Bis mendadak berhenti. Hentakannya membangunkan saya dari tidur
yang tidak terlalu nyenyak. Dengan mata terpicing saya membiasakan diri dengan
penerangan remang-remang di dalam bis.
"Are we arrived?" Tanya saya ke lelaki di kursi
sebelah.
"Yes. I think we're arrived." Jawabnya dengan lidah
yang lekat dengan bahasa Urdu. Hmm, kayanya dari India, batin saya dalam
hati. Tapi jauh lebih dalam di hati, saya bertanya-tanya, DIMANA NIH?
Dari jendela bis sebelah kiri hanya terlihat jalan raya, kosong
dan sepi. Di sebelah kanan pagar dan gerbang yang lebar dan tinggi menjulang.
Saya agak terkejut. Sama sekali nggak seperti camp tempat konfrensi akan
diadakan.
Udara dingin menyergap ketika kami turun bis. Saya melirik Ali
Reza, salah satu teman dari Indonesia, yang mengeluarkan hp. Jam 2 fajar waktu
setempat. Astaga! Pantas dinginnya demikian menggigit! Apalagi samar-samar saya
mulai sadar kalo ini adalah daerah pegunungan.
Setelah barang-barang diturunkan, kami hanya diam selama
beberapa saat di depan gerbang, diselingi kuap dan mata yang sibuk mengerjap.
Hanya sedikit yang berbicara, semua sibuk mengumpulkan nyawa.
Satu-satunya hiburan (setidaknya bagi saya) hanya bulan yang
bulat sempurna di atas sana. Bersinar lembut dengan cahayanya yang keperakan.
Saya tersenyum mengingat seseorang yang dulu suka saya analogikan dengan
purnama.
Untunglah tidak lama kami diarahkan ke suatu tempat, berpisah
dengan teman-teman wanita yang pergi ke arah berbeda. Saya menginisiasi
pembicaraan dengan lelaki India yang sebelumnya saya tanya di bis.
"Where are we going?"
"I don't know. To dormitory I guess."
"Are we still far away?"
"I don't know! I'm also a participant!"
Ohh... Nanya mulu sih udah kaya tamu jauh, sebel kan tuh dia.
"I'm Mustafa, from India." Dia melanjutkan.
"Irvan. Indonesia. So where are the committe?" Mustafa
menggelengkan kepala dengan jenaka, khas orang India. Kami melanjutkan jalan
dalam diam.
Saat itu hari Rabu, tanggal 4 Juli dini hari. Saya berada 7500
km jauhnya dari rumah untuk menghadiri konferensi yang diadakan Unified Ummah,
sebuah lembaga yangconcern terhadap isu-isu dunia Islam secara global dan juga
kebangkitan Islam.
Saya bersama 12 orang teman dari Indonesia dan malaysia baru aja
mendarat tiga jam yang lalu di bandara Internasional Imam Khomeini, Teheran,
Iran. Kami disambut oleh Ali Akbar dan Mohammad Rahimi, dua orang perwakilan
panitia dalam konferensi ini. Setelah sholat di bandara, kami langsung naik bis
dan diajak menjemput beberapa teman-teman delegasi dari negara lain yang sudah
lebih dulu tiba, baru setelah itu kami menuju ke lokasi camp.
Rasa lelah yang luar biasa setelah total 9.5 jam terbang dan 5
jam transit membuat kami terkapar satu per satu. Bahkan saya tidak terbangun
ketika teman-teman peserta dari negara lain naik bis, dan cuma sempat sejenak
terheran-heran sebelum kembali tertidur ketika Rahimi turun dari bis di tengah
jalan dan bilang "We'll see you the day after tomorrow, have a good rest
in the camp." Apa maksudnya coba? Kita ditinggal gitu aja?
Sehingga disinilah kami. Terkantuk-kantuk sambil sibuk menggeret
koper dan (khusus saya) menggendong backpack menuju asrama. Hehehehe, kesan
awal yang nggak terlupakan untuk hadir di sebuah konfrensi internasional.
Tapi setelah itu semuanya berjalan menyenangkan menurut saya :)
Secara keseluruhan konfrensi yang dihadiri sekitar 250 orang
peserta ini membahas permasalahan umat Islam secara global. Mulai dari kondisi
terkini di negara-negara Islam (umumnya Timur Tengah), sampai ancaman-ancaman
yang mungkin dan sedang terjadi terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia.
Peserta yang hadir tentu saja berasal dari negara-negara yang memiliki penduduk
muslim. Selain kami dari Indonesia, ada dari Pakistan, India, Malaysia,
Bahrain, Azarbaijan, dan tentu saja negara tuan rumah, Iran.
Alasan saya ikut konferensi ini untuk merefresh diri dan
pemikiran. Setahun kerja di lingkungan Utan Kayu yang liberal bikin saya agak
apatis dengan isu-isu keagamaan, ironisnya termasuk sama agama sendiri. Saya
mulai nggak perduli dengan permasalahan umat Islam yang terjadi di Palestina,
Suriah, Bahrain, bahkan saya baru update informasi detail mengenai kekejaman
yang dialami muslim di Rohingya, Myanmar, setelah saya di mengikuti konfrensi
ini. Agak ngenes ya? Jauh-jauh ke Timur Tengah buat tau info di negara ASEAN
juga.
Secara sadar saya butuh pengayaan, sekaligus meningkatkan
awareness terhadap isu-isu terkait dunia keislaman dengan lebih personal. Di
sini misalnya selain mendapat lecturemengenai kondisi umum Bahrain, saya juga
bisa ketemu dan ngobrol dengan teman-teman dari sana, dan di-update langsung
mengenai situasi negara mereka yang lagi mengkhawatirkan.
Juga kondisi terkini Mesir pasca pemilihan dalam salah satu sesi
materi. Disadari atau tidak, Mesir telah lama jadi jantungnya dunia Islam,
karena dekat dengan Al Quds dan Mekkah. Dan baik U.S maupun Israel percaya
bahwa memiliki akses dan kedekatan kepada kedua tempat suci itu akan memberikan
pengaruh terhadap negara-negara Islam, selain tentunya Mesir dekat dengan jalur
minyak.
Sehingga Mr. Magdi Hussain dan Mr. Ammar Faid yang berbicara
mewakili Mesir dan Ikhwanul Muslimin, menyatakan lebih penting membangun
hubungan dengan Iran, Sudan, Libia, bahkan Hizbullah daripada dengan U.S
setelah kemenangan IM di pemilu Mesir kemarin.
Mereka dengan tegas menyatakan bahwa Mesir bisa aja membuat
sendiri burger, sandwich, dan potatochip khas Amerika, karena toh bukan itu
yang mereka butuhkan. Transfer teknologi yang dirasa jauh lebih penting justru
tidak diberikan U.S, karenanya lebih baik mendekatkan diri kepada Iran yang
juga memiliki keunggulan di bidang teknologi.
Materi yang nggak kalah menarik menurut saya adalah analisis
liputan media-media arab dan perannya terhadap kebangkitan Islam, yang
dibawakan oleh Dr. Hassan Abedini. Karena nggak semua berita terhadap dunia
Islam tersampaikan dengan benar ke negara-negara berpenduduk muslim. Boro-boro
dengan benar, tersampaikan aja nggak!
Kebanyakan teman-teman di Iran heran ketika saya bilang gak
banyak tau soal berita negara-negara di Timur Tengah.
Emang di Indonesia nggak ada TV kabel? Begitu biasanya tanya
mereka. Saya jawab, ya ada, tapi nggak umum berita dari negara-negara kalian
tuh. Lagian apa sih stasiun TV dari TimTeng yang ada di TV kabel Indonesia? Al
Jazeera? Yahh, sama aja nonton CNN atau BBC itu mah. Sama-sama kurang obyektif.
Tapi saya kecewa berat karena Dr. Hassan Abedini yang
"memegang" press TV di Iran ngeles ketika ada peserta yang bertanya
kenapa media di Iran baru menyiarkan kondisi Suriah DUA MINGGU pasca
penyerangan di sana! Sebagai representasi dari pemerintahnya (press TV ibarat
TVRI bagian beritanya Iran) penolakan tersebut bisa berarti bahwa pemerintah
Iran memiliki rencana terkait pemberitaan Suriah. Apa itu? Ya kita peserta cuma
bisa tebak-tebak buah manggis.
Lebih kecewa lagi ketika saya bertanya ada nggak media atau
sekedar program yang concern terhadap anak-anak dan remaja di Iran, untuk
meng-counter pengaruh buruk media asing dengan perang pemikirannya? Beliau
menolak menjawab karena sudah adzan. Was he up to something by then?!
Kendala utama yang kami rasakan adalah masalah bahasa. Dengan
label konferensi internasional, kami berekspektasi tinggi bahasa Inggris akan
jadi bahasa pengantar selama lima hari kami di Obali, lokasi konfrensi.
Tapi untung tak dapat diraih, Malang di Jawa Timur. Kami bengong
ketika kebanyakan peserta dari Iran nggak bisa bahasa Inggris! Lebih jauh lagi
kami pun manyun ketika hampir seluruh pembicara juga menggunakan bahasa persia
dalam menyampaikan materi. Alternatifnya bahasa Arab. Sebelas dua belas bikin
bolotnya! Interpreter yang ada nggak terlalu jelas menerjemahkan kata-kata
pemateri.
Awalnya saya kira emang bahasa Inggris saya aja yang perlu
diupgrade, tapi semua peserta internasional juga mengeluhkan hal yang sama.
Makanya kami sambut dengan gegap gempita ketika Prof. Talat Wizarat dari
Pakistan, dan Dr. Massoud Shadjareh dari UK berbahasa Inggris dalam
menyampaikan materinya. Dua materi paling mencerahkan sepanjang konfrensi,
hehehe.
Eniwei... Terlepas dari segala keterbatasannya, salah satu
keberkahan mengikuti konfrensi ini adalah adanya kesempatan buat saya untuk
berinteraksi dengan teman-teman Syiah. Ini menarik karena pada awalnya saya
kurang begitu paham mengenai perbedaan antara Sunni dan Syiah. Beberapa teman
Syiah yang saya kenal di Indonesia pun terlihat nggak terlalu menonjol, karena
memang tenggelam dalam pengaruh Sunni di sini. Tapi di sana Syiah mendominasi!
Beberapa temen ada yang memperingatkan sebelum saya ke Iran.
"Syiahnya banyak Van! Ati-ati nanti kebawa!"
Lah di sana Syiah bukannya banyak, tapi emang hampir semuanya! :D Kalo saya nggak salah, cuma 20% dari
total 70 jutaan penduduk Iran yang Sunni.
Wajar kalo banyak anggapan dan kekhawatiran dari beberapa orang
diluar Iran, karena isu pertentangan Islam Sunni dan Syiah sangat sensitif di
sana. Ada anggapan bahwa orang-orang Sunni sangat dideskriditkan. Di saat
bahkan orang Yahudi diperbolehkan mendirikan Sinagoge, masjid orang-orang Sunni
justru dihancurkan. Sedemikian gawatnya sampai ada yang bilang kalo orang Sunni
harus sholat jumat di kedutaan negara lain, saking sulitnya mereka mendapat
jaminan hak di negaranya sendiri.
Terlepas dari benar atau nggak yang saya dengar itu, saya pun
nggak tau persis, bisa jadi karena kami pendatang dan peserta konfrensi yang
lain adalah orang-orang yang open minded, sehingga cukup siap menerima kami
yang berbeda, tapi saya ngerasa hubungan antara kami cukup baik, harmonis
bahkan. Teman-teman Syiah beberapa kali mempersilahkan kami yang Sunni
mengimami sholat berjamaah.
Di salah satu kesempatan sholat berjamaah saya sampai tergelitik
untuk menunda sholat dan mengambil foto :D
Indah menurut saya... :')
Tapi momen paling menggampar selama pelatihan justru terjadi
menjelang hari terakhir. Seorang temen dari Iran yang sering mencoba mengajak
ngobrol dalam bahasa Persia, kembali menyapa saat jeda antar sesi. Sambil
mengambilkan saya minuman dingin dia berbicara dengan bahasa Inggris campur
Persia.
Ehm... Wait! Lebih tepat jika dibilang dia bicara dengan bahasa
Persia, satu-dua kata bahasa Inggris, dan sangat banyak sekali bahasa tubuh!
Untuk menjaga perasaannya saya tetap tersenyum dan mengangguk pura-pura ngerti
apa yang dia maksudkan.
Tapi ekspresi saya nggak bisa bohong. Tau kalo saya nggak
nangkep apa yang dia bilang, dia melesat ke arah kerumunan dan kembali kurang
dari semenit sambil menyeret temannya yang cukup lumayan bahasa Inggrisnya,
yang mana ternyata cuma untuk bilang
"Walaupun bahasa kita beda, tapi hati kita saling terkait atas
dasar kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya. Jadi saya gak khawatir kamu lupain
saya setelah pulang ke Indonesia nanti, karena sekarang kita saudara."
Duhh... Tersentuh banget dengernya. Apalagi setelah itu mereka
ketawa, karena teman saya ini mengaku berhari-hari berusaha belajar bahasa
Inggris sederhana cuma buat bilang kaya tadi ke saya, tapi tetep gak bisa.
Gusti Allah.. Saat itu saya ikut ketawa, tapi demi menahan air mata yang mulai
menggetas... :'(
Setelah itu saya banyak diam. Berdialog dengan diri sendiri.
Teman-teman baru saya ini... Kami kenal aja belum lama, dan
jelas-jelas berbeda keyakinan dengan mereka, tapi kok bisa sebegitunya? Apakah
ini jawaban Allah atas doa rabithah saya selama ini? Ketika sebelum berdoa kita
selalu dianjurkan memejamkan mata dan membayangkan semua wajah saudara-saudara
kita seiman, baik yang kita kenal maupun yang enggak, lalu membiarkan hati
kecil ini berbisik dan meminta...
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah
berkumpul karena kecintaan kami kepada-Mu,
bertemu untuk mematuhi (perintah)-Mu,
bersatu memikul beban da’wah-Mu.
Hati-hati ini telah mengikat janji setia untuk komitmen dalam menjalankan syari’at-Mu, maka eratkanlah ikatannya Ya Allah. Kekalkan kemesraan antara hati-hati ini …
Jika Engkau menakdirkan mati, maka wafatkanlah pemilik hati-hati ini syahid di jalan-Mu.
Engkaulah sebaik-baik sandaran dan sebaik-baik penolong ya Allah.
Amin”
bersatu memikul beban da’wah-Mu.
Hati-hati ini telah mengikat janji setia untuk komitmen dalam menjalankan syari’at-Mu, maka eratkanlah ikatannya Ya Allah. Kekalkan kemesraan antara hati-hati ini …
Jika Engkau menakdirkan mati, maka wafatkanlah pemilik hati-hati ini syahid di jalan-Mu.
Engkaulah sebaik-baik sandaran dan sebaik-baik penolong ya Allah.
Amin”
Ketika ditanya apa yang saya dapat dari konfrensi dan perjalanan
saya ke Iran, seringkali saya pun bingung. Tapi entah kenapa, meskipun tidak
terjelaskan, saya rasa saya dapatkan apa pun itu yang saya cari :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar