Rabu, 09 Mei 2012

Akhlak Kang Jalal (7)

Kali ini yang dihujat oleh Prof Dr Kang Jalal adalah Umar bin Khattab. Dia mengatakan bahwa Umar memaksakan pendapatnya karena menjabat khalifah. Umar dituduh menggunakan jabatannya sebagai khalifah untuk memaksakan pendapat sendiri.


Prof Dr Kang Jalal mengutip riwayat ini dari beberapa kitab, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Nasa’I, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah, juga dari Fathul Bari. Mari kita lihat bersama nukilan Prof Dr Kang Jalal di buku Dahulukan Akhlak di atas Fikih hal 157 :

Seorang laki-laki datang menemui Umar ibn Khattab,” Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air.” Maksud kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.

Umar menjawab, “ Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air”. Ammar bin Yasir berkata pada Umar ibn Khattab,” Tidakkah anda ingat. Dulu, engkau dan aku, pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat, sdangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rsaulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian.

Mendengar demikian, Umar menegur Ammar. “Ya Ammar, takutlah pada Allah.” Kata Ammar, “Ya Amir Al Mu’minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadis ini selama engkau hidup.””Yang dimaksud Ammar”, kata Ibn Hajar,”Aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini ketimbang meriwayatkannya. Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah.

Sejak itu Ammar tidak meriwayakan peristiwa itu lagi. “Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya –orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu shalat. “Wa Hadza madzhab masyhur ‘an “Umar. Kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat ‘Umar kecuali ‘Abdullah ibn Mas’ud.

Kemudian Prof Dr Kang Jalal membuat kesimpulan pada halaman 158 :

Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqih. Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat. Dan keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya.

Sampai di sini kesimpulan Prof Dr Kang Jalal. Menurut saya ada yang lebih menarik lagi dari kesimpulan di atas, yaitu memeriksa lebih dalam apakah riwayat di atas menunjukkan kesimpulan yang diambil oleh Prof Dr Kang Jalal, atau kesimpulan Prof Dr Kang Jalal adalah berlebihan?

Berdasar pengalaman kami meneliti integritas intelektual Prof Dr Kang Jalal, upaya penelitian harus dimulai dari meneliti sumber referensi, karena bukan sekali dua kali Prof Dr Kang Jalal “berakhlak buruk” dalam mensikapi referensi, yaitu menukil apa yang mendukung pendapatnya, sementara nukilan yang tidak sesuai dengan pendapatnya tidak disertakan. Mari kita menuju Fathul Bari:

Dijelaskan dalam Fathul Bari bahwa Umar memang lupa akan peristiwa itu. Dan lupa adalah salah satu tabiat asal manusia. Ibnu Hajar mengatakan:

Umar tidak menerima ucapan Ammar, karena dia memberitahukan bahwa dia bersama Umar saat itu, dan hadir menyaksikan kejadian itu, seperti dalam pembahasan riwayat Ya’la ibn Ubaid, dan Umar sama sekali tidak ingat peristiwa itu.

Sampai di sini dari Ibnu Hajar. Seperti kita ketahui, lupa adalah sifat yang menjadi kelemahan manusia biasa. Siapa pun tidak lepas dari lupa. Yang tidak pernah lupa hanyalah Allah semata.

Ibnu Hajar melanjutkan:

وإنما لم يقنع عمر بقول عمار لكونه أخبره أنه كان معه في تلك الحال وحضر معه تلك القصة كما سيأتي في رواية يعلى بن عبيد ولم يتذكر ذلك عمر أصلا ولهذا قال لعمار فيما رواه مسلم من طريق عبد الرحمن بن أبزي اتق الله يا عمار قال إن شئت لم أحدث به فقال عمر نوليك ما توليت قال النووي معنى قول عمر اتق الله يا عمار أي فيما ترويه وتثبت فيه فلعلك نسيت أو اشتبه عليك فإني كنت معك ولا أتذكر شيئا من هذا ومعنى قول عمار إن رأيت المصلحة في الإمساك عن التحديث به راجحة على التحديث به وافقتك وأمسكت فإني قد بلغته فلم يبق على فيه حرج فقال له عمر نوليك ما توليت أي لا يلزم من كوني لا أتذكره أن لا يكون حقا في نفس الأمر فليس لي منعك من التحديث به
Maka Umar mengatakan pada Ammar, seperti dalam riwayat Muslim dari jalur Abdurrahman bin Abza, Takutlah pada Allah wahai Ammar, lalu Ammar menjawab: jika engkau berkehendak, aku tidak akan meriwayatkan hadits ini selamanya. Umar berkata: Kami serahkan pendapatmu kepadamu. Nawawi berkata: Makna ucapan Umar, Takutlah pada Allah wahai Ammar, yaitu tentang riwayat, dan jangan tergesa-gesa eriwayatkan sebelum mengingat-ingat lagi, bisa jadi engkau lupa atau keliru, karena aku ada bersamamu, tapi aku tidak ingat apa-apa. Makna ucapan Ammar adalah jika engkau memandang maslahat tidak menceritakan riwayat ini lebih besar, maka aku akan setuju dan aku tidak akan menceritakan riwayat ini lagi, karena aku sudah menyampaikan, dan aku tidak berdosa lagi. Umar berkata: kami serahkan pendapatmu kepadamu, artinya, tidak berarti jika aku lupa maka peristiwa itu tidak terjadi, aku tidak berhak melarangmu untuk menceritakan hadits itu lagi.


Sampai di sini dari Fathul Bari. Asumsi kami, juga seluruh pembaca, Prof Dr Kang Jalal menulis berdasarkan referensi, sudah tentu membaca referensi sebelum menulis. Tapi di sini pembaca bisa melihat jarak yang jauh antara yang tertulis di Fathul Bari, dan kesimpulan Prof Dr Kang Jalal.

Juga dengan melihat langsung ke Fathul Bari, sekali lagi kita “menangkap basah” Prof Dr Kang Jalal sedang melakukan kecurangan intelektual. Mari kita bahas lebih jauh kesimpulan Prof Dr Kang Jalal :

Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqih.

Perbedaan pendapat dalam masalah fikih memang wajar terjadi, dan salah satu sebab perbedaan antara Umar bin Khattab dan Ammar bin Yasir adalah lupa. Dan lupa adalah sangat wajar terjadi pada manusia. Imam syiah, yang katanya maksum, pun lupa juga. Bahkan kami pernah mengutip bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah lupa dalam shalatnya, dari kitab syiah sendiri. Imam syiah yang maksum, yang diklaim oleh Prof Dr Kang Jalal sebagai tidak pernah lupa, juga pernah lupa.

Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan.

Kesimpulan ini sangat berlebihan, dan tidak ada bukti yang mendukung dari referensinya. Kesimpulan ini dari kepala Prof Dr Kang Jalal sendiri, yang memang memiliki dendam kesumat pada Umar bin Khattab. Tidak ada bukti bahwa Umar melarang Ammar menceritakan hadits ini. Bahkan seperti penjelasan Nawawi, Umar mempersilahkan Ammar untuk menceritakan hadits ini, dan menyatakan bahwa dia tidak berhak melarang Ammar.

Prof Dr Kang Jalal mengatakan pada halaman 157 : Sejak itu Ammar tidak meriwayakan peristiwa itu lagi.

Pernyataan ini dari Prof Dr Kang Jalal sendiri, dan tidak ada dalam Fathul Bari. Prof Dr Kang Jalal sengaja menyisipkan pernyataan itu, agar pembaca mengira bahwa pernyataan itu adalah dari Fathul Bari. Prof Dr Kang Jalal sengaja membodohi pembaca, dan mengira bahwa dia sendiri yang pandai, dan semua pembaca adalah bodoh dan pandir. Prof Dr Kang Jalal mengira hanya dia sendiri yang memilki kitab Fathul Bari. Prof Dr Kang Jalal mengira hanya dirinya sendiri yang bisa membaca kitab.

Maka kesimpulan ini adalah dari Prof Dr Kang Jalal sendiri, dia bertujuan untuk membuat stigma buruk pembaca pada Umar bin Khattab, yang distigmakan ingin menggunakan kekuasaannya untuk membuat pembakuan paham, dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Prof Dr Kang Jalal ingin membuat gambaran Umar sebagai sosok anti perbedaan pendapat. Nah sekali lagi Prof Dr Kang Jalal tertangkap basah.

Dalam riwayat Abu Dawud kita temukan berikut:

فَقَالَ عُمَرُ يَا عَمَّارُ اتَّقِ اللَّهَ. فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنْ شِئْتَ وَاللَّهِ لَمْ أَذْكُرْهُ أَبَدًا. فَقَالَ عُمَرُ كَلاَّ وَاللَّهِ لَنُوَلِّيَنَّكَ مِنْ ذَلِكَ مَا تَوَلَّيْتَ

Lalu Umar berkata: wahai Ammar, takutlah pada Allah. Lalu Ammar berkata: wahai Amirul Mukminin, jika engkau mau, demi Allah akan tidak akan menceritakan riwayat ini selamanya. Lalu Umar berkata: sekali-kali tidak, demi Allah, kami serahkan pendapatmu kepadamu.

Prof Dr Kang Jalal sudah melihat riwayat ini dalam Sunan Abu Dawud, tapi dia sengaja tidak mencantumkan , karena tidak sesuai dengan tujuannya, yaitu membuat stigma buruk pada Umar bin Khattab.

Mari kita lanjutkan:

Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat.

Sikap kritis dalam menerima riwayat adalah satu hal yang wajar, karena berdusta atau keliru dalam riwayat membawa akibat fatal. Tidak bersikap kritis dalam Menceritakan dan kesaksian dalam pengadilan dapat berakibat fatal, apalagi tidak bersikap kritis dalam menerima dan menceritakan riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang berisi hukum syar’I yang membawa konsekuensi yang besar dan bisa berbuntut sangat panjang, sampai kehidupan akherat.

Sebaliknya, jika kita lihat sikap ulama syiah dalam menerima riwayat, kita temukan mereka sama sekali tidak memiliki tradisi verifikasi ilmiah terhadap hadits, sehingga banyak sekali hadits dhaif bertebaran dalam literatur syiah, dan diyakini kebenarannya oleh penganut syiah.

Tapi akhirnya kita bisa memaklumi sikap ini, yaitu tidak adanya sikap kritis dalam menerima dan menceritakan hadits, karena ternyata sikap ini adalah konsekuensi dari ustadz syiah yang hobi berdusta. Bagaimana pendusta menyuruh dirinya dan orang lain untuk jujur? Orang yang berhati-hati dalam menukil referensi, tidak akan pernah berdusta.

Dan keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya.

Ini bukan sebuah masalah, karena salah satu dasar penetapan hukum fikih adalah perbedaan di kalangan sahabat. Tapi tetap yang menjadi pedoman umat Islam adalah kebenaran, dan tidak ada manusia yang sempurna. Umar sendiri tidak mengklaim pendapatnya benar.

Yang jelas, Prof Dr Kang Jalal semakin menunjukkan tradisi ilmiah yang ingin dia kembangkan, dan menjadi tradisi di kalangan syiah sediri, yaitu tradisi berdusta untuk membuat stigma buruk pada sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
sumber : hakekat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar