Hamama. Merpati surga dari Dusun Nangkrenang, Sampang. Darahnya mengalahkan clurit!
Dear Pak Hamama … Telah sampai kepada kami kabar detik-detik terakhir kesyahidanmu di kampungmu sendiri di Dusun Nangkernang di Sampang, Madura, pada 26 Agustus 2012. Kata serasa habis, Pak. Perasaan di dalam diri ini begitu berkecamuk. Dan siapa kiranya yang tidak!
Kami dengar kau memetik kesyahidan di hari itu dengan kesatriaan yang sudah langkah hari-hari ini. Kau maju seorang diri melindungi keluarga, anak-anak dan tetangga dekatmu dari serbuan orang-orang gelap mata yang datang dengan tujuan ‘meraup pahala’ dari menumpahkan darah orang Islam bermazhab Syiah seperti dirimu! Kau kabarnya sempat meneriakkan “tak sepantasnya kebenaran dilawan dengan senjata tajam!”
Ya Pak Hamama, kami anak-anak bangsa ini, bangga dengan semua itu. Tapi hati kami juga hancur mendengar kau, di usiamu yang sudah separuh abad lebih, harus menanggung sabetan cerulit ……………..
Kami dengar kau mati dengan usus terburai, Pak Hamama …….
Kami dengar ada luka sayatan parang di punggungmu, Pak Hamama ………
Kami lihat, di selembar foto yang sampai ke kami di ujung dunia, kau menutup mata untuk selamanya dengan wajah membiru. Lebam, lebam bekal pukulan benda tumpul.
Tapi maafkan kami belum bisa bercerita banyak, Pak Hamama. Kami masih berkabung. Tapi kelak di waktu yang tak lama lagi, kan kami ceritakan galaksi hidup yang luas dan detik-detik terakhir kesyahidanmu yang cemerlang. Biar dunia yang gelap ini bisa mengambil cahaya dan pelajaran. Biar musuh-musuh agama — dan media, pejabat, si anu dan si ini yang berdiri di belakangnya, sadar ataupun tidak — terhenyak malu dan meleleh menyadari kebejatannya sendiri.
Pak Hamama sayang … Orang-orang yang membantaimu di pagi hari 26 Agustus itu jelas belum pernah mendengar kisah kalau saat nafasmu sudah tinggal sepenggal, kau masih sempat berwasiat pada istri dan enam anak yang kau tinggalkan agar berlaku adil. Kami dengar kau berwasiat: “Nak, jangau dendam pada pembunuh bapak. Sayangi mereka karena hidup dalam kegelapan dan kebodohan.”
O Pak Hamama sayang … Kegelapan yang merudung dusunmu itu juga belum pernah mendengar kisah haru, bahwa di detik-detik terakhir hayatmu, kau masih sempat menepuk dada dan berkirim salam pada Husein bin Ali, cucu Nabi Suci Muhammad saw yang mati dibantai di Karbala. Lirih kau bilang: “Labbayk Ya Hussein!”
Dear Pak Hamama sayang, dengan itu semua kau menunjukkan kalau kau berada di barisan para syuhada yang melangkah di jalan para Nabi dan orang-orang suci. Kau tlah mengajarkan ke dunia yang gelap ini kalau kematian di jalan kebenaran bukanlah kehinaan; bahwa kehormatan, harga diri dan pengorbanan itu jauh lebih berharga ketimbang nyawa di badan. Kau, Pak Hamama sayang, telah mengajarkan kalau darah bisa mengalahkan clurit sekalipun! [Beritaprotes]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar