Rabu, 24 Juli 2013

Menjawab Dua Argumen Klasik Syiah



Salah satu kejelian para ulama Islam, sengaja menggunakan metode agar hadits yang diriwayatkan tidak dicela Syiah di kemudian hari
Oleh: Bahrul Ulum
KETIKA mengisi kajian Shubuh di sebuah masjid perumahan elit di wilayah Surabaya Barat, saya tersentak oleh protes seorang jamaah yang tidak setuju dengan statemen yang mengatakan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni pada masalah aqidah.
Sebenarnya, kajian pagi itu membahas tentang Pluralisme Agama yang titik tekannya mengupas perbedaan aqidah di antara agama yang ada.
Namun pada sesi tanya jawab, salah seorang jamaah menanyakan kasus Syiah dan Sunni di Sampang, Madura, apakah berkaitan dengan persoalan aqidah atau tidak. Spontan saya jawab bahwa akar persoalannya adalah masalah aqidah.
Ternyata jawaban saya ini diprotes oleh jamaah lain yang tidak setuju mengaitkan kasus tersebut dengan masalah aqidah. Sebab menurutnya, aqidah Syiah dan Sunni sama saja, tidak ada perbedaan.
Kemudian ia mengajukan beberapa argumen untuk memperkuat pendapatanya itu. Di antaranya, pertama ia menyebutkan bahwa Arab Saudi masih menganggap Syiah memiliki aqidah yang benar. Buktinya, negara petro dolar tersebut masih mengizinkan orang Syiah berhaji di sana. Menurutnya, kalau Syiah berbeda aqidah, tentu Arab tidak akan mengijinkan orang-orang Syiah berhaji. Ia juga mengatakan bahwa para ulama hadits Sunni terbukti banyak mengambil perawi dari Syiah. Ia menyebutkan sekitar 100 perawi Syiah yang dipakai dalam kitab-kitab hadits Sunni.
Dengan kedua alasan itulah ia kemudian menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni dalam masalah aqidah. Karena itu ia tidak setuju jika orang Syiah dinilai berbeda aqidah dan poisisinya sama dengan orang non-Muslim.
Menjawab argumen tersebut, saya menjelaskan bahwa kedua hal itu sudah dijawab oleh para ulama dan cendekiawam Sunni.

Pertama, berkaitan dengan kaum Syiah yang diijinkan berhaji, karena mereka masuk ke Saudi paspornya menggunakan identitas Muslim. Tentu saja Saudi tidak akan menolak orang yang mengaku Muslim masuk ke kota Makkah dan Madinah. Lain ceritanya jika mereka menggunakan identitas agamanya dengan nama Syiah atau Imamiyah, tentu ada penolakan dari pihak petugas di bandara.
Padahal dalam kitab-kitab Syiah, ulama mereka menyebut agamanya dengan nama agama Imamiyah. Sebagai contoh, Baqir al-Majlisi yang dikenal sebagai Syaik as-Syuduq (w. 381 H) menyebut agamanya (Syiah) dengan sebutan agama Imamiyah. Ia mengarang buku khusus berjudul Al-I’tiqodat Din al-Imamiyah. Dalam kitab ini Syaikh As-Syuduq menjelaskan secara tuntas tentang aqidah Syiah yang berbeda dengan aqidah Ahlu Sunna wal Jamaah.
Hal ini juga diakui oleh At-Thusi (w.460 H) dalam kitabnya al-Farsht hal. 189 dan Rahib al-Asfahani dalam kitabnya ad-Dari’ah ila Makarimi Syariah, juz II, hal. 226.
Pengakuan kedua ulama Syiah ini cukup menjadi bukti bahwa istilah agama Imamiyah sudah sangat dikenal bahkan menjadi aqidah di kalangan Syiah. Karena itu tidak salah jika kita menyebut Syiah sebagai agama Imamiyah, bukan Islam. Penyebutan ini berdasar pengakuan mereka sendiri, bukan mengada-ada.
Taqiyah
Kalau mau jujur, seharusnya kaum Syiah yang pergi ke Makkah mencantumkan nama Imamiyah dalam paspornya ketika masuk Saudi, bukan Islam. Namun, jika mereka tidak melakukan hal itu, ini bisa dimaklumi, karena mereka memiliki ajaran Taqiyah.
Taqiyah didefinisikan oleh salah seorang ulama Syiah, Muhammad Jawaad Mughniyah, sebagai berikut: "Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan apa yang kamu yakini untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk menjaga kehormatanmu" (Muhammad Jawaad Mughniyah, As Syi'ah fil Mizaan, hal : 48)
Ajaran Taqiyah ini merupakan bagian dari aqidah Syiah. Al-Kulaini menisbahkan kepada Imam Ja’far Shodiq yang berkata "Wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah. Taqiyah ada pada setiap sesuatu kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada menyapu khuuf (kaus atau kulit)." Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia berkata : "Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah." (Usul al-Kafi, hal: 482-483)
Berdasar dalil di atas, Syiah memandang Taqiyah itu sebagai fardu (wajib), sebab tidak akan berdiri mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakannya Taqiyah saat kondisi sulit mengepung mereka.
Kedua, berkaitan dengan perawi Syiah yang ada di kitab-kitab Sunni, juga dijelaskan oleh para ulama bahwa hal itu dilakukan oleh para muhaditsin dalam rangka memperkuat posisi hadits tersebut. Paea ulama hadits memang sengaja tidak mengambil dari perawi Sunni seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, atau bahkan Imam Ja’far as-Shadiq karena memiliki pemahaman yang sama dengan para ulama hadits seperti Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para Imam tersebut sependapat dengan hadits para muhaditsin.
Periwayatan dari para imam tersebut hanya sedikit yang diambil oleh para muhaditsin. Contohnya, Imam Bukhari yang tidak lain adalah murid Imam Ahmad, hanya sedikit mengambil periwayatan dari gurunya tersebut. Hal yang sama juga mereka berlakukan terhadap para imam lainnya.
Tetapi jika mereka mengambil periwayatan dari orang yang tidak sepaham, tentu hal ini akan menjadi bukti kuat bahwa hadits yang dikeluarkan adalah benar dan sahih.
Inilah rahasia kenapa para imam hadits Sunni mencari periwayatan dari orang-orang yang dianggap Syiah, Khawarij, Nasibi dan sebagainya. Namun penerimaan tersebut dengan syarat-syarat tertentu, yaitu riwayat yang dikemukakan tidak dalam rangka mendukung golongan mereka dan tidak menyeru orang lain masuk kelompoknya. (As-Sakhowi, Fatkhul Mughis, juz I, hal. 332). Jika hal itu terjadi, para muhaditsin tidak akan menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli bid'ah seperti itu.
Inilah salah satu kejelian para ulama Islam. Mereka sengaja menggunakan metode seperti itu agar hadits yang diriwayatkan tidak dicela di kemudian hari. Bisa jadi orang-orang di luar Sunni akan menolak hadits-hadits Sunni jika hanya diriwayatkan oleh ulama Sunni sendiri.*
adalah Peniliti pada Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya
Sumber : hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar