Jika Aceh disebut Serambi Makkah, maka Desa Kenep di Bangil agaknya layak disebut sebagai “Serambi Qom”. Bagaimana ceritanya?
Suatu hari di tahun 1982, pemerintah Iran pimpinan Khomeini mengirim
tiga orang utusannya ke Indonesia . Mereka adalah Ayatollah Ibrahim
Amini, Ayatollah Masduqi, dan Hujjatul Islam Mahmudi. Salah satu dari
kegiatan mullah-mullah ini adalah kunjungan ke Yayasan Pesantren Islam
(YAPI) di Desa Kenep, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, untuk menemui
pimpinannya, Husein al-Habsyi.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah diterimanya 10 murid pilihan
Husein al-Habsyi untuk belajar di hauzah ‘ilmiyyah di kota Qom, Iran.
Sejak saat itu hingga wafatnya pada tahun 1994, Husein al-Habsyi
bertanggung jawab penuh menyeleksi para kandidat yang ingin nyantri ke
hauzah ‘ilmiyyah di Qom, dan kota-kota lainnya di Iran.
Direktur pusat Kebudayaan Iran (Islamic Cultural Center-Jakarta),
Mohsen Hakimollahi mengatakan, selepas wafatnya Husein al-Habsyi,
rekomendasi untuk kuliah ke Iran dilakukan oleh tokoh-tokoh ormas Islam
seperti Amien Rais, Said Aqil Siradj, ataupun Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
Namun ada cerita menarik di balik pengiriman 1o santri pertama hasil
seleksi Husein al-Habsyi. Salah satu mantan pengajar YAPI yang juga
bekas murid Husein al-Habsyi, Habib Ahmed bin Husein bin Abu Bakar
Assegaf, mengatakan pemberangkatan itu berlangsung setelah kunjugan
Husein ke Iran untuk berbaiat kepada Khomeini pada 1983. “Pelajari
madzhab Ja’fari,” ujar Ahmed menirukan bisikan Husein saat melepas
murid-muridnya berangkat menuju Qom .
Ahmed menuturkan, sepulangnya dari Iran, Husein gencar mempengaruhi
murid-muridnya, terutama para pengajar YAPI waktu itu, untuk membuka
diri pada ajaran Ja’fri.
Husein, kata Ahmed, kerap membangga-banggakan para ulama Syi’ah yang
ditemuinya di Iran . “Kata Ustadz Husein, mereka (para ulama Syi’ah) itu
alim-alim, banyak ilmu. Tidak seperti ulama ahlus sunnah yang banyak
bertentangan dengan rasio,” ujar Ahmed yang diwawancarai Suara
Hidayatullah di rumahnya, di Bangil, akhir Januari lalu.
Menurut Ahmed, saat itu Husein mencontohkan adanya salah seorang imam
madzhab ahlus sunnah, Imam as-Syafi’i, yang membahas masalah
batal-tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh kemaluan. Kalau di Syi’ah,
kata Husein, yang kotor-kotor seperti ini tidak ada. “ Para ayatullah
kalau ngomong pakai otak.”
Meski demikian, lanjut Ahmed, saat itu Husein cukup selektif
menyampaikan ide-ide Syi’ah kepada murid-muridnya. Dia memanggil
muridnya satu persatu, tidak langsung semuanya. Ahmed mengaku dirinya
sebagai murid terdekat Husein, dan yang pertama ajak bicara soal Syi’ah.
Ahmed masih ingat pembicaraan dirinya dengan Husein soal Syi’ah waktu
itu. Katanya, ”Ente (Anda) jangan kaget. Yang tenang. Para imam
(Syi’ah) yang 12 lebih afdhal (utama) dari Nabi. Imamah lebih afdhal
dari nubuwwah (kenabian).
“Saya justru kaget waktu itu”, kata Ahmed.
”Lho, saya bilang sama ente jangan kaget. Tenang dulu. Pikirkan dulu
pakai otak. Ente saya ajarkan begini, supaya bisa menggantikan saya
nantinya,” tutur Husein.
”Saya nggak terima. Hati saya nggak terima,” jelas Ahmed.
”Hei, jangan pakai hati. Pakai dalil.” sanggah Husein.
”Anda punya dalil?” kata Ahmed lagi.
”Ada. Firman Allah SWT kepada Nabi Ibrahim As, inni ja’iluka linnasi
imama. (Aku jadikan engkau imam atau pemimpin manusia). Saya tanya sama
ente, ketika diangkat menjadi imam, Nabi Ibrahim sudah menjadi Nabi atau
belum?”
Dengan polos Ahmed menjawab, “Sudah”.
Husein kemudian menimpali, ”Sudah jadi Nabi? Kalau begitu benar saya.
Imamah lebih afdhal dari kenabian. Nabi Ibrahim diangkat menjadi imam
setelah menjadi nabi, berarti ada kedudukan yang lebih tinggi dari
nabi.”
Ahmed balik membalas, “Kalau mereka (para imam) lebih utama dari pada
nabi, kenapa dalam al-Qur`an tidak disebut ada surat Imam Ja’far, atau
Imam Muhammad Baqir, dan sebagainya? Sedangkan di al-Qur`an ada surat
Yunus, Muhammad, Ibrahim, Yusuf, al-Anbiya. Kalau al-Aimmah (para imam)
lebih utama dari para nabi, harusnya ada surat tentang mereka dalam
al-Qur`an. Nyatanya nggak ada?”
“Ente jangan bodoh-bodohan. Saya nggak bisa terima omongan seperti itu,” elak Husein.
Sadar akan posisinya sebagai murid, Ahmed merasa enggan melanjutkan perdebatan.
Beberapa hari kemudian, Husein tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Malah, Husein menyatakan keinginannya mengirim Ahmed untuk belajar ke
kota Qom.
Kontan, Ahmed menolaknya. “Oh, nggak usah Ustadz. Jangan sampai. Saya ingin ke Makkah,” jawab Ahmed kala itu.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1985, Ahmed memutuskan keluar
dan berhenti mengajar di YAPI. Langkahnya diikuti sekitar 12 pengajar
YAPI lainnya, di antaranya terdapat murid-murid Kyiai Faqih, dari
Pesantren Langitan.
Siapa Husein al Habsyi
Husein al-Habsyi lahir di Surabaya pada tanggal, 21 April 1921. Sejak
usia belia dia sudah ditinggal wafat kedua orang tuanya. Menurut situs
resmi YAPI, http://yapibangil.org, ayahnya adalah Sayyid Abu Bakar
al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan dengan Sayyid Ali al-’Uraidi,
putra Imam Ja’far Shadiq.
Pendidikan dasar diembannya di Madrasah al-Khairiyah, lembaga pendidikan
diniyah tertua di Surabaya. Setamatnya dari al-Khairiyah, Husein sempat
mengajar di sana bersama kakaknya Ali al-Habsyi.
Kemudian, mereka berdua hijrah ke Penang, Malaysia. Husein sempat
mengajar di Madrasah al-Aththas di Johor dalam waktu cukup lama. Hingga
akhirnya dia mudik ke Surabaya, Jawa Timur, menyusul riuhnya peristiwa
politik pada masa penjajahan Inggris di semenanjung Malaysia saat itu.
Sepulangnya dari Malaysia , Husein aktif berkecimpung di kancah politik
nasional bersama partai Masyumi. Husein sempat menjadi pengurus teras
partai tersebut bersama salah satu tokoh utamanya, Muhammad Natsir.
Jabatan Husein di Masyumi saat itu adalah Ketua Komisi Hak Asasi
Manusia.
Pasca bubarnya Masyumi pada akhir tahun 196o, Husein kembali fokus
dalam dunia pendidikan Islam. Ia mendirikan pesantren di Kota Bondowoso
pada awal tahun 1970-an, sebelum akhirnya pindah dan menetap di Kota
Bangil.
Meski demikian Husein masih melek akan situasi politik, terlebih politik
luar negeri. Maka, ketika revolusi Iran meletus, Husein sontak
menyambutnya, bahkan berkunjung langsung ke Iran untuk sowan kepada
Khomeini.
Suara Hidayatullah berusaha menggali lebih dalam profil Husein
al-Habsyi dengan menyambangi tokoh-tokoh Syi’ah di Bangil, seperti Ali
Ridho bin Husein al-Habsyi (putra. Husein), Ali Umar al-Habsyi (menantu
Husein), juga Muhammad bin Alwi, murid terbaik Husein yang terkenal
dengan sebutan “Muh Cilik” meski berbadan tambun.
Ali Ridho bersedia menerima Suara Hidayatullah di rumahnya di Jalan
Ikan Tenggiri, sebelah utara alun-alun Kota Bangil. Namun, dia enggan
bercerita banyak soal ayahnya.
“Datang saja ke YAPI Putra. Di sana ada buku biografi Husein,”
katanya. Tapi, ketika Suara Hidayatullah menanyakan perihal buku
biografi tersebut ke YAPI, Sekretaris YAPI, Shohibul Aziz mengatakan
buku tersebut belum lagi ditulis, baru rencana saja.
Suara Hidayatullah juga sempat menjumpai sang menantu, Ali Umar, saat
ia baru selesai mengajar di pondok YAPI putri. Namun, Ali Umar yang
baru saja pulang dari acara pemakaman O. Hashem di Jakarta mengatakan
jadwal mengajarnya sangat padat. Tidak bisa diwawancara. Jadi, hanya Muh
Cilik yang tidak berhasil ditemui.
Meski demikian, seorang kader Muhammad Natsir, Kamluddin Iskandar
Ishaq, bersedia memberikan sedikit info tentang Husein. Katanya, Pak
Natsir pernah berkisah bahwa dirinya merasa ada yang aneh dengan
kebiasaan rekannya di Masyumi dulu, Husein al-Habsyi.
“Jika (dia) mendengar atau menyebut nama Ali bin Abi Thalib selalu
mengucap ‘alaihi shalatu wassallam (baginya shalawat dan salam),” ujar
Kamalludin mengutip perkataan Pak Natsir. Ada kemungkinannya Husein
sudah menganut Syi’ah sejak sebelum revolusi Iran . *Kukuh Santoso,
Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah
Box
Beda Syi’ah dengan Alawiy
Adanya sebagian dari kalangan alawiyin (Arab keturunan sayyid yang
menisbatkan diri sebagai keturuan Rasulullah SAW dari jalur Fatimah Ra)
yang menganut Syi’ah, menimbulkan persepsi sebagian masyarakat, bahwa
kaum alawiyin atau habaib identik dengan Syi’ah.
Namun, anggapan ini dibantah oleh Rabithah Alawiyah, satu-satunya
organisasi resmi kalangan alawiyyin di Indonesia yang berdiri sejak
tahun 1928 di Jakarta. Salah seorang ketua Rabithah yang juga Ketua Umum
Front Pembela Islam, Habib Muhammad Rizieq Shihab menjelaskannya secara
singkat saat Suara Hidayatullah mengunjunginya di rumah tahanan Polda
Metro Jaya, awal Maret lalu.
“Jangan samakan alawiyyin dengan Syi’ah. Itu menyinggung semua habaib,
karena tidak semua habaib itu Syi’ah. Ana (saya) bukan Syi’ah,” jawab
Rizieq.
Memang, ada sebagian habaib yang menganut Syi’ah, tapi prosentasenya
sangat kecil, tidak sampai sepuluh persen. Pengurus Rabithah sendiri,
kata Rizieq, bebas dari Syi’ah. Semuanya Sunni.
Rizieq menjelaskan, alawiyyin terbagi menjadi dua, yakni alawiyyin
nasaban dan alawiyyin madzhaban. Alawiyyin madzhaban itu yang Syiah.
Mereka bermadzhab Alawiy. Sedang alawiyyin nasaban, yakni nasabnya atau
silsilahnya dari Ali bin Abi Thalib Ra. yang bermadzhab Syafi’i. Yang
berasal dari Hadramaut, Yaman, termasuk alawiyyin nasaban.
Meski demikian, kata Rizieq, secara nasab sebagian pengikut Syi’ah
tadi memang alawiy. Mereka memang berasal dari Hadramaut tapi tidak
secara langsung hijrah ke Indonesia. Sebagian mereka hijrah dahulu ke
Irak ataupun Iran sebelum berlabuh di Indonesia.
Rizieq melanjutkan, pada awalnya alawiyyin Syi’ah yang minoritas ini
punya pergaulan yang bagus dengan kalangan Sunni. Namun, setelah
revolusi Iran mereka mulai berani pasang aksi. Hal tersebut akhirnya
menyulut pertentangan umat Islam di beberapa daerah di Jawa Timur
seperti di Bondowoso, Situbondo, Bangil, Malang , hingga Madura.
Begitu peliknya masalah yang timbul hingga membuat Direktorat
Intelkam Polda Jawa Timur merasa perlu menulis buku khusus tentang
Syi’ah. Buku tersebut berjudul Paham Syiah: Ikatan Jamaah Ahlul Bait
Indonesia (IJABI) dan Permasalahannya di Jawa Timur, terbitan Dit
Intelkam Polda Jatim bersama Lembaga Penelitian dan Penerbitan Provinsi
Jawa Timur, yang dicetak oleh PT Bina Ilmu Surabaya.
Menurut Rizieq, Rabithah mengambil sikap dialogis menanggapi para
alawiyyin Syi’ah tersebut. Tidak konfrontif. Hal ini dikarenakan para
alawiyyin Syi’ah tersebut termasuk keluarga besar alawyyin di bawah
naungan Rabithah. Sehingga mereka punya hak untuk untuk diperhatikan,
diajak dialog, dibina, dan diayomi. Laporam mereka yang merasa diancam
oleh kalangan Sunni juga ditampung Rabithah.
Meski demikian, kata Rizieq, Rabithah juga meminta kalangan Syi’ah
untuk introspeksi diri. “Adanya aksi anarkis disebabkan aksi dari
kalangan Syi’ah yang membuat selebaran, buku, yang menyinggung hal yang
sangat sensitif bagi Ahlus Sunnah. Seperti soal Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Ustman bin Affan, juga tentang istri-istri nabi, Aisyah dan
Hafsah.”
Sebagai ketua FPI, meski masih bersedia dialog dengan kalangan
Syi’ah, Rizieq punya garis tegas mengenai masalah Syi’ah. Suatu hal yang
katanya sering ia sampaikan kepada anggota FPI dan di hadapan habaib
Syi’ah sendiri. “Kalau ada dai-dai di atas mimbar mencaci maki ahlul
bait atau sahabat Nabi, turunkan! Bakar mimbarnya! Ana nggak mau tahu,
mau Syi’ah kek, wahabi kek. Caci maki sahabat, caci maki ahlul bait,
berarti musuh ana”. *Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah
Box wawancara
Prof Azyumardi Azra, Ahli Sejarah
Ahlul Bait Bukan Berarti Syi’ah
Ada yang mengatakan Syi’ah masuk ke Indonesia bersamaan dengan
masuknya Islam, karena Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia
yang Syi’ah. Bagaimana tanggapan Anda?
Itu pernyataan yang tidak ada buktinya. Karena Islam masuk ke
Indonesia sejak abad pertama hijriah, dan (pada) abad pertama hijriah,
Syi’ah itu belum ada. Kalau dikatakan berasal dari Persia, Persia itu
menjadi Syi’ah baru pada awal abad ke-16. Jadi tidak mungkin, sebab
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad pertama hijriah.
Sedangkan pada abad pertama hijriah itu belum ada kelompok Syi’ah, baru
ada kelompok pendukung Ali Ra. Dan jumlahnya belum banyak, belum sampai
ke Persia. Jadi itu tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Lalu kapan Syi’ah masuk ke Indonesia?
Orang sering salah paham. Orang sering mengidentikan ahlul bait
dengan Syi’ah. Memang ada sebagian ahlul bait yang menjadi pendukung Ali
Ra dan belakangan menjadi Syi’ah. Tapi tidak semua ahlul bait adalah
Syi’ah.
Sekitar abad ke 13-14 sudah masuk ahlul bait ke Indonesia. Terutama dari
Yaman, Hadramaut, pada abad ke-19, yang sering disebut Sayyid itu. Ya
itu ahlul bait, bukan syi’ah.
Kalau Syi’ah sendiri, kapan masuknya?
Mungkin sekitar abad ke-19, ada satu dua ahlul bait yang Syi’ah, tapi
tidak banyak. Jadi tidak bisa ditentukan kapan persisnya. Tapi, ada di
Singapura pada akhir abad ke-19 seorang sayyid yang diduga sebagai
Syi’ah. Tidak bisa dipastikan dia Syi’ah atau bukan, yang jelas dia
ahlul bait.
Jadi, dugaan saya, ada satu dua, tapi tidak signifikan. Nah, usaha untuk
menyebarkan Syi’ah itu baru terjadi terutama setelah Revolusi Iran
tahun 1979. Baru mulai kelihatan ada.
Jadi yang membawa Syi’ah ke Indonesia adalah sebagian dari golongan sayyid?
Kemungkinan besar iya.
Bagaimana dengan tradisi-tradisi Syi’ah yang ada di Indonesia?
Memang ada beberapa tradisi yang mirip dengan Syi’ah, misalnya
tasawuf atau tarekat. Mereka memuja Ali, tapi bukan karena mereka Syi’ah
tapi karena ahlul baitnya.
Jadi, tidak bisa dikatakan kalau orang tarekat memuja Ali mereka
Syi’ah. Memang ada praktik yang diasosiasikan dengan Syi’ah. (Seperti)
tadi, yang saya sebut memuja Ali, misalnya. Tapi mereka bukan syi’ah,
mereka ahlul bait, (cuma) memuja saja.
Kedua, ada yang namanya Tabut di Bengkulu dan Pariaman. Tapi, itu
dibawa oleh tentara Inggris. Tabut itu memang lazim dikalangan Syi’ah,
tapi yang di Bengkulu dan Pariaman itu bukan lagi menjadi tradisi
Syi’ah. Itu hanya perayaan atau festival biasa saja. Masyarakat senang
saja. Mereka ikut-ikutan tapi mereka tidak menjadi Syi’ah. *Dwi
Budiman/Suara Hidayatullah APRIL 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar