SELASA kemarin
(18/09/2012), bertempat di Gedung Sucofindo, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, Syiah telah meluncurkan buku putihnya yang berjudul “Buku Putih Mazhab Syiah Menurut Ulama yang Muktabar” dan
mengadakan seminar “Menuju Kesepahaman dan Kerukunan Umat Islam”. Dalam
acara yang digagas oleh organisasi Syiah, Ahlulbait Indonesia (ABI),
Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI), Dr Muhsin Labib
mengatakan, antara Nahdhatul Ulama (NU) dan Syiah ada kemiripan. [baca:Mengaku Ada Kemiripan dengan NU, Syiah Ajak Waspadai Al Bayyinat]
Namun pendapat Muhsin ini dibantah mantan Khatib Aam Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, Dr Anis Malik Thoha. Menurut kemenakan Kiai Sahal Mahfudz, ini, mengatakan NU sama dengan Syiah adalah sebuah pernyataan “Othak-Athik Gathuk” (dikait-kaitkan, red).
Seperti diketahui, Anis Malik Toha dikenal sebagai pakar masalah pluralisme agama dan sehari-hari sebagai dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia (IIUM).
“Tidak bisa serta-merta menjadi justifikasi bahwa NU itu asalnya adalah Syi'ah,” ujar Anis yang juga penulis “Tren Pluralisme Agama” ini. Apa maksudnya? Berikut wawancara hidayatullah.com dengan Dr. Anis, Kamis (20/09/2012).
Benarkah klaim bahwa Islam Syafi'i adalah mazhab yang paling dekat dengan esoterisme dan Syiah, juga bahwa NU esoterismenya berwajah Syiah dan eksoteriknya berwajah Sunni. Juga dikatakan NU adalah proses untuk menggabungkan keduanya?
Sepanjang itu teori, ya saya rasa siapa saja boleh berteori. Tapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana teori itu dibangun, dan atas dasar apa?
Menurut Muhsin Labib, perkataan itu diambil dari ucapan Gus Dur?
Muhsin Labib itu siapa? dan Gus Dur itu siapa? Apakah ulama dan para kiai besar NU bisa membenarkan pendapat mereka?
Hidayatullah kemudian menjelaskan bahwa Muhsin Labib lulusan Qom, Iran dan Direktur Moderat Institute
Ya iya lah... karuan saja, wong dia digembleng di Qom, Iran. Logika dangkalnya, dia pasti cari-cari mana justifikasinya untuk mengatakan bahwa NU adalah Syi'ah. Kalau boleh saya katakan dalam istilah Jawanya, itu disebut “Othak-athik gathuk” (ilmu mengkait-kaitkan, red).
Kembali pada model “othak-athik gathuk” tadi, jelas itu tidak ilmiah. Saya sepenuhnya tidak bisa menerimanya. Di kalangan NU sendiri memang ada kecenderungan seperti itu. Khususnya orang-orang yang "ditokohkan" akhir-akhir ini. Gus Dur, adalah satu contoh model kalangan ini. Beliau tanpa tedeng aling-aling (terang-terangan, red) mengatakan bahwa banyak amalan-amalan ibadah NU itu berbau Syi'ah.
Saya sendiri bisa membenarkan adanya unsur-unsur Syi'ah dalam beberapa praktik ibadah (rites and rituals) NU. Tapi hal ini tidak bisa serta-merta menjadi justifikasi bahwa NU itu asalnya adalah Syi'ah. Banyak hal yang mesti diurai.
Contohnya seperti dalam syi’ir ini لي خمسة أطفي بها حر الوباء إلخ Pertama, dalam syi'ir ini tidak secara tegas (dalam tradisi NU, tentu) dinyatakan keyakinan akidah Syi'ah. Syi'ir ini hanya menurut saya hanya menegaskan keutamaan/posisi Ahlulbait Rasulullah. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan setiap Muslim harus menghormati dan mencintai mereka. Jadi, ini tidak cukup untuk membuat kesimpulan bahwa NU itu Syi'ah atau bagian dari Syi'ah.
Kedua, sepengetahuan saya (bisa jadi saya salah), syi'ir ini mulai popular dilantunkan di masjid-masjid, langgar-langgar, mushalla-mushalla, pengajian-pengajian baru di kemudian hari (sekitar 70-an). Artinya sebelumnya "kurang" popular.
Ketiga, sejak berdirinya tahun 1926 garis panduan dasar (AD/ART) NU sangat-sangat jelas tidak ada sedikit pun kata-kata atau redaksi yang bisa ditafsirkan menyerupai kepercayaan Syi'ah. Bahkan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy'ari sendiri tegas-tegas menolak Syi'ah.
Jadi, kalau kemudian hari cucunya, dan sebagian dari pengikutnya mencoba menarik-narik NU untuk diakurkan dengan Syi'ah tentu perlu dipertanyakan. Itulah yang saya maksud "othak-athik gathuk" yang ternyata ndak gathuk juga (tidak nyambung, red).
Istilahnya untuk mencari pembenaran ya pak?
Maksudnya ya itu tadi, mengotak-atik, mencari-cari sesuatu, pemikiran yang sebetulnya ndak ada saling keterkaitan antara satu dan lainnya, untuk kemudian bisa dipadukan dan menjadi sesuai.
Hanya saja perlu ditegaskan bahwa pendapat saya di atas bukan berarti menolak keberadaan mereka. Saya tetap berpendapat seperti yang selalu saya tekankan di dalam buku dan tulisan-tulisan saya dalam menyikapi perbedaan, pluralitas atau keragaman.*
sumber : hidayatullah.com
Namun pendapat Muhsin ini dibantah mantan Khatib Aam Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, Dr Anis Malik Thoha. Menurut kemenakan Kiai Sahal Mahfudz, ini, mengatakan NU sama dengan Syiah adalah sebuah pernyataan “Othak-Athik Gathuk” (dikait-kaitkan, red).
Seperti diketahui, Anis Malik Toha dikenal sebagai pakar masalah pluralisme agama dan sehari-hari sebagai dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia (IIUM).
“Tidak bisa serta-merta menjadi justifikasi bahwa NU itu asalnya adalah Syi'ah,” ujar Anis yang juga penulis “Tren Pluralisme Agama” ini. Apa maksudnya? Berikut wawancara hidayatullah.com dengan Dr. Anis, Kamis (20/09/2012).
Benarkah klaim bahwa Islam Syafi'i adalah mazhab yang paling dekat dengan esoterisme dan Syiah, juga bahwa NU esoterismenya berwajah Syiah dan eksoteriknya berwajah Sunni. Juga dikatakan NU adalah proses untuk menggabungkan keduanya?
Sepanjang itu teori, ya saya rasa siapa saja boleh berteori. Tapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana teori itu dibangun, dan atas dasar apa?
Menurut Muhsin Labib, perkataan itu diambil dari ucapan Gus Dur?
Muhsin Labib itu siapa? dan Gus Dur itu siapa? Apakah ulama dan para kiai besar NU bisa membenarkan pendapat mereka?
Hidayatullah kemudian menjelaskan bahwa Muhsin Labib lulusan Qom, Iran dan Direktur Moderat Institute
Ya iya lah... karuan saja, wong dia digembleng di Qom, Iran. Logika dangkalnya, dia pasti cari-cari mana justifikasinya untuk mengatakan bahwa NU adalah Syi'ah. Kalau boleh saya katakan dalam istilah Jawanya, itu disebut “Othak-athik gathuk” (ilmu mengkait-kaitkan, red).
Kembali pada model “othak-athik gathuk” tadi, jelas itu tidak ilmiah. Saya sepenuhnya tidak bisa menerimanya. Di kalangan NU sendiri memang ada kecenderungan seperti itu. Khususnya orang-orang yang "ditokohkan" akhir-akhir ini. Gus Dur, adalah satu contoh model kalangan ini. Beliau tanpa tedeng aling-aling (terang-terangan, red) mengatakan bahwa banyak amalan-amalan ibadah NU itu berbau Syi'ah.
Saya sendiri bisa membenarkan adanya unsur-unsur Syi'ah dalam beberapa praktik ibadah (rites and rituals) NU. Tapi hal ini tidak bisa serta-merta menjadi justifikasi bahwa NU itu asalnya adalah Syi'ah. Banyak hal yang mesti diurai.
Contohnya seperti dalam syi’ir ini لي خمسة أطفي بها حر الوباء إلخ Pertama, dalam syi'ir ini tidak secara tegas (dalam tradisi NU, tentu) dinyatakan keyakinan akidah Syi'ah. Syi'ir ini hanya menurut saya hanya menegaskan keutamaan/posisi Ahlulbait Rasulullah. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan setiap Muslim harus menghormati dan mencintai mereka. Jadi, ini tidak cukup untuk membuat kesimpulan bahwa NU itu Syi'ah atau bagian dari Syi'ah.
Kedua, sepengetahuan saya (bisa jadi saya salah), syi'ir ini mulai popular dilantunkan di masjid-masjid, langgar-langgar, mushalla-mushalla, pengajian-pengajian baru di kemudian hari (sekitar 70-an). Artinya sebelumnya "kurang" popular.
Ketiga, sejak berdirinya tahun 1926 garis panduan dasar (AD/ART) NU sangat-sangat jelas tidak ada sedikit pun kata-kata atau redaksi yang bisa ditafsirkan menyerupai kepercayaan Syi'ah. Bahkan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy'ari sendiri tegas-tegas menolak Syi'ah.
Jadi, kalau kemudian hari cucunya, dan sebagian dari pengikutnya mencoba menarik-narik NU untuk diakurkan dengan Syi'ah tentu perlu dipertanyakan. Itulah yang saya maksud "othak-athik gathuk" yang ternyata ndak gathuk juga (tidak nyambung, red).
Istilahnya untuk mencari pembenaran ya pak?
Maksudnya ya itu tadi, mengotak-atik, mencari-cari sesuatu, pemikiran yang sebetulnya ndak ada saling keterkaitan antara satu dan lainnya, untuk kemudian bisa dipadukan dan menjadi sesuai.
Hanya saja perlu ditegaskan bahwa pendapat saya di atas bukan berarti menolak keberadaan mereka. Saya tetap berpendapat seperti yang selalu saya tekankan di dalam buku dan tulisan-tulisan saya dalam menyikapi perbedaan, pluralitas atau keragaman.*
sumber : hidayatullah.com