Kamis, 09 Oktober 2014

Idul Ghadir: Hari Raya Syiah Teragung


Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Syiah memiliki hari raya paling besar, melebihi keagungan hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Hari raya itu mereka sebut dengan Idul Ghadir (hari raya ghadir). Peristiwa ghadir menjadi momentum bersejarah yang paling berharga bagi syiah. Menurut Ulama Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengklaim bahwa Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah.

Untuk membumikan aqidah ini, para tokoh Syiah menulis banyak buku yang mencantumkan fadhilah hari ghadir. Diantaranya,

1. Al-Ghadir wa al-Mu’aridhun, karya Ja’far Murtadha al-Amili.

2. Al-Ghadir fi at-Turats al-Islami, karya Abdul Aziz at-Tabatabai.

3. Dalil an-Nash bi Khabar al-Ghadir ‘ala Imamati Amiril Mukminin, karya Abul Fath Muhammad bin Ali al-Karajaki.

4. Al-ghadir fi al-Kitab al-Aziz, karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.

5. Mafad Hadis al-ghadir, juga karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.

6. Aqwal al-Ulama fi Shihhati Hadis al-Ghadir wa Tawaturihi, juga karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.

7. Abdul Husain juga menulis Idul Ghadir fi al-Islam.

8. Baiatu al-Ghadir, karya Muhammad al-baqir al-Anshari.

Dan masih banyak lagi buku-buku mereka tentang hari Ghadir, yang isinya kurang lebih tidak jauh beda. Ini menunjukkan bagaimana antusias Syiah dalam menyebarkan aqidah tentang hari raya baru mereka, Idul Ghadir.

Dari sekian nama penulis di atas, ada satu penulis yang paling ‘ngotot’ dalam membela idul ghadir. Dia adalah Abdul Husain al-Amini. Anda perhatikan namanya, sungguh mengerikan bukan?. Abdul Husain, hamba Husain. Artinya dia bukan hamba Allah, tapi penyembah Husain.

Kemudian ada salah satu tokoh syiah, yang digelari dengan al-Marja’ ad-Dini al-A’la (rujukan tertinggi masalah agama), Sayid Muhammad al-Husaini as-Syirazi, menulis sebuah buku yang berjudul: Idul Ghadir, A’dzamu al-A’yad fi al-Islam (Idul Ghadir: Hari Raya Terbesar dalam Islam). Buku itu diterbitkan oleh Haiah Ilmiah fi Hauzah Ar Rasul Al A’zham di Kuwait.

Buku ini tidak tebal, jika dibandingkan dengan karya semisalnya. Versi pdf yang ada pada kami tebalnya hanya 66 halaman. Si Sayid menyebutkan berbagai riwayat untuk mendukung aqidah sesat ini. Kemudian setelah menyebutkan berbegai riwayat tentang Ghadir Khum, penulis mulai memuji habis Ahlul bait, dan mencuplik beberapa kisah tentang perjalanan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anda yang sudah pernah membaca buku Sirah Nabawi, akan dibuat banyak keheranan dengan penjelasan buku ini. Atau bahkan anda akan menertawakannya. Dia menyampaikan lakon sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berusaha menutupi sosok sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, radhiyallahu ‘anhum dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekalipun dalam sejarah aslinya, di sana ada Abu Bakr, Umar, para istri beliau, atau sahabat senior lainnya. Tokoh yang ditonjolkan penulis hanya berkutat pada Ali, Hasan, Husain, Fatimah, Miqdad bin Aswad, dan Salman al-Farisi.

Mengapa tidak disebutkan? Karena bagi syiah, nama-nama itu adalah musuh mereka. Namun sayang, tidak ada versi terjemahan untuk buku ini. Karena khawatir buku asli mereka diketahui kaum muslimin indonesia yang berpaham ahlus sunah. Tidak lain, ini bagian dari upaya taqiyah mereka. Menutupi muka aslinya, agar tidak diketahui aibnya.

Doktrin Syiah yang Sangat Berbahaya
Apa itu Ghadir Khum?

Selanjutnya kita akan menyimak lebih dekat apa itu peristiwa ghadir khum dan ada apa dengan hari ghadir khum?

Ghadir [arab: غدير] secara bahasa artinya sungai kecil yang dialiri air. (Mu’jam al-Wasith, 2/200).

Sementara Khum [arab: خم] adalah nama sebuah lembah yang banyak pepohonannya jaraknya 3 mil dari arah Juhfah, atau sekitar 250 km di sebelah utara Mekah. Artinya, jarak Khum dengan madinah sekitar 150 km.

Gabungan dua kata ini berarti, lembah yang banyak pepohonannya, ada sungai kecil, yang bernama Khum. (Ta’liq shahih Muslim Muhammad Fuad AbdulBaqi, hadis no. 2408).

Disebut hadis Ghadir Khum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadis ini di sebuah ghadir yang bernama Khum. Peristiwa tersebut terjadi pada haji, di sela-sela perjalanan pulang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji wada’. Atau kurang lebih tiga bulan sebelum beliau meninggal dunia.
Tinjauan Hadis Ghadir Khum

Tentang peristiwa ghadir khum disebutkan dalam hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu. Beliau bercerita,

Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat, di pinggir sungai kecil yang bernama Khum. Lembah antara Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan memberikan nasehat kepada para sahabat. Kemudian beliau bersabda,

أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي» فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ، قَالَ: وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ: كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ

”Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia biasa. Utusan Rabbku segera datang memanggilku sehingga aku harus memenuhinya. Kutinggalkan pada kalian dua hal yang berharga: pertama adalah kitab Allah, di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah pada kitab Allah sekuat tenaga kalian.”

Zaid melanjutkan, “Lantas beliau menganjurkan agar mempelajari kitab Allah dan mencintainya. Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya,

”Dan juga keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. (beliau ulangi 3 kali).”

Hushoin bertanya kepada Zaid, bertanya, “Siapakah keluarga Nabi itu, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau juga termasuk keluarga beliau?” Zaid menjawab, ”Benar. Tetapi keluarga beliau adalah orang-orang yang haram menerima sedekah sepeninggal beliau.”

Ia kembali beranya, ”Siapakah mereka?” Zaid pun menjawab, ”Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”

Hushoin bertanya lagi, “Apakah mereka semua tidak boleh menerima sedekah?”Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim no 2408).

Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dan kita sepakat untuk menerima dan mengakui hadis ini. Karena itu, ketika syiah mengatakan bahwa kelompok Sunni tidak mengakui hadis ghadir khum, ini jelas tuduhan dusta.

Disamping hadis riwayat Muslim di atas, ada beberapa kalimat tambahan yang disebutkan dalam riwayat lain, diantaranya,

Tambahan pada riwayat Ahmad, Nasai dan Tirmidzi serta lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam peristiwa itu,

من كنت مولاه فعلي مولاه

“Siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.” (HR. At-Tirmidzi 3713, Ahmad, 5/374, dan Mustadrak Hakim, 3/110).

Ada juga tambahan lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

اللهم والي من ولاه وعاد من عاداه

”Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali), musuhilah orang yang memusuhinya.” (HR. )

Ada juga tambahan.”

وانصر من نصره وأخذل من خذله وأدر الحق معه حيث دار

“Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”

Dari berbagai riwayat hadis tentang ghadir Khum, Dr. Utsman al-Khamis mengklasifikasi hadis ini menjadi empat tingkatan:

1. Hadis riwayat Muslim, yang TIDAK ada kalimat, “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”

2. Tambahan yang terdapat pada riwayat Tirmidzi, Ahmad, Nasai dan lainnya, yaitu kalimat, “Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.”

3. Tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya.”;

4. Tambahan yang diriwayatkan oleh Thabrani dan lainnya, ” Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”

Kesimpulan untuk hadis Ghadir Khum dan tambahan riwayatnya,

1. Riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, kita menerima semua riwayat yang ada dalam Shahih Muslim.

2. Untuk tambahan kedua, hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad serta lainnya. Pendapat yang kuat bahwa hadits kedua ini shahih. Meskipun ada sebagian ualama yang mendhaifkannya, diantaranya Ishaq al-Harbi, Syaikhul Islam, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.

3. Sementara tambahan yang ketiga, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menilainya shahih dan sebagian menilainya dhaif.

4. Sedangkan untuk tambahan yang keempat, itu merupakan kedustaan murni yang dibuat atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 53).
Kesimpulan Syiah dari Hadis Ghadir Khum

Hadis ghadir khum di atas, digunakan orang Syiah sebagai dalih untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, adalah orang yang paling berhak menjadi khilafah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Mereka beralasan, bahwa maksud sabda Nabi “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya” adalah kekasih yang berarti hakim (penguasa) atau khilafah.

Akan tetapi penduduk Madinah yang mendengar hadis ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua berkhianat. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diangkat menjadi Khalifah adalah Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru yang keempat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum.

Karena alasan ini, mereka mengkafirkan sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat senior di Madinah. Mereka dituduh oleh syiah, telah merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib.

Laa haula wa laa quwwata illa billah… sejak kapan sahabat sampai rebutan kekuasaan? Padahal mereka berusaha menolak ketika ditunjuk sebagai khalifah. Lalu dengan logika apa, pernyataan ’Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya’ bisa disimpulkan bahwa itu adalah penobatan Ali sebagai khalifah?

Bukankah ini kesimpulan yang terlalu dipaksakan?

Dalam hadis Ghadir khum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”

Pernyataan ini selanjutnya dijadikan dasar oleh syiah bahwa Ali telah diangkat sebagai Khalifah di Khum. Namun para penduduk madinah tidak amanah, dan mengkhianati pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khum. Sehingga yang ditunjuk sebagai khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan Ali tapi Abu Bakr.

Ada beberapa catatan untuk menyatakan bahwa kesimpulan syiah tentang hadis ghadir khum adalah kesimpulan yang ngawur,

Pertama, Catatan Sisi Geografis

Bagi syiah, masalah kepemimpinan merupakan masalah paling penting. Sampai mereka berani mengkafirkan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat lainnya, sebabnya kembali pada masalah kepemimpinan.

Karena ini masalah sangat penting, seharusnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sebelum beliau meninggal. Bagi Syiah, di Ghadir Khum, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan khutbah tentang Ali, dengan maksud kekhalifahan, yang berarti Rasulullah menginginkan agar Ali menjadi khalifah sepeninggal beliau.

Sanggahan Untuk Syiah

Jika kepemimpinan Ali adalah satu hal yang sangat penting sekali, bukankah seharusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini kepada seluruh jamaah haji ketika di arafah? Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk madinah, tapi seluruh penjuru jazirah arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih memilih Abu Bakr sebagai khalifah, maka umat muslim yang lainnya dari luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.

Sementara jarak lembah Khum dengan Mekah sekitar 250 km. Dan jarak antara Mekah dan Madinah adalah 400 km. Artinya, beliau telah melakukan separuh perjalanan, lebih dekat dengan kota Madinah. Sehingga bisa dipastikan, jamaah haji dari Mekah, atau pelosok daerah lainnya, tidak mengetahui kejadian di ghadir khum.

Sebagaian tokoh Syiah menyanggah, bahwa ketika itu (di hari Arafah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut menyampaikan masalah khilafah ini kepada seluruh jamaah haji. Beliau takut sabdanya ditolak, dan beliau takut pada jamaah haji yang jumlahnya ribuan, sehingga tidak beliau sampaikan, dan hanya menyampaikannya kepada penduduk Madinah.

Anda yang mendengar, tentu akan berkomentar, Pantaskah seorang Nabi takut pada para sahabat?

Kedua, Catatan Sisi Moral

Mereka yang mendengar khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di Khum adalah masyarakat Madinah. Sehingga pesan ini didengar oleh Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali sendiri, dan para sahabat senior lainnya.

Menurut syiah, ada dua kemungkinan mengapa Ali bin Abi Thalib tidak diangkat sebagai khalifah pertama oleh para penduduk Madinah, (1) Para sahabat tidak paham dengan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah tersebut. (2) Para sahabat berkhianat terhadap pesan tersebut, sehingga mereka tidak mengangkat Ali sebagai khalifah pertama.

Dan dua kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima.

Apakah mungkin semua sahabat yang tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah tidak memahami maksud pesan beliau di Khum? Para sahabat tidak paham, sementara syiah paham? Berarti para sahabat yang berada di sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang bodoh, sampai pesan yang demikian penting mereka tidak pahami.

Kata syiah, mereka paham, tapi mereka berkhianat. Allahu akbar…

Berarti manusia yang berada di sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pengkhianat. Yang itu berarti Allah membiarkan nabi-Nya bersama para pengkhianat.??

Para sahabat adalah para pengkhianat, dan syiah manusia paling amanah??!!

Ketiga, Catatan Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum

Berikutnya kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Karena salah satu cara untuk memahami maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memahami sababul wurud hadis. Dengan demikian, kita bisa memahami hadis lebih komprehensif.

Ada dua analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum.

Analisis pertama, disimpulkan dari dua hadis berikut,

Hadis pertama, Dari Imran bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan. Dan beliau meminta Ali untuk mengambil harta rampasan perangnya. Beliaupun menemui pasukan perang itu, dan mengambil seorang tawana (budak) wanita, kemudian beliau menyetubuhinya. Para sahabatpun mengingkari sikap Ali bin Abi Thalib. Dan ada 4 sahabat yang berjanji, ’Jika kita telah sampai Madinah, akan kita sampaikan apa yang dilakukan Ali.’ Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar, mereka mulai dengan menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi salam beliau, kemudian baru kembali ke rumahnya masing-masing.

Ketika pasukan perang ini sampai di Madinah, mereka memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah satu dari 4 sahabat tadi melaporkan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا

”Wahai Rasulullah, tahukan anda bahwa Ali telah melakukan tindakan demikian dan demikian”

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan tidak mengindahkan laporan mereka. Orang kedua gantian melaporkan yang sama, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempedulikannya. Orang ketiga juga demikian, dan terakhir orang keempat. Semuanya diacuhkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi mereka dan nampak ada suasana marah di wajah beliau,

مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ بَعْدِي

”Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku.” (HR. Turmudzi 3712 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis kedua, kasus sama dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar mendatangi Khalid, untuk mengambil seperlima. Dan aku menjadi benci dengan Ali, karena dia telah mandi junub (karena menyetubuhi tawanan/budak). Akupun menyampaikannya kepada Khalid, ’Lihat apa yang dilakukan Ali.’

Sesampainya kami kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akupun ceritakan kejadian itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda,

«يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «لاَ تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ»

”Hai Buraidah, apakah kamu membenci Ali.” Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda, “Janganlah kamu membencinya, karena dia berhak mendapatkan seperlima yang lebih banyak dari pada seorang budak itu.” (HR. Bukhari 4350).
Cerita Selengkapnya

Sebelum berangkat haji, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di Madinah, beliau telah mengirim Khalid bin walid ke Yaman untuk suatu pertempuran. Setelah Khalid bin Walid menang dalam tugas jihadnya, dia mengirim berita kepada Nabi, “Sesungguhnya kami menang dan mendapatkan harta rampasan. Maka kirimkanlah orang kepada kami untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk mengambil seperlima ghanimah itu dan memerintahkannya agar segera kembali untuk bisa bersama beliau ke mekah melaksanakan haji.

Dalam aturan jihad, ghanimah tersebut, dibagi menjadi lima: 4/5nya untuk para pejuang, sedangkan 1/5nya untuk dibawa Ali. Harta ghanimah yang dibawa Ali itupun akan dibagi menjadi lim lagi: 1/5 untuk Allah dan Rasul, 1/5 untuk kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 untuk kaum miskin dan 1/5 untuk Ibnu Sabil.

Ali mengambil bagian yang menjadi hak kerabat Nabi, karena dia pemimpin kerabat beliau. Wujudnya adalah hewan seperti kuda, bighal, onta, sapi, kambing dan juga tawanan (budak) wanita, anak-anak, atau laki-laki dewasa. Ali mengambil seorang tawanan wanita lalu menggaulinya.

Sebagian sahabat, termasuk Buraidah, menjadi marah dengan sikap Ali. Bagaimana bisa Ali melakukan hal tersebut? Dia mengambil seorang tawanan wanita dari bagian kerabat Rasulullah. Harusnya di Madinah dia mengambil tawanan itu, bukan di sini.

Berita tentang Ali ini sangat memungkinkan tersebar di seluruh penjuru Madinah. Sehingga untuk mengembalikan nama baik Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap beliau, dan menyatakan, ”Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku” (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 49 – 50)

Analisis kedua, disimpulkan dari riwayat al-Baihaqi dari hadis Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa setelah Ali pulang dari Yaman, beliau langsung menuju Mekah. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak dari Madinah menuju Mekah untuk berhaji. Ali membawa beberapa onta zakat dan pakaian.

Di perjalanan, Ali menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikan posisi beliau dan Ali menyuruh rombongan untuk mendahului beliau. Beliau melarang semua sahabat menaiki onta-onta tersebut dan melarang memakai pakain yang dibawa rombongan.

Setelah Ali menyusul, ternyata beberapa onta telah dinaiki dan beberapa kain telah dipakai para sahabat. Alipun memarahi mereka dengan keras, sehingga membuat beberapa sahabat merasa tidak nyaman dengan sikap Ali. Diantaranya Abu Said al-Khudri. Setelah mereka ketemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekapun menyampaikan sikap Ali ini. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali, dan bersabda kepada mereka,

فإني علمت أن عليا قد أحسن فلا تبغضوا عليا

“Saya tahu sikap Ali, dia benar dalam bersikap, karena itu, janganlah kalian marah kepada Ali.”

Al-Hafidz Ibnu Katsir menilai riwayat Baihaqi ini sanadnya shahih. Kemudian beliau menjelaskan,

أنه عليه السلام خطب بمكان بين مكة والمدينة مرجعه من حجة الوداع قريب من الجحفة يقال له غدير خم فبين فيها فضل علي بن أبي طالب وبراءة عرضه مما كان تكلم فيه بعض من كان معه بأرض اليمن بسبب ما كان صدر منه اليهم من المعدلة التي ظنها بعضهم جورا وتضييقا وبخلا والصواب كان معه في ذلك

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara Mekah dan Madinah, sepulang dari haji Wada’, dekat dengan daerah juhfah, namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib dan beliau membersihakn nama Ali, dari setiap komentar beberapa sahabat yang bersama beliau dari Yaman, karena kebijakan Ali terhadap mereka, yang mereka anggap sebagai tindakan kedzaliman dan sikap bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali.

Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan,

ولهذا لما تفرغ عليه السلام من بيان المناسك ورجع الى المدينة بين ذلك في أثناء الطريق فخطب خطبة عظيمة في اليوم الثامن عشر من ذي الحجة عامئذ وكان يوم الأحد بغدير خم تحت شجرة هناك فبين فيها أشياء وذكر من فضل علي وأمانته وعدله وقربه اليه ما أزاح به ما كان في نفوس كثير من الناس منه

Karena itu, setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Dzulhijjah di tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah pepohon, beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau jelaskan beberapa hal, dan menyebutkan keutamaan Ali, bagaimana amanahnya Ali, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau. Yang ini akan menghilangkan ketidak-nyamanan di hati banyak sahabat terhadap Ali radhiyallahu ‘anhum. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/208).

Berdasarkan keterangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jelas ini kesimpulan yang salah. Tapi dalam rangka membersihkan nama baik Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Pengasuh KonsultasiSyariah.com)
SUMBER : http://www.konsultasisyariah.com/hadis-ghadir-khum-dan-hari-raya-syiah-idul-ghadir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar