (?!). Nama hari ini di langit adalah Yaumu al-‘Ahdu al-Ma’hud
(hari yang dijanjikan) dan di bumi Yaumu al-Mitsaq al-Ma’khudz (hari
perjanjian) dan al-Jam’u al-Masyhud (hari perkumpulan).” (nama-nama khusus bagi
Idul Ghadir itu dikutip dari doa Sayid Thawus yang menukilnya dari Syaikh
Al-Mufid,
اَللَّهُمَّ فَكَمَا جَعَلْتَهُ عِيْدَكَ الْأَكْبَرَ وَ سَمَّيْتَهُ فِي
السَّمَاءِ يَوْمَ الْعَهْدِ الْمَعْهُوْدِ وَ فِي الْأَرْضِ يَوْمَ الْمِيْثَاقِ الْمَأْخُوْذِ
وَ الْجَمْعِ الْمَسْؤُوْلِ
“Ya Allah sebagaimana
engkau jadikan hari ini hari rayamu yang paling besar dan engkau beri nama
dilangit dengan “Yaum al-Ahd al-Ma’hud” (hari perjanjian yang dijanjikan) dan
dibumi dengan “Yaum al-Mitsaq” (hari perjanjian) Dan hari pertanyaan, lihat
http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut versi Syiah Rafidhah, dikemukakan salah satu riwayat.
Diceritakan bahwasanya mereka bertanya kepada Imam Shadiq as, “Apakah kaum
muslimin mempunyai hari raya selain hari Jum’at, hari raya Fitri dan Adha?”
beliau menjawab: ”Iya, yaitu hari raya yang kehormatannya melebihi seluruh hari
raya”. Perawi mengatakan, “Hari raya apa itu?” beliau menjawab, “Hari itu
adalah hari dimana Rasulullah SAW menobatkan Amirul Mukminin as sebagai
khalifahnya dan bersabda: “barang siapa yang menganggap aku pemimpinnya maka
Ali adalah pemimpinnya”, hari itu adalah hari kedelapan belas bulan Zulhijjah“.
Perawi bertanya lagi, “Apa yang harus dikerjakan di hari itu?” beliau menjawab,
”Berpuasa, beribadah, menyebut-nyebut Muhammad dan keluarganya dan
bershalawatlah atas mereka”. Rasulullah SAWW telah berwasiat kepada Amiril
Mukminin as untuk merayakan hari raya ini, begitu juga setiap nabi berwasiat
kepada washinya supaya merayakan hari ini.” (Lihat
http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Menurut situs Syiah Rafidhah, di hari itu umat syiah dianjurkan
membaca doa khusus selepas shalat 2 rakaat. Di dalam doa tersebut, ternyata
kaum Syiah tak pernah lepas dari cacian dan pelaknatan terhadap sahabat-sahabat
terbaik Nabi Muhammad saw, diantara petikan doanya sbb:
فَإِنَّا يَا رَبَّنَا بِمَنِّكَ وَ لُطْفِك أَجَبْنَا دَاعِيَكَ وَ اتَّبَعْنَا
الرَّسُوْلَ وَ صَدَّقْنَاهُ وَ صَدَّقْنَا مَوْلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَ كَفَرْنَا بِالْجِبْتِ
وَ الطَّاغُوْتِ، فَوَلِّنَا مَا تَوَلَّيْنَا وَ احْشُرْنَا مَعَ أَئِمَّتِنَا، فَإِنَّا
بِهِمْ مُؤْمِنُوْنَ مُوْقِنُوْنَ وَ لَهُمْ مُسَلِّمُوْنَ، آمَنَّا بِسِرِّهِمْ وَ
عَلاَنِيَتِهِمْ وَ شَاهِدِهِمْ وَ غَائِبِهِمْ وَ حَيِّهِمْ وَ مَيِّتِهِمْ وَ رَضِيْنَا
بِهِمْ أَئِمَّةً وَ قَادَةً وَ سَادَةً وَ حَسْبُنَا بِهِمْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَ اللَّهِ
دُوْنَ خَلْقِهِ لاَ نَبْتَغِيْ بِهِمْ بَدَلاً وَ لاَ نَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهِمْ وَلِيْجَةٍ
وَ بَرِئْنَا إِلَى اللَّهِ مِنْ كُلِّ مَنْ نَصَبَ لَهُمْ حَرْبًا مِنَ الْجِنِّ وَ
الْإِنْسِ مِنَ الْأَوَّلِيْنَ وَ الْآخِرِيْنَ وَ كَفَرْنَا بِالْجِبْتِ وَ الطَّاغُوْتِ
وَ الْأَوْثَانِ الْأَرْبَعَةِ وَ أَشْيَاعِهِمْ وَ أَتْبَاعِهِمْ وَ كُلِّ مَنْ وَالاَهُمْ
مِنَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ مِنْ أَوَّلِ الدَّهْرِ إِلَى آخِرِهِ، اَللَّهُمَّ إِنَّا
نُشْهِدُكَ أَنَّا نَدِيْنُ بِمَا دَانَ بِهِ مُحَمَّدٌ وَ آلُ مُحَمَّدٍ
Ya tuhan kami sesungguhnya kami dengan anugerah dan lutuf mu Telah
menerima utusanmu, mengikuti rasul, mempercayai pemimpin kaum mu’minin dan
mengkafirkan taghut, maka jagalah iman
dan wilayah kami kumpulkan kami bersama Imam-imam kami, sesungguhnya kami
mengimani dan meyakini mereka, tunduk kepada mereka, beriman kepada lahir,
batin, kehadiran keghaiban, kematin dan kehidupan mereka, dan kami merelakan
mereka sebagai Imam, pemimpin dan tuan, dan cukuplah mereka bagi kami sebagai
perantara menuju Allah tanpa mahkluk yang lain, Kami tidak menginginkan ganti
mereka, kami tidak akan menjadikan kawan selain mereka, kami mensucikan diri
dihadapan Allah dari musuh mereka dari jin dan Manusia dari awal sampai akhir,
kami mengkafirkan taghut (musuh-musuh mereka) , penyembah empat berhala,
pengikut mereka dan semua Yang mencintai mereka dari jin dan manusia dari awal
sampai akhir. Ya Allah sesungguhnya kami bersaksi kepadamu bahwasanya kami
menganut agama yang dianut oleh Mohammad dan keluarga Mohammad
(Lihat doa lengkapnya di
http://www.ipabionline.com/2012/11/amalan-lengkap-hari-raya-idul-ghadir.html)
Siapakah yang dimaksud dengan Thagut dan 4 berhala yang mereka
kafirkan itu? Sebagaimana dimaklumi, kitab-kitab utama syiah dijejali aneka
cacian dan laknat serta pengkafiran terhadap Abu Bakar ra dan Umar bin
al-Khattab ra, sehingga keduanya tak segan-segan dijuluki oleh syiah sebagai
al-Jibt dan al-Thagut, demikian pula gelar Haman dan Fir’aun, atau julukan keji
lainnya. Muhammad bin Ya'kub al-Kulaini dalam kitabnya al-Ushul min al-Kaafi,
kitab al Hujjah, Vol.I/373, hadits no.4, menukilkan sebuah riwayat yang
disandarkan kepada Abu Abdillah:
"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, tidak akan disucikan, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang
mengaku berhak imamah dari Allah yang bukan haknya, dan orang yang menentang
imamah dari Allah, dan orang yang meyakini bahwa mereka berdua (Abu Bakar dan
Umar) termasuk orang Islam."
Demikian pula Al-Kaf'ami dalam kitabnya al-Mishbah, hal.552
menyebutkan doa yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan
dengan Doa Shanamai Quraisy (Doa laknat atas dua berhala Quraisy). Dia
menyebutkan bahwa doa ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu
'anhu. "Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad,
dan laknatlah dua berhala Quraiys, dan kedua jibt dan thaghutnya (maksudnya:
syetan yang disembah selain Allah-Pent), kedua tukang dustanya, dan kedua
putrinya yang telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari wahyu-Mu..” Tak
ketinggalan Ali al-Hara-iri dalam kitabnya Ilzam al-Nashib fii Itsbaat
al-Hujjah al-Ghaib, Vol.II/266 menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Fir'aun dan
Hamman. Diriwayatkan, Al-Mufadhall bertanya, 'Wahai tuanku, siapakah Fir'aun
dan Hamman itu?' Sang Imam menjawab, 'Abu Bakar dan Umar'."
Sebenarnya kapan pertama kali hari Idul Ghodir ini diselebrasikan?
Menurut ulama syi’ah, awal mula selebrasi Idul Ghodir ini pertamakali terjadi dalam
sejarah pada saat Ali bin Abi Thalib berkuasa sebagai khalifah.
Situs syiah menulis, “Sekitar 30 tahun setelah rombongan besar kaum
Muslimin berkumpul di Ghadir Khum, untuk pertama kalinya umat Islam kembali
memperingati hari bersejarah dan paling menentukan bagi nasib Umat Islam di era
kekhilafahan Imam Ali dan kehadiran beliau di Kufah. Pada hari Jumat bertepatan
dengan peringatan hari raya Ghadir, Imam Ali di hadapan kaum Muslimin yang
berkumpul dalam acara shalat Jumat menyampaikan Khutbah mengenai Ghadir. Beliau
menyampaikan kembali peristiwa Ghadir bagi umat Islam yang tidak hadir dalam
peristiwa besar itu, maupun masyarakat yang tidak mengetahuinya. Sayidina Ali
bin Abi Thalib menyebut hari Ghadir sebagai hari raya terbesar umat Islam.
Pernyataan beliau tersebut menegaskan urgensi tradisi memperingati hari raya
Ghadir sebagai hari paling bersejarah bagi umat Islam yang harus diperingati
setiap tahun.” (Lihat artikel “Idul Ghodir dalam Perspektif Imam Ali” yang
dirilis hari Selasa, 22 Oktober 2013 di situs
http://indonesian.irib.ir/headline2)
Para para ulama dan sejarawan muslim terkemuka mencatat, tradisi
selebrasi Idul Ghadir baru dimulai sejak era Daulah Buwaihi menguasai sebagian
wilayah Irak di abad ke-4 H. Itu artinya perayaan tersebut tidak pernah
dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup,
maupun di era tabi’in dan tabi’ tabi’in yang disebutkan oleh Rasul bahwa mereka
adalah 3 periode Islam yang terbaik. “Khairunnasi qorni tsumma al-ladzina
yaluunahum tsumma al-ladzina yaluunahum”. Bahkan tidak pula diperingati pada
saat Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkuasa pasca syahidnya Sayidina
Utsman bin Affan ra.
“Perayaan Hari Raya Idul Ghadir itu memang tidak ada dalilnya dalam
Islam,” tegas Prof. Dr. Mohammad Baharum, pakar tentang Syiah dari MUI Pusat.
Itu bisa dipahami bahwa perayaan Idul Ghadir ini adalah suatu
rekayasa kelompok Syi’ah. Nabi saw
bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini sesuatu yang
bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadirkhum, telah dibantah oleh
seluruh ulama sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak
pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti al-Bukhari
dan Muslim. Hadis Ghadir Khum “Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlah” dengan
redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Al-Hakim.
Menurut para ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali dan bukan pengangkatan
khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya bukan kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah),
melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak
(al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata ‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’
sebagaimana teks hadis, ed.).
Jika teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali
sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan
hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu
Bakr ra sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah
wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra untuk menetapkan khalifah baru,
dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra untuk memantapkan
posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali
dan Mu’awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk
Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud
perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi.
Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma' adalah bentuk kepastian petunjuk
(Qoth'iy Dilalah) dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
Karena sifat ajarannya yang sangat destruktif dan dilandasi dengan
semangat kebencian terhadap tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti Abu Bakar
ash-Shiddiq r.a. dan para sahabat Nabi lainnya – sangat aneh jika pemerintah
SBY mendukung acara tersebut. Acara
seperti jelas memecah belah umat Islam dan menistakan agama Islam.
Sudah sangat gamblang, hari raya umat Islam di Indonesia dan
seluruh dunia hanya 2 yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Diluar kedua hari raya
itu jelas suatu bid’ah agama yang sesat. Ia bukan hanya merusak akidah umat
Islam Indonesia, tetapi juga mengancam keutuhan dan persatuan umat Islam di
Indonesia ini yang meyakini dan mengamalkan akidah ahlusunnah wal jama’ah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak lama telah mengukuhkan hal tersebut
dengan menegaskan bahwa “mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham
Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah
secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus” (Fatwa Nikah
Mut’ah 25 Oktober 1997, lihat Himpunan Fatwa MUI: 376).
SUMBER : www.voa-islam.com/read/intelligent/2013/10/24/27291/diamdiam-sby-prosyiah-dalam-merayakan-hari-raya-sesat-idul-ghadir/#sthash.KM9kFugk.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar