Momentum yang ditunggu-tunggu umat
Islam Indonesia ini menghadirkan perwakilan dari ormas Islam, dewan
ulama, dan pemerintah serta akademisi dalam dan luar negeri. Seminar
Internasional berlangsung di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI, dan
dibuka langsung oleh wakil Menteri Agama RI, Prof. DR. H. Nasaruddin
Umar, MA.
Dua tokoh ormas Islam terbesar di Tanah
Air, NU dan Muhammadiyah bersama-sama meneguhkan komitmen Indonesia
dalam menjaga persatuan umat Islam dunia dari berbagai rongrongan. Prof.
Din Syamsuddin hadir berdampingan sebagai pembicara bersama KH Hasyim
Muzadi. Selain itu, hadir pula sebagai panelis Ketua MUI Pusat Prof.
Umar Shihab dan Prof. Muhammad Ghalib, selaku Koordinator kopertais
VIII.
Keseriusan mengusung persatuan umat
Islam dalam seminar ini ditampilkan dengan menghadirkan para pembicara
dari luar negeri. Partisipasi aktif Duta Besar Republik Islam Iran untuk
Indonesia, Dr. Mahmoud Farazandeh, Grand Ayatollah Muhammad Ali
Taskhiri selaku Ketua Lembaga Pendekatan antar Madzhab Islam, Republik
Islam Iran, Sheikh Molawi Ishaq Madani sebagai penasehat presiden Iran
untuk urusan Ahlussunnah, dan Dr. Mazaheri, Wakil rektor Universitas
Terbuka Iran, menunjukkan komitmen kolektif menjaga persatuan Islam
dunia. Namun, amat disayangkan Arab Saudi tidak mengirimkan wakilnya,
meski sudah dijadwalkan hadir dalam seminar persatuan umat Islam dunia
itu.
Dalam sambutannya, Wakil Menteri Agama
mengapresiasi upaya konstruktif Duta Besar Republik Islam Iran dan ulama
besarnya atas kesediaan mereka berbagi ilmu kepada Umat Islam
Indonesia. “Seminar ini menambah khazanah keilmuan dan keislaman kita
khususnya di Sulawesi selatan ini,” tutur pendiri Masyarakat Dialog
antar Umat Beragama itu.
Bagi Nasaruddin, konsep keumatan dalam
Islam merupakan refleksi dari konsep cinta kasih antar sesama. Mengutip
Rasulullah Saw, profesor studi Islam UIN ini menilai konsep Ummah (umat)
sebagai komunitas yang paling komplit dan mulia dalam Islam, karena
tidak lagi mengagungkan adanya diskriminasi dan pengkotak-kotakan dalam
masyarakat.
“Sebagaimana konsep al-Quran ‘Walaqad Karramnaa Banii Adam’
yang bermakna bahwa yang harus dimuliakan dalam Islam itu adalah semua
anak cucu Adam, tanpa memandang Suku, jenis kelamin, golongan strata
sosial bahkan agama, semuanya harus dimuliakan sebagai manusia ciptaan
Allah swt,” ungkap penulis sekitar 12 buku keislaman ini.
Nasruddin dalam pidatonya optimis
Indonesia sebagai negara muslim terbesar akan memimpin dunia Islam. Bagi
Nasruddin, jazirah Hijaz telah selesai melahirkan Islam, kini giliran
Indonesia yang akan memimpin dunia Islam. Tapi, semuanya itu hanya bisa
terwujud ketika umat Islam Indonesia serius menggalang persatuan.
“Tanpa persatuan, umat Islam Indonesia hanya akan tersekat-sekat dalam ruang sempit mazhab atau kabilah,” tegasnya.
Optimisme itu bergema kembali disuarakan
Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin. Cendekiawan muslim ini
menjelaskan besarnya potensi kaum muslimin, terutama di Indonesia. “Kita
punya SDM (Sumberdaya Manusia), SDA (Sumberdaya Alam) maupun SDN
(Sumberdaya Nilai) dan SDS (Sumberdaya Sejarah),” kata Ketua Umum
Muhammadiyah.
“Sumber daya itu harus digunakan untuk
menguatkan konsep ‘Kalimatun Sawa’ dalam menghadapi ‘Aduwun Sawa’,”
tegas pria kelahiran Sumbawa itu.
Tokoh NU, KH. Hasyim Muzadi menegaskan
pentingnya persatuan Islam dalam mewujudkan kamajuan dan kejayaan umat.
Kiai berusia 48 tahun ini memandang politik adu domba yang dilancarkan
dunia Barat untuk menjegal kemajuan dan kejayaan kaum muslimin. “Semua
itu, hanya bisa dilawan dengan persatuan umat sebagai landasan gerakan
Islam yang rahmatan lil alamin,” tambahnya.
Mengamini pentingnya persatuan umat bagi
bangsa Indonesia dan dunia, Rektor UMI Prof. Masrurah Mokhtar, MA pada
pidato sambutannya menggarisbawahi urgensi perumusan etika dalam berbeda
pendapat, supaya umat Islam dapat meningkatkan tali persaudaraan,
toleransi dan tidak mudah diadudomba. Sedangkan, Duta Besar Republik
Islam Iran untuk Indonesia, Dr. Mahmoud Faranzadeh dalam statemennya
menekankan pentingnya persatuan umat Islam sebagai benteng menjaga
keamanan, kesejahteraan dan kemajuan umat Islam dunia.
Sementara itu, Sheikh Molawi Ishaq
Madani menyebutkan persatuan sebagai kunci kemenangan umat Islam.
“Persatuan sangat penting. Tanpa persatuan, umat Islam mudah diadudomba.
Perselisihan dan pertengkaran di antara kaum muslimin tidak akan
menghasilkan kemenangan bagi madzhab yang bertikai, dan sebaliknya
justru kekalahan bagi agama Islam,” kata penasehat Presiden Iran urusan
Ahlusunnah.
Terkait peran dunia Barat dalam menyulut
friksi di tubuh umat Islam, Ayatollah Muhammad Ali Taskhiri menyatakan
bahwa dunia Barat berupaya mengoyak-oyak persatuan umat Islam dunia
hingga akhirnya menjadi negara-negara kecil, terbelakang dan memisahkan
agama dari kehidupan kaum muslimin. “Barat mengimplementasikannya dalam
bentuk Kolonialisme,” ungkap Ketua Lembaga Pendekatan Antarmazhab Islam
itu.
Namun, tutur ulama senior Iran ini,
pasca perang dunia kedua, terjadi berbagai peristiwa penting yang
menyebabkan Kolonialisme Barat menemui tantangan berat. “Peristiwa
pertama adalah pembakaran masjid Quds yang menstimulasi lahirnya
konferensi solidaritas kaum muslimin. Kemudian lahirlah Revolusi Islam
di Iran, ” tambahnya.
Pada tahun 1979, Revolusi Islam Iran
yang digagas oleh Imam Khomeini berhasil menumbangkan hegemoni Barat.
Menurut ulama sepuh ini, revolusi berbasis agama itu menjadi antitesis
Kolonialisme Barat terhadap dunia Islam.
“Ketika Barat menginginkan umat Islam
tercabik-cabik, Revolusi Islam tampil menyerukan persatuan umat. Ketika
Barat membiarkan umat Islam terbelakang, Revolusi Islam menyerukan
dukungan umat terhadap kemajuan dunia Islam dalam segala bidang
kehidupan. Dan ketika Barat memisahkan Islam dari kehidupan kaum
muslimin, Revolusi Islam justru menawarkan mengisi kehidupan masyarakat
muslim dengan nilai-nilai Islam,” ujar ulama Iran itu.
Acara ini diakhiri dengan pembacaan rekomendasi yang berisi tujuh poin penting persatuan umat Islam dunia. Pertama,
meningkatkan kesadaran umat Islam untuk terus membangun dan menjaga
persaudaraan sebagai sesama umat Islam dengan menampilkan Islam yang
damai dan penuh kasih sayang. Kedua, tidak menjadikan perbedaan
mazhab sebagai kendala dalam menjalin ukhuwah islamiah dan kerjasama
dalam berbagai kegiatan keduniaan dan keagamaan. Ketiga,
mendukung sosialisasi Deklarasi Amman (9/11/2004) yang dideklarasikan
bersama oleh 200 ulama dari lebih 50 negara, yang menegaskan bahwa
mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaidi) sebagai bagian dari Islam.
Keempat, umat Islam Indonesia
dari berbagai mazhab bisa menjadi role model bagi umat Islam dunia
dengan hidup berdampingan dalam ikatan persaudaraan yang kuat. Kelima,
ormas dan lembaga-lembaga keislaman serta para da’i, muballig dan
cendekiawan muslim mengambil peran aktif untuk selalu mengupayakan
kokohnya persaudaraan Islam, dan menghindari dakwah yang berakibat
lemahnya ukhuwah Islamiyah. Keenam, pemerintah Indonesia
diharapkan ikut menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya
persaudaraan antarpenganut berbagai mazhab Islam dan persaudaraan di
antara sesama pemeluk agama. Ketujuh, perbedaan (ikhtilaf) di
kalangan umat Islam harus disikapi dengan mendahulukan etika dan
akhlaqul karimah demi kemaslahatan umat.
Seminar berjalan lancar, meskipun di
luar gedung ada segelintir pihak yang memaksakan sikapnya menolak
persatuan Islam. Akan tetapi kesiapan panitia dan tim keamanan dari
TNI-Polri dalam komando Wakil Rektor III UMI berhasil menghalau
gerombolan anti kebhinekaan itu. (DarutTaqrib/IRIB/Adrikna!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar