Senin, 16 Juli 2012

“Main Mata” Barat dan Iran Di Balik Krisis Suriah

Oleh: HM. Al Kinani dan AH. Bamousa
APAKAH Barat (Amerika dan sekutunya, termasuk Rusia) bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan konflik Suriah? Pertanyaan yang patut mengemuka, mengingat beberapa “upaya” dan statemen tokoh-tokoh Barat terkait upaya pengentasan krisis kemanusiaan di Suriah.
Pertanyaan mendasar yang dapat mengantar kepada jawaban atas pertanyaan di atas: apakah pihak yang bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban ratusan ribu jiwa rakyat sipil di Iraq, Afghanistan, Yaman, Somalia dan selainnya, serta yang menyokong jatuhnya korban nyawa di Palestina, kali ini mau perduli terhadap korban manusia di Suriah?
Jelas, pihak yang melakukan itu semua tidak mungkin bertindak dengan motif kemanusiaan membantu rakyat Suriah. Motif politik Barat satu-satunya dalam segala tindakannya adalah kepentingan. Tidak ada bedanya antara Barat, Rusia dan China. Walau hal tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya tekanan dalam negeri yang mendorong masing-masing negara untuk mengambil tindakan atas nama kemanusiaan, kendati tanpa sikap yang lugas.
Alasan yang mungkin benar-benar bisa mendorong Barat untuk mengambil tindakan serius terhadap krisis Suriah adalah ancaman terhadap kepentingannya. Dan itu bukan pada keberlangsungan rezim Bashar.
Bashar al Assad, sebagaimana Hafiz al Assad, merupakan diktator yang inheren dengan kepentingan Barat di Timur Tengah. Itu terbukti sejak penyerahan dataran tinggi Golan tahun 1387 H/1967 M, hingga invasi ke Libanon serta dukungan terhadap kekuatan politik kanan, yang notabene sekutu Amerika serta Israel; melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan kekuatan politik kiri.
Suriah juga terlibat dalam Perang Teluk I, yang bergandengan tangan dengan Iran melawan Irak. Dalam konflik Irak-Kuwait, Suriah mendukung penuh perang Amerika terhadap Iraq.
Selama satu dekade berikutnya, Bashar memberi kontribusi besar terhadap apa yang disebut sebagai “global war against terrorist”, sehingga dia mendapatkan “surat kelakuan baik” dari intelijen Amerika Serikat di era George W. Bush, serta mendapat support politik dari Nicolas Sarkozy, Presiden Prancis pasca kasus Rafik Hariri.
Kesetiaan rezim al Assad kepada kepentingan Barat, khususnya Zionisme juga dibuktikan selama 40 tahun hubungan “harmonis” dengan Israel. Poin ini sangat sensitif dan krusial dalam konstalasi politik Timur Tengah. Sebab perbatasan Suriah dengan Israel merupakan perbatasan yang paling aman dan terkendali dari perbatasan Israel lainnya. Beda dengan perbatasan Israel-Mesir dan Israel-Urdun yang mengikuti dinamika pasang surut politik yang ada. Hafez al Assad, dan dilanjutkan putranya, Bashar tidak pernah sekalipun membentuk satuan atau organisasi untuk membebaskan dataran tinggi Golan.
Segala upaya usang terkait keinginan Barat untuk membujuk Bashar agar mengubah sikapnya terhadap Iran, Hizbullah dan Hamas, tidak lebih merupakan permainan politik demi perebutan pengaruh antara Amerika dengan Iran di kawasan tersebut. Permainan politik yang sama sekali jauh dari konflik sesungguhnya, dimana masing-masing pihak berupaya untuk menegasikan pihak lainnya.

Amerika dan Iran hanya bermain di tataran politik agitatif, untuk berebut pengaruh. Sebab bila keduanya benar-benar terlibat konflik terbuka, niscaya permainan akan usai. Padahal, eksistensi Iran dengan retorika politiknya yang provokatif di kawasan merupakan satu manifestasi kepentingan Amerika.

Ancaman sesungguhnya bagi Amerika dan sekutunya adalah kekuatan Muslim Sunni. Ancaman ini setali tiga uang terhadap Rusia, yang tentunya masih ingat dengan kekalahannya yang memalukan di Afghanistan (1989). Rusia juga selama ini cukup dibuat repot oleh pejuang Chechnya, di samping potensi kebangkitan rakyat Islam di dalam negeri atau di republik-republik tetangganya.

Salah satu duri yang mencegah arus kebangkitan Islam Sunni tersebut adalah “bulan sabit Syiah”, yang membentang dari Iran, melewati Irak ke Suriah dan sampai ke Libanon. Semua paham bahwa moncong senjata yang benar-benar mengancam wajah Barat di Irak, Afghanistan dan Palestina adalah gerakan Sunni. Bahkan semua pergerakan perlawanan Islam terhadap hegemoni Barat dan Rusia merupakan pergerakan Sunni secara umum. Adapun Hizbullah, waktu telah membuktikan bahwa moncong senjatanya adalah order “tuan besar” yang mengontrol dari Teheran

Upaya keras Iran untuk menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah menjadi ancaman serius bagi Dunia Islam Sunni. Sepanjang tiga dekade pasca revolusi Khomeini di tahun 1979, Iran beralih haluan strategi, dari defensif di era perang Iran-Iraq (1980-1988), ke ofensif-agresif keluar dari batas-batas geografis Iran. Semangat revolusi Iran menjadi komoditi yang diekspor oleh negara.
Iran menjadi pengendali arah politik di Iraq via loyalisnya, pasca invasi Amerika. Iran juga mengeratkan hubungan dengan Bashar al Assad, yang politik luar negerinya bahkan lebih “jinak” kepada kepentingan Iran. Berbeda dengan Hafiz al Assad sebelumnya yang cenderung menjaga posisi yang egaliter terhadap Iran.
Di Libanon, tak usah ditanya. Negeri Mullah  memiliki perpanjangan tangan yang loyal sepenuhnya terhadap kepentingan Teheran. Hizbullah adalah satu-satunya milisi yang secara legal dan di luar otoritas negara mempersenjatai diri, dari senjata ringan hingga berat. Di samping penetrasi loyalis Iran ke dalam lembaga-lembaga keamanan dan militer pemerintahan Najib Miqati.
Di semenanjung Arab, Iran punya agen politik di Bahrain yang sewaktu-waktu dapat digerakkan. Gerakan Houthi yang menguasai wilayah-wilayah di Yaman merepresentasikan perpanjangan tangan Teheran di negara selatan jazirah itu. Itu di luar partai-partai Syiah di Yaman yang disupport penuh dari Teheran.
Semua itu belum memasukkan “sel-sel tidur” Syiah di Saudi Arabia dan Kuwait, serta propaganda misionari agama Syiah yang aktif di Mesir, Sudan dan Maroko.
Bila fakta-fakta di atas ditambah dengan peran Iran di balik jatuhnya Afganistan dan Iraq ke tangan Amerika dan sekutunya, tampak jelas signifikansi eksistensi Iran di wilayah Timur Tengah. Baik itu bagi Amerika dan sekutunya atau Rusia. Karena Iran, dalam konteks tersebut, menjadi pemain kunci lumpuhnya dunia Islam Sunni, potensi ancaman terbesar bagi kepentingan Amerika dan Barat.
Situasi yang memungkinkan Amerika dan sekutunya campur tangan terhadap penyelesaian konflik Suriah adalah ketika posisi rakyat Suriah dan kelompok oposisi menjadi sangat kuat. Jelang Bashar jatuh itulah, Barat akan menegaskan posisinya, untuk mengamankan kepentingannya sehingga jatuhnya Bashar tidak lepas sama sekali dari peran Barat. Setidaknya, demikianlah yang harus tampak bagi publik dunia.
Di sisi yang lain, krisis Suriah yang berkepanjangan secara tidak langsung mewujudkan agenda busuk Washington dan Tel Aviv. Sebab dampak dari perang semesta berkepanjangan itu adalah kehancuran pada seluruh institusi yang ada. Sehingga andaipun rakyat Sunni yang mayoritas dan oposisi yang mendukung revolusi yang keluar sebagai pemenang, hanya akan mewarisi infrastruktur yang lumpuh. Ketergantungan terhadap dunia luar menjadi tidak bisa dihindari.
Di lain pihak, bagi Barat dan Tel Aviv, kemenangan revolusi Suriah sudah pasti merupakan ancaman. Selain politik perbatasan Israel dengan Suriah yang sangat potensial berubah, juga kekhawatiran bahwa Arab Spring bisa bersatu dengan spirit perlawanan yang sama membendung imperialisme dan hegemoni Barat di Timur Tengah.
اللّهُ أَسْرَعُ مَكْراً إِنَّ رُسُلَنَا يَكْتُبُونَ مَا تَمْكُرُونَ
 “…Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS: Yusuf/12: 21).*
Artikel ini hasil kerjasama antara hidayatullah.com, dengan majalah internasional Al Bayan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar