Senin, 20 Oktober 2014

Imam Ali dan Nahjul Balâghah



Sementara itu, sebagai seorang ilmuan besar, muwahhid dan ârif, banyak sekali pidato dan kata-kata beliau tentang ketuhanan, tauhid, ilmu-ilmu Al-Quran, kenabian, akhlak dan metode mengelola negara yang berlandaskan Al-Quran serta negara yang adil. Imam Ali as memilik metode tersendiri dalam mengungkapkan masalah-masalah akidah. Beliau telah menyampaikanya dalam bentuk khutbah, risalah, wejangan dan diskusi. Namun dikarenakan beliau tidak sempat menyusunya, sebagian apa yang beliau sampaikan itu hilang akibat beberapa peristiwa dan sebagian pendapat serta pemikiran beliau telah dikumpulkan dan disusun setelah beliau wafat sejak beberapa waktu yang cukup panjang. Sebagian pidato dan ucapan-ucapan beliau tentang itu semua sampai sekarang masih dapat kita baca dan kita kaji dalam kitab Nahjul Balâghah yang disusun oleh pemikir besar Islam bernama Sayyid Syarif Ridha. Begitu menakjubkan kata-kata Imam Ali dalam kitab itu, sampai-sampai ratusan ulama tertarik menyempatkan diri mengkaji dan memberikan syarah atau komentar.
Tidak ada orang yang membantah kedalaman dan keluasan ilmu beliau yang tak dapat ditandingi oleh siapa pun kecuali Rasulullah SAWW. Setelah Al-Quran dan hadis Rasul, balaghah dan kefasihan beliau tidak dapat ditandingi siapa saja. Kenyataan ini diakui oleh para ulama dan para ilmuan, termasuk non-Muslim setelah menyaksikan pesona kata-kata Imam Ali dalam Nahjul Balâghah, sebuah kitab kebanggaan umat Islam khazanah warisan peninggalan manusia besar ini. Dalam kitab ini, kita bisa menyaksikan sebagian diantara sekian banyak tanda-tanda yang membuktikan betapa Imam Ali telah menghabiskan usianya dalam renungan, pengkajian dan pembahasan.
Nahjul Balâghah yang terdiri dari pidato dan ucapan-ucapan Imam Ali tersebut, meliputi berbagai macam persoalan, termasuk akidah, pengenalan terhadap Allah, alam semesta dan hukum kuasalitas, keistimewaan manusia serta kondisi berbagai umat, moral, sistem pemerintahan, sosial dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Namun dalam pidato-pidato itu, maksud utama Imam Ali bukan sekedar mengajarkan ilmu-ilmu alam atau teori-teori filsafat. Tujuan utama beliau adalah untuk mengantar manusia ke hakikat yang tinggi melalui ketajaman indera dan logika. Yaitu hakikat yang akan menggiring manusia menuju Sang Khâliq yang Maha Esa. Kitab ini dari segi kesusasteraan dan seni yang memanfaatkan lafaz-lafaz Arab, tiada tara dan tandingnya.
Beliau mengesankan seorang filosof Ilahi terkemuka manakala beliau menerangkan masalah-masalah Tauhîd dan sifat-sifat Allah. Dalam menerangkan masalah Jihad, beliau akan tampak sebagai panglima perang yang pemberani yang sekaligus sangat tajam dan terperinci dalam menjelaskan strategi perang kepada para komandan pasukan bawahannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah ketajaman pemikiran-pemikiran beliau dalam menjelaskan dasar-dasar pemerintahan. Sehingga praktis ahli-ahli sejarah menyebutnya sebagai negarawan. Beliau juga dikenal sangat fasih berbicara mengenai rumus-rumus keterbelakangan dan kemajuan berbagai peradaban serta jalan menuju ketenteraman sosial, politik dan militer.
Syaikh Muhammad Abduh, salah seorang komentator Kitab Nahjul Balâghah mengatakan: "Dalam kalimat-kalimat Imam Ali terlihat hakikat mukjizat. Tokoh besar ini, dengan kalimat-kalimatnya ada kalanya mengantar manusia ke alam supernatural dan ada kalanya pula ia menggiring perhatian manusia kepada suasana alam dunia. Keberanian dan keteguhan telah beliau kristalkan, dan ketika beliau mensifatinya, seorang yang pemberani pun akan bergetar, dan jika ia menjelaskan mengenai cinta dan kasih sayang, orang yang keras hati pun akan tersentuh."
Mengenai keagungan kitab Nahjul Balagah serta kefasihan dan kebalighan Imam Ali as yang tiada taranya, telah banyak dikemukakan oleh para pemikir termasuk ilmuan dan pemikir non-Muslim. Narse Sean, seorang politikus Inggris ketika berbicara tentang Nahjul Balâghah mengenai Imam Ali mengatakan: "Jika sang pembicara (kalimat-kalimat di Nahjul Balâghah ini sekarang berdiri di mimbar Kufah, maka kalian akan menyaksikan wahai kaum Muslimin bahwa masjid Kufah dengan segala keluasannya akan diterjang gelombang rakyat Maroko untuk menimba lautan ilmu Ali ibn Abi Thalib."
Pesan-pesan Imam Ali AS mengandung berbagai konsep yang sangat bermakna. Ia membukakan pintu bagi manusia menuju Allah. Seorang pengkaji beragama Kristen bernama Amin Nakhlah dalam ucapan yang disampaikannya kepada seseorang yang meminta agar memilihkan kalimat-kalimat indah Imam Ali ibn Abi Thalib yang termuat dalam kitab Nahjul Balâghah menulis dalam bukunya: "Berbinar-binar rasanya manakala kubaca lembaran-lembaran kitab Nahjul Balâghah. Namun aku tidak tahu bagaimana aku harus memilih kalimat-kalimat yang termuat dalam kitab itu. Pekerjaan ini benar-benar ibarat memilih mutiara di antara mutiara-mutiara lain. Namun akhirnya pekerjaan ini selesai juga. Tapi sebenarnya tanganku telah meninggalkan mutiara-mutiara yang lain, karena pandanganku telah dibingungkan oleh cahaya kalimat-kalimat itu. Sejumlah kalimat itu telah kupilih, dan ingatlah bahwa sinar kalimat-kalimat itu adalah cahaya dari kefasihan dan kebalighan (mudah ditangkap dan difahami serta indah) kata-kata Ali ibn Abi Thalib.
Memang mempelajarai pandangan-pandangan Imam Ali dalam berbagai masalah akan menggiring hati manusia kepada suasana alam yang sangat menakjubkan. Khotbah-khotbah beliau diakui sangat dalam dan penuh makna. Masalah akhlak dan penyucian jiwa dalam khotbah-khotbah beliau juga termasuk masalah yang paling diutamakan. Karena penataran moral sangat berperan dalam usaha membangun masyarakat yang sehat.
Menurut beliau, kejujuran adalah fokus penting dalam masalah-masalah akhlak. Bahkan beliau memandangnya sebagai salah satu tanda keimanan dan mengatakan bahwa seseorang yang jujur selalu mendapat kemuliaan dan pendusta akan jatuh ke jurang kemusnahan.
Dalam pidato Imam Ali dapat kita saksikan bahwa kejujuran adalah salah satu hal yang esensial dalam sebuah kehidupan yang sederhana dan sehat. Imam Ali as dalam sebuah pidatonya mengenai kehiduapan yang bahagia menjelaskan sebagai berikut:
"Betapa hinanya seseorang yang bersikap merendah di saat memerlukan dan bersikap angkuh pada saat tidak memerlukan. Memuji seseorang secara berlebihan adalah menjilat dan sebaliknya, memuji seseorang tidak dengan pujian yang semestinya adalah hasud. Seseorang yang mencari-cari kekurangan dan aib masyarakat dan menilainya sebagai keburukan, kemudian aib itu ia terima, maka orang ini tak punya harga diri. Apa yang tidak kau lakukan, janganlah kau ucapkan. Janganlah kau lakukan kebaikan hanya untuk riya' dan janganlah kau tinggalkan kebaikan hanya karena malu."
Imam Ali as dalam pidato-pidatonya tidak pernah melepaskan perhatiannya terhadap masalah-masalah manusia dan kehidupan. Setiap poin mengenai itu semua telah beliau sampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang sangat menarik.
Imam Ali as pernah berpesan bahwa seseorang tidak perlu mempersoalkan kekhilafan orang lain selama tidak menggangu kemaslahatan masyarakat. Beliau juga sangat mencela "ghibah" atau mempergunjing orang lain. Imam Ali as. berpesan bahwa seseorang demi menjaga akhlaknya dari dosa dan noda hendaknya menyesalinya dengan segala keikhlasan kepada diri sendiri.
Dalam hal ini beliau mengatakan: "Sesalilah segala sesuatu yang menuntut penyesalanmu jika kau lakukan, karena (orang lain) tidak akan menuntut penyesalan atas perbuatan baik."
Maksud Imam Ali as ialah seseorang hendaknya tidak keberatan menyatakan penyesalannya jika berbuat hal yang tercela dan membuatnya malu di depan orang lain, begitu pula di depan diri sendiri. Karena ini adalah perbuatan baik, dan perbuatan baik bukan hanya tidak membuat malu seseorang, malah justru memuliakan seseorang.
Diantara masalah penting dalam Nahjul Balâghah adalah masalah hak-hak manusia dan kewajiban setiap individu dalam bermasyarakat. Imam Ali telah membahas masalah ini dalam berbagai kesempatan. Antaranya adalah mengenai hubungan timbal balik antara hak seorang pemimpin dengan rakyat.
Imam Ali as tidak menilai hubungan itu sebagaimana layaknya hubungan penguasa dan rakyat, sehingga seorang pemimpin punya hak mutlak untuk dipatuhi dalam arti tidak ada celah sama sekali bagi rakyatnya untuk mengkritiknya. Hubungan ini, menurut Imam Ali harus didasari rasa tanggungjawab rakyat dan para pemimpin untuk menciptakan keadilan sosial dan maslahat umum. Karena masing-masing memiliki hak dan tugas-tugas tersendiri.
Imam Ali dalam khutbahnya yang ke 34 dalam kitab Nahjul Balâghah mengatakan:
"Wahai masyarakat! Aku selaku pemimpin kalian, memiliki hak atas kalian dan kalianpun punya hak atas diriku. Adapun hak kalian atasku adalah aku harus berkhidmat demi keinginan-keinginan baik kalian. Aku harus menjalankan hak-hak kalian atas baitul-mâl, aku harus mendidik kalian agar tingkat pengetahuan kalian bertambah. Dan dengan demikian kalian akan mengerti hak yang kumiliki atas kalian, yaitu kalian harus menepati janji yang pernah kalian berikan kepadaku, baik didepanku atau tidak, jadilah kalian orang yang baik. Berilah respon yang positif jika aku menyeru kalian untuk mengerjakan sesuatu, dan janganlah kalian berusaha untuk berkelit."
Dalam pidatonya yang lain, Imam Ali pernah mengingatkan bahwa seorang pemimpin hendaknya tidak menanti pujian dan penghargaan dari masyarakat atas tugas-tugas yang telah ia laksanakan. Imam Ali juga berpendapat bahwa rakyat hendaknya bisa meletakkan posisinya sebagai penasehat pemimpinnya dan tidak perlu takut atau segan menyampaikan kritik bila kebijaksanaannya perlu dikritik. Dalam hal ini, beliau berkata:
"Janganlah kalian berkata kepadaku seperti kata-kata yang biasa disampaikan kepada orang yang zalim. Janganlah kalian keberatan menjelaskan kebenaran sebagaimana kebenaran disembunyikan di depan masyarakat yang murka. Janganlah kalian menjilat dan berlagak di hadapanku. Yakinlah bahwa perkataan yang hak bagiku adalah sangat berharga."
Sumber : dari www.irib.ir >>> salah satu situs syiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar