Oleh: HM. Al Kinani dan AH. Bamousa
APAKAH Barat (Amerika dan sekutunya, termasuk Rusia)
bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan konflik Suriah? Pertanyaan yang
patut mengemuka, mengingat beberapa “upaya” dan statemen tokoh-tokoh
Barat terkait upaya pengentasan krisis kemanusiaan di Suriah.
Pertanyaan mendasar yang dapat mengantar kepada jawaban atas
pertanyaan di atas: apakah pihak yang bertanggung jawab terhadap
jatuhnya korban ratusan ribu jiwa rakyat sipil di Iraq, Afghanistan,
Yaman, Somalia dan selainnya, serta yang menyokong jatuhnya korban nyawa
di Palestina, kali ini mau perduli terhadap korban manusia di Suriah?
Jelas, pihak yang melakukan itu semua tidak mungkin bertindak dengan
motif kemanusiaan membantu rakyat Suriah. Motif politik Barat
satu-satunya dalam segala tindakannya adalah kepentingan. Tidak ada
bedanya antara Barat, Rusia dan China. Walau hal tersebut tidak menutup
kemungkinan timbulnya tekanan dalam negeri yang mendorong masing-masing
negara untuk mengambil tindakan atas nama kemanusiaan, kendati tanpa
sikap yang lugas.
Alasan yang mungkin benar-benar bisa mendorong Barat untuk mengambil
tindakan serius terhadap krisis Suriah adalah ancaman terhadap
kepentingannya. Dan itu bukan pada keberlangsungan rezim Bashar.
Bashar al Assad, sebagaimana Hafiz al Assad, merupakan diktator yang
inheren dengan kepentingan Barat di Timur Tengah. Itu terbukti sejak
penyerahan dataran tinggi Golan tahun 1387 H/1967 M, hingga invasi ke
Libanon serta dukungan terhadap kekuatan politik kanan, yang notabene
sekutu Amerika serta Israel; melawan Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO) dan kekuatan politik kiri.
Suriah juga terlibat dalam Perang Teluk I, yang bergandengan tangan
dengan Iran melawan Irak. Dalam konflik Irak-Kuwait, Suriah mendukung
penuh perang Amerika terhadap Iraq.
Selama satu dekade berikutnya, Bashar memberi kontribusi besar
terhadap apa yang disebut sebagai “global war against terrorist”,
sehingga dia mendapatkan “surat kelakuan baik” dari intelijen Amerika
Serikat di era George W. Bush, serta mendapat support politik dari
Nicolas Sarkozy, Presiden Prancis pasca kasus Rafik Hariri.
Kesetiaan rezim al Assad kepada kepentingan Barat, khususnya Zionisme
juga dibuktikan selama 40 tahun hubungan “harmonis” dengan Israel. Poin
ini sangat sensitif dan krusial dalam konstalasi politik Timur Tengah.
Sebab perbatasan Suriah dengan Israel merupakan perbatasan yang paling
aman dan terkendali dari perbatasan Israel lainnya. Beda dengan
perbatasan Israel-Mesir dan Israel-Urdun yang mengikuti dinamika pasang
surut politik yang ada. Hafez al Assad, dan dilanjutkan putranya, Bashar
tidak pernah sekalipun membentuk satuan atau organisasi untuk
membebaskan dataran tinggi Golan.
Segala upaya usang terkait keinginan Barat untuk membujuk Bashar agar
mengubah sikapnya terhadap Iran, Hizbullah dan Hamas, tidak lebih
merupakan permainan politik demi perebutan pengaruh antara Amerika
dengan Iran di kawasan tersebut. Permainan politik yang sama sekali jauh
dari konflik sesungguhnya, dimana masing-masing pihak berupaya untuk
menegasikan pihak lainnya.
Amerika dan Iran hanya bermain di
tataran politik agitatif, untuk berebut pengaruh. Sebab bila keduanya
benar-benar terlibat konflik terbuka, niscaya permainan akan usai.
Padahal, eksistensi Iran dengan retorika politiknya yang provokatif di
kawasan merupakan satu manifestasi kepentingan Amerika.
Ancaman
sesungguhnya bagi Amerika dan sekutunya adalah kekuatan Muslim Sunni.
Ancaman ini setali tiga uang terhadap Rusia, yang tentunya masih ingat
dengan kekalahannya yang memalukan di Afghanistan (1989). Rusia juga
selama ini cukup dibuat repot oleh pejuang Chechnya, di samping potensi
kebangkitan rakyat Islam di dalam negeri atau di republik-republik
tetangganya.
Salah satu duri yang mencegah arus kebangkitan Islam
Sunni tersebut adalah “bulan sabit Syiah”, yang membentang dari Iran,
melewati Irak ke Suriah dan sampai ke Libanon. Semua paham bahwa moncong
senjata yang benar-benar mengancam wajah Barat di Irak, Afghanistan dan
Palestina adalah gerakan Sunni. Bahkan semua pergerakan perlawanan
Islam terhadap hegemoni Barat dan Rusia merupakan pergerakan Sunni
secara umum. Adapun Hizbullah, waktu telah membuktikan bahwa moncong
senjatanya adalah order “tuan besar” yang mengontrol dari Teheran
Upaya
keras Iran untuk menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah menjadi ancaman
serius bagi Dunia Islam Sunni. Sepanjang tiga dekade pasca revolusi
Khomeini di tahun 1979, Iran beralih haluan strategi, dari defensif di
era perang Iran-Iraq (1980-1988), ke ofensif-agresif keluar dari
batas-batas geografis Iran. Semangat revolusi Iran menjadi komoditi yang
diekspor oleh negara.
Iran menjadi pengendali arah politik di Iraq via loyalisnya, pasca
invasi Amerika. Iran juga mengeratkan hubungan dengan Bashar al Assad,
yang politik luar negerinya bahkan lebih “jinak” kepada kepentingan
Iran. Berbeda dengan Hafiz al Assad sebelumnya yang cenderung menjaga
posisi yang egaliter terhadap Iran.
Di Libanon, tak usah ditanya. Negeri Mullah memiliki perpanjangan
tangan yang loyal sepenuhnya terhadap kepentingan Teheran. Hizbullah
adalah satu-satunya milisi yang secara legal dan di luar otoritas negara
mempersenjatai diri, dari senjata ringan hingga berat. Di samping
penetrasi loyalis Iran ke dalam lembaga-lembaga keamanan dan militer
pemerintahan Najib Miqati.
Di semenanjung Arab, Iran punya agen politik di Bahrain yang
sewaktu-waktu dapat digerakkan. Gerakan Houthi yang menguasai
wilayah-wilayah di Yaman merepresentasikan perpanjangan tangan Teheran
di negara selatan jazirah itu. Itu di luar partai-partai Syiah di Yaman
yang disupport penuh dari Teheran.
Semua itu belum memasukkan “sel-sel tidur” Syiah di Saudi Arabia dan
Kuwait, serta propaganda misionari agama Syiah yang aktif di Mesir,
Sudan dan Maroko.
Bila fakta-fakta di atas ditambah dengan peran Iran di balik jatuhnya
Afganistan dan Iraq ke tangan Amerika dan sekutunya, tampak jelas
signifikansi eksistensi Iran di wilayah Timur Tengah. Baik itu bagi
Amerika dan sekutunya atau Rusia. Karena Iran, dalam konteks tersebut,
menjadi pemain kunci lumpuhnya dunia Islam Sunni, potensi ancaman
terbesar bagi kepentingan Amerika dan Barat.
Situasi yang memungkinkan Amerika dan sekutunya campur tangan
terhadap penyelesaian konflik Suriah adalah ketika posisi rakyat Suriah
dan kelompok oposisi menjadi sangat kuat. Jelang Bashar jatuh itulah,
Barat akan menegaskan posisinya, untuk mengamankan kepentingannya
sehingga jatuhnya Bashar tidak lepas sama sekali dari peran Barat.
Setidaknya, demikianlah yang harus tampak bagi publik dunia.
Di sisi yang lain, krisis Suriah yang berkepanjangan secara tidak
langsung mewujudkan agenda busuk Washington dan Tel Aviv. Sebab dampak
dari perang semesta berkepanjangan itu adalah kehancuran pada seluruh
institusi yang ada. Sehingga andaipun rakyat Sunni yang mayoritas dan
oposisi yang mendukung revolusi yang keluar sebagai pemenang, hanya akan
mewarisi infrastruktur yang lumpuh. Ketergantungan terhadap dunia luar
menjadi tidak bisa dihindari.
Di lain pihak, bagi Barat dan Tel Aviv, kemenangan revolusi Suriah
sudah pasti merupakan ancaman. Selain politik perbatasan Israel dengan
Suriah yang sangat potensial berubah, juga kekhawatiran bahwa Arab
Spring bisa bersatu dengan spirit perlawanan yang sama membendung
imperialisme dan hegemoni Barat di Timur Tengah.
اللّهُ أَسْرَعُ مَكْراً إِنَّ رُسُلَنَا يَكْتُبُونَ مَا تَمْكُرُونَ
“…Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS: Yusuf/12: 21).*
Artikel ini hasil kerjasama antara hidayatullah.com, dengan majalah internasional Al Bayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar