Selasa, 23 April 2019

KEMERIAHAN PERINGATAN MILAD IMAM ALI DI JAKARTA

Selasa malam tepat 13 Rajab 1440 H di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, sebuah pusat penyebaran syiah di indonesia yang didanai oleh pusat syiah Iran, diadakan perayaan wiladah atau hari kelahiran manusia mulia penjaga risalah kenabian al Imam Ali ibn Abu Thalib as’ 1400 tahun lalu manusia mulia ini lahir, tepa pada 23 tahun sebelum Hijrah. Ali adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rasyidin di kalangan Ahlusunah. Pusat syiah ini adalah berfungsi memeliharan hampir semua ritual syiah. Nuansa iran dalam berbagai perayaan dan peringatan sangat kental sekali.





ICC secara rutin mengadakan peringatan wiladah maupun syahadah, serta hari besar Islam lainnya, bisa dipastikan setiap bulannya tempat ini tidak pernah sepi, berbagai sajian makanan gratis pun tersedia untuk melayani tamu pencinta Ahlulbait, buku-buku keislaman pun dijual dengan diskon-diskon khusus yang relatif dijual sangat murah. Buku-buku tersebut adalah buku syarat dengan ajaran syiah yang memang dicetak untuk penyebaran ideologi syiah. Peserta yang datang pun beragam dan mencapai ribuan.
Ustaz Muhsin Labib, salah satu tokoh syih nasional dan lulusan Iran, menjadi penceramah inti dalam milad Imam Ali ini, beliau menyampaikan materi dalam acara itu. Sudah lazim bahwa setiap ada acara syiah, maka para pematerinya adalah para alumni QUM atau juga alumni iran lainnya. Alumni yang sudah mengambil ilmu syiah dari pusatnya langsung.
Peringatan itu adalah menegaskan kembali bahwa pengikut syiah sedang memperingati jiwa Ali. Memperingati kelahiran Ali bukan sekedar entitas historisnya, bukan sekedar kehadiran sosok manusia. Ini adalah tentang kelahiran jiwa. Karena tanpa Ali kita tidak bisa membuktikan keagungan Rasulullah. Apa bukti karyanya? Pemimpin sejati menciptakan pemimpin. Bukan menciptakan massa, dan Ali adalah hasil didikan Rasulullah. Ini adalah doktrin syiah. Bahwa pengagungan mereka kepada Ali terkadang sampai melangkahi pengagungan pada Rasulullah. Mereka sampai pada tingkatan ghuluw terhadap para imam mereka.
Memperingati Kelahiran Imam Ali, bukan untuk sekedar memujanya, tidak sekedar mengagungkan namanya. Tapi memasuki sebuah pintu untuk masuk ke dalam sebuah kota ilmu. Sebagai konfirmasi dari sebuah kompetensi dan keahlian yang melahirkan otoritas dan trust. Menjadi doktrin syiah bahwa agar menjadi muslim yang benar harus belajar lewat Ali. Jika lewat yang lain, maka tidak ada jaminan kebenarannya.
Menarasikan kecintaan pecinta kepada yang dicintainya, yaitu cinta yang bersifat vertikal, bukan horisontal, Muhsin Labib menceritakan tentang sosok sahabat mulia yang sangat mencintai Ahlulbait, yaitu Sahabat Salman al-Farisi, yang satu di antara tokoh Islam yang dikenal sebagai intelektual berotak cemerlang dan berhati salju. Begitu tinggi kedudukan dan jasanya dalam sejarah perintisan Islam sehingga Nabi saw mengangkatnya sebagai anggota kehormatan dan bintang tamu keluarga beliau dengan sabdanya yang terkenal menjelang perang Khandaq (al-Ahzab), “Salman dari kami, Ahlulbait”.

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, lelaki non Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Persia ini bersama sejumlah sahabat senior seperti Zubair bin Awwan, Miqdad bin al-Aswad dan Ammar bin Yasir melawan arus politik yang dominan dengan menyatakan Ali sebagai pemimpin pengganti Nabi. Ini juga sesuai doktrein syiah yang lain bahwa para sahabat mayoritas murtad kecuali hanya beberapa saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar