Syaikh Abdullah At Tuwaijiri dalam
Al Bid’ah Al Hauliah menyebutkan 2 jenis amalan bid’ah yang diada-adakan sejumlah orang di Bulan Muharram.
1. Bid’ah Duka Cita ala Syiah Rafidhah
Pada
hari kesepuluh dari bulan Muharram, yang dikenal dengan Asyura’, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Al Husain bin Ali bin Abu Thalib (
semoga Allah meridhai keduanya) dengan
kesyahidan, di tahun 61 H. Kesyahidannya merupakan salah satu yang
menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat kedudukannya dan
meninggikan derajatnya. Dia dan saudaranya Al Hasan adalah dua pemimpin
muda penghuni syurga.
Ketika
Abdurrahman bin Maljam membunuh Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anh,
pemimpin kaum mukminin ketika itu, para sahabat Nabi membaiat Al Hasan,
putra Ali, yang telah dikatakan oleh Nabi,
“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, Allah akan menjadikannya pendamai dua kubu besar kaum muslimin yang saling berseteru.”
Syaikhul
Islam berkata, “Dengan kematian Al Husain setan membuat dua bid’ah di
tengah manusia: bid’ah kesedihan dan ratapan pada hari Asyura’ dengan
menampar-nampar wajah, menjerit-jerit, menangis, bersin-bersin, dan
membuat acara nostalgia. Semua itu menggiring kepada mencela dan
melaknat generasi Salaf dan mengaitkan mereka yang tidak terlibat
menjadi para pendosa. Sampai-sampai mereka mencela generasi pertama
Islam. Membacakan kisah-kisah yang kebanyakannya adalah dusta. Maksud
mereka melakukan hal-hal itu adalah untuk membuka pintu perpecahan di
antara ummat. Apa yang mereka lakukan (pada hari Asyura’) bukanlah hal
yang wajib, tidak pula
mustahabbah (disukai) menurut
kesepakatan kaum muslimin. Perbuatan-perbuatan itu hanyalah ingin
mengenang dan meratapi musibah masa lalu yang merupakan perbuatan yang
diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala .”
Adapun sekarang ini,
sebagian yang mengklaim sebagai muslimin di beberapa negara menyambut
bulan Muharram dengan kesedihan, kegundahan, khurafat dan
kebatilan-kebatilan. Mereka membuat keranda dari kayu dihiasi kertas
warna-warni yang dinamakan dengan kubur Al Husain atau Karbala. Juga
membuat dua kubur dan dinamakan sebagai takziah. Anak-anak berkumpul
dengan pakaian, bunga-bungaan atau dedaunan dan menamakan mereka sebagai
fuqara Al Husain (yang berhajat kepada Al Husain).
Pada
hari pertama bulan Muharram mereka menyapu rumah, mandi dan
bersih-bersih. Kemudian dihidangkan makanan dan dibacakan surat Al
Fatihah, permulaan surat Al Baqarah, surat Al Kafirun, Al Ikhlas, Al
Falaq, dan An Naas, shalawat kepada Nabi, lalu menghadiahkan pahala
makanan tersebut kepada orang-orang yang telah mati.
Pada bulan
ini dilarang berhias. Para wanita tidak memakai perhiasannya, tidak
makan daging, tidak mengadakan perayaan dan pesta, bahkan tidak
mengadakan akad nikah, istri tidak boleh berhubungan dengan suaminya
bila umur pernikahan belum melewati dua bulan, memperbanyak memukul
wajah dan dada, mencabik pakaian, meratap dan mulai melaknat Muawiyah
bin Abi Sufyan dan para sahabatnya, Yazid serta para sahabat Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Di sepuluh hari pertama
bulan Muharram, api dinyalakan dan manusia menglilinginya. Anak-anak
pawai dijalan-jalan sambil berteriak-teriak: ‘Ya Husain, ya Husain’.
Semua bayi yang dilahirkan pada bulan ini dianggap kesialan, dan pada
sebagian wilayah beduk dan kentongan dipukul-pukul, musik dimainkan dan
bendera dipasang. Keranda diletakkan lalu para lelaki, wanita dan
anak-anak lewat dibawah keranda itu. Mereka mengusap-usapnya dengan
bendera dan
bertabaruk (mengharapkan barokah), meyakini bahwa hal itu akan membuat mereka tidak terkena penyakit dan dapat memanjangkan umur.
Di
sebagian negara yang lain, orang-orang keluar pada malam Asyura’, para
lelaki begadang menyusuri jalan-jalan. Jika matahari akan terbit barulah
kembali ke rumah-rumah mereka.
Pada hari Asyura’ mereka memasak
masakan khusus. Para penduduk desa dan kota berduyun mendatangi suatu
tempat yang mereka namakan dengan ‘Karbala’ untuk melakukan
thawaf (mengelilingi)
keranda yang mereka buat dan bertabaruk dengan keranda itu dengan
wasilah bendera, menabuh beduk dan gendang. Bila matahari tenggelam,
keranda tersebut dikubur atau ditenggelamkan ke dalam air dan
orang-orangpun kembali ke rumahnya masing-masing. Sebagian orang
duduk-duduk di jalan-jalan sambil minum minuman yang mereka namakan
As Salsabil dan
membagi-bagikannya kepada orang-orang secara gratis. Sebagian orang
yang dianggap bijak pada sepuluh hari pertama bercerita tentang
kelebihan-kelebihan Al Husain, sedangkan keburukan-keburukan ditimpakan
kepada Muawiyah serta Yazid (yang juga Ahlul Bait) dengan tidak lupa
menumpahkan sumpah serapah kepada keduanya dan para sahabat.
2. Bid’ah Sukacita Kelompok Nawashib
Sebelumnya pembahasan mengenai bid’ah kesedihan di hari Asyura’ pada Syi’ah. Pada pembahasan ini (
dengan izin Allah)
kita akan membahas mereka yang berseberangan dengan Rafidhah/Syi’ah,
yang menjadikan hari Asyura’ sebagai musim (moment) kebahagiaan. Mereka
adalah Nawashib yang ekstrim membenci Al Husain dan Ahlul Bait Nabi.
Orang-orang bodoh yang menghadapi kerusakan dengan kerusakan, kedustaan
dengan kedustaan, kejelekan dengan kejelekan dan bid’ah dengan bid’ah.
Mereka
membuat-buat keterangan palsu mengenai syi’ar kebahagiaan dan
kegembiraan di hari Asyura’; seperti bercelak, mengecat kuku, melebihkan
uang belanja keluarga, memasak masakan diluar kebiasaan dan lain
sebagainya yang biasa dilakukan pada hari-hari perayaan. Yang akhirnya
mereka menjadikannya musim (hari besar) seperti hari-hari besar perayaan
dan kebahagiaan.
Kala itu di Kuffah terdapat kaum Syi’ah yang
memperjuangkan Al Husain, dipimpin oleh Al Mukhtar bin Ubaid Al Kadzaab.
Sedangkan kelompok an-Nashibah membenci Ali dan keturunannya. Diantara
mereka yang membenci Ali adalah Al Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Telah
falid dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa
beliau bersabda,
“Akan ada di daerah Tsaqif pendusta lagi pembinasa ” dan kala itu dialah pendusta itu, dan pembenci Ali inilah yang binasa.
Kelompok
pertama membuat-buat kesedihan. Sedangkan kelompok yang satunya lagi
membuat-buat kebahagiaan. Bid’ah yang pertama berasal dari fanatik
berlebihan kepada Al Husain Radhiyallahu ‘Anh, sedangkan asal bid’ah
yang satunya lagi yaitu fanatik bathil dalam membenci Al Husain, kedua
bid’ah ini sesat. Tidak ada seorangpun dari Imam yang empat atau selain
mereka yang membenarkan kedua kelompok tersebut. Mereka yang menganggap
baik perbuatan tersebut tidaklah memiliki hujjah yang syar’i (dalil dari
syari’at).
Tidak diragukan bahwa kelompok
Nawashib (yang berlebihan dalam membenci Ahlul Bait) demikian pula
Rafidhah/Syi’ah (yang
berlebihan dalam mencintai Ahlul Bait) telah berbuat bid’ah dan
kesalahan dalam amalan mereka, menyimpang dari sunnah Nabi.
Demikian dijelaskan Syaikh Abdullah At Tuwaijiri mengenai 2 jenis bid’ah di Bulan Muharram.
3. Shalat Sunnah Asyura’ 10 Muharram
Menurut Abi Anas Majid Islam, mereka melaksanakan shalat tersebut berdasarkan hadits palsu:
عن
أبي هريرةرضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:”من صلى يوم
عاشوراء ما بين الظهر والعصر أربع ركعات يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب
مرة، وآية الكرسي عشر مرات، و قل هو الله أحد إحدى عشرة مرة، والمعوذتين
خمس مرات، فإذا سلم استغفر الله سبعين مرة أعطاه الله في الفردوس قبة بيضاء
فيها بيت من زمردة خضراء ، سعة ذلك البيت مثل الدنيا ثلاث مرات، وفى ذلك
البيت سرير من نور ، قوائم السرير من العنبر الاشهب، على ذلك السرير ألفا
فراش من الزعفران ألخ
Hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, beliau bersabda, “Siapa yang shalat pada hari ‘Asyura antara
shalat dzhuhur dan ‘ashar empat rakaat, kemudian ia membaca di setiap
rakaat surat Al-Fatihah satu kali, ayat kursi sepuluh kali, dan surat Al
Ikhlas sebelas kali, surat Al Falaq dan An Naas lima kali. Apabila ia
salam, ia beristighfar kepada Allah 70 kali, maka niscaya Allah akan
memberinya di surga Firdaus sebuah menara putih yang di dalamnya
terdapat rumah dari zamrud hijau. Luasnya rumah itu seperti tiga kali
lipat bumi. Dalam rumah itu ada kasur dari cahaya yang tiangnya minyak
ambar (yang harum) berwarna kelabu. Di atas kasur itu ada seribu tilam
dari za’faran….”
Hadits ini
maudhu’ (palsu), hadits ini
diriwayatkan oleh Al Jauzaqani dari Abu Hurairah, dia adalah pemalsu
hadits dan seluruh perwainya majhul (tidak dikenal oleh kalangan ahli
hadits) (
Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 103). Ibnu Al Jauzi berkata dalam
Al Maudhu’aat, “Ini adalah hadits palsu. Ucapan Rasulullah suci dari ungkapan yang kacau ini, perawinya majhul”.
4. Berbagai Bid’ah di Masyarakat Kejawen
Dalam
bayan Pusat Konsultasi Syariah, disebutkan bahwa selain legenda dan
mitos yang dikait-kaitkan dengan Muharram, masih sangat banyak bid’ah
yang jauh dari ajaran Islam. Lebih tepat lagi bahwa bid’ah tersebut
merupakan warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi tradisi
masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai penganut aliran
kepercayaan. Mereka lebih dikenal dengan sebutan Kejawen.
Dari
segi sistem penanggalan, memang penanggalan dengan sistem peredaran
bulan bukan hanya dipakai oleh umat Islam, tetapi masyarakat Jawa juga
menggunakan penanggalan dengan sistem itu. Dan awal bulannya dinamakan
Sura. Sebenarnya penamaan bulan Sura, diambil dari ’Asyura yang berarti
10 Muharram. Kemudian sebutan ini menjadi nama bulan pertama bagi
penanggalan Jawa.
Beberapa tradisi dan keyakinan yang dilakukan
sebagian masyarakat Jawa sudah sangat jelas bid’ah dan syiriknya,
seperti keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan yang keramat, gawat,
dan penuh bala. Maka diadakanlah upacara ruwatan dengan mengirim sesajen
atau tumbal ke laut. Sebagian yang lain dengan cara bersemedi
mensucikan diri bertapa di tempat-tempat sakral semisal di puncak
gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya. Dan ada juga
yang melakukan dengan cara
lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’
di tempat-tempat umum seperti tugu Yogya, Pantai Parangkusuma, dan
sebagainya, dengan anggapan itu merupakan sarana mendekatkan diri pada
Tuhan.
Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara
sendiri yaitu mengelilingi benteng keraton sambil membisu. Sebagian lain
melaksanakan kirab keliling keraton dengan panduan kerbau bule yang
merupakan keturunan kerbau bule bernama Kyai Slamet. Masyarakat awam
bahkan berebutan kotoran kerbau tersebut dengan tujuan ngalap berkah.
Tradisi
tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah. Masyarakat
berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa sial dan
malapetaka bagi diri mereka.
Melakukan ritual ibadah tertentu di
malam Sura, seperti selamatan atau syukuran, Shalat Asyura’, membaca
Doa Asyura’ (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan
ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid’ah (hal baru
dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Hadist-hadits yang menerangkan
tentang Shalat Asyura’ adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh Imam As
Suyuthi dalam kitab
Al La’ali Al Masnu’ah.
Keraton
Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan
Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan
dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal
Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat.
Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan
bangsal Manis). Upacara di lokasi ini ‘tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut
turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang
dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat,
kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan
setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk
mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah
giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan
daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi
terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini
dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi
kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi
upacaranya.
Tradisi Ngalap Berkah dilakukan dengan mengunjungi
daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan
(dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule
(Kiyai Slamet) di keraton Kasunanan Solo, thawaf di tempat-tempat
keramat, memandikan benda-benda pusaka, begadang semalam suntuk dan
lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh
dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar’i
(Al Qur’an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya.
5. Bid’ah Muharram di Masyarakat Sumatera
Di
masyarakat pesisir barat pulau Sumatera yang terpengaruh oleh ajaran
Syiah, saban tahun dilaksanakan peringatan mengenang kematian Al Husain
sebagaimana dilakukan oleh kaum Syiah di wilayah Arab dan Persia.
Peringatan kematian Al Husein tersebut dilaksanakan di Bengkulu dengan
tradisi Tabot, dan di Pariaman dengan tradisi Tabuik.
Menurut Hamzah Tede,
Tabot yang
merupakan upacara belasungkawa pengikut syi’ah ini mulai diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1685 oleh Syekh Burhanuddin alias Imam Senggolo,
yang menikah dengan gadis Bengkulu. Namun ada juga yang mengatakan,
Tabot dibawa
oleh para pekerja asal India Selatan (Madras dan Bengali) yang berpaham
Syi’ah pada tahun 1718. Para pekerja itu dibawa ke Bengkulu oleh
kolonialis Inggris untuk membangun Benteng
Marlborough.
Para
pekerja asal Madras dan Bengali ini, kemudian membaur dengan penduduk
setempat, termasuk dengan keturunan Syekh Burhanuddin. Mereka beranak
pinak, sehingga membentuk komunitas
Sipai. Orang-orang
Sipai inilah
yang melanjutkan dan menghidup-hidupkan tradisi Tabot. Artinya,
tradisi Tabot ini belum pernah secara luas diterima sebagai tradisi
lokal oleh masyarakat Bengkulu pada umumnya. Dalam makna lain, sepenggal
ajaran syi’ah yang dibawa para pekerja dari Madras dan Bengali hanya
diterima oleh orang-orang
Sipai saja.
Namun belakangan, orang-orang
Sipai pun berhasil membebaskan diri dari kesesatan ajaran Syi’ah, namun masih mempraktekkan tradisi
Tabot semata-mata untuk mengenang dan menghormati tradisi nenek moyang mereka. Akhirnya, seiring perjalanan waktu, tradisi
Tabot yang
semula dimaksudkan untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Husein Radhiyallahu ‘Anh yang tewas
di Padang Karbala, kini berubah arah menjadi pesta budaya lokal yang
didanai pemerintah setempat
Sedangkan Tabuik yang dilaksanakan di
Pariaman konon sudah dikenal sejak tahun 1831 yang dibawa oleh tentara
Inggris asal Sepoy atau Cipei (India). Bila di Bengkulu ada 17
Tabot, di Pariaman hanya ada 2
Tabuik yang melambangkan peti jenazah Hasan ra dan Husein ra, cucu Nabi Muhammad
Shalalhu Alaihi Wasallam.
Bila di Bengkulu dinamakan
Festival Tabot, di Pariaman dinamakan
Pesta Budaya Tabuik Piaman yang
sejak 1974 menjadi kegiatan rutin bidang wisata Pemkot Pariaman.
Sebagaimana di Bengkulu, Tabuik Pariaman juga diselenggarakan pada
tanggal 1-10 Muharram, dan merupakan upacara peringatan atas
meninggalnya Husein Radhiyallahu ‘Anhu (cucu Nabi Muhammad
Shalalhu Alaihi Wasallam).
Semoga Allah Ta’ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid’ahan yang membinasakan.