Syaikh Dr. Abdul Mun’im an-Nimr dalam salah satu risalahnya bercerita
tentang teman beliau yang seorang guru besar sastra Persi. Sang guru
besar bertutur pada beliau,”Saya berkunjung ke Teheran saya siapkan
makalahku tentang sastra Persia. Selama saya di sana saya menyempatkan
waktu untuk mencari informasi tentang nikah mut’ah, bukan untuk
bermut’ah tapi saya ingin menyelidiki. Setelah saya bertanya tentang
tempat-tempat mut’ah, maka saya pun menuju ke salah satu tempat
tersebut. Sesampai di sana, seorang syaikh menyambutku dengan ucapan
selamat datang. ”Saya ingin bermut’ah” kataku membuka pembicaraan.
”Kalau ia cantik dan menarik saya ingin mut’ah dalam waktu yang lama”
kataku melanjutkan. Maka saya oleh syaikh tersebut dipersilahkan masuk
ke salah satu ruangan. Lalu laki-laki paru baya tersebut memerintahkan
kepada beberapa orang perempuan melintas di depanku dengan
memperlihatkan seluruh kecantikannya untuk saya pilih. Karena hanya
ingin menyelidik, sayapun lalu minta maaf dengan ramah karena tak satu
pun yang menarik hatiku.
Saya lalu pergi ke tempat lain guna melanjutkan penyelidikan di salah
satu kafe. Kali ini saya melangkah lebih jauh. Setelah saya memilih satu
wanita, kami lalu duduk bersama. Wanita itu lalu bertanya padaku
tentang lama waktu mut’ah yang saya inginkan sebab setiap jam beda
upahnya. Wanita itu juga bertanya tentang tempat yang saya inginkan
untuk ’berbulan madu’ apakah di penginapanku atau di rumahnya. ”Upahnya
berbeda-beda sesuai fasilitas yang ada di tempat yang telah disepakati”
kata wanita itu. Saya berpura-pura tidak setuju dan marah-marah, lalu
pergi sambil minta maaf kepada pemilik kafe.
Sebelum pergi, saya menyempatkan diri pada pemilik kafe tentang
tanggapan penduduk sekitar tantang keberadaan kafe-kafe yang memiliki
’pelayanan plus’. Pemilik kafe dengan berterus terang mengatakan bahwa
penduduk merasa terusik dengan keberadaan tempat tersebut.
Di lain waktu (juga dalam rangka penyelidikan) saya pernah bercanda
pada salah seorang kerabatku keturunan persia di Teheran. Saya
memintanya untuk menikahkan putrinya denganku secara mut’ah. Kerabatku
itu marah besar dan memutus tali silaturrahimya denganku”.
Demikian tutur Dr Abdul Mun’im an-Namr salah seorang akademisi yang banyak menulis masalah -masalah syi’ah.
Mut’ah dan AIDS
Empat tahun terakhir di Irak, sejak AS menginvasi negeri 1001 malam
itu, terjadi peningkatan tajam penderita AIDS, yang paling parah
dibanding masa-masa sebelumnya.
Tahun 2003, jumlah penderita positif HIV mencapai 265 orang dan
sebagian besar meninggal dunia. Dalam penelitian disimpulkan, 80 orang
dari jumlah tersebut, tertular virus HIV melalui transfusi darah yang
diperoleh dari luar Irak sebelum tahun 1986. Tapi pada tahun-tahun
belakangan ini, penyebaran virus HIV mengalami perubahan di Irak.
Melalui sejumlah penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa virus HIV di
Irak menyebar melalui hubungan dengan lawan jenis secara intensif,
melebihi apa yang biasa dilakukan seorang pelacur.
Sebuah lembaga penelitian Irak yang khusus memantau perkembangan
penyakit seksual di antara warga Irak di kota Nejef, Karbala, Wasith,
Qadisiya, Maisan, Dzi Qar, Bashra, Matsana, dan Baghdad, baru baru ini
mengeluarkan sejumlah hasil penelitiannya. Mereka menemukan beberapa
tahun terakhir terjadi trend pernikahan mut’ah di banyak keluarga Irak
yang berada di bawah garis kemiskinan. Kaum wanita yang menjadi pelaku
nikah mut’ah inilah yang menurut penelitian, menjadi salah satu sarana
perpindahan virus HIV ke manusia lain. Sementara si wanita tidak sadar
bila dirinya membawa virus HIV.
Satu dari dua penderita AIDS di Irak adalah pelaku nikah mut’ah.
Menurut perkiraan dokter, di sejumlah distrik yang dihuni mayoritas oleh
kaum Syiah, terjadi kasus penderita penyakit AIDS lebih dari 75 ribu
kasus per tahunnya. Kajian yang dilakukan juga memunculkan kesimpulan
adanya sejumlah besar para penderita AIDS yang belum merujuk ke dokter
karena alasan sosial. Jumlah penderita AIDS di Irak merupakan jumlah
yang paling besar dari berbagai negara Eropa dan Arab, setelah Iran. Dan
pernikahan mut’ah menjadi sebab utama yang paling banyak menularkan
virus HIV melalui hubungan seksual.
Sejak tumbangnya pemerintahan Irak pimpinan Saddam Husein tahun 2003,
secara tidak resmi terjadi arus pernikahan mut’ah yang luar biasa di
Irak. Nikah mut’ah di Irak bahkan dilakukan dalam tempo sangat singkat,
yakni satu kali hubungan badan lalu berpisah. Karena itulah sebagian
kaum pria dan wanita terlibat hubungan seksual melalui pernikahan mut’ah
beberapa kali, bahkan dalam satu hari.
Dan kini, menurut Kementerian Kesehatan Irak, selama tiga tahun
terakhir, terjadi 64.428 kasus penderita AIDS di Irak. Para tokoh agama
dan pejabat pemerintah saat ini melakukan upaya intensif untuk menekan
trend nikah mut’ah yang menjadi indikator hilangnya pertimbangan logika,
kesehatan, etika dan moralitas warga Irak.
Para pembaca budiman, inilah fakta nyata jika kemaksiatan yang
bernama zina dilegalkan atas alasan apapun, termasuk dengan mengemasnya
dengan nama ‘nikah mut’ah
(Al Fikrah)
Nikah mut’ah dalam ajaran syi’ah adalah nikah kontrak dalam waktu
tertentu. Beberapa tahun, bulan, minggu atau bahkan beberapa jam saja.
Terserah pada kesepakatan calon ‘mempelai’. Nikah mut’ah ini tidak ada
bedanya dengan zina selain karena adanya kontrak waktu, juga tidak
disyaratkan adanya saksi dan wali.
Mut’ah memiliki keistimewaan yang besar di dalam aqidah Syi’ah
Rafidhah, dikatakan dalam buku “Manhajus Shadiqin” yang ditulis oleh
Fathullah Al Kasyani, dari Ash Shadiq bahwasanya mut’ah adalah bagian
dari agamaku, dan agama nenek moyangku, dan barang siapa yang
mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami, dan barang siapa yang
mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa
dianggap beragama dengan selain agama kami, dan anak yang dilahirkan
dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama dari pada anak yang dilahirkan
di luar nikah mut’ah, dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir
dan murtad.
Dinukil oleh Al-Qummy dalam bukunya “Maa laa Yudhrikuhul Faqih, dari
Abdillah bin Sinan dari Abi Abdillah ia berkata “Sesungguhnya Allah
Subhanahu Wata’ala mengharamkan atas orang-orang syi’ah segala minuman
yang memabukkan, dan menggantikan bagi mereka dengan mut’ah.”
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah,
dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”, Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar,
dari Zurarah dari Abi Abdillah ia berkata, “Saya bertanya kepadanya
tentang jumlah wanita yang dimut’ah, apakah hanya empat wanita? ia
menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita, meskipun itu 1000
(seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka
memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari duburnya (menyetubuhi
istri dari jalan belakangnya).
Disebutkan dalam buku Al-Istibshar yang diriwayatkan dari Ali bin
Al-Hakam, ia berkata, “Saya pernah mendengar Shafwan berkata” saya
berkata kepada Ar-Ridha, “Seorang budak memperintah saya untuk bertanya
kepadamu tentang suatu masalah yang mana ia malu menanyakan langsung
kepadamu”, maka ia berkata, “Apa masalah itu?”, ia menjawab, “Bolehkah
seorang laki-laki menyetubuhi istrinya dari duburnya”, maka ia menjawab,
“Ya, boleh baginya”.
Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela, barang siapa yang mencari dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS.Al-Mu’minun : 5-7).
Sumber: AL Balagh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar