Senin, 15 Oktober 2012

Sekilas Tentang Nikah Mut'ah (VERSI SYIAH TENTUNYA). Anda Percaya......!

Berbagai kalangan “terkejut” atau “heran” melihat Syiah menghalalkan nikah mut’ah. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak tahu banyak tentang sejarah agama ini.

Memang sebenarnya lucu. Seandainya tidak ada Syiah, semua orang mana mungkin “terhentak” untuk mempertanyakan keyakinan yang selama ini dianutnya? Semua orang memeluk Islam hanya karena kebanyakan orang di sekitarnya memeluk Islam; tanpa tahu apa itu Islam sebenarnya.

Dalam kartu identitas kebanyakan orang tertera agama Islam. Namun shalat asal-asalan, kadang puasa kadang tidak, dan menjadikan Islam sebagai label begitu saja tanpa memiliki pengetahuan apa itu Islam.

Terkait mut’ah, salah jika dikatakan Syiah menghalalkan nikah mut’ah. Kata itu mewujudkan image seakan nikah mut’ah itu Syiah yang menciptakannya. Wah, padahal nyatanya jauh dari yang dipikirkan.

Perlu anda ketahui, bahwa nikah mut’ah sudah ada di jaman Rasulullah saww. Di jaman nabi, pernikahan ada dua macam: nikah permanen, dan nikah temporer. Lalu lambat laun, khalifah kedua, Umar bin Khattab mengharamkan nikah mut’ah.

Nah di sinilah permasalahannya. Karena Syiah sama sekali tidak menerima Umar bin Khattab sebagai khalifah dan pemimpinnya, jelas dengan sendirinya Syiah juga tidak mau mendengarkan perkataan Umar dan keputusannya untuk mengharamkan mut’ah. Lalu dengan demikian Syiah tidak mengharamkan nikah mut’ah.

Halal dan haram yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, adalah halal dan haram hingga hari kiamat nanti.

Saudara-saudara sekalian, memangnya siapa Umar bin Khattab yang mencoba mengharamkan apa yang dihalalkan nabi?

Coba anda bayangkan, poligami yang merupakan hal yang jelas-jelas telah diterima dalam Islam dan tak satupun menyebutnya haram, padahal poligami mengndang berbagai kritikan khususnya “dari istri-istri anda”, jika seandainya MUI mengharamkan poligami disebabkan banyaknya kritikan terhadapnya, apakah anda terima? Meskipun naluri anda sendiri tidak sejalan dengan poligami, anda pasti mengkritik MUI, menyebut mereka tidak punya hak untuk mengharamkan poligami. Seperti itulah Syiah, Syiah dengan jengkelnya menuding Umar bin Khattab dan bertanya kepadanya: “Punya hak apakah kamu untuk menghalalkan apa yang dihalalkan nabi?”

Jangankan MUI, jangankan Umar bin Khattab, nabi sendiri dilarang Allah untuk mengharamkan apa yang dihalalkan Allah swt. Silahkan anda baca ayat-ayat pertama surah At-Tahrim. Di situ ada ayat yang mengatakan: “Janganlah engkau haramkan apa yang dihalalkan Allah.” Nabi saja tidak berhak, apa lagi Umar bin Khattab, apa lagi MUI, apa lagi anda, apa lagi istri-istri anda.

Ya, memang ada hukum-hukum dalam Islam yang kurang sejalan dengan batin. Namun bukan berarti segala yang tak berjalan dengan batin harus kita haramkan. Siapa kita? Tuhan yang lebih berhak atas diri kita.

Para pembaca, semua orang yang mendengar “nikah mut’ah” untuk pertama kalinya, saya yakin, pasti terkejut bagaimana mungkin hal seperti itu dihalalkan dalam agama. Saya pun tidak heran mengapa anda terkejut, karena saya tahu anda baru mendengar “nikah mut’ah” untuk pertama kalinya seumur hidup anda. Jika anda sejak dahulu tahu bahwa di jaman nabi sudah ada nikah mut’ah, anda pasti sudah terbiasa dengan mendengar kata-kata itu dan tidak heran lagi.

Anggap saja anda belum pernah mendengar apa yang disebut poligami, yang mana hal itu diterima oleh semua umat Islam tanpa ikhtilaf. Anggap saja anda sama sekali tidak tahu ada hukum poligami. Tiba-tiba anda mendengar “lelaki bisa beristri lebih dari satu.” Anda pasti terkejut kenapa ada hukum seperti itu. Seandainya, Umar bin Khattab juga mengharamkan poligami, dan hukum itu tidak dijalankan lagi hingga sekarang sebagaimana mut’ah, lalu anda mendengar bahwa orang Syiah beristri lebih dari satu, pasti anda akan heran dan mungkin menyebut Syiah sesat karena menghalalkan menikah lebih dari satu istri. Padahal sejak jaman nabi poligami memang sudah halal.

Yang menjadi masalah inti adalah “Umar mengharamkan mut’ah.” Jadi, anda yang menentang nikah mut’ah, salah jika anda mempermasalahkan mut’ah itu sendiri dan juga kriteria-kriteria nikah mut’ah. Yang benar adalah, silahkan anda permasalahkan mengapa Umar bin Khattab menghalalkannya.

Saudara-saudara sekalian, saya sebagai Muslim pun secara naluriah juga heran mengapa Islam membolehkan poligami. Anda pun secara naluriah mungkin seperti itu, apa lagi istri-istri anda. Tapi nyatanya memang Islam membolehkannya. Lalu apakah karena poligami bertentangan dengan naluri lalu anda menyebut umat Islam sesat?

Mut’ah pun juga begitu, tak jauh beda dengan poligami. Lalu apakah karena nalar dan pikiran anda tidak sejalan dengan mut’ah, lalu anda menyebut umat Syiah sesat karena menghalalkan mut’ah? Ya, untuk masalah mut’ah anda pasti bersikeras menyebut Syiah sesat karena menghalalkan mut’ah; karena ana baru mendengar istilah nikah mut’ah saat ini dan baru-baru ini saja. Seandainya mut’ah tidak diharamkan Umar bin Khattab, dan nikah mut’ah itu dilakukan sama seperti halnya poligami hingga sekarang, dan umat Islam semua membenarkan halalnya nikah mut’ah, maka mut’ah pun seperti poligami, yang sama-sama bertentangan dengan naluri anda tapi nyatanya hal itu halal dalam Islam.

Apa salah Syiah? Kesalahann Syiah adalah: Syiah tidak menerima Umar bin Khattab. Itu saja! Kenapa? Anda bisa tanyakan itu kepada semua orang Syiah dan mereka bakal menjawabnya.

Biarkan orang-orang Syiah bertanya: Mengapa anda menerima Umar bin Khattab? Wah, anda pasti kebingungan kan untuk menjawabnya? Karena anda dan kebanyakan semua umat Islam ini hanya menerima apa yang sudah diterima masyarakat umum tentang Islam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Anda menerima Umar bin Khattab karena semua orang di sekitar anda melakukan hal itu. Adapun apa alasannya, apakah anda pernah melakukan kajian dan membahas siapakah Umar bin Khattab dan khaifah-khalifah lainnya? Saya berani berkata “anda tidak pernah.”

Para pembaca, saya berfikiran, jika seandainya tidak ada Syiah yang mempertanyakan keyakinan mayoritas umat Islam ini (terkait dengan para sahabat dan khalifah, misalnya), anda sekalian pasti sampai kapanpun tidak terdorong untuk menengok ke belakang dan bertanya siapakah para sahabat itu, dan anda terus menerima apa yang telah diterima oleh masyarakat umum tanpa mengkajinya.

Berterimakasihlah kepada Syiah karena dengan adanya Syiah semua orang jadi bertanya pada dirinya sendiri: “Mengapa Syiah mempertanyakan keyakinan yang selama ini aku miliki? Memangnya apa yang salah dengan semua ini?” Dengan demikian, semua orang pasti terdorong untuk mengkaji keyakinannya.

Islam bukan untuk diyakini dengan menutup mata, namun untuk diyakini dengan logika, kajian, diskusi dan secara ilmiah. Jika kita memeluk Islam karena ayah kita, dan ayah kita memeluk agama ini karena kakeknya, karena tetangga, dan lain sebagainya, maka apa arti Islam? Apa arti akal yang dikaruniakan Tuhan untuk berfikir jika tak kita gunakan dalam memeluk agama?

(dari berbagai Artikel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar