Dalam ekspedisi kali ini, kami mencoba
sesuatu yang baru, yakni mengeksplorasi hutan-hutan Jepara. Dengan kata
lain, kami berekspedisi tanpa tujuan yang ditentukan. Kami hanya
mengikuti kekuatan dan naluri kami. Mungkin karena inilah, kami beberapa
kali salah jalan.
Perjalanan ini dimulai sekitar pukul 10
pagi dari desa Batealit, Kec. Batealit. Kami terus berjalan ke arah
timur, menyusuri kali yang tampaknya semakin kering saja. Mungkin karena
sudah lama hujan tak membasahi tanah-tanah Jepara. Udara pun bukan main
panasnya. Sawah-sawah dan ladang warga terlihat kering. Kami harus
benar-benar mengeluarkan tenaga ekstra di awal perjalanan ini. Udara
sungguh tak mendukung.
Kami terus berjalan ke arah timur hingga
kami sampai di bukit di sebelah selatan hutan pinus. Kami masih harus
berjuang melawan panasnya udara. Pemandangan yang disajikan alam pun
belum terlihat indah. Sepanjang perjalanan kami hanya melihat
hutan-hutan gundul, semak-semak terbakar, ladang-ladang kosong, dan
tanah kering. Harus diakui, kondisi hutan di sekitar hutan pinus semakin
kritis saja. Meski begitu, semangat kami masih menggebu. Kami masih
percaya akan menemukan sesuatu yang indah, yang mungkin bisa membayar
lunas rasa penat kami.
Matahari siang mulai membakar kulit
kami. Persediaan air kami mulai menipis. Tapi kami masih terus berjalan.
Target kami adalah bermalam di puncak gunung yang terlihat megah di
depan kami. Kami tak tahu pasti apa nama puncak gunung itu. Mungkin
Gajah Mungkur, Songo Likur, atau Candi Angin? Yang jelas, kami mulai
memasuki wilayah hutan yang masih lebat, satu hal yang kami syukuri. Tak
seperti tahun-tahun lalu, ekspedisi kali ini sangat menantang. Dimulai
dari udara dan rute yang berat dan membingungkan hingga kehabisan
persediaan air, ekspedisi kali ini terasa begitu aneh. Bayangkan saja,
baru setengah perjalanan, persediaan air kami sudah hampir habis.
Terpaksa kami harus merubah tujuan kami, dari asalnya ingin mencapai
puncak gunung, ke pergi mencari sumber air terdekat.
Mencari Mati
Dengan kondisi yang tak memungkinkan
untuk terus berjalan mencapai puncak, karena persediaan air yang tak
mengijinkan, kami terpaksa harus mencari jalan terdekat menuju sumber
air. Ketika di tengah hutan yang lumayan lebat, kami memutuskan untuk
memotong jalan karena kami mendengar suara gemericik air di bawah sana.
Memotong jalan berarti Anda harus menuruni punggung bukit yang terjal,
berpegangan pada akar-akar pohon, menginjakkan kaki di atas tanah yang
kapan saja bisa longsor, dan Anda harus membuang jauh-jauh rasa takut.
Kami, dengan sangat perlahan, mulai menuruni punggung bukit yang
memiliki sudut kemiringan hingga mungkin 70. Beberapa orang dari kami
mulai gemetar. Bagi mereka yang baru melakukan ‘aksi nekat’ ini, kaki
gemetar tak karuan adalah pasti. Semakin ke bawah, semakin terjal.
Bahkan ada yang hampir ‘terjun bebas’ ke bawah, jika tak ditahan oleh
pohon. Aksi nekat ini terasa semakin menegangkan. Kami yang pada awalnya
sangat bersemengat dan sering bercanda, terlihat mulai letih dan
tegang. Pengalaman yang luar biasa! Kami terus turun ke bawah, hingga
akhirnya kami tak bisa lagi turun. Terpaksa kami naik ke atas lagi.
Benar-benar merasa sia-sia, kami terpaksa harus kembali mengikuti jalur
yang ada. Ketika kami mulai tenang, terdengar seorang dari kami
berseloroh, “rasanya tadi aku melihat wajah Malaikat Izrail”.
Mencari Air
Setelah aksi ‘mencari mati’ tadi, kami
terus berjalan mengikuti jalur yang ada. Pemandangan kali ini mulai
terlihat indah. Gunung menjunjung langit, Langit biru luas melaut,
suara-suara makhluk hutan yang tak terlihat, adalah beberapa hal alami
yang hanya dapat kami rasakan dalam ekspedisi kali ini. Kesemuanya
sederhana, sering diabaikan namun begitu luar biasa ketika kita menjadi
bagian dari kesemua itu. Kaki kami yang mulai terasa pegal mampu terus
berjalan. Kami masih harus berjalan mencari sumber air. Orang mungkin
bisa hidup sampai 10 hari tanpa makanan, tapi tak bisa hidup bahkan
hanya 3 hari tanpa air.
Kami tak tahu harus berjalan ke mana.
Matahari mulai terlihat memerah di ufuk barat. Ini menandakan kami harus
cepat-cepat mendapatkan air dan beristirahat. Kami terus berjalan. Naik
turun lembah, menembusi hutan, menantang sinar matahari, semuanya kami
lawan untuk mencari air. Kami terus berjalan. Melihat-lihat langit,
mendengar suara angin, mungkin ada tanda-tanda air. Kami terus berjalan.
Tak disangka, kami sampai di ladang labu
milik petani yang mungkin hanya sebulan sekali mereka tengok. Harapan
kami membumbung. Mungkin saja ada air. Dengan semangat yang mulai
terkikis, kami beristirahat sebentar, sementara beberapa dari kami
berjalan lagi mencari air. Dengan membawa botol-botol air minum kemasan
yang sudah kosong, kami masih saja bersikeras mencari air. Sungguh,
dalam hati kami yang terpikirkan adalah mendapatkan air, apapun itu dan
di manapun itu.
Sementara yang lain tengah beristirahat,
4 orang dari kami terus mencari air. Suara-suara menyerah mulai
terdengar. Wajah-wajah lesu mulai terlihat. Kami sudah benar-benar putus
asa. Hingga akhirnya harapan itu datang! Setelah terus mencari air,
kami menemukan semacam sungai kecil yang hampir mati. Airnya hanya
seperti kubangan yang mengalir lambat. Yang penting air, itulah yang
kami pikirkan. Jadi, tak peduli air itu segar atau tidak, selagi suci,
akan tetap kami manfaatkan. Mungkin karena hanya air itu yang kami
dapati, air itu terasa begitu segar dan dingin.
Tuhan memang Maha Penyayang! Dengan
riang gembira, 4 orang itu kembali ke atas dan berkumpul bersama yang
lain. Kami juga sudah menemukan tempat yang pas untuk beristirahat dan
bermalam. Tepat di belakang tiga gunung besar.
Bermalam di Belakang Tiga Gunung
Matahari semakin memerah. Setelah
mempersiapkan ‘kasur darurat’ kami, alias terpal, kami duduk bersama
sambil menikmati kopi jahe dan biskuit yang kami bawa. Menanti tenggelam
matahari, suasana membawa kami ke alam khayal masing-masing. Kami semua
setuju, kuasa Allah tak terbatas. Kami hampir tak percaya, kami bisa
bermalam di tempat terbuka seperti ini. Beralaskan bumi, beratap langit,
betapa indahnya.
Setelah matahari tenggelam, kami
bersegera salat maghribain. Kali ini, rasa khusyu’ dan takzim
menggantung di sekitar kami. Benar-benar kenyataan yang indah. Mendaki
gunung selalu membuat siapapun merasa kecil di hadapan Tuhan. Selepas
salat, kami menyempatkan diri untuk bertawassul kepada Ahlulbayt. Semua
pecinta Ahlulbayt percaya, para imam selalu menyertai kita di manapun
kita percaya. Maka, kami percaya, saat itu kami tengah dilihat dan
diperhatikan para imam. Perasaan kami saat itu tak mungkin kami rasakan
ketika kami tidak berada di bawah gunung sana.
Hari semakin larut. Bulan yang pucat
mulai merayap di balik gunung. Ketenangan malam mulai menyihir. Badan
kami yang kelelahan mulai saja melepaskan semuanya dengan bermimpi.
Ditemani api unggun, satu per satu dari kami mulai tertidur. Mungkin
karena kami dikelilingi gunung-gunung tinggi, kami tak begitu
kedinginan. Aneh memang, biasanya setiap orang yang bermalam di dataran
tinggi pasti kedinginan. Maka, kami bersyukur atas itu. Angin mulai
menderu-deru. Selanjutnya, kami berada di mimpi masing-masing…
Jalan Pulang
Rasanya matahari muncul lebih awal dari
biasanya. Malam begitu cepat berlalu. Kami harus bangun untuk
melanjutkan perjalanan ini. Seperti hidup, ekspedisi ini tak akan
berhenti di sini. Semuanya akan terus bergulir hingga waktu menjadi
pupus dan yang ada hanya keabadian.
Selepas salat subuh, kami lantas
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Kami putuskan bahwa acara
makan-makan dan bersih-bersih kami adakan di sungai kecil itu. Setelah
makan dan bersih-bersih, kami mulai berjalan. Rasa semangat mulai
menghinggapi kami lagi. Kira-kira apa yang akan kami hadapi? Jalan buntu
lagi! Ya, kami salah jalan.
Setelah berputar-putar keliling bukit
selama kurang lebih satu setengah jam, kami mulai dihinggapi rasa
frustasi lagi. Awalnya kami ingin melanjutkan perjalanan menuju puncak
gunung yang terlihat indah sana, sayang setelah berputar-putar naik
turun bukit, kami tak berhasil mendapatkan jalan yang mengantarkan kami
ke puncak gunung sana. Kami terpaksa kembali mengikuti jalan yang
kemarin kami lalui. Kami berkali-kali mencari jalan menuju puncak, namun
selalu saja berakhir buntu. Mungkin karena peristiwa kemarin, kami tak
berani lagi memotong jalan.
“Jangan bermain-main dengan alam bebas”
adalah pelajaran penting yang kami dapat. Ya, memang betul; mengerjakan
sesuatu tanpa ilmu dan perhitungan yang pasti akan membuat kita cepat
berputus asa. Awalnya semangat membara di dada kami, akhirnya meski
mencoba tetap semangat, kami terpaksa kembali ke jalan yang menuntun
kita kemarin. Satu setengah jam telah kami habiskan dengan hanya menaiki
punggung bukit dan menuruninya kembali tanpa menemukan jalan.
Meski begitu, kami tersengat kenyataan
bahwa kami harus pulang, karena kesempatan yang kami miliki untuk
bersatu seperti alam ini sangat sedikit. Kami lantas berjalan dan terus
berjalan, hanya sesekali berhenti. Pemandangan yang tersaji cukup indah.
Hanya cuacanya terasa sangat menyengat. Berjalan dari pukul delapan
pagi, kami akhirnya menemukan sungai yang tidak terlalu deras di sekitar
daerah hutan pinus pada sekitar pukul dua belas siang. Untuk membuang
rasa penat kami, kami mandi di situ.
Rencananya kami ingin memasak di situ,
tapi tiba-tiba saja hujan turun. Kami segera berhamburan mencari tempat
perlindungan. Puji Tuhan, kami menemukan gubuk warga sekitar dan
kebetulan pemiliknyapun ada di sana. Seperti sudah terskenario, kami
makan dan salat di sana. Dalam benak kami, tiba-tiba saja terlintas
pikiran bahwa Allah menurunkan hujan agar kami bisa makan dan
beristirahat di gubuk ini. Andai hujan tak turun, tentu kami akan
kesulitan memasak dan beristirahat di sungai tadi.
Perjalanan sudah mendekati akhir.
Tinggal berjalan beberapa kilo lagi. Kami tinggal menuruni beberapa
bukit dan menunggu jemputan di bawah hutan pinus. Hari mulai sore. Meski
lelah, kami tetap bersyukur atas indah-Nya perjalanan ini.
Banyak kejadian yang dapat kami ambil
sebagai pelajaran. Satu hal yang paling berbekas adalah bahwa ekspedisi
kali ini kami namakan ‘Ekspedisi Mencari Mati’. Kehabisan air, percobaan
mencari mati, tersesat dalam perjalanan pulang, adalah beberapa
kejadian yang membuat kita yakin, ekspedisi kali ini sungguh menarik.
Akhirnya, rasa syukur tak terkira kami
panjatkan kepada Allah, Tuhan segalanya, pemilik gunung yang kokoh,
penjaga langit yang luas, pemelihara setiap setiap kehidupan.
(DarutTaqrib/Farazdaq/Adrikna!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar