Kali ini yang dihujat oleh Prof Dr Kang Jalal adalah Umar bin Khattab.
Dia mengatakan bahwa Umar memaksakan pendapatnya karena menjabat
khalifah. Umar dituduh menggunakan jabatannya sebagai khalifah untuk
memaksakan pendapat sendiri.
Prof Dr Kang Jalal mengutip riwayat ini dari beberapa kitab,
yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Nasa’I, Musnad Ahmad, Sunan Abu
Dawud dan Sunan Ibnu Majah, juga dari Fathul Bari. Mari kita lihat
bersama nukilan Prof Dr Kang Jalal di buku Dahulukan Akhlak di atas
Fikih hal 157 :
Seorang laki-laki datang menemui Umar ibn
Khattab,” Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air.” Maksud
kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.
Umar
menjawab, “ Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air”. Ammar bin
Yasir berkata pada Umar ibn Khattab,” Tidakkah anda ingat. Dulu, engkau
dan aku, pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub.
Engkau tidak shalat, sdangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku
sampaikan kejadian ini kepada Rsaulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian.
Mendengar demikian, Umar menegur
Ammar. “Ya Ammar, takutlah pada Allah.” Kata Ammar, “Ya Amir Al
Mu’minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadis ini
selama engkau hidup.””Yang dimaksud Ammar”, kata Ibn Hajar,”Aku melihat
memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini ketimbang
meriwayatkannya. Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah
menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah.
Sejak itu Ammar
tidak meriwayakan peristiwa itu lagi. “Umar tetap berpegang teguh pada
pendapatnya –orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu shalat. “Wa
Hadza madzhab masyhur ‘an “Umar. Kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak
pendapat ‘Umar kecuali ‘Abdullah ibn Mas’ud.
Kemudian Prof Dr Kang Jalal membuat kesimpulan pada halaman 158 :
Lebih
menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di
atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam
masalah fiqih. Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham
dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat. Dan keempat,
perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum
Muslim pada abad-abad berikutnya.
Sampai di sini kesimpulan Prof
Dr Kang Jalal. Menurut saya ada yang lebih menarik lagi dari kesimpulan
di atas, yaitu memeriksa lebih dalam apakah riwayat di atas menunjukkan
kesimpulan yang diambil oleh Prof Dr Kang Jalal, atau kesimpulan Prof Dr
Kang Jalal adalah berlebihan?
Berdasar pengalaman kami meneliti
integritas intelektual Prof Dr Kang Jalal, upaya penelitian harus
dimulai dari meneliti sumber referensi, karena bukan sekali dua kali
Prof Dr Kang Jalal “berakhlak buruk” dalam mensikapi referensi, yaitu
menukil apa yang mendukung pendapatnya, sementara nukilan yang tidak
sesuai dengan pendapatnya tidak disertakan. Mari kita menuju Fathul
Bari:
Dijelaskan dalam Fathul Bari bahwa Umar memang lupa akan
peristiwa itu. Dan lupa adalah salah satu tabiat asal manusia. Ibnu
Hajar mengatakan:
Umar tidak menerima ucapan Ammar, karena dia
memberitahukan bahwa dia bersama Umar saat itu, dan hadir menyaksikan
kejadian itu, seperti dalam pembahasan riwayat Ya’la ibn Ubaid, dan Umar
sama sekali tidak ingat peristiwa itu.
Sampai di sini dari Ibnu
Hajar. Seperti kita ketahui, lupa adalah sifat yang menjadi kelemahan
manusia biasa. Siapa pun tidak lepas dari lupa. Yang tidak pernah lupa
hanyalah Allah semata.
Ibnu Hajar melanjutkan:
وإنما
لم يقنع عمر بقول عمار لكونه أخبره أنه كان معه في تلك الحال وحضر معه تلك
القصة كما سيأتي في رواية يعلى بن عبيد ولم يتذكر ذلك عمر أصلا ولهذا قال
لعمار فيما رواه مسلم من طريق عبد الرحمن بن أبزي اتق الله يا عمار قال إن
شئت لم أحدث به فقال عمر نوليك ما توليت قال النووي معنى قول عمر اتق الله
يا عمار أي فيما ترويه وتثبت فيه فلعلك نسيت أو اشتبه عليك فإني كنت معك
ولا أتذكر شيئا من هذا ومعنى قول عمار إن رأيت المصلحة في الإمساك عن
التحديث به راجحة على التحديث به وافقتك وأمسكت فإني قد بلغته فلم يبق على
فيه حرج فقال له عمر نوليك ما توليت أي لا يلزم من كوني لا أتذكره أن لا
يكون حقا في نفس الأمر فليس لي منعك من التحديث به
Maka
Umar mengatakan pada Ammar, seperti dalam riwayat Muslim dari jalur
Abdurrahman bin Abza, Takutlah pada Allah wahai Ammar, lalu Ammar
menjawab: jika engkau berkehendak, aku tidak akan meriwayatkan hadits
ini selamanya. Umar berkata: Kami serahkan pendapatmu kepadamu. Nawawi
berkata: Makna ucapan Umar, Takutlah pada Allah wahai Ammar, yaitu
tentang riwayat, dan jangan tergesa-gesa eriwayatkan sebelum
mengingat-ingat lagi, bisa jadi engkau lupa atau keliru, karena aku ada
bersamamu, tapi aku tidak ingat apa-apa. Makna ucapan Ammar adalah jika
engkau memandang maslahat tidak menceritakan riwayat ini lebih besar,
maka aku akan setuju dan aku tidak akan menceritakan riwayat ini lagi,
karena aku sudah menyampaikan, dan aku tidak berdosa lagi. Umar berkata:
kami serahkan pendapatmu kepadamu, artinya, tidak berarti jika aku lupa
maka peristiwa itu tidak terjadi, aku tidak berhak melarangmu untuk
menceritakan hadits itu lagi.
Sampai di sini dari Fathul
Bari. Asumsi kami, juga seluruh pembaca, Prof Dr Kang Jalal menulis
berdasarkan referensi, sudah tentu membaca referensi sebelum menulis.
Tapi di sini pembaca bisa melihat jarak yang jauh antara yang tertulis
di Fathul Bari, dan kesimpulan Prof Dr Kang Jalal.
Juga dengan
melihat langsung ke Fathul Bari, sekali lagi kita “menangkap basah” Prof
Dr Kang Jalal sedang melakukan kecurangan intelektual. Mari kita bahas
lebih jauh kesimpulan Prof Dr Kang Jalal :
Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqih.
Perbedaan
pendapat dalam masalah fikih memang wajar terjadi, dan salah satu sebab
perbedaan antara Umar bin Khattab dan Ammar bin Yasir adalah lupa. Dan
lupa adalah sangat wajar terjadi pada manusia. Imam syiah, yang katanya
maksum, pun lupa juga. Bahkan kami pernah mengutip bahwa Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam pernah lupa dalam shalatnya, dari kitab
syiah sendiri. Imam syiah yang maksum, yang diklaim oleh Prof Dr Kang
Jalal sebagai tidak pernah lupa, juga pernah lupa.
Kedua, lewat kekuasaan, Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan.
Kesimpulan
ini sangat berlebihan, dan tidak ada bukti yang mendukung dari
referensinya. Kesimpulan ini dari kepala Prof Dr Kang Jalal sendiri,
yang memang memiliki dendam kesumat pada Umar bin Khattab. Tidak ada
bukti bahwa Umar melarang Ammar menceritakan hadits ini. Bahkan seperti
penjelasan Nawawi, Umar mempersilahkan Ammar untuk menceritakan hadits
ini, dan menyatakan bahwa dia tidak berhak melarang Ammar.
Prof Dr Kang Jalal mengatakan pada halaman 157 : Sejak itu Ammar tidak meriwayakan peristiwa itu lagi.
Pernyataan
ini dari Prof Dr Kang Jalal sendiri, dan tidak ada dalam Fathul Bari.
Prof Dr Kang Jalal sengaja menyisipkan pernyataan itu, agar pembaca
mengira bahwa pernyataan itu adalah dari Fathul Bari. Prof Dr Kang Jalal
sengaja membodohi pembaca, dan mengira bahwa dia sendiri yang pandai,
dan semua pembaca adalah bodoh dan pandir. Prof Dr Kang Jalal mengira
hanya dia sendiri yang memilki kitab Fathul Bari. Prof Dr Kang Jalal
mengira hanya dirinya sendiri yang bisa membaca kitab.
Maka
kesimpulan ini adalah dari Prof Dr Kang Jalal sendiri, dia bertujuan
untuk membuat stigma buruk pembaca pada Umar bin Khattab, yang
distigmakan ingin menggunakan kekuasaannya untuk membuat pembakuan
paham, dan mengeliminasi pendapat yang berlainan. Prof Dr Kang Jalal
ingin membuat gambaran Umar sebagai sosok anti perbedaan pendapat. Nah
sekali lagi Prof Dr Kang Jalal tertangkap basah.
Dalam riwayat Abu Dawud kita temukan berikut:
فَقَالَ
عُمَرُ يَا عَمَّارُ اتَّقِ اللَّهَ. فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ
إِنْ شِئْتَ وَاللَّهِ لَمْ أَذْكُرْهُ أَبَدًا. فَقَالَ عُمَرُ كَلاَّ
وَاللَّهِ لَنُوَلِّيَنَّكَ مِنْ ذَلِكَ مَا تَوَلَّيْتَ
Lalu
Umar berkata: wahai Ammar, takutlah pada Allah. Lalu Ammar berkata:
wahai Amirul Mukminin, jika engkau mau, demi Allah akan tidak akan
menceritakan riwayat ini selamanya. Lalu Umar berkata: sekali-kali
tidak, demi Allah, kami serahkan pendapatmu kepadamu.
Prof Dr
Kang Jalal sudah melihat riwayat ini dalam Sunan Abu Dawud, tapi dia
sengaja tidak mencantumkan , karena tidak sesuai dengan tujuannya, yaitu
membuat stigma buruk pada Umar bin Khattab.
Mari kita lanjutkan:
Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat.
Sikap
kritis dalam menerima riwayat adalah satu hal yang wajar, karena
berdusta atau keliru dalam riwayat membawa akibat fatal. Tidak bersikap
kritis dalam Menceritakan dan kesaksian dalam pengadilan dapat berakibat
fatal, apalagi tidak bersikap kritis dalam menerima dan menceritakan
riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang berisi hukum syar’I
yang membawa konsekuensi yang besar dan bisa berbuntut sangat panjang,
sampai kehidupan akherat.
Sebaliknya, jika kita lihat sikap ulama
syiah dalam menerima riwayat, kita temukan mereka sama sekali tidak
memiliki tradisi verifikasi ilmiah terhadap hadits, sehingga banyak
sekali hadits dhaif bertebaran dalam literatur syiah, dan diyakini
kebenarannya oleh penganut syiah.
Tapi akhirnya kita bisa
memaklumi sikap ini, yaitu tidak adanya sikap kritis dalam menerima dan
menceritakan hadits, karena ternyata sikap ini adalah konsekuensi dari
ustadz syiah yang hobi berdusta. Bagaimana pendusta menyuruh dirinya dan
orang lain untuk jujur? Orang yang berhati-hati dalam menukil
referensi, tidak akan pernah berdusta.
Dan keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya.
Ini
bukan sebuah masalah, karena salah satu dasar penetapan hukum fikih
adalah perbedaan di kalangan sahabat. Tapi tetap yang menjadi pedoman
umat Islam adalah kebenaran, dan tidak ada manusia yang sempurna. Umar
sendiri tidak mengklaim pendapatnya benar.
Yang jelas, Prof Dr
Kang Jalal semakin menunjukkan tradisi ilmiah yang ingin dia kembangkan,
dan menjadi tradisi di kalangan syiah sediri, yaitu tradisi berdusta
untuk membuat stigma buruk pada sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam.
sumber : hakekat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar