Rabu, 21 November 2012

Catatan Ekspedisi 2012 SANTRI SYIAH DI JEPARA JATENG

PA “Sang Penakluk” Darut Taqrib kembali mengadakan ekspedisi pendakian gunung. Dimulai pada hari Sabtu (27/10) dan berakhir pada hari Minggu (28/10), ekspedisi kali ini diikuti oleh 9 orang. Dengan semangat yang menggebu-gebu, kami memulai perjalanan dari daerah Batealit, dan kembali ke tempat yang sama, dengan membawa jiwa dan raga yang baru tentunya.
Dalam ekspedisi kali ini, kami mencoba sesuatu yang baru, yakni mengeksplorasi hutan-hutan Jepara. Dengan kata lain, kami berekspedisi tanpa tujuan yang ditentukan. Kami hanya mengikuti kekuatan dan naluri kami. Mungkin karena inilah, kami beberapa kali salah jalan.
Perjalanan ini dimulai sekitar pukul 10 pagi dari desa Batealit, Kec. Batealit. Kami terus berjalan ke arah timur, menyusuri kali yang tampaknya semakin kering saja. Mungkin karena sudah lama hujan tak membasahi tanah-tanah Jepara. Udara pun bukan main panasnya. Sawah-sawah dan ladang warga terlihat kering. Kami harus benar-benar mengeluarkan tenaga ekstra di awal perjalanan ini. Udara sungguh tak mendukung.
Kami terus berjalan ke arah timur hingga kami sampai di bukit di sebelah selatan hutan pinus. Kami masih harus berjuang melawan panasnya udara. Pemandangan yang disajikan alam pun belum terlihat indah. Sepanjang perjalanan kami hanya melihat hutan-hutan gundul, semak-semak terbakar, ladang-ladang kosong, dan tanah kering. Harus diakui, kondisi hutan di sekitar hutan pinus semakin kritis saja. Meski begitu, semangat kami masih menggebu. Kami masih percaya akan menemukan sesuatu yang indah, yang mungkin bisa membayar lunas rasa penat kami.
Matahari siang mulai membakar kulit kami. Persediaan air kami mulai menipis. Tapi kami masih terus berjalan. Target kami adalah bermalam di puncak gunung yang terlihat megah di depan kami. Kami tak tahu pasti apa nama puncak gunung itu. Mungkin Gajah Mungkur, Songo Likur, atau Candi Angin? Yang jelas, kami mulai memasuki wilayah hutan yang masih lebat, satu hal yang kami syukuri. Tak seperti tahun-tahun lalu, ekspedisi kali ini sangat menantang. Dimulai dari udara dan rute yang berat dan membingungkan hingga kehabisan persediaan air, ekspedisi kali ini terasa begitu aneh. Bayangkan saja, baru setengah perjalanan, persediaan air kami sudah hampir habis. Terpaksa kami harus merubah tujuan kami, dari asalnya ingin mencapai puncak gunung, ke pergi mencari sumber air terdekat.
Mencari Mati
Dengan kondisi yang tak memungkinkan untuk terus berjalan mencapai puncak, karena persediaan air yang tak mengijinkan, kami terpaksa harus mencari jalan terdekat menuju sumber air. Ketika di tengah hutan yang lumayan lebat, kami memutuskan untuk memotong jalan karena kami mendengar suara gemericik air di bawah sana. Memotong jalan berarti Anda harus menuruni punggung bukit yang terjal, berpegangan pada akar-akar pohon, menginjakkan kaki di atas tanah yang kapan saja bisa longsor, dan Anda harus membuang jauh-jauh rasa takut. Kami, dengan sangat perlahan, mulai menuruni punggung bukit yang memiliki sudut kemiringan hingga mungkin 70. Beberapa orang dari kami mulai gemetar. Bagi mereka yang baru melakukan ‘aksi nekat’ ini, kaki gemetar tak karuan adalah pasti. Semakin ke bawah, semakin terjal. Bahkan ada yang hampir ‘terjun bebas’ ke bawah, jika tak ditahan oleh pohon. Aksi nekat ini terasa semakin menegangkan. Kami yang pada awalnya sangat bersemengat dan sering bercanda, terlihat mulai letih dan tegang. Pengalaman yang luar biasa! Kami terus turun ke bawah, hingga akhirnya kami tak bisa lagi turun. Terpaksa kami naik ke atas lagi. Benar-benar merasa sia-sia, kami terpaksa harus kembali mengikuti jalur yang ada. Ketika kami mulai tenang, terdengar seorang dari kami berseloroh, “rasanya tadi aku melihat wajah Malaikat Izrail”.
Mencari Air
Setelah aksi ‘mencari mati’ tadi, kami terus berjalan mengikuti jalur yang ada. Pemandangan kali ini mulai terlihat indah. Gunung menjunjung langit, Langit biru luas melaut, suara-suara makhluk hutan yang tak terlihat, adalah beberapa hal alami yang hanya dapat kami rasakan dalam ekspedisi kali ini. Kesemuanya sederhana, sering diabaikan namun begitu luar biasa ketika kita menjadi bagian dari kesemua itu. Kaki kami yang mulai terasa pegal mampu terus berjalan. Kami masih harus berjalan mencari sumber air. Orang mungkin bisa hidup sampai 10 hari tanpa makanan, tapi tak bisa hidup bahkan hanya 3 hari tanpa air.
Kami tak tahu harus berjalan ke mana. Matahari mulai terlihat memerah di ufuk barat. Ini menandakan kami harus cepat-cepat mendapatkan air dan beristirahat. Kami terus berjalan. Naik turun lembah, menembusi hutan, menantang sinar matahari, semuanya kami lawan untuk mencari air. Kami terus berjalan. Melihat-lihat langit, mendengar suara angin, mungkin ada tanda-tanda air. Kami terus berjalan.
Tak disangka, kami sampai di ladang labu milik petani yang mungkin hanya sebulan sekali mereka tengok. Harapan kami membumbung. Mungkin saja ada air. Dengan semangat yang mulai terkikis, kami beristirahat sebentar, sementara beberapa dari kami berjalan lagi mencari air. Dengan membawa botol-botol air minum kemasan  yang sudah kosong, kami masih saja bersikeras mencari air. Sungguh, dalam hati kami yang terpikirkan adalah mendapatkan air, apapun itu dan di manapun itu.
Sementara yang lain tengah beristirahat, 4 orang dari kami terus mencari air. Suara-suara menyerah mulai terdengar. Wajah-wajah lesu mulai terlihat. Kami sudah benar-benar putus asa. Hingga akhirnya harapan itu datang! Setelah terus mencari air, kami menemukan semacam sungai kecil yang hampir mati. Airnya hanya seperti kubangan yang mengalir lambat. Yang penting air, itulah yang kami pikirkan. Jadi, tak peduli air itu segar atau tidak, selagi suci, akan tetap kami manfaatkan. Mungkin karena hanya air itu yang kami dapati, air itu terasa begitu segar dan dingin.
Tuhan memang Maha Penyayang! Dengan riang gembira, 4 orang itu kembali ke atas dan berkumpul bersama yang lain. Kami juga sudah menemukan tempat yang pas untuk beristirahat dan bermalam. Tepat di belakang tiga gunung besar.
Bermalam di Belakang Tiga Gunung
Matahari semakin memerah. Setelah mempersiapkan ‘kasur darurat’ kami, alias terpal, kami duduk bersama sambil menikmati kopi jahe dan biskuit yang kami bawa. Menanti tenggelam matahari, suasana membawa kami ke alam khayal masing-masing. Kami semua setuju, kuasa Allah tak terbatas. Kami hampir tak percaya, kami bisa bermalam di tempat terbuka seperti ini. Beralaskan bumi, beratap langit, betapa indahnya.
Setelah matahari tenggelam, kami bersegera salat maghribain. Kali ini, rasa khusyu’ dan takzim menggantung di sekitar kami. Benar-benar kenyataan yang indah. Mendaki gunung selalu membuat siapapun merasa kecil di hadapan Tuhan. Selepas salat, kami menyempatkan diri untuk bertawassul kepada Ahlulbayt. Semua pecinta Ahlulbayt percaya, para imam selalu menyertai kita di manapun kita percaya. Maka, kami percaya, saat itu kami tengah dilihat dan diperhatikan para imam. Perasaan kami saat itu tak mungkin kami rasakan ketika kami tidak berada di bawah gunung sana.
Hari semakin larut. Bulan yang pucat mulai merayap di balik gunung. Ketenangan malam mulai menyihir. Badan kami yang kelelahan mulai saja melepaskan semuanya dengan bermimpi. Ditemani api unggun, satu per satu dari kami mulai tertidur. Mungkin karena kami dikelilingi gunung-gunung tinggi, kami tak begitu kedinginan. Aneh memang, biasanya setiap orang yang bermalam di dataran tinggi pasti kedinginan. Maka, kami bersyukur atas itu. Angin mulai menderu-deru. Selanjutnya, kami berada di mimpi masing-masing…
Jalan Pulang
Rasanya matahari muncul lebih awal dari biasanya. Malam begitu cepat berlalu. Kami harus bangun untuk melanjutkan perjalanan ini. Seperti hidup, ekspedisi ini tak akan berhenti di sini. Semuanya akan terus bergulir hingga waktu menjadi pupus dan yang ada hanya keabadian.
Selepas salat subuh, kami lantas bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Kami putuskan bahwa acara makan-makan dan bersih-bersih kami adakan di sungai kecil itu. Setelah makan dan bersih-bersih, kami mulai berjalan. Rasa semangat mulai menghinggapi kami lagi. Kira-kira apa yang akan kami hadapi? Jalan buntu lagi! Ya, kami salah jalan.
Setelah berputar-putar keliling bukit selama kurang lebih satu setengah jam, kami mulai dihinggapi rasa frustasi lagi. Awalnya kami ingin melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung yang terlihat indah sana, sayang setelah berputar-putar naik turun bukit, kami tak berhasil mendapatkan jalan yang mengantarkan kami ke puncak gunung sana. Kami terpaksa kembali mengikuti jalan yang kemarin kami lalui. Kami berkali-kali mencari jalan menuju puncak, namun selalu saja berakhir buntu. Mungkin karena peristiwa kemarin, kami tak berani lagi memotong jalan.
“Jangan bermain-main dengan alam bebas” adalah pelajaran penting yang kami dapat. Ya, memang betul; mengerjakan sesuatu tanpa ilmu dan perhitungan yang pasti akan membuat kita cepat berputus asa. Awalnya semangat membara di dada kami, akhirnya meski mencoba tetap semangat, kami terpaksa kembali ke jalan yang menuntun kita kemarin. Satu setengah jam telah kami habiskan dengan hanya menaiki punggung bukit dan menuruninya kembali tanpa menemukan jalan.
Meski begitu, kami tersengat kenyataan bahwa kami harus pulang, karena kesempatan yang kami miliki untuk bersatu seperti alam ini sangat sedikit. Kami lantas berjalan dan terus berjalan, hanya sesekali berhenti. Pemandangan yang tersaji cukup indah. Hanya cuacanya terasa sangat menyengat. Berjalan dari pukul delapan pagi, kami akhirnya menemukan sungai yang tidak terlalu deras di sekitar daerah hutan pinus pada sekitar pukul dua belas siang. Untuk membuang rasa penat kami, kami mandi di situ.
Rencananya kami ingin memasak di situ, tapi tiba-tiba saja hujan turun. Kami segera berhamburan mencari tempat perlindungan. Puji Tuhan, kami menemukan gubuk warga sekitar dan kebetulan pemiliknyapun ada di sana. Seperti sudah terskenario, kami makan dan salat di sana. Dalam benak kami, tiba-tiba saja terlintas pikiran bahwa Allah menurunkan hujan agar kami bisa makan dan beristirahat di gubuk ini. Andai hujan tak turun, tentu kami akan kesulitan memasak dan beristirahat di sungai tadi.
Perjalanan sudah mendekati akhir. Tinggal berjalan beberapa kilo lagi. Kami tinggal menuruni beberapa bukit dan menunggu jemputan di bawah hutan pinus. Hari mulai sore. Meski lelah, kami tetap bersyukur atas indah-Nya perjalanan ini.
Banyak kejadian yang dapat kami ambil sebagai pelajaran. Satu hal yang paling berbekas adalah bahwa ekspedisi kali ini kami namakan ‘Ekspedisi Mencari Mati’. Kehabisan air, percobaan mencari mati, tersesat dalam perjalanan pulang, adalah beberapa kejadian yang membuat kita yakin, ekspedisi kali ini sungguh menarik.
Akhirnya, rasa syukur tak terkira kami panjatkan kepada Allah, Tuhan segalanya, pemilik gunung yang kokoh, penjaga langit yang luas, pemelihara setiap setiap kehidupan.  (DarutTaqrib/Farazdaq/Adrikna!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar