Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Syiah memiliki hari raya paling besar, melebihi keagungan hari raya
Idul Fithri dan Idul Adha. Hari raya itu mereka sebut dengan Idul Ghadir (hari
raya ghadir). Peristiwa ghadir menjadi momentum bersejarah yang paling berharga
bagi syiah. Menurut Ulama Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi
Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengklaim bahwa Jibril
turun menyampaikan wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah.
Untuk membumikan aqidah ini, para tokoh Syiah menulis banyak buku
yang mencantumkan fadhilah hari ghadir. Diantaranya,
1. Al-Ghadir wa al-Mu’aridhun, karya Ja’far Murtadha al-Amili.
2. Al-Ghadir fi at-Turats al-Islami, karya Abdul Aziz at-Tabatabai.
3. Dalil an-Nash bi Khabar al-Ghadir ‘ala Imamati Amiril Mukminin,
karya Abul Fath Muhammad bin Ali al-Karajaki.
4. Al-ghadir fi al-Kitab al-Aziz, karya Syaikh Abdul Husain
al-Amini.
5. Mafad Hadis al-ghadir, juga karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.
6. Aqwal al-Ulama fi Shihhati Hadis al-Ghadir wa Tawaturihi, juga
karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.
7. Abdul Husain juga menulis Idul Ghadir fi al-Islam.
8. Baiatu al-Ghadir, karya Muhammad al-baqir al-Anshari.
Dan masih banyak lagi buku-buku mereka tentang hari Ghadir, yang
isinya kurang lebih tidak jauh beda. Ini menunjukkan bagaimana antusias Syiah
dalam menyebarkan aqidah tentang hari raya baru mereka, Idul Ghadir.
Dari sekian nama penulis di atas, ada satu penulis yang paling
‘ngotot’ dalam membela idul ghadir. Dia adalah Abdul Husain al-Amini. Anda
perhatikan namanya, sungguh mengerikan bukan?. Abdul Husain, hamba Husain.
Artinya dia bukan hamba Allah, tapi penyembah Husain.
Kemudian ada salah satu tokoh syiah, yang digelari dengan al-Marja’
ad-Dini al-A’la (rujukan tertinggi masalah agama), Sayid Muhammad al-Husaini
as-Syirazi, menulis sebuah buku yang berjudul: Idul Ghadir, A’dzamu al-A’yad fi
al-Islam (Idul Ghadir: Hari Raya Terbesar dalam Islam). Buku itu diterbitkan
oleh Haiah Ilmiah fi Hauzah Ar Rasul Al A’zham di Kuwait.
Buku ini tidak tebal, jika dibandingkan dengan karya semisalnya.
Versi pdf yang ada pada kami tebalnya hanya 66 halaman. Si Sayid menyebutkan
berbagai riwayat untuk mendukung aqidah sesat ini. Kemudian setelah menyebutkan
berbegai riwayat tentang Ghadir Khum, penulis mulai memuji habis Ahlul bait,
dan mencuplik beberapa kisah tentang perjalanan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Anda yang sudah pernah membaca buku Sirah Nabawi, akan dibuat
banyak keheranan dengan penjelasan buku ini. Atau bahkan anda akan
menertawakannya. Dia menyampaikan lakon sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berusaha menutupi sosok sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar,
Utsman, radhiyallahu ‘anhum dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekalipun dalam sejarah aslinya, di sana ada Abu Bakr, Umar, para istri beliau,
atau sahabat senior lainnya. Tokoh yang ditonjolkan penulis hanya berkutat pada
Ali, Hasan, Husain, Fatimah, Miqdad bin Aswad, dan Salman al-Farisi.
Mengapa tidak disebutkan? Karena bagi syiah, nama-nama itu adalah
musuh mereka. Namun sayang, tidak ada versi terjemahan untuk buku ini. Karena
khawatir buku asli mereka diketahui kaum muslimin indonesia yang berpaham ahlus
sunah. Tidak lain, ini bagian dari upaya taqiyah mereka. Menutupi muka aslinya,
agar tidak diketahui aibnya.
Doktrin Syiah yang Sangat Berbahaya
Apa itu Ghadir Khum?
Selanjutnya kita akan menyimak lebih dekat apa itu peristiwa ghadir
khum dan ada apa dengan hari ghadir khum?
Ghadir [arab: غدير] secara bahasa artinya sungai kecil yang dialiri air. (Mu’jam
al-Wasith, 2/200).
Sementara Khum [arab: خم] adalah nama sebuah lembah yang banyak
pepohonannya jaraknya 3 mil dari arah Juhfah, atau sekitar 250 km di sebelah
utara Mekah. Artinya, jarak Khum dengan madinah sekitar 150 km.
Gabungan dua kata ini berarti, lembah yang banyak pepohonannya, ada
sungai kecil, yang bernama Khum. (Ta’liq shahih Muslim Muhammad Fuad AbdulBaqi,
hadis no. 2408).
Disebut hadis Ghadir Khum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan hadis ini di sebuah ghadir yang bernama Khum. Peristiwa
tersebut terjadi pada haji, di sela-sela perjalanan pulang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji wada’. Atau kurang lebih tiga
bulan sebelum beliau meninggal dunia.
Tinjauan Hadis Ghadir Khum
Tentang peristiwa ghadir khum disebutkan dalam hadis dari Zaid bin
Arqam radhiyallahu ‘anhu. Beliau bercerita,
Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di
hadapan para sahabat, di pinggir sungai kecil yang bernama Khum. Lembah antara
Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan memberikan nasehat kepada para
sahabat. Kemudian beliau bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ
أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا
كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا
بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِي
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي،
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي» فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟
يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ
بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ، قَالَ: وَمَنْ
هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ:
كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ
”Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia biasa.
Utusan Rabbku segera datang memanggilku sehingga aku harus memenuhinya.
Kutinggalkan pada kalian dua hal yang berharga: pertama adalah kitab Allah, di
dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah pada kitab
Allah sekuat tenaga kalian.”
Zaid melanjutkan, “Lantas beliau menganjurkan agar mempelajari
kitab Allah dan mencintainya. Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya,
”Dan juga keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah
perihal keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal
keluargaku. (beliau ulangi 3 kali).”
Hushoin bertanya kepada Zaid, bertanya, “Siapakah keluarga Nabi
itu, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau juga termasuk keluarga beliau?”
Zaid menjawab, ”Benar. Tetapi keluarga beliau adalah orang-orang yang haram
menerima sedekah sepeninggal beliau.”
Ia kembali beranya, ”Siapakah mereka?” Zaid pun menjawab, ”Mereka
adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”
Hushoin bertanya lagi, “Apakah mereka semua tidak boleh menerima
sedekah?”Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim no 2408).
Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dan kita
sepakat untuk menerima dan mengakui hadis ini. Karena itu, ketika syiah
mengatakan bahwa kelompok Sunni tidak mengakui hadis ghadir khum, ini jelas
tuduhan dusta.
Disamping hadis riwayat Muslim di atas, ada beberapa kalimat
tambahan yang disebutkan dalam riwayat lain, diantaranya,
Tambahan pada riwayat Ahmad, Nasai dan Tirmidzi serta lainnya,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam peristiwa itu,
من كنت مولاه فعلي مولاه
“Siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
(HR. At-Tirmidzi 3713, Ahmad, 5/374, dan Mustadrak Hakim, 3/110).
Ada juga tambahan lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan,
اللهم والي من ولاه وعاد من عاداه
”Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali), musuhilah orang
yang memusuhinya.” (HR. )
Ada juga tambahan.”
وانصر من نصره وأخذل من خذله وأدر الحق معه حيث دار
“Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang
merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”
Dari berbagai riwayat hadis tentang ghadir Khum, Dr. Utsman
al-Khamis mengklasifikasi hadis ini menjadi empat tingkatan:
1. Hadis riwayat Muslim, yang TIDAK ada kalimat, “Barang siapa yang
aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”
2. Tambahan yang terdapat pada riwayat Tirmidzi, Ahmad, Nasai dan
lainnya, yaitu kalimat, “Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali
adalah kekasihnya.”
3. Tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, “Ya Allah,
cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya.”;
4. Tambahan yang diriwayatkan oleh Thabrani dan lainnya, ” Bela
orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah
kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”
Kesimpulan untuk hadis Ghadir Khum dan tambahan riwayatnya,
1. Riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, kita menerima semua
riwayat yang ada dalam Shahih Muslim.
2. Untuk tambahan kedua, hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh
Tirmidzi dan Ahmad serta lainnya. Pendapat yang kuat bahwa hadits kedua ini
shahih. Meskipun ada sebagian ualama yang mendhaifkannya, diantaranya Ishaq
al-Harbi, Syaikhul Islam, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.
3. Sementara tambahan yang ketiga, diperselisihkan oleh para ulama.
Sebagian menilainya shahih dan sebagian menilainya dhaif.
4. Sedangkan untuk tambahan yang keempat, itu merupakan kedustaan
murni yang dibuat atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syubuhat
Syi’iyah, hlm. 53).
Kesimpulan Syiah dari Hadis Ghadir Khum
Hadis ghadir khum di atas, digunakan orang Syiah sebagai dalih
untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, adalah orang yang
paling berhak menjadi khilafah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara langsung. Mereka beralasan, bahwa maksud sabda Nabi “Barang siapa yang
aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya” adalah kekasih yang
berarti hakim (penguasa) atau khilafah.
Akan tetapi penduduk Madinah yang mendengar hadis ini dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua berkhianat. Sepeninggal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diangkat menjadi Khalifah adalah Abu Bakr,
kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru yang keempat, Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhum.
Karena alasan ini, mereka mengkafirkan sahabat Abu Bakr, Umar,
Utsman, dan beberapa sahabat senior di Madinah. Mereka dituduh oleh syiah,
telah merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib.
Laa haula wa laa quwwata illa billah… sejak kapan sahabat sampai
rebutan kekuasaan? Padahal mereka berusaha menolak ketika ditunjuk sebagai
khalifah. Lalu dengan logika apa, pernyataan ’Barang siapa yang aku menjadi
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya’ bisa disimpulkan bahwa itu adalah
penobatan Ali sebagai khalifah?
Bukankah ini kesimpulan yang terlalu dipaksakan?
Dalam hadis Ghadir khum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah
pemimpinnya.”
Pernyataan ini selanjutnya dijadikan dasar oleh syiah bahwa Ali
telah diangkat sebagai Khalifah di Khum. Namun para penduduk madinah tidak
amanah, dan mengkhianati pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khum.
Sehingga yang ditunjuk sebagai khalifah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan Ali tapi Abu Bakr.
Ada beberapa catatan untuk menyatakan bahwa kesimpulan syiah
tentang hadis ghadir khum adalah kesimpulan yang ngawur,
Pertama, Catatan Sisi Geografis
Bagi syiah, masalah kepemimpinan merupakan masalah paling penting.
Sampai mereka berani mengkafirkan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat
lainnya, sebabnya kembali pada masalah kepemimpinan.
Karena ini masalah sangat penting, seharusnya Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam akan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sebelum
beliau meninggal. Bagi Syiah, di Ghadir Khum, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam menyampaikan khutbah tentang Ali, dengan maksud kekhalifahan, yang
berarti Rasulullah menginginkan agar Ali menjadi khalifah sepeninggal beliau.
Sanggahan Untuk Syiah
Jika kepemimpinan Ali adalah satu hal yang sangat penting sekali,
bukankah seharusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan
ini kepada seluruh jamaah haji ketika di arafah? Karena ketika di Arafah, semua
jamaah haji dari berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk madinah, tapi
seluruh penjuru jazirah arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan
mereka lebih memilih Abu Bakr sebagai khalifah, maka umat muslim yang lainnya
dari luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
Sementara jarak lembah Khum dengan Mekah sekitar 250 km. Dan jarak
antara Mekah dan Madinah adalah 400 km. Artinya, beliau telah melakukan separuh
perjalanan, lebih dekat dengan kota Madinah. Sehingga bisa dipastikan, jamaah
haji dari Mekah, atau pelosok daerah lainnya, tidak mengetahui kejadian di
ghadir khum.
Sebagaian tokoh Syiah menyanggah, bahwa ketika itu (di hari Arafah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam takut menyampaikan masalah khilafah ini
kepada seluruh jamaah haji. Beliau takut sabdanya ditolak, dan beliau takut
pada jamaah haji yang jumlahnya ribuan, sehingga tidak beliau sampaikan, dan
hanya menyampaikannya kepada penduduk Madinah.
Anda yang mendengar, tentu akan berkomentar, Pantaskah seorang Nabi
takut pada para sahabat?
Kedua, Catatan Sisi Moral
Mereka yang mendengar khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika di Khum adalah masyarakat Madinah. Sehingga pesan ini didengar oleh Abu
Bakr, Umar, Utsman, Ali sendiri, dan para sahabat senior lainnya.
Menurut syiah, ada dua kemungkinan mengapa Ali bin Abi Thalib tidak
diangkat sebagai khalifah pertama oleh para penduduk Madinah, (1) Para sahabat
tidak paham dengan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah
tersebut. (2) Para sahabat berkhianat terhadap pesan tersebut, sehingga mereka
tidak mengangkat Ali sebagai khalifah pertama.
Dan dua kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima.
Apakah mungkin semua sahabat yang tinggal bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di Madinah tidak memahami maksud pesan beliau di Khum? Para
sahabat tidak paham, sementara syiah paham? Berarti para sahabat yang berada di
sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang bodoh, sampai pesan
yang demikian penting mereka tidak pahami.
Kata syiah, mereka paham, tapi mereka berkhianat. Allahu akbar…
Berarti manusia yang berada di sekitar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah para pengkhianat. Yang itu berarti Allah membiarkan nabi-Nya
bersama para pengkhianat.??
Para sahabat adalah para pengkhianat, dan syiah manusia paling
amanah??!!
Ketiga, Catatan Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum
Berikutnya kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barang siapa yanga aku menjadi
kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.” Karena salah satu cara untuk memahami
maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memahami sababul wurud hadis.
Dengan demikian, kita bisa memahami hadis lebih komprehensif.
Ada dua analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang
khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ghadir Khum.
Analisis pertama, disimpulkan dari dua hadis berikut,
Hadis pertama, Dari Imran bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, beliau
bercerita,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan. Dan
beliau meminta Ali untuk mengambil harta rampasan perangnya. Beliaupun menemui
pasukan perang itu, dan mengambil seorang tawana (budak) wanita, kemudian
beliau menyetubuhinya. Para sahabatpun mengingkari sikap Ali bin Abi Thalib.
Dan ada 4 sahabat yang berjanji, ’Jika kita telah sampai Madinah, akan kita
sampaikan apa yang dilakukan Ali.’ Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka
dari safar, mereka mulai dengan menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
memberi salam beliau, kemudian baru kembali ke rumahnya masing-masing.
Ketika pasukan perang ini sampai di Madinah, mereka memberi salam
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah satu dari 4 sahabat tadi
melaporkan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ صَنَعَ
كَذَا وَكَذَا
”Wahai Rasulullah, tahukan anda bahwa Ali telah melakukan tindakan
demikian dan demikian”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dan tidak
mengindahkan laporan mereka. Orang kedua gantian melaporkan yang sama, dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempedulikannya. Orang ketiga juga
demikian, dan terakhir orang keempat. Semuanya diacuhkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi mereka dan
nampak ada suasana marah di wajah beliau,
مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِيٍّ؟ مَا تُرِيدُونَ
مِنْ عَلِيٍّ؟ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ، وَهُوَ وَلِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ
مِنْ بَعْدِي
”Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan
terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Sesungguhnya Ali bagian
dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin
sepeninggalku.” (HR. Turmudzi 3712 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis kedua, kasus sama dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, beliau
menceritakan,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu agar mendatangi Khalid, untuk mengambil seperlima. Dan aku
menjadi benci dengan Ali, karena dia telah mandi junub (karena menyetubuhi
tawanan/budak). Akupun menyampaikannya kepada Khalid, ’Lihat apa yang dilakukan
Ali.’
Sesampainya kami kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akupun
ceritakan kejadian itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
beliau bersabda,
«يَا بُرَيْدَةُ أَتُبْغِضُ عَلِيًّا؟» فَقُلْتُ:
نَعَمْ، قَالَ: «لاَ تُبْغِضْهُ فَإِنَّ لَهُ فِي الخُمُسِ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ»
”Hai Buraidah, apakah kamu membenci Ali.” Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau
bersabda, “Janganlah kamu membencinya, karena dia berhak mendapatkan seperlima
yang lebih banyak dari pada seorang budak itu.” (HR. Bukhari 4350).
Cerita Selengkapnya
Sebelum berangkat haji, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih berada di Madinah, beliau telah mengirim Khalid bin walid ke Yaman untuk
suatu pertempuran. Setelah Khalid bin Walid menang dalam tugas jihadnya, dia
mengirim berita kepada Nabi, “Sesungguhnya kami menang dan mendapatkan harta
rampasan. Maka kirimkanlah orang kepada kami untuk mengambil seperlima dari
harta rampasan perang ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin
Abi Thalib ke Yaman untuk mengambil seperlima ghanimah itu dan memerintahkannya
agar segera kembali untuk bisa bersama beliau ke mekah melaksanakan haji.
Dalam aturan jihad, ghanimah tersebut, dibagi menjadi lima: 4/5nya
untuk para pejuang, sedangkan 1/5nya untuk dibawa Ali. Harta ghanimah yang
dibawa Ali itupun akan dibagi menjadi lim lagi: 1/5 untuk Allah dan Rasul, 1/5
untuk kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 untuk kaum miskin dan 1/5
untuk Ibnu Sabil.
Ali mengambil bagian yang menjadi hak kerabat Nabi, karena dia
pemimpin kerabat beliau. Wujudnya adalah hewan seperti kuda, bighal, onta,
sapi, kambing dan juga tawanan (budak) wanita, anak-anak, atau laki-laki
dewasa. Ali mengambil seorang tawanan wanita lalu menggaulinya.
Sebagian sahabat, termasuk Buraidah, menjadi marah dengan sikap
Ali. Bagaimana bisa Ali melakukan hal tersebut? Dia mengambil seorang tawanan
wanita dari bagian kerabat Rasulullah. Harusnya di Madinah dia mengambil
tawanan itu, bukan di sini.
Berita tentang Ali ini sangat memungkinkan tersebar di seluruh
penjuru Madinah. Sehingga untuk mengembalikan nama baik Ali bin Abi Thalib,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan sikap beliau, dan
menyatakan, ”Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku” (Syubuhat
Syi’iyah, hlm. 49 – 50)
Analisis kedua, disimpulkan dari riwayat al-Baihaqi dari hadis Abu
Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa setelah Ali pulang dari Yaman, beliau
langsung menuju Mekah. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak
dari Madinah menuju Mekah untuk berhaji. Ali membawa beberapa onta zakat dan
pakaian.
Di perjalanan, Ali menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikan
posisi beliau dan Ali menyuruh rombongan untuk mendahului beliau. Beliau
melarang semua sahabat menaiki onta-onta tersebut dan melarang memakai pakain
yang dibawa rombongan.
Setelah Ali menyusul, ternyata beberapa onta telah dinaiki dan
beberapa kain telah dipakai para sahabat. Alipun memarahi mereka dengan keras,
sehingga membuat beberapa sahabat merasa tidak nyaman dengan sikap Ali.
Diantaranya Abu Said al-Khudri. Setelah mereka ketemu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Merekapun menyampaikan sikap Ali ini. Namun, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali, dan bersabda kepada mereka,
فإني علمت أن عليا قد أحسن فلا تبغضوا عليا
“Saya tahu sikap Ali, dia benar dalam bersikap, karena itu,
janganlah kalian marah kepada Ali.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir menilai riwayat Baihaqi ini sanadnya shahih.
Kemudian beliau menjelaskan,
أنه عليه السلام خطب بمكان بين مكة والمدينة مرجعه من حجة الوداع قريب
من الجحفة يقال له غدير خم فبين فيها فضل علي بن أبي طالب وبراءة عرضه مما كان تكلم
فيه بعض من كان معه بأرض اليمن بسبب ما كان صدر منه اليهم من المعدلة التي ظنها بعضهم
جورا وتضييقا وبخلا والصواب كان معه في ذلك
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara
Mekah dan Madinah, sepulang dari haji Wada’, dekat dengan daerah juhfah,
namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
keutamaan Ali bin Abi Thalib dan beliau membersihakn nama Ali, dari setiap
komentar beberapa sahabat yang bersama beliau dari Yaman, karena kebijakan Ali
terhadap mereka, yang mereka anggap sebagai tindakan kedzaliman dan sikap
bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali.
Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan,
ولهذا لما تفرغ عليه السلام من بيان المناسك ورجع الى المدينة بين ذلك
في أثناء الطريق فخطب خطبة عظيمة في اليوم الثامن عشر من ذي الحجة عامئذ وكان يوم الأحد
بغدير خم تحت شجرة هناك فبين فيها أشياء وذكر من فضل علي وأمانته وعدله وقربه اليه
ما أزاح به ما كان في نفوس كثير من الناس منه
Karena itu, setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai
manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Dzulhijjah di
tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah pepohon,
beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau jelaskan beberapa
hal, dan menyebutkan keutamaan Ali, bagaimana amanahnya Ali, keadilannya, dan
kedekatannya dengan beliau. Yang ini akan menghilangkan ketidak-nyamanan di
hati banyak sahabat terhadap Ali radhiyallahu ‘anhum. (al-Bidayah wa
an-Nihayah, 5/208).
Berdasarkan keterangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
tujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di ghadir Khum,
bukan dalam rangka menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jelas
ini kesimpulan yang salah. Tapi dalam rangka membersihkan nama baik Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Pengasuh KonsultasiSyariah.com)
SUMBER : http://www.konsultasisyariah.com/hadis-ghadir-khum-dan-hari-raya-syiah-idul-ghadir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar