“…bagi Allah ada haram, yaitu Mekkah; bagi rasul ada haram, yaitu
Madinah; bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ada haram, yaitu Kufah;
dan bagi kami Ahlul Bait ada haram, yaitu negeri Qom….”(dari Al-Bihaar
60/216).
Musim dingin di Iran, awal Januari, terasa sampai ke
tulang. Jaket tebal tak mampu mengusir rasa itu. Di halaman “haram”
(kota suci) Qom seorang bersorban putih keluar dari sebuah ruangan,
menghitung lembaran-lembaran uang. Tak lama lagi perbuatan yang sama
dilakukan lelaki bersorban hitam. Yang bikin penasaran, dari mana mereka
mendapatkan uang itu?
Masuk ke dalam lorong sejauh 10 meter,
menembus sebuah ruangan besar, ruang itu terasa hangat. Tampak ratusan
orang antre dalam kelompok-kelompok. Ada yang mengular, ada yang cuma
merubung—di setiap meja atau balai-balai berlapis karpet, seorang lelaki
bagai juru hitung membagi-bagikan uang. “Itu uang bulanan dari marja’
(ulama) mereka masing-masing,” kata Alireza, pemandu Tempo, bekas santri
di tempat itu.
Besar uang yang mereka terima tiap bulan sekitar
200 ribu sampai 500 ribu tuman atau sama dengan 10 kali lipat nilai
rupiah. Masing-masing marja’ berbeda tergantung kekayaan dan banyaknya
murid marja’ tersebut. Pada 1985, seorang santri Institut Hujjatiyah
asal Bangkalan, Madura, Musa Kadzim Siraj, mengaku mendapat 300 tuman
atau sama dengan 3.000 riyal, jika dirupiahkan waktu itu sekitar 300
ribu. Besaran shahria, uang bulanan itu—shahr dalam bahasa Ara berarti
bulan—juga tergantung kondisi si santri. Yang masih bujangan, mahasiswa
baru, tentu berbeda dengan santri yang sudah senior atau yang membawa
keluarganya tinggal di Qom.
Qom, kota berjarak 135 kilometer ke
arah selatan dari ibu kota Iran, Teheran, menjadi daya tarik tersendiri
bagi siswa yang haus pendidikan agama. Selain banyaknya ulama, madrasah,
kemudahan-kemudahan administrasi dan keringanan keuangan, ghirah
keagamaan di Qom lebih terasa. Selain itu tak ada tempat hiburan seperti
di sekitar Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. “Banyak ulama yang
mumpuni di Qom. Selain itu, saya tertarik karena Iran punya daya tarik
yang sangat luar biasa mulai dari sejarah, kekuatan di Timur pada zaman
rasul, keilmuan, dan tentu saja kekuatan revolusi Islam,” ujar Musa yang
termasuk angkatan kedua mahasiswa Indonesia di Qom.
Memang
beberapa orang Islam yang terkenal pada dekade ini seperti Ayatullah
Imam Khomeini atau pemimpin Hizbullah Lebanon, Sayyid Hasan Nasrallah,
tercatat pernah belajar dan mengajar di Qom. Tak mengherankan jika Qom
diminati banyak pelajar dari mancanegara, termasuk Indonesia. Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Teheran mencatat 220 orang warga negara
Indonesia tinggal di kota “produsen para mullah” itu. Lebih banyak
dibandingkan warga Negara Indonesia di ibu kota Iran yang hanya 70
orang. Padahal, saat Musa mulai belajar di Qom hanya ada 16 orang
Indonesia, enam orang angkatan pertama, 10 di angkatannya.
Secara
geografis, Qom, ibu kota provinsi dengan nama yang sama, bukanlah kota
yang indah. Kota berpenduduk 850 ribu orang ini terletak di kawasan
sahara tengah Iran. Posisinya berada di tengah padang yang gersang dan
jauh dari laut. Suasana padang pasir sangat terasa saat memandang ke
kiri dan kanan dalam perjalanan dua jam dari Teheran ke Qom dengan taksi
pribadi Peugeot 405 di atas aspal selebar tiga jalur kendaraan.
Iklim
Qom sangat kering dengan curah hujan yang kecil. Sebagian besar
tanahnya tidak bisa dimanfaatkan untuk pertanian. Tanahnya tidak subur
karena posisinya berdekatan dengan danau garam. Di musim panas, suhu
udara bisa mendekati 40 derajat Celsius. Meski begitu, di musim dingin
suhu udara bisa anjlok hingga di bawah nol dan sesekali turun salju
meskipun tak lebat seperti di Teheran. Tak mengherankan, dalam
perjalanan ke Qom naik taksi dari kawasan Azadi Square gerbang pintu
selatan Teheran, mobil tetap tertutup dengan pemanas kabin. Empat
penumpang tiap orang dikutip sekitar 50 ribu riyal sekali jalan;
berhenti di bundaran gerbang masuk kota.
Berdasarkan sejarahnya,
Qom didirikan sebelum era masuknya Islam ke Iran. Saat itu, kota
tersebut pusat agama asli orang Persia penyembah api, Zoroaster. Namun,
menurut sebagian kalangan, kota itu didirikan setelah Islam masuk. Kum
adalah sebuah nama benteng di kota itu. Ia menjadi Qom setelah
orang-orang Arab Muslim menyebut-nyebut benteng itu dengan lafal “qum”.
Ketika pasukan Islam menyerang Iran, Qom merupakan bagian dari teritori
Isfahan. Karena itu, Qom jatuh ke tangan pasukan Arab bersamaan dengan
jatuhnya kota Isfahan.
Qom sering menjadi incaran para penguasa.
Pada 23-24 Hijriyah, Abu Musa Al-Asy’ari mengirimkan sebagian pasukan
yang berada di bawah komandonya ke Qom. Kota ini pun jatuh ke tangan
kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Suku Asy’ari kemudian pindah dari
Kufah, Irak, ke Qom. Kedatangan mereka membuat Qom lamban-laun menjadi
kota. Memang sempat terjadi konflik antara suku Arab Asy’ari pendatang
yang muslim dan warga setempat yang beragama Zoroaster, namun pribumi
kalah.
Qom hancur diobrak-abrik pasukan Ali bin Hisyam, zaman
Khalifah Al-Makmun. Penduduknya dibunuh secara massal karena menolak
membayar pajak dan upeti. Khalifah Al-Muktasim yang menggantikan
Al-Makmun juga meluluhlantakkan Qom, sebab warganya memberontak setelah
Al-Makmun tewas. Qom kembali hancur total ketika pasukan Mongol datang
menyerbu.
Pada 1916, ketika pasukan Rusia menyerbu Iran dan
memasuki Karaj, banyak warga Teheran yang melarikan diri ke Qom. Saat
itu bahkan ada rencana memindahkan ibu kota Iran ke Qom, tetapi
digagalkan oleh Kedutaan Besar Rusia dan Inggris dengan menekan Ahmad
Shah. Para muhajirin Teheran di Qom kemudian membentuk Komite Pertahanan
Nasional untuk membela tanah air. Qom menjadi markas kegiatan politik
dan militer anti-Rusia dan Inggris. Namun, setelah sekian kali
konfrontasi, pasukan Rusia berhasil menduduki Qom.
Pada zaman
Shah Iran menjelang revolusi Februari 1979, tentara Iran menyerbu
madrasah-madrasah di sekitar makam Maksumah. Madrasah Faiziyah di Qom
adalah salah satu hauzah ilmiyah atau sekolah agama (pesantren) yang
paling tersohor di dunia. Madrasah dengan arsitektur Islam yang unik ini
didirikan pada abad ke-13 Hijriyah. Menurut cerita santri-santri
hauzah, tentara Shah melemparkan santri dari menara setinggi delapan
meter. Bahkan kolam air yang berada di tengah-tengah kompleks pendidikan
itu pernah dinyatakan dengan fatwa sebagai air najis oleh ulama-ulama
penjilat kekuasaan Shah. Gara-garanya air kolam itu pernah dipakai
berwudu oleh Imam Khomeini.
Pembantaian santri di Qom menjelang
tumbangnya Shah membangkitkan perlawanan. Walaupun dibungkam dan tak
diizinkan berkumpul, momen 40 hari kematian santri-santri Qom dipakai
sebagai alasan peringatan di berbagai kota. Bagai getuk kepala ular,
sejak itu perlawanan terus berlanjut sampai Imam Khomeini tiba dari
Paris dan Raja Shah terdepak.
Setelah Khomeini berkuasa, Qom, tak
lepas dari cobaan. Saat perang Irak-Iran, puluhan roket Irak menghujani
kota Qom karena Presiden Irak Saddam Hussein yakin dari Qom inilah
semangat revolusi melawan para tiran dimulai. Para marja dan guru-guru
santri memerintahkan pemindahan santri-santri asing dari Qom. “Kami mau
bertahan, tapi marja dengan tegas memerintahkan untuk pindah ke Mashad.
Memang roket Irak kena ke rumah-rumah penduduk,” kenang Abdurahman
Baraqbah, 46 tahun.
Lelaki asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang
tinggal sejak 1986 itu, diminta memimpin teman-temannya mengungsi.
Walaupun dalam keadaan pengetatan ekonomi, selain karena embargo Amerika
Serikat dan negara-negara asing, juga karena perang, pemerintah Iran
menyediakan dua bus. “Memang cuma bus dalam kota, tapi ya, keadaan
terpaksa, sih,” ujar Aman. Dua puluh jam kemudian, Aman dan santri
lainnya sampai di Mashad. Setelah dua bulan di sana, mereka kembali lagi
ke Qom.
***
Melawat ke Qom selain ke pesantren, yang menarik
dilihat adalah kompleks makam keramat. Qom tersohor sebagai tempat
perlindungan keturunan Imam Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW,
yang menamakan diri Alawiyyin. Tak mengherankan jika Fatimah, 17 tahun,
adik Ali Ar-Ridha , imam kedelapan dalam kepercayaan Islam Syiah, minta
dimakamkan di tempat itu saat tak kuat lagi meneruskan perjalanannya
untuk menemui abangnya di Khurasan (Mashad). Apalagi, kakak kandungnya
pernah berpesan, “Apabila negara diterpa berbagai kekacauan, hendaklah
kalian pergi ke Qom, karena di sana tak ada bencana.”
Kakek
Fatimah, Imam Ja’far Shadiq, bahkan pernah mengatakan, “Tanah Qom yang
suci penduduknya adalah bagian dari kita dan kita bagian dari mereka.
Penduduknya tak pernah mengkhianati saudara-saudaranya.” Perawan Fatimah
dengan bekal yang dibawa dari Madinah, akhirnya membeli tanah di Qom
untuk kuburannya sendiri.
Siang itu saya berkunjung ke makamnya.
Bangunan makam keramat itu terletak di tengah kota. Bangunan besar,
megah berarsitektur khas Persia itu, memang indah dan mempesona. Dari
jeruji besi yang indah, siang itu saya melihat ratusan lelaki perempuan
tampak khusyuk berdoa. Ada yang mencium-cium pintu gerbang atau
besi-besi mausoleum makam dengan air mata mengalir. Di bagian terpisah
perempuan-perempuan ber-chador hitam terdengar meraung-raung. Berdoa di
tempat ini, dipercaya akan dikabulkan Allah setiap keinginan seseorang.
“Tempat ini juga dianggap sebagai pengganti makam Fatimah Az-Zahra,
putri Rasulullah yang tak jelas keberadaannya,” ujar Alireza.
Awalnya
makam itu hanya dinaungi semacam ijuk. Berbagai serangan sempat
menghancurkan makam itu, namun penduduk Qom lambat-laun menjadikan makam
itu berkubah dan bermenara sederhana. Padahal, pada 447 Hijriyah,
seorang menteri Taghral, Mir Abul Fazl, membuatkan kubah yang lebih
besar di atas kubah pertama setinggi 14 meter.
Di era
pemerintahan Safavi, makam memiliki empat ruangan berjajar, satu ruangan
di antaranya menyediakan pintu masuk dan satu lagi ruangan menyediakan
pintu keluar. Baru di era pemerintahan dinasti Qajar, Raja Fatah Alishah
memberikan perhatian ekstra kepada makam sehingga membangunkan
mausoleum secara lebih besar dan anggun. Ruang-ruang, dekorasi, dan
bilik-bilik yang ada sekarang sebagian besar adalah peninggalan era
dinasti Qajar. Pada 1208, Qum dikuasai Agha Mohammad Khan Qajar. Fatah
Ali memperbaiki kompleks makam sesuai dengan nazarnya. Kubah dilapis
emas, ukiran-ukiran dan keramik Iran, serta kaca-kaca kristal di dalam
makam.
Karena selalu ramai pengunjung dari dalam dan luar kota
dan bahkan dari mancanegara, tak aneh jika kawasan sekitar kompleks
menjadi sangat meriah dan dipadati oleh toko-toko perangkat salat,
kitab, batu-batu berharga, pakaian, suvenir, hotel, losmen, restoran,
dan rumah-rumah makan. Hal itu mengingatkan saya seperti kawasan sekitar
makam Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur.
Selain makam, terdapat
juga museum Haram Hazrat Maksumah salah satu museum tertua di Iran yang
didirikan pada 1926. Museum yang terdiri dari dua aula yang diperindah
seni keramik yang bernilai seni tinggi itu terletak di sisi kompleks
mausoleum. Obyek dipamerkan berupa barang-barang berharga, seperti Kitab
Suci Al-Quran dengan seni kaligrafi abad ketiga Hijriyah dan ornamen
era Safavi. Ada pula permadani karya seniman tersohor Iran, Nikmatullah
Jushqani.
Selain itu di Qom terdapat masjid yang dipercaya tempat
Imam Mahdi akan turun ke bumi kelak. Masjid Imam Zaman, Jamkaran,
terletak di sebuah kawasan pinggiran kota Qum. Masjid ini memiliki nilai
mistis lebih tinggi dibanding masjid-masjid lainnya di Iran karena
dipercaya didirikan berdasarkan petunjuk langsung dari Imam Mahdi, imam
ke-12 atau imam terakhir kaum Syiah yang dipercaya kini sedang gaib dan
akan muncul di akhir zaman sebagai juru penyelamat umat manusia.
Di
masjid ini dianjurkan salat sunah empat rakaat, dua dengan niat
tahiyatul masjid, lainnya dengan niat salat Imam Zaman. “Katanya,
barangsiapa menunaikan salat di tempat ini pahalanya sama seperti salat
di dalam Ka’bah,” kata Alireza, pemandu Tempo. Pada malam Nisfu Sya’ban
atau setengah bulan menjelang bulan puasa, masjid dan area ini dipadati
ribuan pelawat. Karena pertengahan bulan Sya’ban diyakini kaum Syiah
sebagai hari lahir Imam Mahdi.
Di kawasan pinggiran Qom, juga
terdapat rumah Mulla Sadra, filsuf besar abad ke-11 Hijriyah yang
berhasil merekonstruksi dan mengembangluaskan aliran filsafat
transendental. Rumah filsuf yang hidup di era dinasti Safavi direnovasi
pada 1998 tanpa mengubah struktur awalnya. Rumah berupa bangunan batu
bata warna cokelat dan menyerupai masjid atau musollah karena memiliki
kubah. Pada kubahnya terdapat jendela-jendela kecil dengan kaca
warna-warni untuk membiaskan cahaya matahari ke dalam ruangan. Dari
jalan bebas hambatan masjid itu masih tampak melambaikan salam selamat
datang dan selamat jalan, seolah-olah sang filsuf memberi salam dari
Qom.
Ahmad Taufik (Qom, Iran): http://www.ahmadtaufik.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar