Oleh: Kholili Hasib
SEMENJAK
kasus Bangil 15 Pebruari 2011 -tahun lalu- hingga kasus Sampang 29
Desember 2011 baru-baru ini, Syiah menjadi sorotan publik. Beragam
respon -baik dari tokoh maupun media- telah mengemuka, yang kesemuanya
bisa menjadi alasan agar kita lebih membuka akar persoalan yang
sesungguhnya. Kritik yang ditujukan kepada Syiah sejauh ini tampak masih
rasional dan proporsional, sebagaimana yang telah ditulis oleh Prof.
Dr. Mohammad Baharun (Ketua Komisi Hukum MUI Pusat) di harian Republika
pada (24/01/2012).
Data Ilmiah
Ulama’ Sunni selama ini
mengkritik dengan membeber data-data pustaka Syiah sekaligus pengalaman
di lapangan. Di kalangan Sunni, referensi-referensi pokok Syiah saat ini
memang sudah tidak asing lagi. Kitab-kitab pokok seperti al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan al-Istibshar sudah
di tangan mereka. Beberapa pengkaji ternyata tidak mencukupkan diri
dengan data pustaka itu. Mohammad Baharun, misalnya, lebih dari dua
puluh tahunan memiliki pengalaman berinteraksi dengan penganut Syiah.
Disertasinya di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2006 yang
berjudul Tipologi Syiah di Jawa Timur merupakan hasil rekam pengamatan
beliau. Saya sendiri waktu itu ikut membantu mencari data di lapangan.
Ada banyak hal yang dapat diperoleh di lapangan, setidaknya untuk
meng-‘kroscek’ data pustaka dengan pengamalan Syiah di lapangan.
Saya
sempat bertemu dengan seorang tokoh Syiah di Pasuruan. Diksusi panjang
tentang isu tahrif al-Qur’an terjadi waktu itu. Saya mendapatkan poin
penting di sini. Dengan jujur, dikatakan bahwa memang sesungguhnya
tahrif itu ada. Bahkan ia mengaku akan menerbitkan buku tentang
ayat-ayat al-Qur’an yang ia katakana hilang. Namun ide tersebut, menurut
pengakuannya, dicegah kawan-kawannya. Dikhawatirkan akan menimbulkan
kisruh di kota tersebut.
Di sini artinya, tudingan bahwa Syiah meyakini al-Qur’an mushaf
Ustmani tidak orisinil bukanlah tudingan yang mengada-ada. Baik secara
faktual di lapangan maupun data pustaka Syiah, isu tahrif al-Qur’an
tersebut memang fakta yang tidak bisa ditutupi kalangan Syiah.
Kritik dari kalangan Sunni merujuk kepada kitab al-Kafi -kitab rujukan Syiah paling otoritatif – untuk membuktikan Syiah meyakini ada tahrif dalam al-Qur’an. Di antaranya ditulis dalam al-Kafi; “Dari
Abi Abdillah as, beliau berkata: Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an yang
dibawa oleh Jibril as kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah sebanyak 17000 ayat” (al-Kafi, Juz II halaman 634).
Dalam penelitian tim penulis Pesantren Sidogiri, keyakinan ini dianut
oleh mayoritas (ijma’) ulama Syiah bahkan menjadi perkara yang
aksiomatis.
Sedangkan kalangan Syiah kontemporer biasanya menampik isu tersebut.
Namun dengan menyodorkan fakta di lapangan bahwa di kalangan Syiah,
keyakinan tahrif itu tetap ada, seperti yang saya tulis di atas. Maknya
cukup wajar bila Sunni menuding Syiah kontemporer sedang memasang topeng
taqiyah.
Apalagi ditemukan di dalam kitab al-Kafi petunjuk anjuran untuk
bertaqiyah dalam soal isu tahrif al-Qur’an ini. Dalam kitab tersebut juz
dua dikemukakan bahwa suatu kali Abu Abdillah, Imam Syiah, ditanya
pengikutnya, “Wahai Aba Abdillah, saya mendengar bacaan al-Qur’an
orang-orang di sana yang tidak sama dengan bacaan yang kami baca. Sang
Imam lantas menganjurkan untuk memakai bacaan orang-orang (bacaan
al-Quran kaum muslimin), tetap dalam hati yakin kelak di hari kiamat
Imam terakhir akan membawa al-Qur’an yang asli.
Dengan demikian, apa yang terjadi di dalam Syiah kontemporer, yang
mengelak adanya isu tahrif al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai metode
taqiyah belaka. Baik bukti pustaka Syiah maupun bukti faktual di
lapangan menunjukkan mereka memang meyakini adanya tahrif. Hanya saja,
hal itu ditutupi dengan metode taqiyah.
Dua pendekatan ini memang penting untuk dipakai, sebab terkadang
orang tidak langsung percaya dengan pustaka Syiah. Maklum, pustaka Syiah
tidak mudah ditemui di kalangan awam. Kalangan Syiah kontemporer pun
bisa mengelak, bahwa Sunni menyalah-tafsirkan teks-teks klasik Syiah.
Jujur Terbuka
Sejauh ini, apa yang telah dilakukan Sunni sudah cukup proporsional.
Kritikus Sunni kenyatannya lebih terbuka dalam berdiskusi.
Argumen-argumen antagonistik tidak menjadi selera peneliti Sunni.
Pada tahun 2007, enam santri senior Sidogiri yang dikomandani ustadz Ahmad Qusyairi menyusun buku “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”.
Buku ini menjawab buku Quraish dengan membeber literatur-litelatur
pokok Syiah. Tim penulis tersebut sempat menulis surat ajakan kepada
Quraish untuk berdiskusi. Sayangnya surat itu tak direspon.
Jawaban-jawaban Fahmi Salim di Republika (06/01/2012)
terhadap tulisan Haidar Bagir berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” di
Harian yang sama pada (20/01/2012) juga sudah ilmiah.
Fahmi Salim mengukip kitab-kitab Syiah dan Ahlus Sunnah lengkap
dengan halamannya. Cara ini memang harus dilakukan, agar tidak dianggap asbun (asal bunyi).
Karena
ini perdebatan akidah maka harus terbuka, agar tidak menimbulkan
kerancuan-kerancuan. Kejujuran wajib dikedepankan. Jika dimungkinkan,
referensi-referensi kedua pihak, Sunnah dan Syiah, dibawa ke meja
diskusi. Jikapun ada tuduhan Sunni keliru menafsirkan teks-teks klasik
Syiah, maka di meja diskusi Syiah bisa berkesempatan menjelaskan secara
jujur.
Sekali lagi, di meja disksusi diharapkan Syiah melepaskan
dulu taqiyahnya, agar semua menjadi jelas. Kejujuran dan keterbukaan
adalah cara yang ilmiah. Diharapkan dua hal itu –jujur dan terbuka-
dikedepankan dalam budaya kritik di kalangan Sunni maupun Syi’i.
Penulis
adalah peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS)
Surabaya, alumnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID Gontor
Red: Cholis Akbar
sumber : hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar